Unjuk rasa anti-ICERD 2018

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Unjuk rasa anti-ICERD 2018
Tanggal8 Desember 2018
LokasiDataran Merdeka, Kuala Lumpur
SebabUnjuk rasa menentang ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD)
MetodeUnjuk rasa, sembahyang (salat dan doa), pidato
Pihak terlibat
Partai Islam Se-Malaysia (PAS)
Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO)
Gerakan Pembela Ummah
lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya
Tokoh utama
Jumlah
500.000 (peserta yang diharapkan)
55.000 (perkiraan polisi)

Unjuk rasa anti-ICERD (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) atau Himpunan Aman Bantah ICERD (Melayu) adalah unjuk rasa yang diselenggarakan di Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, Malaysia pada 8 Desember 2018. Unjuk rasa ini diselenggarakan oleh partai-partai politik oposisi, dan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), dengan dukungan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat.[1]

Unjuk rasa diadakan sebagai tanggapan terhadap ratifikasi konvensi PBB yang dikenal sebagai Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) oleh pemerintahan baru Malaysia. Partai-partai oposisi dari UMNO dan PAS dengan serius menyanggah konvensi ini untuk diratifikasi karena bertentangan dengan konstitusi, terutama hak-hak istimewa Melayu dan Bumiputra. Meskipun pemerintah telah mengumumkan untuk tidak meratifikasi konvensi ini pada 23 November 2018, fokus utama dari unjuk rasa ini adalah untuk merayakan keputusan pemerintah yang tidak meratifikasi ICERD.[2]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) adalah konvensi PBB yang mengikat para anggotanya untuk menghapus diskriminasi ras dan mempromosikan pemahaman di antara semua ras. Malaysia merupakan salah satu dari 18 negara di dunia yang belum meratifikasi konvensi ini, juga merupakan salah satu dari dua negara mayoritas Muslim yang belum meratifikasinya bersama dengan Brunei. Pada 28 September 2018, perdana menteri Tun Dr. Mahathir bin Mohamad berpidato di Majelis Umum PBB dengan pemerintah baru harus "meratifikasi semua instrumen inti PBB yang tersisa terkait dengan perlindungan hak asasi manusia", ini termasuk ICERD dan lima konvensi lain yang tidak diratifikasi. Namun, Khairy Jamaluddin memperdebatkan pidato PBB tersebut yang menimbulkan kekhawatiran tentang dampak ICERD terhadap hak-hak istimewa bumiputra dan posisi khusus Melayu dan Islam di negara tersebut.[3] Pada 19 November 2018, di Parlemen, Waytha Moorthy, yang menjabat sebagai Menteri Persatuan Nasional dan Kesejahteraan Sosial, mulai berbicara tentang niat pemerintah dalam meratifikasi ICERD dan mengatakan bahwa konsultasi-konsultasi dengan para pemangku kepentingan terkait akan diadakan pada kuartal pertama 2019. Ini ditentang oleh oposisi dan mulai menyerangnya.[4]

Pada 23 November 2018, Kantor Perdana Menteri telah mengumumkan untuk tidak meratifikasi konvensi dan tetap mempertahankan Konstitusi Federal yang berisi kontrak sosial yang telah disepakati oleh semua ras pada saat pembentukan negara.[5]

Peserta[sunting | sunting sumber]

Sementara panitia telah menetapkan target setengah juta orang untuk menghadiri unjuk rasa tersebut, angka resmi kepolisian Kuala Lumpur memperkirakan 55.000 orang menghadiri unjuk rasa ini (kebanyakan pendukung PAS),[6] termasuk presiden PAS Abdul Hadi Awang dan mantan perdana menteri Najib Razak. Di Kelantan, pemerintah negara bagian telah mengumumkan hari libur umum pada hari berikutnya (9 Desember 2018) untuk memungkinkan orang-orang Kelantan menghadiri unjuk rasa di Kuala Lumpur.[7]

Referensi[sunting | sunting sumber]