VOC dan Pedagang Tiongkok

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


VOC dan Pedagang Tiongkok adalah hubungan antara para pedagang VOC dan pedagang Tiongkok di Asia, khususnya di Nusantara. Hubungan yang erat diantara mereka menjadikan VOC sebagai salah satu kekuatan utama perusahaan perdagangan Eropa pada saat itu. VOC dan pedagang-pedagang Tiongkok saling membutuhkan satu sama lain untuk menjalankan bisnisnya.[1]

Kontak Pertama[sunting | sunting sumber]

Para pedagang Belanda pertama kali bertemu dengan orang-orang Tiongkok ketika orang-orang Belanda mampir di pelabuhan Jakarta untuk mengambil air minum dan membeli arak bagi keperluan awak kapalnya. Air minum didapatkan dari sungai Cisadane, sementara arak didapat dari kampung Tiongkok yang bermukim di sisi timur sungai Cisadane. Pada saat itu penguasa Jakarta adalah Pangeran Wijaya Krama atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Jayakarta.[2]

Pendirian Kota Batavia[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1605, VOC sudah menguasai kepulauan rempah-rempah Maluku. Tetapi mereka membutuhkan suatu pusat perdagangan yang strategis karena Ambon, Maluku dianggap terlalu jauh letaknya. Pilihan pertama jatuh kepada Johor yang berada di Malaysia namun ditolak, mengingat ada ancaman Portugis di Malaka pada saat itu. Pilihan lalu dijatuhkan ke Jakarta. Sebuah invasi besar-besaran dari J.P. Coen berhasil menaklukkan kota Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619. Sejak saat itulah, Jakarta yang berganti nama menjadi kota Batavia.[3][4]

Pedagang Tiongkok di Batavia[sunting | sunting sumber]

Sejak awal pendirian kota Batavia, para pedagang Tiongkok mempunyai peran yang sangat besar untuk kemajuan kota itu sendiri. Pedagang Tiongkok yang sudah lama berada di Nusantara sebelum kedatangan orang-orang Belanda dan VOC, sebelum pindah ke Batavia berada di kesultanan Banten. Ketika Batavia berdiri banyak pedagang Tiongkok pindah dari Banten karena lebih menjanjikan yang sangat ditentang keras oleh Sultan Banten.[5]

Keberadaan Pedagang Tiongkok di Banten dapat dijelaskan sebagai berikut:

"Campur tangan administratif dalam urusan pelayaran dan perdagangan di pelabuhan dan di rumah penimbangan berada dalam genggaman syahbandar, yang kedudukannya ialah sebagai seorang borjuis, di Banten sebagaimana dilakukan oleh orang-orang asing (orang-orang India dan Cina)"[6]

"Di Banten, yang merupakan pelabuhan selatan bagi perdagangan bangsa Cina, para saudagar Cina merupakan bagian kaum bangsawan yang penting. Mereka juga tinggal di rumah-rumah yang megah, memiliki banyak gudang dan kapal serta pekerja"[6]

"...Orang kaya Cina di Banten juga melakukan bisnis peminjaman uang dan riba, meskipun tidak ada data yang menyebutkan hal itu, namun mungkin penarikan pajak dan cukai berada dalam jangkauan kekuasaan mereka, seperti ketika VOC mulai menyerahkan pengurusan pajak kepada orang-orang Cina di Batavia"[6]

J.P. Coen sangat mengetahui peran pedagang Tiongkok untuk menyukseskan perusahaan VOC, dan menjalin hubungan dekat dengan pemimpin mereka yaitu, So Bing Kong yang disebut sebagai Kapitan Bencon. Coen sendiri sangat bersemangat untuk meningkatkan jumlah mereka di Batavia dengan cepat sampai ketika pada tahun 1622, ia mengutus penculikan orang-orang Tiongkok pesisir untuk dikirimkan ke Batavia. Kapitan Bencon sendiri merupakan Kapitan Tiongkok pertama di Batavia, yaitu tugasnya menjadi pemimpin dan pengatur komunitas Tiongkok yang ada disana. Makam beliau merupakan makam tertua yang ada di Jakarta berada di daerah Manggadua.[4]

Orang-orang Tionghoa juga merupakan penghasil pajak terbesar di Batavia. Hal ini sebagai konsekuensi yaitu membebaskan orang-orang Tiongkok untuk terbebas dari dinas militer warga kota, namun juga menjadi tingkat kewaspadaan agar orang-orang Tiongkok tidak memegang senjata. Dalam tahun 1630-an, jumlah pajak perseorangan ini lebih dari separuh pendapatan seluruhnya yang ditarik Kompeni dari pajak dan cukai kota.[7]

Posisi istimewa yang diraih oleh orang-orang Tionghoa yang sebelumnya didapatkan di Banten, kembali didapatkan di Batavia. Hal ini terlihat dari gugatan-gugatan yang dilancarkan 270 orang burgher karena merasakan perdagangan mereka dibatasi oleh pihak Kompeni. Alasan pihak Kompeni untuk terus mendukung perdagangan orang-orang Tionghoa ini disebabkan koneksi perdagangan mereka yang begitu luas di Asia, sehingga VOC sangat mengandalkan mereka untuk bebas berdagang di tempat-tempat jauh, yang tentu Kompeni tidak mampu menjangkau daerah-daerah tersebut karena mahalnya biaya yang dikeluarkan. Sedangkan para burgher berdagang dengan daerah-daerah yang bisa dijangkau oleh Kompeni sehingga berakibat bisa menurunnya keuntungan yang didapatkan[7]. Burgher sendiri adalah warga-warga asing terutama Belanda non pegawai kompeni yang berada di Batavia dan sekitarnya. Susan Blackburn dalam bukunya menyatakan bahwa Batavia adalah kota koloni Cina yang dilindungi oleh VOC Belanda.[8]

Peran mereka juga besar dalam membangun tembok kota Batavia dan membuka perluasan area baru Batavia yang disebut dengan ommenlanden. Banyak ditemukan industri tebu di sekitar tembok kota Batavia yang hampir semuanya dikuasai oleh orang-orang Tionghoa. Ketidakmampuan Kompeni untuk menjaga area diluar temboknya, kemudian menimbulkan masalah besar yaitu kerusuhan orang-orang Tionghoa yang berujung pada peristiwa Geger Pecinan. VOC Belanda akhirnya memutuskan untuk melarang orang-orang Tionghoa berada di dalam tembok dan ditempatkan di daerah yang sekarang bernama Glodok dan Pinangsia.[9][10]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Van Leur, J.C. (2018). Perdagangan & Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Ombak. ISBN 978-602-258-341-7. 
  2. ^ Lohanda, Mona. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Depok: Masup Jakarta. hlm. 21. ISBN 978-979-25-7295-7. 
  3. ^ Boxer, C.R. (1983). Jan Kompeni Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799. Jakarta: Sinar Harapan. 
  4. ^ a b Heuken, Adolf (2016). Tempat-tempat bersejarah di Jakarta. 2016: Cipta Loka Caraka. ISBN 978-602-70395-7-5. 
  5. ^ Vlekke, Bernard H.M. (2016). Nusantara. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). ISBN 978-602-6208-06-4. 
  6. ^ a b c Van Leur, J.C. (2018). Perdagangan & Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Ombak. hlm. 208–210. ISBN 978-602-258-341-7. 
  7. ^ a b Blusse, Leonard (2013). Persekutuan Aneh Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKis. hlm. 152–153. ISBN 979-979-3381-72-8 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan). 
  8. ^ Blackburn, Susan (2012). Jakarta Sejarah 400 Tahun. Depok: Masup Jakarta. hlm. 34. ISBN 978-602-96256-3-9. 
  9. ^ HM, Zaenuddin (2018). Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe. Jakarta: Buku Pintar Indonesia. ISBN 978-602-1097-79-3. 
  10. ^ author, Daradjadi (2017). Geger Pecinan 1740-1743 Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Jakarta: Kompas. ISBN 978-602-412-313-0.