Lompat ke isi

Sejarah awal Gowa dan Tallo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
HaEr48 (bicara | kontrib)
copyedit, silakan diperiksa/dikembalikan kalau tidak cocok.
(2 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 16: Baris 16:
Dinasti-dinasti utama di Sulawesi Selatan mengaitkan asal-usul mereka dengan para ''tumanurung'', sebuah ras makhluk langit berdarah putih yang muncul secara misterius untuk menikahi penguasa-penguasa fana dan memerintah umat manusia,{{sfn|Cummings|2002|pp=149–153}} tak terkecuali Gowa. ''[[Kronik Gowa]]'' dari abad ke-17 secara spesifik menyebutkan bahwa orangtua ''Karaeng Gowa'' adalah seorang [[raja asing]]{{sfn|Cummings|2002|p=25}} yang dipanggil Karaeng Bayo dan wanita ''tumanurung'' yang turun ke wilayah [[Kalegowa, Somba Opu, Gowa|Kale Gowa]] atas permintaan dari pemimpin-pemimpin setempat.{{sfn|Abidin|1983}} Negara Gowa terlahir ketika pemimpin-pemimpin setempat yang dikenal secara kolektif sebagai Bate Salapang (secara harfiah bermakna "Sembilan Panji") bersumpah setia kepada Karaeng Bayo dan sang ''tumanurung'' sebagai ganti pengakuan mereka atas hak-hak adat Bate Salapang.{{sfn|Cummings|2002|p=25}}
Dinasti-dinasti utama di Sulawesi Selatan mengaitkan asal-usul mereka dengan para ''tumanurung'', sebuah ras makhluk langit berdarah putih yang muncul secara misterius untuk menikahi penguasa-penguasa fana dan memerintah umat manusia,{{sfn|Cummings|2002|pp=149–153}} tak terkecuali Gowa. ''[[Kronik Gowa]]'' dari abad ke-17 secara spesifik menyebutkan bahwa orangtua ''Karaeng Gowa'' adalah seorang [[raja asing]]{{sfn|Cummings|2002|p=25}} yang dipanggil Karaeng Bayo dan wanita ''tumanurung'' yang turun ke wilayah [[Kalegowa, Somba Opu, Gowa|Kale Gowa]] atas permintaan dari pemimpin-pemimpin setempat.{{sfn|Abidin|1983}} Negara Gowa terlahir ketika pemimpin-pemimpin setempat yang dikenal secara kolektif sebagai Bate Salapang (secara harfiah bermakna "Sembilan Panji") bersumpah setia kepada Karaeng Bayo dan sang ''tumanurung'' sebagai ganti pengakuan mereka atas hak-hak adat Bate Salapang.{{sfn|Cummings|2002|p=25}}


Legenda ''tumanurung'' umumnya dipandang oleh para arkeolog (antara lain Francis David Bulbeck) sebagai interpretasi mitologis dari sebuah kejadian sejarah, yaitu perkawinan antara seorang penguasa [[Suku Bajau|Bajau]] dengan wanita aristokrat setempat yang keturunannya kelak menjadi wangsa yang memerintah di Gowa.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=32–34}}{{sfn|Bulbeck|2006|p=287}} Pada saat itu, orang Bajau, yang merupakan pengembara maritim, merupakan komunitas utama yang membawa barang dagangan dari [[Laut Sulu]] hingga Sulawesi Selatan.{{sfn|Bulbeck|Clune|2003|p=99}} Perkiraan berdasarkan catatan genealogis dinasti menyiratkan bahwa negara Gowa didirikan pada sekitar tahun 1300.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=34, 473, 475, antara lain}} Hipotesis ini didukung oleh bukti-bukti arkeologis semasa yang mengisyaratkan kemunculan elit penguasa di daerah Kale Gowa, di antaranya temuan sejumlah besar keramik asing impor.{{sfn|Bulbeck|1992|p=231}}{{sfn|Bulbeck|1993}}
Legenda ''tumanurung'' umumnya dipandang oleh para arkeolog (antara lain Francis David Bulbeck) sebagai interpretasi mitologis dari sebuah kejadian sejarah, yaitu perkawinan antara seorang penguasa [[Suku Bajau|Bajau]] dengan wanita bangsawan setempat yang keturunannya kelak menjadi wangsa yang berkuasa di Gowa.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=32–34}}{{sfn|Bulbeck|2006|p=287}} Pada saat itu, suku Bajau, yang merupakan pengembara maritim, merupakan komunitas utama yang membawa barang dagangan dari [[Laut Sulu]] hingga Sulawesi Selatan.{{sfn|Bulbeck|Clune|2003|p=99}} Perkiraan berdasarkan catatan genealogis dinasti menyiratkan bahwa negara Gowa didirikan pada sekitar tahun 1300.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=34, 473, 475, antara lain}} Hipotesis ini didukung oleh bukti-bukti arkeologis semasa yang mengisyaratkan kemunculan elit penguasa di daerah Kale Gowa, di antaranya temuan sejumlah besar keramik asing impor.{{sfn|Bulbeck|1992|p=231}}{{sfn|Bulbeck|1993}}


Pendirian Gowa pada sekitar tahun 1300 merupakan bagian dari perubahan dramatis di Sulawesi Selatan yang mengantarkan pada apa yang disebut "Periode Sejarah Awal" oleh Bulbeck and Ian Caldwell (2000).{{sfn|Bulbeck|Caldwell|2000|p=107}} Di sepanjang semenanjung, perniagaan dengan wilayah lain di [[Asia Tenggara Maritim|Nusantara]] berkembang pesat. Hal ini berakibat pada naiknya permintaan beras dari Sulawesi Selatan, yang mendorong sentralisasi politis serta intensifikasi pertanian padi.{{sfn|Druce|2009|pp=34–36}} Kepadatan penduduk melonjak tajam sejak praktik pertanian [[peladangan|ladang berpindah]] digantikan dengan budidaya padi sawah intensif yang bergantung pada alat bajak yang baru dikenalkan dari Nusantara bagian barat. Pemukiman-pemukiman baru bermunculan dalam jumlah besar di pedalaman semenanjung yang semakin gundul.{{sfn|Pelras|1997|pp=98–103}} Meningkatnya budidaya padi memungkinkan bahan pangan yang sebelumnya jarang dikonsumsi ini menjadi makanan pokok di Sulawesi Selatan,{{sfn|Bulbeck|Caldwell|2008}} menggantikan hasil tani lama semisal [[sagu]] atau [[jali]].{{sfn|Pelras|1997|pp=98–103}} Perubahan-perubahan ini disertai dengan tumbuhnya negara-negara baru yang berbasis pertanian padi sawah di pedalaman, seperti negara [[Suku Bugis|Bugis]] di [[Kesultanan Bone|Bone]] dan [[Kerajaan Wajo|Wajo]].{{sfn|Pelras|1997|pp=98–103}} Gowa periode awal juga merupakan ''chiefdom'' pertanian pedalaman yang berpusat pada budidaya padi.{{sfn|Bulbeck|1993}}
Pendirian Gowa pada sekitar tahun 1300 merupakan bagian dari perubahan dramatis di Sulawesi Selatan yang mengantarkan pada zaman yang disebut "Periode Sejarah Awal" oleh Bulbeck and Ian Caldwell (2000).{{sfn|Bulbeck|Caldwell|2000|p=107}} Di sepanjang semenanjung, perniagaan dengan wilayah lain di [[Asia Tenggara Maritim|Nusantara]] berkembang pesat. Hal ini berakibat pada naiknya permintaan beras dari Sulawesi Selatan, yang mendorong sentralisasi politis serta intensifikasi pertanian padi.{{sfn|Druce|2009|pp=34–36}} Kepadatan penduduk melonjak tajam sejak praktik pertanian [[peladangan|ladang berpindah]] digantikan dengan budidaya padi sawah intensif yang bergantung pada alat bajak yang baru dikenalkan dari Nusantara bagian barat. Pemukiman-pemukiman baru bermunculan dalam jumlah besar di pedalaman semenanjung yang semakin gundul.{{sfn|Pelras|1997|pp=98–103}} Meningkatnya budidaya padi memungkinkan bahan pangan yang sebelumnya jarang dikonsumsi ini menjadi makanan pokok di Sulawesi Selatan,{{sfn|Bulbeck|Caldwell|2008}} menggantikan hasil tani lama semisal [[sagu]] atau [[jali]].{{sfn|Pelras|1997|pp=98–103}} Perubahan-perubahan ini disertai dengan tumbuhnya negara-negara baru yang berbasis pertanian padi sawah di pedalaman, seperti negara [[Suku Bugis|Bugis]] di [[Kesultanan Bone|Bone]] dan [[Kerajaan Wajo|Wajo]].{{sfn|Pelras|1997|pp=98–103}} Gowa periode awal juga merupakan ''chiefdom'' pertanian pedalaman yang berpusat pada budidaya padi.{{sfn|Bulbeck|1993}}


[[Berkas:Pendirian Tallo id.png|560x342px|thumb|Terusirnya Karaeng Loe ri Sero dari Sero dan pendirian Tallo, akhir abad ke-15. [[Sungai Jeneberang]] yang mengaliri selatan [[Makassar]] dirujuk dengan nama lama 'Sungai Garassi.']]
[[Berkas:Pendirian Tallo id.png|560x342px|thumb|Terusirnya Karaeng Loe ri Sero dari Sero dan pendirian Tallo, akhir abad ke-15. [[Sungai Jeneberang]] yang mengaliri selatan [[Makassar]] dirujuk dengan nama lama 'Sungai Garassi.']]
Baris 24: Baris 24:
Sumber-sumber Makassar meriwayatkan bahwa Tallo didirikan sebagai sempalan dari dinasti Gowa pada akhir abad ke-15. Dalam pertikaian perebutan takhta antara dua putra Karaeng Gowa keenam, [[Batara Gowa]] dan adiknya [[Karaeng Loe ri Sero]],{{efn|Catatan resmi ''Kronik Gowa'' dan ''Kronik Tallo'' yang mengklaim bahwa Batara Gowa merupakan saudara tua (dan pewaris sah takhta Gowa) mungkin mencerminkan posisi senior Gowa selama sebagian besar abad ke-16 dan ke-17. Secara berlawanan, sebuah laporan dari abad ke-18 yang didasarkan pada sejarah lisan Tallo mengklaim bahwa Karaeng Loe ri Sero merupakan pewaris sah Karaeng Gowa sebelum pendirian Tallo, dan bahwa Batara Gowa-lah yang memberontak.{{sfn|Cummings|2007b|pp=100–105}}}} sang kakak berhasil merebut wilayah saudaranya.{{sfn|Cummings|2007b|pp=100–105}} Menurut ''Kronik Tallo'', kejadian ini memaksa Karaeng Loe mengungsi ke '[[Jawa]]';{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}} lebih tepatnya, [[pasisir|pantai utara Jawa]],{{sfn|Gibson|2005|p=147}} tetapi mungkin juga yang dimaksud adalah komunitas dagang Melayu di pesisir Sulawesi dan Kalimantan.{{efn|'Jawa' secara etimologi identik dengan nama modern untuk pulau [[Jawa]] dan seringkali diterjemahkan secara harfiah, namun sejatinya kata tersebut merupakan istilah umum Sulawesi Selatan yang merujuk pada wilayah atau penduduk Nusantara bagian tengah dan barat, dan lebih sering digunakan untuk etnis Melayu.{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}}}}{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}} Insiden ini mungkin saja merupakan bagian dari tahapan perubahan yang lebih besar, yaitu meluasnya kekuasaan Karaeng Gowa hingga mengancam negara-negara tetangganya yang berdaulat.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=430–432}} Sepulangnya dari pelarian, Karaeng Loe menemukan bahwa beberapa bangsawan masih mendukungnya. Ia dan para pengikutnya berkonsolidasi di ibukota sementara di sebelah timur Gowa, sebelum kemudian berlayar hingga ke muara Sungai Tallo, membabat hutan di sana, dan mendirikan negara baru bernama Tallo.{{sfn|Cummings|2007b|pp=100–105}} Garis besar cerita pendirian ini didukung dengan temuan arkeologis yang menyiratkan adanya lonjakan drastis kepingan keramik di lingkungan muara Tallo pada sekitar tahun 1500.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=430–432}}
Sumber-sumber Makassar meriwayatkan bahwa Tallo didirikan sebagai sempalan dari dinasti Gowa pada akhir abad ke-15. Dalam pertikaian perebutan takhta antara dua putra Karaeng Gowa keenam, [[Batara Gowa]] dan adiknya [[Karaeng Loe ri Sero]],{{efn|Catatan resmi ''Kronik Gowa'' dan ''Kronik Tallo'' yang mengklaim bahwa Batara Gowa merupakan saudara tua (dan pewaris sah takhta Gowa) mungkin mencerminkan posisi senior Gowa selama sebagian besar abad ke-16 dan ke-17. Secara berlawanan, sebuah laporan dari abad ke-18 yang didasarkan pada sejarah lisan Tallo mengklaim bahwa Karaeng Loe ri Sero merupakan pewaris sah Karaeng Gowa sebelum pendirian Tallo, dan bahwa Batara Gowa-lah yang memberontak.{{sfn|Cummings|2007b|pp=100–105}}}} sang kakak berhasil merebut wilayah saudaranya.{{sfn|Cummings|2007b|pp=100–105}} Menurut ''Kronik Tallo'', kejadian ini memaksa Karaeng Loe mengungsi ke '[[Jawa]]';{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}} lebih tepatnya, [[pasisir|pantai utara Jawa]],{{sfn|Gibson|2005|p=147}} tetapi mungkin juga yang dimaksud adalah komunitas dagang Melayu di pesisir Sulawesi dan Kalimantan.{{efn|'Jawa' secara etimologi identik dengan nama modern untuk pulau [[Jawa]] dan seringkali diterjemahkan secara harfiah, namun sejatinya kata tersebut merupakan istilah umum Sulawesi Selatan yang merujuk pada wilayah atau penduduk Nusantara bagian tengah dan barat, dan lebih sering digunakan untuk etnis Melayu.{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}}}}{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}} Insiden ini mungkin saja merupakan bagian dari tahapan perubahan yang lebih besar, yaitu meluasnya kekuasaan Karaeng Gowa hingga mengancam negara-negara tetangganya yang berdaulat.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=430–432}} Sepulangnya dari pelarian, Karaeng Loe menemukan bahwa beberapa bangsawan masih mendukungnya. Ia dan para pengikutnya berkonsolidasi di ibukota sementara di sebelah timur Gowa, sebelum kemudian berlayar hingga ke muara Sungai Tallo, membabat hutan di sana, dan mendirikan negara baru bernama Tallo.{{sfn|Cummings|2007b|pp=100–105}} Garis besar cerita pendirian ini didukung dengan temuan arkeologis yang menyiratkan adanya lonjakan drastis kepingan keramik di lingkungan muara Tallo pada sekitar tahun 1500.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=430–432}}


Sejak semula, Tallo merupakan negara maritim, mengambil keuntungan dari menggeliatnya perdagangan regional{{sfn|Reid|1983}} yang diikuti oleh pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir.{{sfn|Bulbeck|1993}} Catatan-catatan Portugis mengisyaratkan adanya komunitas niaga Melayu di bagian barat Sulawesi Selatan sejak sekitar tahun 1490,{{sfn|Druce|2009|pp=237–241}} sementara sebuah sumber Melayu menyatakan bahwa seorang ''[[sayyid]]'' (keturunan nabi [[Muhammad]]) pernah menyambangi Sulawesi Selatan pada tahun 1452.{{efn|Namun, sejarawan Christian Pelras merasa bahwa riwayat ini "mungkin tidak sepenuhnya bisa dipercayai" sebab si ''sayyid'' ini diklaim mengunjungi Wajo di bagian timur Sulawesi Selatan, padahal pengaruh Wajo masih teramat kecil pada abad ke-15.{{sfn|Pelras|1997|pp=135–136}}}} Anak dan penerus Karaeng Loe, [[Tunilabu ri Suriwa]], tercatat pernah "pergi ke [[Melaka]], lalu ke timur menuju [[Kepulauan Banda|Banda]]. Selama tiga tahun ia berkelana, lalu kembali." {{efn|Kutipan asli (dialihaksarakan): "''... leba taqle ri Malaka tulusuq anraiq ri Banda tallu taungi lampana nanapabattu...''"{{sfn|Cummings|2007a|p=97}}}}{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}} Wanita-wanita yang diperistri Tunilabu, termasuk di antaranya seorang wanita Jawa dari [[Surabaya]], memiliki afiliasi dengan komunitas-komunitas perniagaan. Karaeng Tallo ketiga, Tunipasuru, tercatat pernah juga berlayar ke Melaka dan meminjamkan uang di [[Johor]].{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}}{{sfn|Reid|1983}} Budaya komersial Tallo turut berkontribusi terhadap kebangkitan [[Makassar]] di kemudian hari sebagai pusat perdagangan yang berjaya.
Sejak semula, Tallo merupakan negara maritim, mengambil keuntungan dari menggeliatnya perdagangan regional{{sfn|Reid|1983}} yang diikuti oleh pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir.{{sfn|Bulbeck|1993}} Catatan-catatan Portugis mengisyaratkan adanya komunitas niaga Melayu di bagian barat Sulawesi Selatan sejak sekitar tahun 1490,{{sfn|Druce|2009|pp=237–241}} sementara sebuah sumber Melayu menyatakan bahwa seorang ''[[sayyid]]'' (keturunan Nabi [[Muhammad]]) pernah menyambangi Sulawesi Selatan pada tahun 1452.{{efn|Namun, sejarawan Christian Pelras merasa bahwa riwayat ini "mungkin tidak sepenuhnya bisa dipercayai" sebab sang ''sayyid'' ini diklaim mengunjungi Wajo di bagian timur Sulawesi Selatan, padahal pengaruh Wajo masih teramat kecil pada abad ke-15.{{sfn|Pelras|1997|pp=135–136}}}} Anak dan penerus Karaeng Loe, [[Tunilabu ri Suriwa]], tercatat pernah "pergi ke [[Melaka]], lalu ke timur menuju [[Kepulauan Banda|Banda]]. Selama tiga tahun ia berkelana, lalu kembali." {{efn|Kutipan asli (dialihaksarakan): "''... leba taqle ri Malaka tulusuq anraiq ri Banda tallu taungi lampana nanapabattu...''"{{sfn|Cummings|2007a|p=97}}}}{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}} Wanita-wanita yang diperistri Tunilabu, termasuk di antaranya seorang wanita Jawa dari [[Surabaya]], juga berasal dari berbagai komunitas pedagang. Karaeng Tallo ketiga, Tunipasuru, tercatat pernah juga berlayar ke [[Melaka]] dan meminjamkan uang di [[Johor]].{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}}{{sfn|Reid|1983}} Budaya komersial Tallo turut berkontribusi terhadap kebangkitan [[Makassar]] di kemudian hari sebagai pusat perdagangan yang berjaya.


== Gowa dan Tallo dari 1511 hingga 1565 ==
== Gowa dan Tallo dari 1511 hingga 1565 ==


=== Masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna (sekitar 1511–1546) ===
=== Masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna (sekitar 1511–1546) ===
Kajian historiografi lama umumnya berpendapat bahwa [[Kerajaan Siang]] mendominasi bagian barat Sulawesi Selatan sebelum naiknya Gowa sebagai kekuatan besar.{{sfn|Reid|1983}}{{sfn|Andaya|1981|pp=19–20}}{{sfn|Villiers|1990|pp=146–147}} Tafsiran ini didasarkan pada laporan tahun 1544 dari saudagar Portugis Antonio de Paiva, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa Gowa pernah menjadi negara bawahan Siang: "Aku berlabuh di bandar tersebut, sebuah kota besar bernama Gowa, yang sebelumnya diperintah oleh seorang vasal dari Raja Siang, tetapi telah diambil kembali darinya."{{efn|Kutipan asli (terjemahan dari bahasa Portugis): "''I arrived in the aforesaid port, a large city called Gowa, which formerly had belonged to a vassal of the king of Siang but had been taken from him.''"}}{{sfn|Baker|2005|p=72}} Namun, pusat Gowa yang sebenarnya adalah ladang pertanian di pedalaman, bukan kota pelabuhan. Bulbeck menafsirkan bahwa yang dimaksud Paiva dengan "Gowa" adalah bandar pesisir Garassi yang kala itu diperebutkan oleh Siang dan Gowa.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=123–125}} Penelitian arkeologis belakangan ini menemukan sedikit bukti perihal kedigdayaan Siang.{{sfn|Druce|2009|pp=237–241}} Pendapat yang lebih mutakhir menyatakan bahwa bagian barat Sulawesi Selatan tidak pernah disatukan sebelum kebangkitan Gowa.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=123–125}}
Kajian historiografi lama umumnya berpendapat bahwa [[Kerajaan Siang]] mendominasi bagian barat Sulawesi Selatan sebelum naiknya Gowa sebagai kekuatan besar.{{sfn|Reid|1983}}{{sfn|Andaya|1981|pp=19–20}}{{sfn|Villiers|1990|pp=146–147}} Tafsiran ini didasarkan pada laporan tahun 1544 dari saudagar Portugis Antonio de Paiva, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa Gowa pernah menjadi negara bawahan Siang: "Aku berlabuh di bandar tersebut, sebuah kota besar bernama Gowa, yang sebelumnya diperintah oleh seorang [[vasal]] dari Raja Siang, tetapi telah direbut darinya."{{efn|Kutipan asli (terjemahan dari bahasa Portugis): "''I arrived in the aforesaid port, a large city called Gowa, which formerly had belonged to a vassal of the king of Siang but had been taken from him.''"}}{{sfn|Baker|2005|p=72}} Namun, pusat Gowa yang sebenarnya adalah ladang pertanian di pedalaman, bukan kota pelabuhan. Bulbeck menafsirkan bahwa yang dimaksud Paiva dengan "Gowa" adalah bandar pesisir Garassi yang kala itu diperebutkan oleh Siang dan Gowa.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=123–125}} Penelitian arkeologis belakangan ini tidak menemukan banyak bukti perihal kedigdayaan Siang.{{sfn|Druce|2009|pp=237–241}} Pendapat yang lebih mutakhir menyatakan bahwa bagian barat Sulawesi Selatan tidak pernah disatukan sebelum kebangkitan Gowa.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=123–125}}


Keadaan ''status quo'' ini dipecahkan oleh [[Kesultanan Gowa#Tumapa'risi' Kallonna|Tumaparisi Kallonna]] (memerintah sekitar 1511–1546{{efn|William Cummings secara konsisten menyebut bahwa Tumaparisi Kalonna memerintah sejak tahun 1510 atau 1511 hingga 1546 (Cummings 2002, 2007, 2014), begitu pula Thomas Gibson.{{sfn|Gibson|2007|p=44}} David Bulbeck memberi rentang waktu pemerintahan antara 1511–1547.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=117–118}} Sementara Anthony Reid berpendapat bahwa pemerintahannya berlangsung antara tahun 1512 dan 1548{{sfn|Reid|1983}}}}), putra Batara Gowa. Ia merupakan Karaeng pertama yang dideskripsikan secara rinci oleh ''Kronik Gowa''.{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}} Sejak masa pemerintahan Batara Gowa, Gowa telah berambisi untuk menaklukkan negara-bandar Garassi yang makmur, terletak di tempat yang sekarang menjadi pusat kota Makassar,{{sfn|Gibson|2005|p=147}} tetapi cita-cita ini baru terwujud pada zaman Tumaparisi Kalonna. Penaklukan Garassi oleh Gowa, yang diperkirakan terjadi seawal-awalnya tahun 1511,{{efn|Penafsiran ini didasarkan pada pernyataan ''Kronik Gowa'' bahwa "[Tumaparisi Kalonna] juga merupakan [raja] yang pertama menerima kunjungan Portugis. Pada tahun yang sama ia menaklukkan Garassi, Melaka juga ditaklukkan oleh Portugis."{{efn|Kutipan asli (dialihaksarakan): "''... iatonji uru nasorei Paranggi julu taungi nibetana Garassiq nibetanatodong Malaka ri Paranggia...''"{{sfn|Cummings|2007a|pp=67–68}}}} Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Namun karena naskah-naskah Makassar memiliki pemenggalan kalimat yang ambigu, kutipan ini juga bisa ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa Gowa menaklukkan Garassi pada tahun yang sama dengan kedatangan Portugis ke Gowa, sementara tidak ada catatan mengenai kehadiran Portugis di Gowa sebelum 1530-an.{{sfn|Cummings|2007a|p=33}}{{sfn|Bulbeck|1992|pp=121–127}}}} memberikan akses perdagangan maritim yang lebih besar kepada negara yang tadinya terkurung daratan ini.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=121–127}} Selain Garassi, ''Kronik Gowa'' menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna menaklukkan, menjadikan vasal, dan melakukan pengambilan pampasan dari tiga belas negeri [[Suku Makassar|Makassar]] lainnya.{{sfn|Cummings|2007a|pp=32–33}} Sebagian besar kampanye penaklukan yang dilakukannya terbatas pada bagian barat daya semenanjung yang didominasi etnis Makassar.{{efn|''Kronik Gowa'' menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna "menaklukkan" [[Sidenreng]], sebuah kerajaan Bugis. Namun, ini sepertinya merujuk pada Sidenre, sebuah negeri kecil bersuku Makassar.{{sfn|Druce|2009|pp=241–242}}}}{{sfn|Druce|2009|pp=241–242}} Meski Gowa beberapa kali mengalami hambatan dalam penaklukan antara tahun 1520 dan 1540, dengan lepasnya wilayah hulu Sungai Tallo{{sfn|Bulbeck|1992|pp=348–349}} dan Garassi, kemunduran ini hanya bersifat sementara. Sejak 1530-an Garassi telah ditaklukkan kembali dan, di kemudian hari, dijadikan tempat bertakhta raja Gowa.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=121–127}} Benteng kerajaan [[Benteng Somba Opu|Somba Opu]] kemungkinan dibangun pada masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna.{{sfn|Cummings|2007a|p=57}}
Keadaan ''status quo'' ini dipecahkan oleh [[Kesultanan Gowa#Tumapa'risi' Kallonna|Tumaparisi Kallonna]] (memerintah sekitar 1511–1546{{efn|William Cummings secara konsisten menyebut bahwa Tumaparisi Kalonna memerintah sejak tahun 1510 atau 1511 hingga 1546 (Cummings 2002, 2007, 2014), begitu pula Thomas Gibson.{{sfn|Gibson|2007|p=44}} David Bulbeck memberi rentang waktu pemerintahan antara 1511–1547.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=117–118}} Sementara Anthony Reid berpendapat bahwa pemerintahannya berlangsung antara tahun 1512 dan 1548{{sfn|Reid|1983}}}}), putra Batara Gowa. Ia merupakan Karaeng pertama yang dideskripsikan secara rinci oleh ''Kronik Gowa''.{{sfn|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}} Sejak masa pemerintahan Batara Gowa, Gowa telah berambisi untuk menaklukkan negara-bandar Garassi yang makmur, terletak di tempat yang sekarang menjadi pusat kota Makassar,{{sfn|Gibson|2005|p=147}} tetapi cita-cita ini baru terwujud pada zaman Tumaparisi Kalonna. Penaklukan Garassi oleh Gowa, yang diperkirakan terjadi seawal-awalnya tahun 1511,{{efn|Penafsiran ini didasarkan pada pernyataan ''Kronik Gowa'' bahwa "[Tumaparisi Kalonna] juga merupakan [raja] yang pertama menerima kunjungan Portugis. Pada tahun yang sama ia menaklukkan Garassi, Melaka juga ditaklukkan oleh Portugis."{{efn|Kutipan asli (dialihaksarakan): "''... iatonji uru nasorei Paranggi julu taungi nibetana Garassiq nibetanatodong Malaka ri Paranggia...''"{{sfn|Cummings|2007a|pp=67–68}}}} Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Namun karena naskah-naskah Makassar memiliki pemenggalan kalimat yang ambigu, kutipan ini juga bisa ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa Gowa menaklukkan Garassi pada tahun yang sama dengan kedatangan Portugis ke Gowa, sementara tidak ada catatan mengenai kehadiran Portugis di Gowa sebelum 1530-an.{{sfn|Cummings|2007a|p=33}}{{sfn|Bulbeck|1992|pp=121–127}}}} memberikan akses perdagangan maritim yang lebih besar kepada negara yang tadinya terkurung daratan ini.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=121–127}} Selain Garassi, ''Kronik Gowa'' menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna menaklukkan, menjadikan vasal, dan melakukan pengambilan pampasan dari tiga belas negeri [[Suku Makassar|Makassar]] lainnya.{{sfn|Cummings|2007a|pp=32–33}} Sebagian besar kampanye penaklukan yang dilakukannya terbatas pada bagian barat daya semenanjung yang didominasi etnis Makassar.{{efn|''Kronik Gowa'' menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna "menaklukkan" [[Sidenreng]], sebuah kerajaan Bugis. Namun, ini sepertinya merujuk pada Sidenre, sebuah negeri kecil bersuku Makassar.{{sfn|Druce|2009|pp=241–242}}}}{{sfn|Druce|2009|pp=241–242}} Meski Gowa beberapa kali mengalami hambatan dalam penaklukan antara tahun 1520 dan 1540, dengan lepasnya wilayah hulu Sungai Tallo{{sfn|Bulbeck|1992|pp=348–349}} dan Garassi, kemunduran ini hanya bersifat sementara. Sejak 1530-an Garassi telah ditaklukkan kembali dan, di kemudian hari, dijadikan tempat bertakhta raja Gowa.{{sfn|Bulbeck|1992|pp=121–127}} Benteng kerajaan [[Benteng Somba Opu|Somba Opu]] kemungkinan dibangun pada masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna.{{sfn|Cummings|2007a|p=57}}
Baris 46: Baris 46:
Penguasa-penguasa daerah taklukan diwajibkan mengunjungi istana Tunipalangga di Gowa setiap tahunnya untuk mengantarkan upeti sekaligus melakukan ritual untuk menunjukkan ketundukan dan kesetiaan mereka.{{sfn|Cummings|2014}} Dinasti-dinasti negeri taklukan juga diikat dengan pernikahan untuk melegitimasi kekuasaan Gowa.{{sfn|Bulbeck|2006}} Pada tahun 1565, satu-satunya negeri yang masih bebas dari pengaruh Gowa di Sulawesi Selatan hanya kerajaan Bugis paling digdaya, yaitu Bone.{{sfn|Bulbeck|1992|p=120-121, lihat juga Gambar 4-4}} Tunipalangga tidak hanya memaksa tunduk negeri-negeri tetangga, tapi juga memperbudak dan merelokasi seluruh penduduknya untuk dipekerjakan dalam pembangunan jaringan pengairan dan perbentengan.{{sfn|Druce|2009|pp=242–243}}{{sfn|Gibson|2005|pp=152–156}}
Penguasa-penguasa daerah taklukan diwajibkan mengunjungi istana Tunipalangga di Gowa setiap tahunnya untuk mengantarkan upeti sekaligus melakukan ritual untuk menunjukkan ketundukan dan kesetiaan mereka.{{sfn|Cummings|2014}} Dinasti-dinasti negeri taklukan juga diikat dengan pernikahan untuk melegitimasi kekuasaan Gowa.{{sfn|Bulbeck|2006}} Pada tahun 1565, satu-satunya negeri yang masih bebas dari pengaruh Gowa di Sulawesi Selatan hanya kerajaan Bugis paling digdaya, yaitu Bone.{{sfn|Bulbeck|1992|p=120-121, lihat juga Gambar 4-4}} Tunipalangga tidak hanya memaksa tunduk negeri-negeri tetangga, tapi juga memperbudak dan merelokasi seluruh penduduknya untuk dipekerjakan dalam pembangunan jaringan pengairan dan perbentengan.{{sfn|Druce|2009|pp=242–243}}{{sfn|Gibson|2005|pp=152–156}}


Proses penaklukan mungkin juga mencakup relokasi komunitas niaga Melayu yang aktif di seluruh Sulawesi Selatan ke bandar Garassi/Makassar di bawah kuasa Gowa,{{sfn|Andaya|1981|p=26}} meskipun pendapat ini disanggah oleh Stephen C. Druce.{{sfn|Druce|2009|p=242}} Apapun penyebabnya, yang pasti perniagaan Melayu di Makassar berkembang pesat pada pertengahan abad ke-16. Pada tahun 1561, dalam rangka memelihara kegiatan perdagangan mereka di Makassar, Tunipalangga menandatangani sebuah pakta bersama Datuk Maharaja Bonang,{{efn|Juga disebut sebagai 'Anakoda Bonang' ('Nakhoda/Kapten Bonang') dalam kronik-kronik Makassar dan kebanyakan sumber sekunder modern.{{sfn|Sulistyo|2014|p=54}}}} yang memimpin pedagang-pedagang Melayu, [[Suku Cham|Cham]], dan [[Suku Minangkabau|Minangkabau]].{{sfn|Sutherland|2004|p=79}} Bonang dan orang-orangnya diberikan hak untuk menetap di Makassar dan terbebas dari [[hukum adat]].{{sfn|Cummings|2007a|p=34}}{{sfn|Andaya|1981|p=27}} Kejadian ini mengukuhkan kehadiran bangsa Melayu di Makassar sebagai komunitas permanen, bukan lagi temporal atau musiman.{{sfn|Cummings|2014|pp=219–221}} Penaklukan Tunipalangga atas bandar-bandar pesaing dan pusat pembuatan kapal semenanjung seperti [[Bantaeng]],{{sfn|Bougas|1998|p=92}} beserta reformasi ekonomi seperti pembakuan satuan berat dan pengukuran (yang kemungkinan diusulkan oleh komunitas Melayu), menjadikan Gowa-Tallo bandar persinggahan unggulan bagi rempah-rempah dan hasil hutan di Nusantara bagian timur.{{sfn|Andaya|2011|pp=114–115}}
Proses penaklukan mungkin juga mencakup relokasi komunitas niaga Melayu yang aktif di seluruh Sulawesi Selatan ke bandar Garassi/Makassar di bawah kuasa Gowa,{{sfn|Andaya|1981|p=26}} meskipun pendapat ini disanggah oleh Stephen C. Druce.{{sfn|Druce|2009|p=242}} Apapun penyebabnya, yang pasti perniagaan Melayu di Makassar berkembang pesat pada pertengahan abad ke-16. Pada tahun 1561, dalam rangka memelihara kegiatan perdagangan mereka di Makassar, Tunipalangga menandatangani sebuah pakta bersama [[Datuk Maharaja Bonang]],{{efn|Juga disebut sebagai 'Anakoda Bonang' ('Nakhoda/Kapten Bonang') dalam kronik-kronik Makassar dan kebanyakan sumber sekunder modern.{{sfn|Sulistyo|2014|p=54}}}} yang memimpin pedagang-pedagang Melayu, [[Suku Cham|Cham]], dan [[Suku Minangkabau|Minangkabau]].{{sfn|Sutherland|2004|p=79}} Bonang dan orang-orangnya diberikan hak untuk menetap di Makassar dan terbebas dari [[hukum adat]].{{sfn|Cummings|2007a|p=34}}{{sfn|Andaya|1981|p=27}} Kejadian ini mengukuhkan kehadiran bangsa Melayu di Makassar sebagai komunitas permanen, bukan lagi temporal atau musiman.{{sfn|Cummings|2014|pp=219–221}} Penaklukan Tunipalangga atas bandar-bandar pesaing dan pusat pembuatan kapal semenanjung seperti [[Bantaeng]],{{sfn|Bougas|1998|p=92}} beserta reformasi ekonomi seperti pembakuan satuan berat dan pengukuran (yang kemungkinan diusulkan oleh komunitas Melayu), menjadikan Gowa-Tallo bandar persinggahan unggulan bagi rempah-rempah dan hasil hutan di Nusantara bagian timur.{{sfn|Andaya|2011|pp=114–115}}


[[Berkas:Benteng.JPG|320x180px|thumb|Somba Opu, tempat tinggal Tunipalangga yang dibentengi dengan dinding bata]]
[[Berkas:Benteng.JPG|320x180px|thumb|Somba Opu, tempat tinggal Tunipalangga yang dibentengi dengan dinding bata]]
Bibit birokrasi Gowa dikembangkan secara besar-besaran oleh Tunipalangga. Ia menghapuskan tugas-tugas nonkomersial ''sabannaraq''{{sfn|Cummings|2002|p=112}} dan memberikannya kepada jabatan baru yang disebut ''tumailalang'',{{efn|Semasa pemerintahan Tunipalangga, tampaknya ''tumailalang'' hanya ada seorang. Di kemudian hari pada abad yang sama, jabatan ini secara efektif telah dipecah tiga, dengan ditambahkannya dua asisten 'junior' untuk membantu sang ''tumailalang'' 'senior' .{{sfn|Cummings|2002|p=112}}}} semacam menteri dalam negeri{{sfn|Gibson|2007|p=45}} yang menjadi perantara Karaeng dan para bangsawan ''Bate Salapang''.{{sfn|Bulbeck|1992|p=107}} Mantan ''sabannaraq'' Daeng Pamatte dipromosikan untuk menjadi ''tumailalang'' pertama.{{sfn|Cummings|2007a|p=34}} Inovasi birokrasi lainnya adalah pengadaan jabatan{{efn|Bulbeck (1991, 2006) dan Gibson (2005), antara lain, berpendapat bahwa kepala pengrajin merupakan jabatan tunggal pada masa Tunipalangga; sementara Reid (2000) berpendapat bahwa setiap bagi masing-masing serikat punya seorang kepala.{{sfn|Gibson|2005|p=45}}{{sfn|Bulbeck|1992|pp=108–109}}{{sfn|Reid|2000|p=449}} Cummings, dalam terjemahan ''Kronik Gowa'' versinya, tidak memandang ''Tumakkajananngang'' sebagai posisi jabatan tersendiri, melainkan istilah umum untuk "sebuah nama atau gelar bagi mereka yang berperan mengawasi kelompok-kelompok dengan tugas spesifik"{{efn|Kutipan asli: "''... a term or title describing those charged with supervising others who had specific tasks.''"}}{{sfn|Cummings|2007a|pp=34, 207}}}} kepala pengrajin atau ''Tumakkajananngang'', yang mengawasi operasi [[Gilda (perhimpunan)|serikat-serikat pengrajin]] di Makassar dan memastikan bahwa setiap dari mereka akan memenuhi permintaan negara.{{sfn|Gibson|2005|p=45}}{{sfn|Bulbeck|2006|p=292}} Selain memperbaharui birokrasi, Tunipalangga melanjutkan kebijakan sentralisasi dengan memberlakukan [[corvée|kerja rodi]] untuk kepentingan umum pada rakyat taklukannya.{{sfn|Cummings|2007a|p=34}} Meski begitu, pekerja rodi lebih banyak direkrut oleh bangsawan tuan tanah alih-alih oleh birokrasi yang masih terbatas.{{sfn|Reid|2000|pp=446–448}}
Bibit birokrasi Gowa dikembangkan secara besar-besaran oleh Tunipalangga. Ia menghapuskan tugas-tugas nonkomersial ''sabannaraq''{{sfn|Cummings|2002|p=112}} dan memberikannya kepada jabatan baru yang disebut ''tumailalang'',{{efn|Semasa pemerintahan Tunipalangga, tampaknya ''tumailalang'' hanya ada seorang. Di kemudian hari pada abad yang sama, jabatan ini secara efektif telah dipecah tiga, dengan ditambahkannya dua asisten 'junior' untuk membantu sang ''tumailalang'' 'senior' .{{sfn|Cummings|2002|p=112}}}} semacam menteri dalam negeri{{sfn|Gibson|2007|p=45}} yang menjadi perantara Karaeng dan para bangsawan ''Bate Salapang''.{{sfn|Bulbeck|1992|p=107}} Mantan ''sabannaraq'' Daeng Pamatte dipromosikan untuk menjadi ''tumailalang'' pertama.{{sfn|Cummings|2007a|p=34}} Inovasi birokrasi lainnya adalah pengadaan jabatan{{efn|Bulbeck (1991, 2006) dan Gibson (2005), antara lain, berpendapat bahwa kepala pengrajin merupakan jabatan tunggal pada masa Tunipalangga; sementara Reid (2000) berpendapat bahwa setiap bagi masing-masing serikat punya seorang kepala.{{sfn|Gibson|2005|p=45}}{{sfn|Bulbeck|1992|pp=108–109}}{{sfn|Reid|2000|p=449}} Cummings, dalam terjemahan ''Kronik Gowa'' versinya, tidak memandang ''Tumakkajananngang'' sebagai posisi jabatan tersendiri, melainkan istilah umum untuk "sebuah nama atau gelar bagi mereka yang berperan mengawasi kelompok-kelompok dengan tugas spesifik"{{efn|Kutipan asli: "''... a term or title describing those charged with supervising others who had specific tasks.''"}}{{sfn|Cummings|2007a|pp=34, 207}}}} kepala pengrajin atau ''Tumakkajananngang'', yang mengawasi operasi [[Gilda (perhimpunan)|serikat-serikat pengrajin]] di Makassar dan memastikan bahwa setiap serikat akan memenuhi permintaan negara.{{sfn|Gibson|2005|p=45}}{{sfn|Bulbeck|2006|p=292}} Selain memperbaharui birokrasi, Tunipalangga melanjutkan kebijakan sentralisasi dengan memberlakukan [[corvée|kerja rodi]] untuk kepentingan umum pada rakyat taklukannya.{{sfn|Cummings|2007a|p=34}} Meski begitu, pekerja rodi lebih banyak direkrut oleh bangsawan tuan tanah alih-alih oleh birokrasi yang masih terbatas.{{sfn|Reid|2000|pp=446–448}}


== Gowa dan Tallo dari 1565 hingga 1593 ==
== Gowa dan Tallo dari 1565 hingga 1593 ==
Baris 69: Baris 69:
Bone merasa terancam oleh pengaruh Gowa yang kian berkembang. Sementara, perlakuan semena-mena Gowa terhadap negeri-negeri Bugis yang menjadi vasalnya, Soppeng and Wajo, membuat mereka merasa kehilangan kedaulatan.{{sfn|Pelras|1997|p=133}} Maka, pada tahun 1582, Bone, Wajo, dan Soppeng menandatangani Perjanjian Timurung yang menetapkan hubungan ketiga negara sebagai persekutuan antarsaudara, dengan Bone sebagai saudara tuanya.{{sfn|Andaya|1981|p=30}} Aliansi pimpinan Bone ini disebut [[Persekutuan Tellumpoccoe|''tellumpocco'']] (secara harfiah bermakna "Tiga Puncak" atau "Tiga Kekuatan"), yang bertujuan mengukuhkan kembali kedaulatan kerajaan-kerajaan Bugis ini dan menghentikan ekspansionisme Gowa.{{sfn|Andaya|1981|p=30}}{{sfn|Pelras|1997|p=133}}{{sfn|Druce|2009|p=246}} Merasa diprovokasi, Gowa mengirimkan serentetan serangan ke timur (beberapa di antaranya dibantu oleh Luwu, sebuah negeri Bugis lainnya{{sfn|Pelras|1997|p=133}}), dimulai dengan penyerbuan Wajo pada 1583 yang berhasil dihalau oleh pasukan gabungan ''tellumpocco''.{{sfn|Andaya|1981|p=30}} Kampanye militer terhadap Bone pada tahun 1585 dan 1588 juga sama gagalnya.{{sfn|Andaya|1981|p=30}} Pada saat yang sama, dalam perlawanan mereka terhadap Gowa, ''tellumpocco'' berusaha merintis koalisi seluruh Bugis dengan mempertalikan dinasti mereka pada negeri-negeri Bugis di Ajatappareng melalui pernikahan.{{sfn|Druce|2009|p=246}} Tunijallo memutuskan untuk menyerang Wajo sekali lagi pada 1590, tetapi ia mati [[amuk|diamuk]] seorang bawahannya ketika memimpin armada Gowa di lepas pantai barat Sulawesi Selatan.{{sfn|Cummings|2007a|p=38}}{{sfn|Pelras|1997|p=133}} Pada tahun 1591, Perjanjian Caleppa diperbarui untuk mengembalikan kedamaian di semenanjung.{{sfn|Andaya|1981|p=30}} Kejadian ini juga menandai kesuksesan persekutuan ''tellumpocco'' dalam menjinakkan ambisi Gowa.
Bone merasa terancam oleh pengaruh Gowa yang kian berkembang. Sementara, perlakuan semena-mena Gowa terhadap negeri-negeri Bugis yang menjadi vasalnya, Soppeng and Wajo, membuat mereka merasa kehilangan kedaulatan.{{sfn|Pelras|1997|p=133}} Maka, pada tahun 1582, Bone, Wajo, dan Soppeng menandatangani Perjanjian Timurung yang menetapkan hubungan ketiga negara sebagai persekutuan antarsaudara, dengan Bone sebagai saudara tuanya.{{sfn|Andaya|1981|p=30}} Aliansi pimpinan Bone ini disebut [[Persekutuan Tellumpoccoe|''tellumpocco'']] (secara harfiah bermakna "Tiga Puncak" atau "Tiga Kekuatan"), yang bertujuan mengukuhkan kembali kedaulatan kerajaan-kerajaan Bugis ini dan menghentikan ekspansionisme Gowa.{{sfn|Andaya|1981|p=30}}{{sfn|Pelras|1997|p=133}}{{sfn|Druce|2009|p=246}} Merasa diprovokasi, Gowa mengirimkan serentetan serangan ke timur (beberapa di antaranya dibantu oleh Luwu, sebuah negeri Bugis lainnya{{sfn|Pelras|1997|p=133}}), dimulai dengan penyerbuan Wajo pada 1583 yang berhasil dihalau oleh pasukan gabungan ''tellumpocco''.{{sfn|Andaya|1981|p=30}} Kampanye militer terhadap Bone pada tahun 1585 dan 1588 juga sama gagalnya.{{sfn|Andaya|1981|p=30}} Pada saat yang sama, dalam perlawanan mereka terhadap Gowa, ''tellumpocco'' berusaha merintis koalisi seluruh Bugis dengan mempertalikan dinasti mereka pada negeri-negeri Bugis di Ajatappareng melalui pernikahan.{{sfn|Druce|2009|p=246}} Tunijallo memutuskan untuk menyerang Wajo sekali lagi pada 1590, tetapi ia mati [[amuk|diamuk]] seorang bawahannya ketika memimpin armada Gowa di lepas pantai barat Sulawesi Selatan.{{sfn|Cummings|2007a|p=38}}{{sfn|Pelras|1997|p=133}} Pada tahun 1591, Perjanjian Caleppa diperbarui untuk mengembalikan kedamaian di semenanjung.{{sfn|Andaya|1981|p=30}} Kejadian ini juga menandai kesuksesan persekutuan ''tellumpocco'' dalam menjinakkan ambisi Gowa.


Pada kurun waktu yang sama, perubahan-perubahan besar terjadi dalam panggung perpolitikan tanah Makassar. Tumamenang ri Makkoayang mangkat pada 1577{{sfn|Bulbeck|1992|p=30}} dan digantikan oleh putrinya Karaeng Baine, yang juga merupakan istri Tunijallo.{{sfn|Cummings|2007a|p=87}} ''Kronik Tallo'' menyebutkan bahwa Tunijallo dan Karaeng Baine memimpin Gowa dan Tallo secara bersama-sama,{{sfn|Cummings|2007a|p=87}} walaupun tampaknya Karaeng Baine lebih banyak menuruti kemauan suaminya{{sfn|Cummings|2014|p=217}} dan tidak punya pencapaian bermakna yang tercatat selain inovasi dalam pembuatan hasta karya.{{sfn|Bulbeck|1992|p=103}} Setelah Tunijallo dibunuh pada tahun 1590, [[Karaeng Matoaya]], putra Tumamenang ri Makkoayang yang berusia 18 tahun, dilantik sebagai ''tumabicara butta'' yang baru. Karaeng Matoaya lalu menunjuk [[Tunipasulu]], putra Tunijallo yang masih berusia 15 tahun, sebagai Karaeng Gowa.{{sfn|Bulbeck|1992|p=103}} Namun, Tunipasulu juga mengklaim takhta Tallo, walaupun dirinya sudah menjadi penguasa Gowa.{{efn|Klaim Tunipasulu didasarkan pada statusnya sebagai putra dari penguasa Gowa, Tunijallo, dan penguasa Tallo, Karaeng Baine. Meskipun pemerintahannya di Gowa diakui, usahanya untuk mengklaim takhta Tallo dianggap tidak sah dan tidak banyak disebut-sebut di dalam ''Kronik Tallo''.{{sfn|Cummings|2007a|p=94}}}}{{sfn|Cummings|2005}} Ia juga sempat mengambil alih secara paksa takhta negara vasal Maros setelah kematian penguasanya.{{sfn|Cummings|2000}} Kejadian ini memperluas wilayah kekuasaan langsung raja Gowa hingga mencapai skala terbesar dalam sejarah.{{sfn|Bulbeck|2006|p=306}} Merasa percaya diri dengan posisinya, Tunipasulu berusaha memusatkan kekuatan kepada dirinya seorang.{{sfn|Cummings|2005}}{{sfn|Cummings|1999|pp=110–111}}{{sfn|Gibson|2005|p=154}} Ia memindahkan takhta kerajaan ke Somba Opu{{sfn|Gibson|2005|p=154}} serta menyita properti, mengasingkan, bahkan mengeksekusi kalangan aristokrat demi melemahkan perlawanan mereka terhadap kuasa prerogatifnya.{{sfn|Reid|1981}}{{sfn|Cummings|2005}} Banyak di antara bangsawan dan komunitas Melayu yang kabur dari Makassar karena takut akan pemerintahan Tunipasulu yang semena-mena.{{sfn|Cummings|2005}}
Pada kurun waktu yang sama, perubahan-perubahan besar terjadi dalam panggung perpolitikan tanah Makassar. Tumamenang ri Makkoayang mangkat pada 1577{{sfn|Bulbeck|1992|p=30}} dan digantikan oleh putrinya Karaeng Baine, yang juga merupakan istri Tunijallo.{{sfn|Cummings|2007a|p=87}} ''Kronik Tallo'' menyebutkan bahwa Tunijallo dan Karaeng Baine memimpin Gowa dan Tallo secara bersama-sama,{{sfn|Cummings|2007a|p=87}} walaupun tampaknya Karaeng Baine lebih banyak menuruti kemauan suaminya{{sfn|Cummings|2014|p=217}} dan tidak punya pencapaian bermakna yang tercatat selain inovasi dalam pembuatan hasta karya.{{sfn|Bulbeck|1992|p=103}} Setelah Tunijallo dibunuh pada tahun 1590, [[Karaeng Matoaya]], putra Tumamenang ri Makkoayang yang berusia 18 tahun, dilantik sebagai ''tumabicara butta'' yang baru. Karaeng Matoaya lalu menunjuk [[Tunipasulu]], putra Tunijallo yang masih berusia 15 tahun, sebagai Karaeng Gowa.{{sfn|Bulbeck|1992|p=103}} Namun, Tunipasulu juga mengklaim takhta Tallo, walaupun dirinya sudah menjadi penguasa Gowa.{{efn|Klaim Tunipasulu didasarkan pada statusnya sebagai putra dari penguasa Gowa, Tunijallo, dan penguasa Tallo, Karaeng Baine. Meskipun pemerintahannya di Gowa diakui, usahanya untuk mengklaim takhta Tallo dianggap tidak sah dan tidak banyak disebut-sebut di dalam ''Kronik Tallo''.{{sfn|Cummings|2007a|p=94}}}}{{sfn|Cummings|2005}} Ia juga sempat mengambil alih secara paksa takhta negara vasal Maros setelah kematian penguasanya.{{sfn|Cummings|2000}} Kejadian ini memperluas wilayah kekuasaan langsung raja Gowa hingga mencapai skala terbesar dalam sejarah.{{sfn|Bulbeck|2006|p=306}} Merasa percaya diri dengan posisinya, Tunipasulu berusaha memusatkan kekuatan kepada dirinya seorang.{{sfn|Cummings|2005}}{{sfn|Cummings|1999|pp=110–111}}{{sfn|Gibson|2005|p=154}} Ia memindahkan takhta kerajaan ke Somba Opu{{sfn|Gibson|2005|p=154}} serta menyita properti, mengasingkan, bahkan mengeksekusi kalangan aristokrat demi melemahkan perlawanan mereka terhadap kuasa prerogatifnya.{{sfn|Reid|1981}}{{sfn|Cummings|2005}} Banyak kalangan bangsawan dan komunitas Melayu yang kabur dari Makassar karena takut akan pemerintahan Tunipasulu yang semena-mena.{{sfn|Cummings|2005}}


Tunipasulu ditumbangkan pada tahun 1593 dalam sebuah revolusi istana yang kemungkinan diawali oleh Karaeng Matoaya, orang yang sama yang telah menobatkan Tunipasulu.{{sfn|Cummings|2005|p=46}} Mantan Karaeng Gowa ini lalu diasingkan ke timur hingga kematiannya di [[Pulau Buton|Buton]] pada tahun 1617, meskipun selama sisa hidupnya ia mungkin terus menjalin hubungan dengan para pendukungnya di Makassar.{{sfn|Cummings|2005|p=42}} Posisi Karaeng Matoaya sebagai Karaeng Tallo dikukuhkan, dan ia menunjuk putra mahkota yang masih berusia tujuh tahun, [[Sultan Ala'uddin dari Gowa|I Manngarangi]] (di kemudian hari digelari Sultan Ala'uddin) sebagai Karaeng Gowa.{{sfn|Cummings|2007a|pp=6, 43}} Jabatan Karaeng Maros dikembalikan setelah kekosongan takhta selama beberapa tahun.{{sfn|Cummings|2000}} Insiden pengusiran Tunipasulu memastikan otonomi bagi para bangsawan, menggariskan batasan bagi wewenang Karaeng Gowa, serta mengembalikan keseimbangan pengaruh antara Gowa, Tallo, dan negeri Makassar lainnya.{{sfn|Cummings|2005}} Sejak saat itu, wilayah-wilayah Gowa dipimpin oleh gabungan dinasti-dinasti berkuasa. Dalam sistem ini, keluarga kerajaan Gowa berperan sebagai ''[[primus inter pares]]'' ("yang pertama di antara yang setara"), meskipun Tallo, tempat asal para ''tumabicara butta'', seringkali merupakan negeri paling dominan secara ''de facto''.{{sfn|Bulbeck|2006|p=288}} Selama empat dasawarsa berikutnya, Karaeng Matoaya memelopori perkembangan Islam di Sulawesi Selatan serta memperluas wilayah Gowa-Tallo hingga ke [[Kepulauan Maluku|Maluku]] dan [[Nusa Tenggara]].{{sfn|Reid|1981}} Dapat dikatakan bahwa pengusiran Tunipasulu dan bermulanya pemerintahan Karaeng Matoaya menandai akhir dari ekspansi permulaan Gowa dan awal dari sebuah era baru dalam sejarah Makassar.{{sfn|Bulbeck|2006}}{{sfn|Bulbeck|1992}}
Tunipasulu ditumbangkan pada tahun 1593 dalam sebuah kudeta istana yang kemungkinan diawali oleh Karaeng Matoaya, orang yang sama yang telah menobatkan Tunipasulu.{{sfn|Cummings|2005|p=46}} Mantan Karaeng Gowa ini lalu diasingkan ke timur hingga kematiannya di [[Pulau Buton|Buton]] pada tahun 1617, meskipun selama sisa hidupnya ia mungkin terus menjalin hubungan dengan para pendukungnya di Makassar.{{sfn|Cummings|2005|p=42}} Posisi Karaeng Matoaya sebagai Karaeng Tallo dikukuhkan, dan ia menunjuk putra mahkota yang masih berusia tujuh tahun, [[Sultan Ala'uddin dari Gowa|I Manngarangi]] (di kemudian hari digelari Sultan Ala'uddin) sebagai Karaeng Gowa.{{sfn|Cummings|2007a|pp=6, 43}} Jabatan Karaeng Maros dikembalikan setelah kekosongan takhta selama beberapa tahun.{{sfn|Cummings|2000}} Insiden pengusiran Tunipasulu memastikan otonomi bagi para bangsawan, menggariskan batasan bagi wewenang Karaeng Gowa, serta mengembalikan keseimbangan pengaruh antara Gowa, Tallo, dan negeri Makassar lainnya.{{sfn|Cummings|2005}} Sejak saat itu, wilayah-wilayah Gowa dipimpin oleh gabungan dinasti-dinasti berkuasa. Dalam sistem ini, wangsa kerajaan Gowa berperan sebagai ''[[primus inter pares]]'' ("yang pertama di antara yang setara"), meskipun Tallo, tempat asal para ''tumabicara butta'', seringkali merupakan negeri paling dominan secara ''de facto''.{{sfn|Bulbeck|2006|p=288}} Selama empat dasawarsa berikutnya, Karaeng Matoaya memelopori perkembangan Islam di Sulawesi Selatan serta memperluas wilayah Gowa-Tallo hingga ke [[Kepulauan Maluku|Maluku]] dan [[Nusa Tenggara]].{{sfn|Reid|1981}} Dapat dikatakan bahwa pengusiran Tunipasulu dan bermulanya pemerintahan Karaeng Matoaya menandai akhir dari ekspansi permulaan Gowa dan awal dari sebuah era baru dalam sejarah Makassar.{{sfn|Bulbeck|2006}}{{sfn|Bulbeck|1992}}


== Perubahan demografis dan kultural ==
== Perubahan demografis dan kultural ==

Revisi per 26 April 2019 14.24

Rekonstruksi istana raja Gowa

Kerajaan Makassar di Gowa muncul sekitar tahun 1300 sebagai salah satu dari sekian banyak chiefdom[a] agraris di jazirah Sulawesi Selatan. Sejak abad ke-16 hingga seterusnya, Gowa dan sekutu pesisirnya, Tallo[b] menjadi kekuatan besar pertama yang mendominasi sebagian besar semenanjung.[3] Pencapaian politik ini dimungkinkan dengan reformasi administrasi dan militer secara besar-besaran, termasuk pembentukan birokrasi pertama di Sulawesi Selatan. Oleh sejarawan William P. Cummings, Gowa pada abad ke-16 dicirikan sebagai sebuah imperium,[4] sementara masa-masa awal kerajaan telah dianalisis sebagai contoh pembentukan negara.

Bukti genealogis dan arkeologis menyiratkan bahwa dinasti Gowa bermula pada sekitar tahun 1300 dengan perkawinan antara seorang wanita setempat dan kepala suku Bajau, sebuah suku laut yang hidup secara nomaden. Pendirian Gowa merupakan bagian dari restrukturisasi besar-besaran masyarakat Sulawesi Selatan, yang memicu percepatan intensifikasi pertanian padi sawah. Gowa pada masa awal merupakan negara agraris tanpa akses langsung ke tepi laut. Tallo didirikan dua abad kemudian ketika seorang pangeran Gowa melarikan diri ke pesisir setelah kekalahannya dalam sebuah konflik perebutan takhta. Lokasi pinggir laut memungkinkan negara baru ini untuk mengambil keuntungan lebih besar dalam perdagangan maritim dibandingkan Gowa.

Awal abad ke-16 merupakan titik balik dalam sejarah kedua negara. Karaeng Gowa (penguasa daerah Gowa) Tumaparisi Kallonna menguasai daerah pesisir dan memaksa Tallo untuk menjadi sekutu muda Gowa. Penerusnya, Tunipalangga, menjalankan serangkaian pembaharuan untuk memperkuat otoritas kerajaan dan mendominasi perdagangan di Sulawesi Selatan. Perang-perang penaklukan Tunipalangga didukung dengan adopsi senjata api dan inovasi dalam pembuatan senjata lokal. Pengaruh Gowa melingkupi jangkauan wilayah yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah Sulawesi; kekuasaan sang raja dapat dirasakan mulai dari Minahasa hingga Selayar. Walaupun menjelang akhir abad ke-16 kampanye militer Gowa dalam rangka menetapkan hegemoni mengalami kemunduran, kerajaan ini terus bertumbuh dalam hal kesejahteraan ekonomi dan kompleksitas administrasi. Fase awal sejarah Gowa dan Tallo dianggap berakhir pada tahun 1593, ketika seorang Karaeng Gowa yang bertindak sewenang-wenang digulingkan dan mangkubumi Karaeng Matoaya menjadi penguasa de facto Gowa.[5]

Perubahan demografis dan kultural juga terjadi pada masa awal sejarah Gowa dan Tallo. Hutan-hutan hijau dibabat untuk dijadikan persawahan. Populasi diperkirakan bertumbuh sepuluh kali lipat antara abad ke-13 dan ke-16, bersamaan dengan masuknya jenis-jenis tanaman, pakaian, dan perabot baru dalam kehidupan sehari-hari. Besarnya cakupan perubahan wilayah, administrasi, dan kependudukan ini membuat banyak ahli menyimpulkan bahwa Gowa mengalami transformasi dari sebuah chiefdom kompleks menjadi masyarakat bernegara pada abad ke-16, walaupun pendapat ini belum disepakati secara bulat.

Awal mula Gowa dan Tallo

Meskipun kerajaan-kerajaan pesisir mendapat pengaruh terbatas dari imperium Jawa Majapahit[6][7] dan dikenalkan dengan aksara Brahmik pada abad ke-15,[8] tampaknya perkembangan peradaban awal Sulawesi Selatan "secara garis besar tidak terhubung dengan teknologi dan ide-ide asing." [c][9] Seperti chiefdom-chiefdom Filipina[10] dan masyarakat Polinesia,[11] Gowa pra-Islam dan jiran-jirannya merupakan peradaban yang berdasarkan "pada kelompok pemikiran sosial dan politik asli 'bangsa Austronesia'" [d] dan dapat dikontraskan dengan masyarakat Nusantara bagian barat lainnya yang memperoleh pengaruh budaya India secara ekstensif.[12][13]

Seorang wanita memegang Salokoa, mahkota diraja Gowa. Salokoa, yang dibuat dari emas dan intan, merupakan pusaka kerajaan yang bisa ditelusuri asalnya hingga masa-masa permulaan Gowa, dan melambangkan wewenang kerajaan sepanjang sejarah Gowa.

Dinasti-dinasti utama di Sulawesi Selatan mengaitkan asal-usul mereka dengan para tumanurung, sebuah ras makhluk langit berdarah putih yang muncul secara misterius untuk menikahi penguasa-penguasa fana dan memerintah umat manusia,[14] tak terkecuali Gowa. Kronik Gowa dari abad ke-17 secara spesifik menyebutkan bahwa orangtua Karaeng Gowa adalah seorang raja asing[15] yang dipanggil Karaeng Bayo dan wanita tumanurung yang turun ke wilayah Kale Gowa atas permintaan dari pemimpin-pemimpin setempat.[16] Negara Gowa terlahir ketika pemimpin-pemimpin setempat yang dikenal secara kolektif sebagai Bate Salapang (secara harfiah bermakna "Sembilan Panji") bersumpah setia kepada Karaeng Bayo dan sang tumanurung sebagai ganti pengakuan mereka atas hak-hak adat Bate Salapang.[15]

Legenda tumanurung umumnya dipandang oleh para arkeolog (antara lain Francis David Bulbeck) sebagai interpretasi mitologis dari sebuah kejadian sejarah, yaitu perkawinan antara seorang penguasa Bajau dengan wanita bangsawan setempat yang keturunannya kelak menjadi wangsa yang berkuasa di Gowa.[17][18] Pada saat itu, suku Bajau, yang merupakan pengembara maritim, merupakan komunitas utama yang membawa barang dagangan dari Laut Sulu hingga Sulawesi Selatan.[19] Perkiraan berdasarkan catatan genealogis dinasti menyiratkan bahwa negara Gowa didirikan pada sekitar tahun 1300.[20] Hipotesis ini didukung oleh bukti-bukti arkeologis semasa yang mengisyaratkan kemunculan elit penguasa di daerah Kale Gowa, di antaranya temuan sejumlah besar keramik asing impor.[21][22]

Pendirian Gowa pada sekitar tahun 1300 merupakan bagian dari perubahan dramatis di Sulawesi Selatan yang mengantarkan pada zaman yang disebut "Periode Sejarah Awal" oleh Bulbeck and Ian Caldwell (2000).[23] Di sepanjang semenanjung, perniagaan dengan wilayah lain di Nusantara berkembang pesat. Hal ini berakibat pada naiknya permintaan beras dari Sulawesi Selatan, yang mendorong sentralisasi politis serta intensifikasi pertanian padi.[24] Kepadatan penduduk melonjak tajam sejak praktik pertanian ladang berpindah digantikan dengan budidaya padi sawah intensif yang bergantung pada alat bajak yang baru dikenalkan dari Nusantara bagian barat. Pemukiman-pemukiman baru bermunculan dalam jumlah besar di pedalaman semenanjung yang semakin gundul.[25] Meningkatnya budidaya padi memungkinkan bahan pangan yang sebelumnya jarang dikonsumsi ini menjadi makanan pokok di Sulawesi Selatan,[26] menggantikan hasil tani lama semisal sagu atau jali.[25] Perubahan-perubahan ini disertai dengan tumbuhnya negara-negara baru yang berbasis pertanian padi sawah di pedalaman, seperti negara Bugis di Bone dan Wajo.[25] Gowa periode awal juga merupakan chiefdom pertanian pedalaman yang berpusat pada budidaya padi.[22]

Terusirnya Karaeng Loe ri Sero dari Sero dan pendirian Tallo, akhir abad ke-15. Sungai Jeneberang yang mengaliri selatan Makassar dirujuk dengan nama lama 'Sungai Garassi.'

Sumber-sumber Makassar meriwayatkan bahwa Tallo didirikan sebagai sempalan dari dinasti Gowa pada akhir abad ke-15. Dalam pertikaian perebutan takhta antara dua putra Karaeng Gowa keenam, Batara Gowa dan adiknya Karaeng Loe ri Sero,[e] sang kakak berhasil merebut wilayah saudaranya.[27] Menurut Kronik Tallo, kejadian ini memaksa Karaeng Loe mengungsi ke 'Jawa';[28] lebih tepatnya, pantai utara Jawa,[29] tetapi mungkin juga yang dimaksud adalah komunitas dagang Melayu di pesisir Sulawesi dan Kalimantan.[f][28] Insiden ini mungkin saja merupakan bagian dari tahapan perubahan yang lebih besar, yaitu meluasnya kekuasaan Karaeng Gowa hingga mengancam negara-negara tetangganya yang berdaulat.[30] Sepulangnya dari pelarian, Karaeng Loe menemukan bahwa beberapa bangsawan masih mendukungnya. Ia dan para pengikutnya berkonsolidasi di ibukota sementara di sebelah timur Gowa, sebelum kemudian berlayar hingga ke muara Sungai Tallo, membabat hutan di sana, dan mendirikan negara baru bernama Tallo.[27] Garis besar cerita pendirian ini didukung dengan temuan arkeologis yang menyiratkan adanya lonjakan drastis kepingan keramik di lingkungan muara Tallo pada sekitar tahun 1500.[30]

Sejak semula, Tallo merupakan negara maritim, mengambil keuntungan dari menggeliatnya perdagangan regional[31] yang diikuti oleh pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir.[22] Catatan-catatan Portugis mengisyaratkan adanya komunitas niaga Melayu di bagian barat Sulawesi Selatan sejak sekitar tahun 1490,[32] sementara sebuah sumber Melayu menyatakan bahwa seorang sayyid (keturunan Nabi Muhammad) pernah menyambangi Sulawesi Selatan pada tahun 1452.[g] Anak dan penerus Karaeng Loe, Tunilabu ri Suriwa, tercatat pernah "pergi ke Melaka, lalu ke timur menuju Banda. Selama tiga tahun ia berkelana, lalu kembali." [h][28] Wanita-wanita yang diperistri Tunilabu, termasuk di antaranya seorang wanita Jawa dari Surabaya, juga berasal dari berbagai komunitas pedagang. Karaeng Tallo ketiga, Tunipasuru, tercatat pernah juga berlayar ke Melaka dan meminjamkan uang di Johor.[28][31] Budaya komersial Tallo turut berkontribusi terhadap kebangkitan Makassar di kemudian hari sebagai pusat perdagangan yang berjaya.

Gowa dan Tallo dari 1511 hingga 1565

Masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna (sekitar 1511–1546)

Kajian historiografi lama umumnya berpendapat bahwa Kerajaan Siang mendominasi bagian barat Sulawesi Selatan sebelum naiknya Gowa sebagai kekuatan besar.[31][35][36] Tafsiran ini didasarkan pada laporan tahun 1544 dari saudagar Portugis Antonio de Paiva, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa Gowa pernah menjadi negara bawahan Siang: "Aku berlabuh di bandar tersebut, sebuah kota besar bernama Gowa, yang sebelumnya diperintah oleh seorang vasal dari Raja Siang, tetapi telah direbut darinya."[i][37] Namun, pusat Gowa yang sebenarnya adalah ladang pertanian di pedalaman, bukan kota pelabuhan. Bulbeck menafsirkan bahwa yang dimaksud Paiva dengan "Gowa" adalah bandar pesisir Garassi yang kala itu diperebutkan oleh Siang dan Gowa.[38] Penelitian arkeologis belakangan ini tidak menemukan banyak bukti perihal kedigdayaan Siang.[32] Pendapat yang lebih mutakhir menyatakan bahwa bagian barat Sulawesi Selatan tidak pernah disatukan sebelum kebangkitan Gowa.[38]

Keadaan status quo ini dipecahkan oleh Tumaparisi Kallonna (memerintah sekitar 1511–1546[j]), putra Batara Gowa. Ia merupakan Karaeng pertama yang dideskripsikan secara rinci oleh Kronik Gowa.[28] Sejak masa pemerintahan Batara Gowa, Gowa telah berambisi untuk menaklukkan negara-bandar Garassi yang makmur, terletak di tempat yang sekarang menjadi pusat kota Makassar,[29] tetapi cita-cita ini baru terwujud pada zaman Tumaparisi Kalonna. Penaklukan Garassi oleh Gowa, yang diperkirakan terjadi seawal-awalnya tahun 1511,[l] memberikan akses perdagangan maritim yang lebih besar kepada negara yang tadinya terkurung daratan ini.[43] Selain Garassi, Kronik Gowa menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna menaklukkan, menjadikan vasal, dan melakukan pengambilan pampasan dari tiga belas negeri Makassar lainnya.[44] Sebagian besar kampanye penaklukan yang dilakukannya terbatas pada bagian barat daya semenanjung yang didominasi etnis Makassar.[m][45] Meski Gowa beberapa kali mengalami hambatan dalam penaklukan antara tahun 1520 dan 1540, dengan lepasnya wilayah hulu Sungai Tallo[46] dan Garassi, kemunduran ini hanya bersifat sementara. Sejak 1530-an Garassi telah ditaklukkan kembali dan, di kemudian hari, dijadikan tempat bertakhta raja Gowa.[43] Benteng kerajaan Somba Opu kemungkinan dibangun pada masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna.[47]

Contoh catatan sejarah Makassar, yang mulai dituliskan secara luas pada era Tumaparisi Kallonna (memerintah 1510/1511-1546)

Pencapaiannya yang paling diagungkan adalah perang melawan Tallo dan sekutu-sekutunya, sebuah titik balik krusial dalam sejarah kedua kerajaan,[48] yang diperkirakan terjadi pada akhir 1530-an atau awal 1540-an.[40][49] Menurut beberapa sumber, permusuhan antara Tallo dan Gowa meletus menjadi perang tatkala seorang pangeran Gowa menculik putri Tallo.[50] Tunipasuru dari Tallo bersekutu dengan para penguasa dari dua negeri jiran, Polombangkeng dan Maros,[n] untuk menyerang sepupunya Tumaparisi Kallonna.[48] Di bawah pimpinan Tumaparisi Kallonna dan kedua putranya,[o] Gowa berhasil menghalau invasi Tallo dan sekutunya. Sebagai pemenang perang, Tumaparisi Kallonna diundang ke Tallo untuk menghadiri persumpahan yang menyatakan Tallo sebagai sekutu muda Gowa. Dengan ini, "penguasa Gowa pun diakui secara luas sebagai tokoh dominan di tanah Makassar."[p][48] Persekutuan ini direkatkan dengan pernikahan antara sejumlah besar bangsawan wanita Tallo dan raja-raja Gowa.[48][53] Perjanjian serupa dibuat dengan Maros dan, dalam lingkup yang lebih kecil, Polombangkeng, untuk memastikan bahwa Kerajaan Gowa tidak hanya memegang kendali atas pengaruh komersial Tallo,[54] tapi juga sumber daya alam dan manusia Maros serta Polombangkeng.[55]

Pemerintahan Tumaparisi Kallonna juga diasosiasikan dengan pembaharuan internal, termasuk di antaranya pengembangan tradisi penulisan sejarah dan pengadaan jabatan sabannaraq atau syahbandar untuk pertama kali.[56] Sabannaraq pertama, Daeng Pamatte, memiliki lingkup tanggung jawab yang luas, termasuk pengaturan perdagangan di pelabuhan Garassi/Makassar dan komando militer atas Bate Salapang.[56] Ekspansi birokrasi yang mencakup penambahan jabatan-jabatan spesifik merupakan inovasi dari Karaeng berikutnya, Tunipalangga.[44] Selain menjadi pejabat penting pertama dalam sejarah Gowa, Daeng Pamatte juga mengenalkan metode pencatatan sejarah kepada kerajaan.[57] Kronik Gowa menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna terlibat dalam penulisan hukum-hukum dan pernyataan perang pada masanya.[44] Demikian pula, Kronik Tallo menyatakan bahwa Tunipasuru, yang hidup sezaman dengan Tumaparisi Kallonna, merupakan Karaeng Tallo pertama yang pandai menulis.[58] Pada masa ini juga, tembok pelindung dari tanah liat diperkirakan mulai dibangun di sekitar Kale Gowa,[59] Somba Opu, dan Garassi.[60]

Masa pemerintahan Tunipalangga (sekitar 1546–1565)

Jangkauan penaklukan Tunipalangga di seluruh Sulawesi

Masa pemerintahan Karaeng Gowa berikutnya, Tunipalangga (memerintah sekitar 1546–1565[q]), ditandai dengan ekspansionisme militer. Sang Karaeng sendiri dianggap sebagai orang yang pemberani dan amat mahir dalam berperang.[63] Kronik Gowa meriwayatkan bahwa sang Karaeng berperan dalam "mengecilkan ukuran perisai dan memendekkan batang tombak,"[63] dengan maksud agar senjata-senjata tradisional ini lebih leluasa digunakan.[64] Tunipalangga juga mengenalkan beragam teknologi militer asing yang lebih maju, seperti bubuk mesiu, "meriam-meriam besar", perbentengan batu bata (serupa Benteng Somba Opu di Makassar, yang menjadi tempat Tunipalangga bertakhta[65]), dan "peluru Palembang" yang digunakan untuk senapan laras panjang.[63] Kemajuan teknologi inilah yang memungkinkan Gowa untuk nantinya menaklukkan sejumlah besar negeri di Sulawesi, dari Semenanjung Minahasa di utara hingga Pulau Selayar di lepas pantai selatan.[62] Bersama takluknya negeri-negeri Bugis di Ajatappareng, Gowa berhasil menyingkirkan sisa pesaingnya di tepi barat Sulawesi Selatan, dan memungkinkan perluasan lingkup pengaruh Tunipalangga hingga ke Sulawesi Tengah dan Toli-Toli.[66]

Penguasa-penguasa daerah taklukan diwajibkan mengunjungi istana Tunipalangga di Gowa setiap tahunnya untuk mengantarkan upeti sekaligus melakukan ritual untuk menunjukkan ketundukan dan kesetiaan mereka.[67] Dinasti-dinasti negeri taklukan juga diikat dengan pernikahan untuk melegitimasi kekuasaan Gowa.[68] Pada tahun 1565, satu-satunya negeri yang masih bebas dari pengaruh Gowa di Sulawesi Selatan hanya kerajaan Bugis paling digdaya, yaitu Bone.[62] Tunipalangga tidak hanya memaksa tunduk negeri-negeri tetangga, tapi juga memperbudak dan merelokasi seluruh penduduknya untuk dipekerjakan dalam pembangunan jaringan pengairan dan perbentengan.[69][70]

Proses penaklukan mungkin juga mencakup relokasi komunitas niaga Melayu yang aktif di seluruh Sulawesi Selatan ke bandar Garassi/Makassar di bawah kuasa Gowa,[71] meskipun pendapat ini disanggah oleh Stephen C. Druce.[72] Apapun penyebabnya, yang pasti perniagaan Melayu di Makassar berkembang pesat pada pertengahan abad ke-16. Pada tahun 1561, dalam rangka memelihara kegiatan perdagangan mereka di Makassar, Tunipalangga menandatangani sebuah pakta bersama Datuk Maharaja Bonang,[r] yang memimpin pedagang-pedagang Melayu, Cham, dan Minangkabau.[74] Bonang dan orang-orangnya diberikan hak untuk menetap di Makassar dan terbebas dari hukum adat.[75][76] Kejadian ini mengukuhkan kehadiran bangsa Melayu di Makassar sebagai komunitas permanen, bukan lagi temporal atau musiman.[77] Penaklukan Tunipalangga atas bandar-bandar pesaing dan pusat pembuatan kapal semenanjung seperti Bantaeng,[78] beserta reformasi ekonomi seperti pembakuan satuan berat dan pengukuran (yang kemungkinan diusulkan oleh komunitas Melayu), menjadikan Gowa-Tallo bandar persinggahan unggulan bagi rempah-rempah dan hasil hutan di Nusantara bagian timur.[79]

Somba Opu, tempat tinggal Tunipalangga yang dibentengi dengan dinding bata

Bibit birokrasi Gowa dikembangkan secara besar-besaran oleh Tunipalangga. Ia menghapuskan tugas-tugas nonkomersial sabannaraq[80] dan memberikannya kepada jabatan baru yang disebut tumailalang,[s] semacam menteri dalam negeri[81] yang menjadi perantara Karaeng dan para bangsawan Bate Salapang.[82] Mantan sabannaraq Daeng Pamatte dipromosikan untuk menjadi tumailalang pertama.[75] Inovasi birokrasi lainnya adalah pengadaan jabatan[u] kepala pengrajin atau Tumakkajananngang, yang mengawasi operasi serikat-serikat pengrajin di Makassar dan memastikan bahwa setiap serikat akan memenuhi permintaan negara.[83][87] Selain memperbaharui birokrasi, Tunipalangga melanjutkan kebijakan sentralisasi dengan memberlakukan kerja rodi untuk kepentingan umum pada rakyat taklukannya.[75] Meski begitu, pekerja rodi lebih banyak direkrut oleh bangsawan tuan tanah alih-alih oleh birokrasi yang masih terbatas.[88]

Gowa dan Tallo dari 1565 hingga 1593

Perang melawan Bone dan masa pemerintahan Tunijallo serta Tumamenang ri Makkoayang (1565–1582)

Pada awal abad ke-16, kerajaan Bugis di Bone merupakan sekutu Gowa. Gowa bahkan turut mengirim pasukan untuk membantu Bone dalam perang melawan tetangganya, Wajo.[89] Namun, sejak Tunipalangga memulai kampanye penaklukannya, La Tenrirawe, sang Arumpone atau penguasa Bone, turut berusaha untuk melebarkan kekuasaannya di bagian timur Sulawesi Selatan. Tak menunggu lama, kedua negara bersaing untuk menancapkan pengaruh pada jalur dagang yang menguntungkan di lepas pantai selatan jazirah. Pada tahun 1562, perang meletus ketika La Tenrirawe menghasut tiga vasal Gowa yang baru ditaklukkan untuk bersekutu dengan Bone.[90] Tunipalangga spontan bereaksi dengan memaksa Bone untuk mengembalikan ketiga negeri tersebut ke dalam kuasanya. Pertempuran dilanjutkan pada tahun 1563, ketika Bone diserang dari utara oleh pasukan gabungan Gowa dan beberapa negeri tetangga Bone di bawah pimpinan Tunipalangga.[90] Namun penyerangan ini berakhir dengan kekalahan Gowa, dan Tunipalangga mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya. Sang Karaeng menginvasi Bone sekali lagi pada 1565, tetapi ia berbalik pulang setelah seminggu, sebelum mangkat akibat penyakit tak lama kemudian.[91] Perang melawan Bone dilanjutkan oleh saudara dan penerusnya Tunibatta. Akan tetapi, pasukan Tunibatta berhasil dicerai-beraikan hanya dalam beberapa hari.[92] Sang Karaeng sendiri tertangkap musuh dan dipenggal.[91]

Persoalan suksesi kepemimpinan selepas kematian Tunibatta diselesaikan oleh Karaeng Tallo Tumamenang ri Makkoayang. Ia menjadikan dirinya tumabicara butta atau perdana menteri:[93] posisi birokratis Gowa terakhir, dan paling penting, yang dikukuhkan. Seorang tumabicara butta merupakan penasihat utama takhta Gowa dan bertugas mengawasi pertahanan, diplomasi, dan pendidikan kerajaan.[94] Dengan wewenangnya yang baru, Tumamenang ri Makkoayang mendudukkan Tunijallo, putra Tunibatta, sebagai Karaeng Gowa. Untuk pertama kalinya, Karaeng Gowa berbagi kekuasaan dengan Karaeng Tallo.[93] Kronik-kronik Makassar menyebut bahwa kedua Karaeng "memimpin bersama-sama," dan Tumamenang ri Makkoayang tercatat pernah mengatakan bahwa orang-orang Gowa dan Tallo merupakan "satu rakyat, tetapi [dipimpin oleh] dua Karaeng. Terkutuklah mereka yang mengangankan atau membicarakan agar Gowa dan Tallo berselisih."[v][96][97] Teladan inilah yang memungkinkan Karaeng Matoaya, putra Tumamenang ri Makkoayang, untuk nantinya menjadi orang paling berpengaruh di Gowa dan Sulawesi Selatan.[93]

Pilihan Tumamenang ri Makkoayang untuk mendudukkan Tunijallo di singgasana Karaeng Gowa bisa jadi karena hubungan dekat sang pangeran dengan istana Bone.[93] Tunijallo pernah tinggal di sana selama dua tahun; ia bahkan pernah terjun berperang bagi pihak Bone.[91][98] Tak lama setelah naiknya Tunijallo, ia, Tumamenang ri Makkoayang, dan La Tenrirawe merundingkan Perjanjian Caleppa, yang mengakhiri peperangan antara Gowa dan Bone. Perjanjian ini mengharuskan Bone untuk memberikan hak bagi orang-orang Gowa di wilayahnya, begitu pula sebaliknya. Batas wilayah Bone dipetakan ulang dengan mencaplok sebagian wilayah Gowa dan Luwu (salah satu sekutu Gowa).[90][91] Beberapa di antara wilayah vasal yang dikonsesikan telah menjadi bawahan Gowa sejak satu abad sebelumnya.[99] Perjanjian ini, walaupun kurang menguntungkan bagi pihak Gowa, mampu memelihara perdamaian di Sulawesi Selatan selama enam belas tahun.[100]

Masjid Katangka, salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan, yang didirikan oleh Tunijallo untuk memperoleh dukungan dari masyarakat diaspora niaga Melayu Muslim. Bangunan ini masih berdiri hingga sekarang.[101]

Tunijallo dan Tumamenang ri Makkoayang meneruskan kebijakan yang mendorong perniagaan asing di Makassar. Kedua Karaeng mengukuhkan persekutan dengan, dan mengirim utusan ke, negara dan kota di penjuru Nusantara, termasuk Johor, Melaka, Pahang, Patani, Banjarmasin, Mataram, Blambangan, dan Maluku.[102][103] Perdagangan tumbuh pesat seiring meleburnya Makassar ke dalam jalur perdagangan Muslim yang oleh Christian Pelras (1985) disebut sebagai jaringan "Campa-Patani-Aceh-Minangkabau-Banjarmasin-Demak-Giri-Ternate."[104] Tunijallo pun mendirikan Masjid Katangka bagi komunitas niaga Melayu Makassar yang mulai berkembang.[101] Pengaruh Islam di Gowa dan Tallo semakin menguat, walaupun pendakwah Muslim seperti Dato ri Bandang masih belum mendapat kemajuan berarti.[105] Pemujaan akan sifat keilahian asal-usul para bangsawan serta besarnya pengaruh kependetaan bissu menjadi hambatan utama bagi dakwah Islam.[106] Pada tahun 1580 Sultan Baabullah dari Ternate menawarkan aliansi dengan syarat Tunijallo mau masuk Islam, tetapi penawaran ini ditolak, kemungkinan untuk menghindari pengaruh keagamaan Ternate atas Sulawesi Selatan.[107] Empat orang Fransiskan dikirim ke Gowa pada 1580-an, tetapi misi mereka juga tidak bertahan lama.[108] Biarpun demikian, seiring berjalannya waktu, agama-agama asing terus menumbuhkan pengaruhnya di kalangan bangsawan Gowa, yang berujung pada pengislaman kerajaan pada dekade pertama abad ke-17.[109] Pembaharuan internal lain yang dilakukan semasa pemerintahan Tunijallo termasuk pengembangan catatan istana, pengenalan industri pembuatan keris, dan penguatan militer seperti pemasangan meriam tambahan di benteng-benteng.[110][111]

Perang melawan tellumpocco dan masa pemerintahan Tunipasulu (1582–1593)

Peta geopolitik Sulawesi Selatan sekitar tahun 1590, yang menggambarkan terbelahnya semenanjung antara Gowa-Tallo dan persekutuan Tellumpocco

Bone merasa terancam oleh pengaruh Gowa yang kian berkembang. Sementara, perlakuan semena-mena Gowa terhadap negeri-negeri Bugis yang menjadi vasalnya, Soppeng and Wajo, membuat mereka merasa kehilangan kedaulatan.[112] Maka, pada tahun 1582, Bone, Wajo, dan Soppeng menandatangani Perjanjian Timurung yang menetapkan hubungan ketiga negara sebagai persekutuan antarsaudara, dengan Bone sebagai saudara tuanya.[107] Aliansi pimpinan Bone ini disebut tellumpocco (secara harfiah bermakna "Tiga Puncak" atau "Tiga Kekuatan"), yang bertujuan mengukuhkan kembali kedaulatan kerajaan-kerajaan Bugis ini dan menghentikan ekspansionisme Gowa.[107][112][113] Merasa diprovokasi, Gowa mengirimkan serentetan serangan ke timur (beberapa di antaranya dibantu oleh Luwu, sebuah negeri Bugis lainnya[112]), dimulai dengan penyerbuan Wajo pada 1583 yang berhasil dihalau oleh pasukan gabungan tellumpocco.[107] Kampanye militer terhadap Bone pada tahun 1585 dan 1588 juga sama gagalnya.[107] Pada saat yang sama, dalam perlawanan mereka terhadap Gowa, tellumpocco berusaha merintis koalisi seluruh Bugis dengan mempertalikan dinasti mereka pada negeri-negeri Bugis di Ajatappareng melalui pernikahan.[113] Tunijallo memutuskan untuk menyerang Wajo sekali lagi pada 1590, tetapi ia mati diamuk seorang bawahannya ketika memimpin armada Gowa di lepas pantai barat Sulawesi Selatan.[98][112] Pada tahun 1591, Perjanjian Caleppa diperbarui untuk mengembalikan kedamaian di semenanjung.[107] Kejadian ini juga menandai kesuksesan persekutuan tellumpocco dalam menjinakkan ambisi Gowa.

Pada kurun waktu yang sama, perubahan-perubahan besar terjadi dalam panggung perpolitikan tanah Makassar. Tumamenang ri Makkoayang mangkat pada 1577[114] dan digantikan oleh putrinya Karaeng Baine, yang juga merupakan istri Tunijallo.[115] Kronik Tallo menyebutkan bahwa Tunijallo dan Karaeng Baine memimpin Gowa dan Tallo secara bersama-sama,[115] walaupun tampaknya Karaeng Baine lebih banyak menuruti kemauan suaminya[116] dan tidak punya pencapaian bermakna yang tercatat selain inovasi dalam pembuatan hasta karya.[117] Setelah Tunijallo dibunuh pada tahun 1590, Karaeng Matoaya, putra Tumamenang ri Makkoayang yang berusia 18 tahun, dilantik sebagai tumabicara butta yang baru. Karaeng Matoaya lalu menunjuk Tunipasulu, putra Tunijallo yang masih berusia 15 tahun, sebagai Karaeng Gowa.[117] Namun, Tunipasulu juga mengklaim takhta Tallo, walaupun dirinya sudah menjadi penguasa Gowa.[w][119] Ia juga sempat mengambil alih secara paksa takhta negara vasal Maros setelah kematian penguasanya.[120] Kejadian ini memperluas wilayah kekuasaan langsung raja Gowa hingga mencapai skala terbesar dalam sejarah.[121] Merasa percaya diri dengan posisinya, Tunipasulu berusaha memusatkan kekuatan kepada dirinya seorang.[119][122][123] Ia memindahkan takhta kerajaan ke Somba Opu[123] serta menyita properti, mengasingkan, bahkan mengeksekusi kalangan aristokrat demi melemahkan perlawanan mereka terhadap kuasa prerogatifnya.[93][119] Banyak kalangan bangsawan dan komunitas Melayu yang kabur dari Makassar karena takut akan pemerintahan Tunipasulu yang semena-mena.[119]

Tunipasulu ditumbangkan pada tahun 1593 dalam sebuah kudeta istana yang kemungkinan diawali oleh Karaeng Matoaya, orang yang sama yang telah menobatkan Tunipasulu.[124] Mantan Karaeng Gowa ini lalu diasingkan ke timur hingga kematiannya di Buton pada tahun 1617, meskipun selama sisa hidupnya ia mungkin terus menjalin hubungan dengan para pendukungnya di Makassar.[125] Posisi Karaeng Matoaya sebagai Karaeng Tallo dikukuhkan, dan ia menunjuk putra mahkota yang masih berusia tujuh tahun, I Manngarangi (di kemudian hari digelari Sultan Ala'uddin) sebagai Karaeng Gowa.[126] Jabatan Karaeng Maros dikembalikan setelah kekosongan takhta selama beberapa tahun.[120] Insiden pengusiran Tunipasulu memastikan otonomi bagi para bangsawan, menggariskan batasan bagi wewenang Karaeng Gowa, serta mengembalikan keseimbangan pengaruh antara Gowa, Tallo, dan negeri Makassar lainnya.[119] Sejak saat itu, wilayah-wilayah Gowa dipimpin oleh gabungan dinasti-dinasti berkuasa. Dalam sistem ini, wangsa kerajaan Gowa berperan sebagai primus inter pares ("yang pertama di antara yang setara"), meskipun Tallo, tempat asal para tumabicara butta, seringkali merupakan negeri paling dominan secara de facto.[127] Selama empat dasawarsa berikutnya, Karaeng Matoaya memelopori perkembangan Islam di Sulawesi Selatan serta memperluas wilayah Gowa-Tallo hingga ke Maluku dan Nusa Tenggara.[93] Dapat dikatakan bahwa pengusiran Tunipasulu dan bermulanya pemerintahan Karaeng Matoaya menandai akhir dari ekspansi permulaan Gowa dan awal dari sebuah era baru dalam sejarah Makassar.[68][128]

Perubahan demografis dan kultural

Bukti-bukti arkeologis menyiratkan bahwa hingga tahun 1200-an, wilayah Sulawesi Selatan terbagi menjadi chiefdom-chiefdom kecil yang masing-masingnya berpenduduk ratusan.[24] Perkembangan pesat dalam teknologi pertanian padi pada awal abad ke-13 memungkinkan kemunculan chiefdom kompleks di sebagian besar Sulawesi Selatan.[26] Pertanian padi sawah beririgasi menggantikan pertanian padi lahan kering dan peladangan berpindah, serta meningkatkan produksi dan menciptakan surplus untuk diekspor.[26] Kegiatan ekspor beras mendorong sentralisasi politis seiring dengan berkumpulnya para elit yang juga berkompetisi bagi barang mewah asing[129] serta menyokong intensifikasi dan ekspansi agrikultural lebih lanjut, hingga meningkatkan produksi padi dalam skala yang lebih besar lagi.[25][26]

Sawah beririgasi di Sulawesi Selatan

Gowa merupakan salah satu negeri yang paling diuntungkan dengan transisi ini. Pusat kerajaan di lembah pedalaman sekitar Kale Gowa merupakan estuari setidaknya hingga kira-kira 2300 SM. Kemunduran garis pantai seiring mendinginnya temperatur mengubah wilayah tepi laut menjadi lahan basah yang hijau, diairi oleh Sungai Jeneberang dan siklus hujan musiman.[130] Lahan seperti ini sangat ideal bagi pertumbuhan padi.[131] Intensifikasi pesat pertanian padi sawah terjadi di wilayah Gowa dan sekitarnya, begitu pula di seluruh Sulawesi Selatan. Sejumlah besar lahan-lahan tak berpenghuni ditempati dan dibuat sawah,[132] termasuk juga lembah Sungai Tallo.[46] Nama "Tallo" sendiri diambil dari kata taqloang yang dalam bahasa Makassar berarti "luas dan kosong," merujuk pada hutan tak berpenghuni yang dibersihkan untuk dijadikan pemukiman.[133] Perolehan surplus beras juga mendorong perdagangan asing dalam skala yang belum pernah tertandingi pada masanya.[134] Sebuah survei arkeologi pada tahun 1980-an di daerah Makassar dan sekitarnya menemukan setidaknya 10.000 keping keramik pra-1600 dari Tiongkok, Vietnam, dan Thailand. Penggalian di satu kebun bahkan menemukan lebih dari 850 pecahan keramik.[135] Pada masa itu, menurut Bulbeck dan Caldwell, keramik diimpor dalam skala yang "tak terbayangkan".[134] Meski begitu, "keramik hanyalah sekelumit puncak gunung es jika dibandingkan dengan keseluruhan impor barang-barang mewah eksotis di Sulawesi pada masa pra-Islam."[x][136] Barang impor paling umum adalah bahan tekstil yang mudah terurai; hanya sedikit sisa-sisanya yang bertahan.[136] Faktor-faktor ini turut menyokong pertumbuhan penduduk di wilayah Gowa dan sekitarnya sejak tahun 1300-an.[26]

Secara umum, populasi meningkat pesat, walaupun tidak secara merata di setiap daerah. Sebagai contoh, populasi di wilayah perkampungan sekitar Kale Gowa tampaknya menurun setelah sekitar tahun 1500 seiring dengan kebijakan sentralisasi Karaeng Gowa yang menarik masyarakat desa ke pusat-pusat pemerintahan di Kale Gowa dan Makassar.[137] Perubahan alur Sungai Jeneberang juga memengaruhi persebaran penduduk,[138] sementara peperangan semasa Tumaparisi Kallonna mengurangi populasi di wilayah tertentu, contohnya di hulu Sungai Tallo.[46] Arkeolog F. David Bulbeck dalam beberapa kesempatan memperkirakan bahwa penduduk Makassar dan sekitarnya bertumbuh antara tiga[139] hingga sepuluh kali lipat dari abad ke-14 hingga abad ke-17.[140]

Perkiraan kepadatan penduduk oleh Bulbeck (1992)[139] Abad ke-14 Abad ke-15 Abad ke-16 Abad ke-17
Pesisir 386/km2 667/km2 1229/km2 1369/km2
Darat 867/km2 821/km2 1094/km2 1232/km2
Pedalaman 181/km2 349/km2 727/km2 782/km2
Total 352/km2 508/km2 927/km2 1000/km2
Perkiraan kepadatan penduduk oleh Bulbeck (1994)[140] Abad ke-14 Abad ke-15 Abad ke-16 Abad ke-17
Pesisir 102/km2 219/km2 613/km2 1074/km2
Darat 273/km2 273/km2 783/km2 1225/km2
Pedalaman 47/km2 108/km2 284/km2 434/km2
Total 100/km2 164/km2 450/km2 720/km2

Keseluruhan populasi wilayah inti Gowa dan Tallo diperkirakan mencapai lebih dari setengah juta jiwa,[141] meskipun Bulbeck berhati-hati dengan memberi perkiraan penduduk 300.000 jiwa dalam rentang 20 kilometer dari pusat Makassar pada pertengahan abad ke-17: sekitar 100.000 di antaranya mendiami pusat kota Makassar, 90.000 di wilayah pinggiran kota Tallo dan Kale Gowa, serta 110.000 di daerah perdesaan.[140]

Peningkatan perdagangan dengan pihak asing juga menyebabkan perubahan-perubahan lainnya di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Perabot-perabot baru diperkenalkan oleh Portugis, bersama dengan kata-kata yang digunakan untuk merujuk barang-barang ini, semisal kata kadéra untuk "kursi" dari bahasa Portugis cadeira, mejang untuk "meja" dari bahasa Portugis mesa, dan jandéla untuk "jendela" dari bahasa Portugis janela. Lantai rumah para bangsawan yang dulunya menggunakan bilah bambu mulai banyak digantikan dengan bahan kayu.[142][143] Permainan-permainan Barat seperti ombre dan dadu juga mulai menarik perhatian. Hasil tani Dunia Baru, seperti jagung, ubi jalar, dan tembakau sukses disebarluaskan. Seiring waktu, para wanita kelas atas juga meninggalkan budaya bertelanjang dada.[143]

Manuskrip dalam aksara Makassar

Proses perubahan penting lainnya dalam sejarah awal Gowa dan Tallo adalah pengenalan budaya baca-tulis melalui aksara Lontara, yang tampaknya sudah menyebar luas pada tahun 1605.[144] Meski begitu, sejarah awal dari aksara ini masih diselimuti misteri. Walaupun beberapa sejarawan (berdasarkan Kronik Gowa) menafsirkan bahwa baca-tulis tidak dikenal sebelum masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna,[31][145] tampaknya sistem penulisan sudah ada di daerah tersebut sebelum abad ke-16.[146][147] Para ahli umumnya bersepakat bahwa aksara ini bersumber dari sebuah aksara Brahmik, namun, aksara Brahmik mana yang paling memengaruhi perkembangan aksara Makassar masih menjadi pertanyaan. Para ahli mengusulkan, antara lain, aksara Kawi dari Jawa, aksara Batak dan aksara Rejang dari Sumatra,[148][149] hingga aksara Gujarati dari India bagian barat.[150]

Para ahli juga memperdebatkan seberapa besar persebaran dan dampak dari kemampuan menulis. Sejarawan Anthony Reid berpendapat bahwa kemampuan baca-tulis menyebar luas bahkan di kalangan masyarakat awam, termasuk juga kaum wanita.[151] Di sisi lain, Stephen C. Druce mengatakan bahwa kemampuan literasi hanya terbatas pada kalangan elit kelas atas.[152] William Cummings menyatakan bahwa kemampuan menulis, yang dianggap memiliki wewenang dan kekuatan supernatural lebih besar dibandingkan komunikasi lisan, membawa perubahan sosial mendalam bagi masyarakat Makassar. Perubahan-perubahan ini, antara lain, adalah timbulnya perhatian baru terhadap silsilah mendetail dan segala bentuk pencatatan yang mengisi celah masa lalu dan masa kini, menguatnya penerapan hierarki sosial yang berpusat pada klaim keturunan ilahi para bangsawan, munculnya konsep adat budaya Makassar beserta batasannya, serta memusatnya kekuasaan ke Gowa yang membuat negeri-negeri Makassar menjadikan hubungan dengan Gowa sebagai sumber legitimasi utama.[153] Argumen Cummings ini ditentang oleh beberapa sejarawan, seperti Ian Caldwell yang bependapat bahwa wewenang ucapan lisan lebih besar daripada tulisan. Selain itu, analisis terhadap narasi sejarah dari wilayah beretnik Makassar lainnya menunjukkan penolakan terhadap pandangan bahwa legitimasi kekuasaan berpusat di Gowa.[154]

Sejarah awal Gowa sebagai pembentukan negara

Walaupun negeri-negeri Sulawesi Selatan umumnya dianggap sebagai kerajaan, sebagian besar dari mereka dikategorikan oleh para arkeolog sebagai chiefdom kompleks atau proto-negara alih-alih masyarakat bernegara yang sejati.[155][156][157][158] Para ahli meyakini bahwa di antara negeri-negeri prakolonial Sulawesi Selatan, Gowa merupakan negara sejati pertama,[159] bahkan mungkin satu-satunya.[155][160] Francis David Bulbeck merupakan penyokong utama teori ini.[155]

Bulbeck berargumen bahwa Gowa merupakan contoh "negara sekunder", yaitu masyarakat bernegara yang timbul karena mengadopsi teknologi dan institusi administrasi bangsa lain. Sebagai contoh, ekspansi militer Gowa semasa Tunipalangga didukung oleh pengenalan senjata api dan teknologi perbentengan termutakhir.[159] Kemampuan penguasa Gowa dalam menyatukan keahlian asing dan masyarakat setempat memungkinkan Gowa abad ke-16 untuk memenuhi delapan belas dari dua puluh dua atribut yang diusulkan Bulbeck sebagai "kriteria spesifik dan berguna" bagi terbentuknya sebuah negara permulaan.[159] Daftar kriteria yang terpenuhi menurut Bulbeck (1992) ditunjukkan dalam tabel berikut ini:[159]

"Kriteria spesifik dan berguna" bagi terbentuknya negara permulaan Masa terpenuhinya kriteria tersebut menurut Bulbeck (1992)[159]
Literasi Awal abad ke-16
Kota-kota berpenduduk lebih dari 5.000 jiwa Kemungkinan abad ke-14; selambat-lambatnya abad ke-16
Arsitektur monumental Pertengahan abad ke-16
Lingkungan urban Pertengahan abad ke-16
Sistem pengairan yang disokong negara Sekitar 1600
Pekerja terspesialisasi Pertengahan abad ke-16
Peperangan berskala besar Awal abad ke-16
Agama resmi 1605
Jabatan-jabatan administratif Awal abad ke-16
Strata sosial berdasarkan garis keturunan Selambat-lambatnya 1500
Batas-batas geopolitis Abad ke-16
Kedaulatan politis Abad ke-15
Kepadatan penduduk yang tinggi Kemungkinan abad ke-14; selambat-lambatnya abad ke-16
Ibu kota sejati Sekitar 1550
Ibu kota yang stabil Sekitar 1550
Berkembangnya pusat-pusat perkotaan selain daripada ibu kota Sekitar 1550
Infrastruktur yang ekstensif Sekitar 1550
Wilayah kekuasaan lebih dari 2460 km2 1540
Administrasi pusat Abad ke-16
Pembagian wewenang dalam jaringan pemerintahan yang pluralistik Sekitar 1600
Mata uang sendiri Awal abad ke-17
Standardisasi satuan berat dan pengukuran Pertengahan abad ke-16

Sejalan dengan Bulbeck, Ian Caldwell menganggap bahwa Gowa merupakan "negara modern" yang ditandai dengan "pengembangan tatanan kerajaan, kodifikasi hukum, pertumbuhan birokrasi, penerapan sistem perpajakan dan wajib militer, serta kemunculan pekerja penuh-waktu." [y][158]

Meski begitu, pendapat yang mencirikan sejarah awal Gowa sebagai proses pembentukan negara tidak secara universal diterima.[161] Sejarawan William Cummings menganggap bahwa kriteria yang diberikan Ian Caldwell belum seluruhnya terpenuhi, sebab Gowa tidak pernah menjadi kerajaan mutlak, dan juga karena bangsawan tuan tanah lebih berperan daripada birokrasi dalam merekrut pekerja untuk proyek-proyek infrastruktur.[161] Cummings mengakui adanya kecenderungan penguatan birokrasi dan rasionalisasi pemerintahan, tetapi ia menyimpulkan bahwa kebijakan ini memiliki cakupan dan dampak yang terbatas (bahkan birokrasi Gowa masih didasarkan pada ikatan patron-klien) dan tidak mengubah kehidupan masyarakat Makassar secara mendasar.[161] Masyarakat Makassar masa kini pun tidak menganggap bahwa entitas Gowa merupakan sesuatu yang secara fundamental berbeda dari pendahulunya.[161] Pada akhirnya, Cummings berpendapat bahwa tidak ada gunanya memperdebatkan apakah Gowa merupakan sebuah negara atau chiefdom, sebab kompleksitas masyarakat tidak berevolusi secara linear.[161]

Catatan

  1. ^ Kira-kira setara dengan kepenghuluan di daerah Melayu Riau, negeri di daerah Maluku, atau nagari di daerah Minangkabau.
  2. ^ Juga ditulis sebagai Tallo', Tallok atau Talloq, tergantung skema transliterasi yang digunakan. Akhiran hamzah dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan dieja secara bervariasi dengan huruf 'q', huruf 'k', tanda apostrof, atau tidak dituliskan.[1][2]
  3. ^ Kutipan asli: "... largely unconnected to foreign technologies and ideas."
  4. ^ Kutipan asli: "... on indigenous, 'Austronesian' categories of social and political thought..."
  5. ^ Catatan resmi Kronik Gowa dan Kronik Tallo yang mengklaim bahwa Batara Gowa merupakan saudara tua (dan pewaris sah takhta Gowa) mungkin mencerminkan posisi senior Gowa selama sebagian besar abad ke-16 dan ke-17. Secara berlawanan, sebuah laporan dari abad ke-18 yang didasarkan pada sejarah lisan Tallo mengklaim bahwa Karaeng Loe ri Sero merupakan pewaris sah Karaeng Gowa sebelum pendirian Tallo, dan bahwa Batara Gowa-lah yang memberontak.[27]
  6. ^ 'Jawa' secara etimologi identik dengan nama modern untuk pulau Jawa dan seringkali diterjemahkan secara harfiah, namun sejatinya kata tersebut merupakan istilah umum Sulawesi Selatan yang merujuk pada wilayah atau penduduk Nusantara bagian tengah dan barat, dan lebih sering digunakan untuk etnis Melayu.[28]
  7. ^ Namun, sejarawan Christian Pelras merasa bahwa riwayat ini "mungkin tidak sepenuhnya bisa dipercayai" sebab sang sayyid ini diklaim mengunjungi Wajo di bagian timur Sulawesi Selatan, padahal pengaruh Wajo masih teramat kecil pada abad ke-15.[33]
  8. ^ Kutipan asli (dialihaksarakan): "... leba taqle ri Malaka tulusuq anraiq ri Banda tallu taungi lampana nanapabattu..."[34]
  9. ^ Kutipan asli (terjemahan dari bahasa Portugis): "I arrived in the aforesaid port, a large city called Gowa, which formerly had belonged to a vassal of the king of Siang but had been taken from him."
  10. ^ William Cummings secara konsisten menyebut bahwa Tumaparisi Kalonna memerintah sejak tahun 1510 atau 1511 hingga 1546 (Cummings 2002, 2007, 2014), begitu pula Thomas Gibson.[39] David Bulbeck memberi rentang waktu pemerintahan antara 1511–1547.[40] Sementara Anthony Reid berpendapat bahwa pemerintahannya berlangsung antara tahun 1512 dan 1548[31]
  11. ^ Kutipan asli (dialihaksarakan): "... iatonji uru nasorei Paranggi julu taungi nibetana Garassiq nibetanatodong Malaka ri Paranggia..."[41]
  12. ^ Penafsiran ini didasarkan pada pernyataan Kronik Gowa bahwa "[Tumaparisi Kalonna] juga merupakan [raja] yang pertama menerima kunjungan Portugis. Pada tahun yang sama ia menaklukkan Garassi, Melaka juga ditaklukkan oleh Portugis."[k] Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Namun karena naskah-naskah Makassar memiliki pemenggalan kalimat yang ambigu, kutipan ini juga bisa ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa Gowa menaklukkan Garassi pada tahun yang sama dengan kedatangan Portugis ke Gowa, sementara tidak ada catatan mengenai kehadiran Portugis di Gowa sebelum 1530-an.[42][43]
  13. ^ Kronik Gowa menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna "menaklukkan" Sidenreng, sebuah kerajaan Bugis. Namun, ini sepertinya merujuk pada Sidenre, sebuah negeri kecil bersuku Makassar.[45]
  14. ^ Polombangkeng bukan monarki serupa Gowa dan Tallo yang dipimpin oleh seorang raja tunggal, melainkan konfederasi dari tujuh negeri kecil, masing-masingnya merupakan keturunan salah seorang dari tujuh bersaudara.[51]
  15. ^ Mereka adalah Tunipalangga dan Tunibatta, dua raja Gowa berikutnya.[52] Dalam pertempuran ini, pasukan pimpinan Tunipalangga bertugas menghalau armada Polombangkeng di pesisir Baroboso, sementara pasukan Tunibatta menghadapi tentara Maros di Tamamangung.[52] Bulbeck berpendapat bahwa kedua pangeran inilah yang sebenarnya paling berperan dalam kemenangan melawan Tallo, alih-alih Tumaparisi Kalonna sendiri.[40]
  16. ^ Kutipan asli: "The ruler of Gowa was thus publicly acknowledged as the dominant figure in the Makassarese heartlands."
  17. ^ Lihat catatan [i] perihal waktu berakhirnya pemerintahan Tumaparisi Kalonna. Kematian Tunipalangga umumnya diyakini terjadi pada 1565,[39][61][62] namun Anthony Reid memberikan tahun 1566 sebagai waktu mangkatnya.[31]
  18. ^ Juga disebut sebagai 'Anakoda Bonang' ('Nakhoda/Kapten Bonang') dalam kronik-kronik Makassar dan kebanyakan sumber sekunder modern.[73]
  19. ^ Semasa pemerintahan Tunipalangga, tampaknya tumailalang hanya ada seorang. Di kemudian hari pada abad yang sama, jabatan ini secara efektif telah dipecah tiga, dengan ditambahkannya dua asisten 'junior' untuk membantu sang tumailalang 'senior' .[80]
  20. ^ Kutipan asli: "... a term or title describing those charged with supervising others who had specific tasks."
  21. ^ Bulbeck (1991, 2006) dan Gibson (2005), antara lain, berpendapat bahwa kepala pengrajin merupakan jabatan tunggal pada masa Tunipalangga; sementara Reid (2000) berpendapat bahwa setiap bagi masing-masing serikat punya seorang kepala.[83][84][85] Cummings, dalam terjemahan Kronik Gowa versinya, tidak memandang Tumakkajananngang sebagai posisi jabatan tersendiri, melainkan istilah umum untuk "sebuah nama atau gelar bagi mereka yang berperan mengawasi kelompok-kelompok dengan tugas spesifik"[t][86]
  22. ^ Kutipan asli (dialihaksarakan): "... seqreji ata narua karaeng nibunoi tumassoqnaya angkanaya sisalai Gowa Talloq."[95]
  23. ^ Klaim Tunipasulu didasarkan pada statusnya sebagai putra dari penguasa Gowa, Tunijallo, dan penguasa Tallo, Karaeng Baine. Meskipun pemerintahannya di Gowa diakui, usahanya untuk mengklaim takhta Tallo dianggap tidak sah dan tidak banyak disebut-sebut di dalam Kronik Tallo.[118]
  24. ^ Kutipan asli: "... ceramics were merely the tip of the iceberg when the importation of exotic sumptuary goods to pre-Islamic South Sulawesi is considered as a whole."
  25. ^ Kutipan asli: "... the development of kingship, the codification of law, the rise of a bureaucracy, the imposition of a military draft and taxation, and the emergence of full-time craftsmen."

Sumber

Rujukan

  1. ^ Cummings 2002, hlm. xiii.
  2. ^ Cummings 2007a, hlm. 17.
  3. ^ Poelinggomang 1993, hlm. 62.
  4. ^ Cummings 2002, hlm. 26, 30, 112, 150.
  5. ^ Bulbeck 1992, hlm. 35.
  6. ^ Bulbeck & Caldwell 2000.
  7. ^ Bougas 1998.
  8. ^ Cummings 2002, hlm. 44.
  9. ^ Caldwell 1995, hlm. 402–403.
  10. ^ Druce 2009, hlm. 32.
  11. ^ Cummings 2002, hlm. 100.
  12. ^ Caldwell 1991, hlm. 113–115.
  13. ^ Pelras 1997, hlm. 94–95.
  14. ^ Cummings 2002, hlm. 149–153.
  15. ^ a b Cummings 2002, hlm. 25.
  16. ^ Abidin 1983.
  17. ^ Bulbeck 1992, hlm. 32–34.
  18. ^ Bulbeck 2006, hlm. 287.
  19. ^ Bulbeck & Clune 2003, hlm. 99.
  20. ^ Bulbeck 1992, hlm. 34, 473, 475, antara lain.
  21. ^ Bulbeck 1992, hlm. 231.
  22. ^ a b c Bulbeck 1993.
  23. ^ Bulbeck & Caldwell 2000, hlm. 107.
  24. ^ a b Druce 2009, hlm. 34–36.
  25. ^ a b c d Pelras 1997, hlm. 98–103.
  26. ^ a b c d e Bulbeck & Caldwell 2008.
  27. ^ a b c Cummings 2007b, hlm. 100–105.
  28. ^ a b c d e f Cummings 2007a, hlm. 2–5, 83–85.
  29. ^ a b Gibson 2005, hlm. 147.
  30. ^ a b Bulbeck 1992, hlm. 430–432.
  31. ^ a b c d e f Reid 1983.
  32. ^ a b Druce 2009, hlm. 237–241.
  33. ^ Pelras 1997, hlm. 135–136.
  34. ^ Cummings 2007a, hlm. 97.
  35. ^ Andaya 1981, hlm. 19–20.
  36. ^ Villiers 1990, hlm. 146–147.
  37. ^ Baker 2005, hlm. 72.
  38. ^ a b Bulbeck 1992, hlm. 123–125.
  39. ^ a b Gibson 2007, hlm. 44.
  40. ^ a b c Bulbeck 1992, hlm. 117–118.
  41. ^ Cummings 2007a, hlm. 67–68.
  42. ^ Cummings 2007a, hlm. 33.
  43. ^ a b c Bulbeck 1992, hlm. 121–127.
  44. ^ a b c Cummings 2007a, hlm. 32–33.
  45. ^ a b Druce 2009, hlm. 241–242.
  46. ^ a b c Bulbeck 1992, hlm. 348–349.
  47. ^ Cummings 2007a, hlm. 57.
  48. ^ a b c d Cummings 2014, hlm. 215–218.
  49. ^ Cummings 2000, hlm. 29.
  50. ^ Cummings 1999.
  51. ^ Cummings 2002, hlm. 152.
  52. ^ a b Cummings 2007a, hlm. 32–33, 36.
  53. ^ Bulbeck 1992, hlm. 127–131.
  54. ^ Villiers 1990, hlm. 149.
  55. ^ Cummings 2002, hlm. 28.
  56. ^ a b Bulbeck 1992, hlm. 105–107.
  57. ^ Cummings 2002, hlm. 216.
  58. ^ Cummings 2002, hlm. 85.
  59. ^ Bulbeck 1992, hlm. 208.
  60. ^ Bulbeck 1992, hlm. 317.
  61. ^ Cummings 2007a, hlm. 4.
  62. ^ a b c Bulbeck 1992, hlm. 120-121, lihat juga Gambar 4-4.
  63. ^ a b c Cummings 2007a, hlm. 33–36, 56–59.
  64. ^ Andaya 1981, hlm. 25–26.
  65. ^ Bulbeck 1992, hlm. 126.
  66. ^ Druce 2009, hlm. 232–235, 244.
  67. ^ Cummings 2014.
  68. ^ a b Bulbeck 2006.
  69. ^ Druce 2009, hlm. 242–243.
  70. ^ Gibson 2005, hlm. 152–156.
  71. ^ Andaya 1981, hlm. 26.
  72. ^ Druce 2009, hlm. 242.
  73. ^ Sulistyo 2014, hlm. 54.
  74. ^ Sutherland 2004, hlm. 79.
  75. ^ a b c Cummings 2007a, hlm. 34.
  76. ^ Andaya 1981, hlm. 27.
  77. ^ Cummings 2014, hlm. 219–221.
  78. ^ Bougas 1998, hlm. 92.
  79. ^ Andaya 2011, hlm. 114–115.
  80. ^ a b Cummings 2002, hlm. 112.
  81. ^ Gibson 2007, hlm. 45.
  82. ^ Bulbeck 1992, hlm. 107.
  83. ^ a b Gibson 2005, hlm. 45.
  84. ^ Bulbeck 1992, hlm. 108–109.
  85. ^ Reid 2000, hlm. 449.
  86. ^ Cummings 2007a, hlm. 34, 207.
  87. ^ Bulbeck 2006, hlm. 292.
  88. ^ Reid 2000, hlm. 446–448.
  89. ^ Andaya 1981, hlm. 23.
  90. ^ a b c Pelras 1997, hlm. 131–132.
  91. ^ a b c d Andaya 1981, hlm. 29.
  92. ^ Cummings 2007a, hlm. 36.
  93. ^ a b c d e f Reid 1981.
  94. ^ Bulbeck 1992, hlm. 102.
  95. ^ Cummings 2007a, hlm. 98.
  96. ^ Cummings 1999, hlm. 109–110.
  97. ^ Cummings 2007a, hlm. 86.
  98. ^ a b Cummings 2007a, hlm. 38.
  99. ^ Druce 2009, hlm. 30.
  100. ^ Druce 2014, hlm. 152.
  101. ^ a b Sila 2015, hlm. 28.
  102. ^ Cummings 2007a, hlm. 41.
  103. ^ Cummings 2002, hlm. 22.
  104. ^ Pelras 1985, hlm. 139.
  105. ^ Pelras 1985, hlm. 131.
  106. ^ Pelras 1985, hlm. 142–144.
  107. ^ a b c d e f Andaya 1981, hlm. 30.
  108. ^ Pelras 1985, hlm. 141.
  109. ^ Pelras 1985, hlm. 138.
  110. ^ Reid 2000, hlm. 438.
  111. ^ Cummings 2002, hlm. 26–27.
  112. ^ a b c d Pelras 1997, hlm. 133.
  113. ^ a b Druce 2009, hlm. 246.
  114. ^ Bulbeck 1992, hlm. 30.
  115. ^ a b Cummings 2007a, hlm. 87.
  116. ^ Cummings 2014, hlm. 217.
  117. ^ a b Bulbeck 1992, hlm. 103.
  118. ^ Cummings 2007a, hlm. 94.
  119. ^ a b c d e Cummings 2005.
  120. ^ a b Cummings 2000.
  121. ^ Bulbeck 2006, hlm. 306.
  122. ^ Cummings 1999, hlm. 110–111.
  123. ^ a b Gibson 2005, hlm. 154.
  124. ^ Cummings 2005, hlm. 46.
  125. ^ Cummings 2005, hlm. 42.
  126. ^ Cummings 2007a, hlm. 6, 43.
  127. ^ Bulbeck 2006, hlm. 288.
  128. ^ Bulbeck 1992.
  129. ^ Bulbeck 1992, hlm. 483.
  130. ^ Bulbeck 1992, hlm. 203.
  131. ^ Higham 1989, hlm. 70.
  132. ^ Pelras 1997, hlm. 99.
  133. ^ Cummings 1999, hlm. 103.
  134. ^ a b Bulbeck & Caldwell 2008, hlm. 16.
  135. ^ Bulbeck 1992, hlm. 368, 608, 662–663.
  136. ^ a b Bulbeck & Caldwell 2008, hlm. 17.
  137. ^ Bulbeck 1992, hlm. 256.
  138. ^ Bulbeck 1992, hlm. 259.
  139. ^ a b Bulbeck 1992, hlm. 461–463.
  140. ^ a b c Bulbeck 1994.
  141. ^ Lieberman 2009, hlm. 851.
  142. ^ Pelras 2003, hlm. 266.
  143. ^ a b Pelras 1997, hlm. 122–124.
  144. ^ Noorduyn 1961, hlm. 31.
  145. ^ Bulbeck 1992, hlm. 20–21.
  146. ^ Cummings 2002, hlm. 42.
  147. ^ Jukes 2014, hlm. 3.
  148. ^ Jukes 2014, hlm. 2.
  149. ^ Noorduyn 1993, hlm. 567.
  150. ^ Miller 2010.
  151. ^ Reid 1988, hlm. 218.
  152. ^ Druce 2009, hlm. 73–74.
  153. ^ Cummings 2002.
  154. ^ Caldwell 2004.
  155. ^ a b c Druce 2009, hlm. 27.
  156. ^ Bulbeck & Caldwell 2000, hlm. 1.
  157. ^ Henley & Caldwell 2008, hlm. 271.
  158. ^ a b Caldwell 1995, hlm. 417.
  159. ^ a b c d e Bulbeck 1992, hlm. 469–472.
  160. ^ Caldwell 1995, hlm. 418.
  161. ^ a b c d e Cummings 2014, hlm. 222–224.

Daftar pustaka

Pranala luar

  • Situs resmi kelompok OXIS, "konfederasi tak resmi bagi para sejarawan, antropolog, arkeolog, ahli geografi, dan linguis yang meneliti asal-usul serta perkembangan masyarakat-masyarakat asli pulau Sulawesi di Indonesia." Situs ini memberikan akses bagi sejumlah besar artikel dan buku mengenai sejarah awal Gowa dan Tallo.