Pegunungan Dieng: Perbedaan antara revisi
Inayubhagya (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
k +kategori DAS; |
||
(12 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
⚫ | |||
{{Short description|Kawasan budaya di Jawa Tengah}} |
|||
[[Berkas:Dieng.jpg|jmpl|300px|Pemandangan pegunungan/perbukitan Dieng, dari atas [[Gunung Parahu]].]] |
|||
⚫ | |||
[[Berkas:KITLV - 50H6 - Junghuhn, Franz Wilhelm (1809-1864) - Mieling, C.W. - Dieng, Java - Colour lithography - 1853-1854.tif|thumb|right|300px|Lukisan panorama Dieng oleh Franz Wilhelm Junghuhn {{circa|1853-1854}}.]] |
|||
'''Pegunungan Dieng''' ({{lang-jv|ꦥꦒꦸꦤꦸꦔꦤ꧀ꦝꦶꦪꦺꦁ|Pagunungan Dièng}}) adalah kawasan [[pegunungan]] yang membentang dari wilayah barat [[Kabupaten Wonosobo]], wilayah timur [[Kabupaten Banjarnegara]], wilayah selatan [[Kabupaten Batang]] dan [[Kabupaten Pekalongan]] di Provinsi [[Jawa Tengah]]; sekaligus menjadi batas alamiah bagi keempat kabupaten tersebut. Puncak tertinggi di Pegunungan Dieng berada di [[Gunung Parahu]] yang memiliki ketinggian lebih dari 2.590 meter di atas permukaan laut. |
'''Pegunungan Dieng''' ({{lang-jv|ꦥꦒꦸꦤꦸꦔꦤ꧀ꦝꦶꦪꦺꦁ|Pagunungan Dièng}}) adalah kawasan [[pegunungan]] yang membentang dari wilayah barat [[Kabupaten Wonosobo]], wilayah timur [[Kabupaten Banjarnegara]], wilayah selatan [[Kabupaten Batang]] dan [[Kabupaten Pekalongan]] di Provinsi [[Jawa Tengah]]; sekaligus menjadi batas alamiah bagi keempat kabupaten tersebut. Puncak tertinggi di Pegunungan Dieng berada di [[Gunung Parahu]] yang memiliki ketinggian lebih dari 2.590 meter di atas permukaan laut. |
||
Baris 7: | Baris 6: | ||
== Iklim == |
== Iklim == |
||
[[Berkas:Pagi Candi Arjuna Dieng.jpg|thumb|right|200px|Suasana [[candi Arjuna]] pada pagi hari.]] |
[[Berkas:Pagi Candi Arjuna Dieng.jpg|thumb|right|200px|Suasana [[candi Arjuna]] pada pagi hari.]] |
||
Dieng memiliki iklim tropis. Karena terletak pada ±2.000 meter (6.600 kaki) di atas permukaan laut dan terhimpit oleh empat gunung. Dihiasi oleh tumbuhan, semak-semak dan udaranya yang dingin menjadikan Dieng sebagai wilayah dengan pemandangan alam yang memberikan perasaan tenang. |
|||
Pada musim kemarau di siang hari suhu berkisar antara 15° |
Pada musim kemarau di siang hari suhu berkisar antara 15 °C – 10 °C sedangkan pada malam hari suhu berkisar antara 5 °C – 10 °C, terkadang mencapai 0o dan biasanya kondisi tersebut disebut ''Bun Upas'', yaitu salju tipis atau embun yang menghampar wilayah Dieng dengan suhu di bawah titik beku. Akan tetapi pada bulan Juni, Juli dan Agustus sirkulasi udara biasanya berganti musim. Maka dalam bulan-bulan tersebut suhu udara berubah.<ref name="diengplat">{{cite web|title=Dieng Plateau|url=https://diengplateau.com/|newspaper=diengplateau.com|date=2021|archive-url=https://web.archive.org/web/20210507040819/https://diengplateau.com/ |archive-date=7 Mei 2021 }}</ref> |
||
Dikenal karena memiliki iklim yang dingin, suhu di |
Dikenal karena memiliki iklim yang dingin, suhu di Dieng bahkan bisa turun hingga 2 °C (bersamaan dengan angin dingin hingga -2 °C) di puncak musim kemaraunya. Meskipun jarang terjadi namun embun beku akan muncul setiap tahun, terutama malam hari dan pagi hari di bulan [[Juli]] dan [[Agustus]]. Hal ini berlangsung rata-rata selama satu minggu. Meskipun fenomena cuaca yang jarang terjadi secara regional ini kadang-kadang menarik wisatawan untuk datang ke daerah Dieng.<ref>{{Cite news|url=https://www.liputan6.com/news/read/3605728/wisatawan-berburu-foto-embun-es-di-dataran-tinggi-dieng| title= Wisatawan Berburu Foto Embun Es di Dataran Tinggi Dieng|work=[[Liputan6.com]] |date=31 Juli 2018 |editor-first=Maria|editor-last=Flora}}</ref> Ketika salju tiba pertanian di sekitar Dieng akan mengalami kerusakan dan gagal panen, pertanian dan tanaman seperti kentang yang paling parah terkena dampaknya. |
||
Berdasarkan [[klasifikasi iklim Köppen]], |
Berdasarkan [[klasifikasi iklim Köppen]], Dieng masuk dalam golongan [[Iklim laut|Cwb]], dengan musim kemarau yang dingin dan musim hujan yang relatif lebih hangat. Rata-rata suhu tahunan di Dihyang adalah 14,0 °C.<ref name="climatedata" /> |
||
{{Weather box |
{{Weather box |
||
Baris 73: | Baris 72: | ||
== Geografi == |
== Geografi == |
||
[[Berkas:Java - Dieng Plateau - 006 (8639079016).jpg|thumb|right|250px|Telaga warna di Dieng.]] |
[[Berkas:Java - Dieng Plateau - 006 (8639079016).jpg|thumb|right|250px|Telaga warna di Dieng.]] |
||
Dieng merupakan kawasan vulkanik aktif yang juga gunung api raksasa berbentuk dataran luas dengan panjang kurang lebih 9 mil (14 |
Dieng merupakan kawasan vulkanik aktif yang juga gunung api raksasa berbentuk dataran luas dengan panjang kurang lebih 9 mil (14 km) dan lebar 4 mil (6 km) memanjang dari arah barat daya-tenggara. Ketinggian Dieng mencapai 2000 Meter di atas permukaan laut. |
||
Secara administratif Dieng meliputi [[Kabupaten Wonosobo]] dan [[Kabupaten Banjarnegara]]. Wilayah Kabupaten Wonosobo di bagian timur disebut ''Dieng Wetan''. Sedangkan wilayah bagian barat di [[Kabupaten Banjarnegara]] disebut ''Dieng Kulon''. |
Secara administratif Dieng meliputi [[Kabupaten Wonosobo]] dan [[Kabupaten Banjarnegara]]. Wilayah Kabupaten Wonosobo di bagian timur disebut ''Dieng Wetan''. Sedangkan wilayah bagian barat di [[Kabupaten Banjarnegara]] disebut ''Dieng Kulon''. |
||
Baris 79: | Baris 78: | ||
Luas wilayah Dieng Wetan adalah 282.000 ha, yang dihuni oleh penduduk sebanyak 1.557 jiwa. Sebaliknya Dieng Kulon lebih luas dari Dieng Wetan, dengan luas 337.864 ha yang dihuni oleh penduduk sebanyak 2.480 jiwa. |
Luas wilayah Dieng Wetan adalah 282.000 ha, yang dihuni oleh penduduk sebanyak 1.557 jiwa. Sebaliknya Dieng Kulon lebih luas dari Dieng Wetan, dengan luas 337.864 ha yang dihuni oleh penduduk sebanyak 2.480 jiwa. |
||
Secara teritorial antara Dieng Kulon dan Dieng Wetan dibatasi dengan sungai kecil yang bernama Kali Tulis. Wilayah Dieng terletak di sebelah barat [[Gunung Sindoro]] dan [[Gunung Sumbing]] sehingga pemandangan disekitarnya tampak asri dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi. |
Secara teritorial antara Dieng Kulon dan Dieng Wetan dibatasi dengan sungai kecil yang bernama Kali Tulis. Wilayah Dieng terletak di sebelah barat [[Gunung Sindoro]] dan [[Gunung Sumbing]] sehingga pemandangan disekitarnya tampak asri dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi. |
||
Beberapa peninggalan budaya dan wilayah geografi Dieng telah dijadikan sebagai objek wisata dan dikelola bersama oleh kedua pemerintah setempat, yaitu Banjarnegara dan Wonosobo. |
Beberapa peninggalan budaya dan wilayah geografi Dieng telah dijadikan sebagai objek wisata dan dikelola bersama oleh kedua pemerintah setempat, yaitu Banjarnegara dan Wonosobo. |
||
== Geologi == |
== Geologi == |
||
:''Lihat pula: |
:''Lihat pula: Pegunungan Dieng'' |
||
Pada dasarnya Dataran Tinggi Dieng adalah [[kaldera]] yang dikelilingi oleh gunung-gunung di sekitarnya, antara lain [[Gunung Prahu]] (2.565 m) di sebelah timur laut kaldera, Bukit [[Gunung Sikunir|Sikunir]] (2.463 m), Gunung [[Gunung Pakuwaja|Pakuwaja]] (2.595 m), Gunung [[Gunung Bisma|Bismo]] (2.365 m) di sebelah selatan kaldera, serta kompleks Gunung Butak-Dringo-Petarangan (di sebelah barat laut). Di bawah permukaan kaldera terdapat aktivitas vulkanik, seperti halnya [[Yellowstone]] ataupun [[Dataran Tinggi Tengger]]. Di sini terdapat banyak kawah (''crater'') dan rekahan (''vent'') yang mengeluarkan hasil aktivitas geologi dalam berbagai wujud: [[fumarola]], [[solfatara]],sumber gas ([[Karbon dioksida|CO<sub>2</sub>]] maupun [[Karbon monoksida|CO]]), dan mata air (panas maupun dingin), serta danau vulkanik. Beberapa kawah masih sangat aktif, seperti Sileri, Candradimuka, dan Sikidang, dijadikan objek wisata alam. |
Pada dasarnya Dataran Tinggi Dieng adalah [[kaldera]] yang dikelilingi oleh gunung-gunung di sekitarnya, antara lain [[Gunung Prahu]] (2.565 m) di sebelah timur laut kaldera, Bukit [[Gunung Sikunir|Sikunir]] (2.463 m), Gunung [[Gunung Pakuwaja|Pakuwaja]] (2.595 m), Gunung [[Gunung Bisma|Bismo]] (2.365 m) di sebelah selatan kaldera, serta kompleks Gunung Butak-Dringo-Petarangan (di sebelah barat laut). Di bawah permukaan kaldera terdapat aktivitas vulkanik, seperti halnya [[Yellowstone]] ataupun [[Dataran Tinggi Tengger]]. Di sini terdapat banyak kawah (''crater'') dan rekahan (''vent'') yang mengeluarkan hasil aktivitas geologi dalam berbagai wujud: [[fumarola]], [[solfatara]],sumber gas ([[Karbon dioksida|CO<sub>2</sub>]] maupun [[Karbon monoksida|CO]]), dan mata air (panas maupun dingin), serta danau vulkanik. Beberapa kawah masih sangat aktif, seperti Sileri, Candradimuka, dan Sikidang, dijadikan objek wisata alam. |
||
Kondisi ini memiliki potensi bahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah tersebut. Kasus terakhir yang merenggut ratusan nyawa adalah bencana letusan gas Kawah Sinila pada tahun 1979. Tidak hanya [[gas]] beracun dan [[Letusan gunung|erupsi]], tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi [[gempa bumi]] (vulkanik), erupsi lumpur, [[tanah longsor]], dan [[banjir]]. Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan. |
Kondisi ini memiliki potensi bahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah tersebut. Kasus terakhir yang merenggut ratusan nyawa adalah bencana letusan gas Kawah Sinila pada tahun 1979. Tidak hanya [[gas]] beracun dan [[Letusan gunung|erupsi]], tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi [[gempa bumi]] (vulkanik), erupsi lumpur, [[tanah longsor]], dan [[banjir]]. Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan. |
||
Dari sisi biologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena di air-air panas di dekat kawah ditemukan beberapa spesies [[mikroorganisme]] termofilik ("penyuka panas") yang berpotensi menyingkap kehidupan awal di [[Bumi]]. Dieng juga memiliki beberapa spesies tumbuhan khas yang jarang dijumpai di tempat lain akibat kombinasi kondisi iklim dan geotermalnya yang unik. |
Dari sisi biologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena di air-air panas di dekat kawah ditemukan beberapa spesies [[mikroorganisme]] termofilik ("penyuka panas") yang berpotensi menyingkap kehidupan awal di [[Bumi]]. Dieng juga memiliki beberapa spesies tumbuhan khas yang jarang dijumpai di tempat lain akibat kombinasi kondisi iklim dan geotermalnya yang unik. |
||
Baris 97: | Baris 96: | ||
==== Kawasan Utara ==== |
==== Kawasan Utara ==== |
||
Kumpulan kawah ini berada di sekitar Gunung Sipandu. |
Kumpulan kawah ini berada di sekitar Gunung Sipandu. |
||
* [[Kawah Sileri|Sileri]] |
* [[Kawah Sileri|Sileri]] |
||
Baris 115: | Baris 114: | ||
*[[Kawah Pulosari|Pulosari]] |
*[[Kawah Pulosari|Pulosari]] |
||
Selain kawah aktif juga terdapat kawah-kawah non-aktif atau mati. Lapangan geotermal di sekitar Sikidang juga sudah dimanfaatkan untuk PLTP. |
Selain kawah aktif juga terdapat kawah-kawah non-aktif atau mati. Lapangan geotermal di sekitar Sikidang juga sudah dimanfaatkan untuk PLTP. |
||
==== Kawasan Barat Laut ==== |
==== Kawasan Barat Laut ==== |
||
Baris 121: | Baris 120: | ||
* [[Kawah Candradimuka|Candradimuka]] |
* [[Kawah Candradimuka|Candradimuka]] |
||
* [[Kawah Jalatunda|Jalatunda]] |
* [[Kawah Jalatunda|Jalatunda]] |
||
*[[Kawah Sidongkal|Sidongkal]] |
*[[Kawah Sidongkal|Sidongkal]] |
||
Baris 146: | Baris 144: | ||
== Sejarah == |
== Sejarah == |
||
[[Berkas:Javanen offerend bij Tjandi Parikesit.jpg|jmpl|Sesajian di candi Parikesit pada tahun 1886, gambar dari majalah Eigen Haard.]] |
[[Berkas:Javanen offerend bij Tjandi Parikesit.jpg|jmpl|Sesajian di candi Parikesit pada tahun 1886, gambar dari majalah Eigen Haard.]] |
||
Dihyang dahulu merupakan pusat kegamaan [[Hindu]] dan tempat ditemukannya delapan candi dari Kerajaan [[Mataram Kuno]].<ref name=Coedes>{{cite book|last= Coedès|first= George|author-link= George Coedès|editor= Walter F. Vella|others= trans.Susan Brown Cowing|title= The Indianized States of Southeast Asia|year= 1968|publisher= University of Hawaii Press|isbn= 978-0-8248-0368-1}}</ref>{{rp|79,90}} Belum ditemukan sumber prasasti mengenai kapan candi tersebut dibangun, diperkirakan berkisar antara pertengahan [[abad ke-7]] hingga [[abad ke-8]] Masehi; candi yang ditemukan di daerah Dieng diketahui didapati memiliki struktur batu tertua yang diketahui di Jawa.<ref name=romain>{{Citation|last=Romain|first=Julie|year=2011|editor-last=Manguin|editor-first=Pierre-Yves|editor2-last=Mani|editor3-last=Wade|editor3-first=Geoff|chapter=Indian Architecture in the ‘Sanskrit Cosmopolis’: The Temples of the Dieng Plateau|title=Early Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross-cultural Exchange|location=Singapore|publisher=Nalanda-Sriwijaya Centre. Institute of Southeast Asian Studies|volume=2|pages=299–316|isbn=9789814345101}}</ref> Pada zamannya candi di Dihyang diperkirakan berjumlah 400 tetapi hanya delapan yang tersisa. Candi-candi yang tersisa sekarang dinamai menurut nama tokoh pada epos [[Mahabharata]] dan [[pewayangan]] Jawa.<ref>Wright, A., & Smith, C. (2013). Volcanoes of Indonesia: Creators and Destroyers. Editions Didier Millet.</ref> |
Dihyang dahulu merupakan pusat kegamaan [[Hindu]] dan tempat ditemukannya delapan candi dari Kerajaan [[Mataram Kuno]].<ref name=Coedes>{{cite book|last= Coedès|first= George|author-link= George Coedès|editor= Walter F. Vella|others= trans.Susan Brown Cowing|title= The Indianized States of Southeast Asia|year= 1968|publisher= University of Hawaii Press|isbn= 978-0-8248-0368-1}}</ref>{{rp|79,90}} Belum ditemukan sumber prasasti mengenai kapan candi tersebut dibangun, diperkirakan berkisar antara pertengahan [[abad ke-7]] hingga [[abad ke-8]] Masehi; candi yang ditemukan di daerah Dieng diketahui didapati memiliki struktur batu tertua yang diketahui di Jawa.<ref name=romain>{{Citation|last=Romain|first=Julie|year=2011|editor-last=Manguin|editor-first=Pierre-Yves|editor2-last=Mani|editor3-last=Wade|editor3-first=Geoff|chapter=Indian Architecture in the ‘Sanskrit Cosmopolis’: The Temples of the Dieng Plateau|title=Early Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross-cultural Exchange|location=Singapore|publisher=Nalanda-Sriwijaya Centre. Institute of Southeast Asian Studies|volume=2|pages=299–316|isbn=9789814345101}}</ref> Pada zamannya candi di Dihyang diperkirakan berjumlah 400 tetapi hanya delapan yang tersisa. Candi-candi yang tersisa sekarang dinamai menurut nama tokoh pada epos [[Mahabharata]] dan [[pewayangan]] Jawa.<ref name="Wright, A. 2013">Wright, A., & Smith, C. (2013). Volcanoes of Indonesia: Creators and Destroyers. Editions Didier Millet.</ref> |
||
Ditinjau dari segi arsitektur candi di [[Jawa Tengah]], candi Dihyang memliki gaya arsitektur Jawa Tengahan atau |
Ditinjau dari segi arsitektur candi di [[Jawa Tengah]], candi Dihyang memliki gaya arsitektur Jawa Tengahan atau Mataram Kuno. Penelitian yang dilakukan memperkirakan bahwa candi-candi tersebut dibangun dalam periode yang sama, berkisar antara abad ke-7 hingga ke-8. Sebuah prasasti yang ditemukan di dekat [[candi Arjuna]] bertanggal sekitar tahun 808-809 M, merupakan bentuk [[aksara Jawa Kuno]] tertua yang masih ada, mengungkapkan bahwa candi di Dihyang terus dihuni dari pertengahan abad ke-7 hingga awal abad ke-9.<ref>{{cite book | author= Drs. R. Soekmono| title= ''Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2'', 2nd ed. | publisher = Penerbit Kanisius | date= 1973, 5th reprint edition in 1988 | location =Yogyakarta| page =87 }}</ref> |
||
Candi di Dihyang ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh seorang tentara [[Inggris]] saat mengunjungi reruntuhan candi yang terletak di tengah danau. Saat itu dataran di sekitar tergenang air dan membentuk danau kecil. Pada tahun 1856, Isidore van Kinsbergen memimpin upaya untuk mengeringkan danau untuk mengungkap candi. Pemerintah [[Hindia Belanda]] melanjutkan proyek rekonstruksi pada tahun 1864, dilanjutkan dengan studi lebih lanjut dan foto-foto yang diambil oleh Van Kinsbergen.<ref |
Candi di Dihyang ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh seorang tentara [[Inggris]] saat mengunjungi reruntuhan candi yang terletak di tengah danau. Saat itu dataran di sekitar tergenang air dan membentuk danau kecil. Pada tahun 1856, Isidore van Kinsbergen memimpin upaya untuk mengeringkan danau untuk mengungkap candi. Pemerintah [[Hindia Belanda]] melanjutkan proyek rekonstruksi pada tahun 1864, dilanjutkan dengan studi lebih lanjut dan foto-foto yang diambil oleh Van Kinsbergen.<ref name="Wright, A. 2013"/> |
||
== Tradisi == |
== Tradisi == |
||
Baris 184: | Baris 182: | ||
== Referensi == |
== Referensi == |
||
{{reflist}} |
{{reflist}} |
||
[[Kategori:Pegunungan di Jawa]] |
|||
[[Kategori:DAS Serayu]] |
Revisi per 9 November 2023 11.51
Pegunungan Dieng (bahasa Jawa: ꦥꦒꦸꦤꦸꦔꦤ꧀ꦝꦶꦪꦺꦁ, translit. Pagunungan Dièng) adalah kawasan pegunungan yang membentang dari wilayah barat Kabupaten Wonosobo, wilayah timur Kabupaten Banjarnegara, wilayah selatan Kabupaten Batang dan Kabupaten Pekalongan di Provinsi Jawa Tengah; sekaligus menjadi batas alamiah bagi keempat kabupaten tersebut. Puncak tertinggi di Pegunungan Dieng berada di Gunung Parahu yang memiliki ketinggian lebih dari 2.590 meter di atas permukaan laut.
Iklim
Dieng memiliki iklim tropis. Karena terletak pada ±2.000 meter (6.600 kaki) di atas permukaan laut dan terhimpit oleh empat gunung. Dihiasi oleh tumbuhan, semak-semak dan udaranya yang dingin menjadikan Dieng sebagai wilayah dengan pemandangan alam yang memberikan perasaan tenang.
Pada musim kemarau di siang hari suhu berkisar antara 15 °C – 10 °C sedangkan pada malam hari suhu berkisar antara 5 °C – 10 °C, terkadang mencapai 0o dan biasanya kondisi tersebut disebut Bun Upas, yaitu salju tipis atau embun yang menghampar wilayah Dieng dengan suhu di bawah titik beku. Akan tetapi pada bulan Juni, Juli dan Agustus sirkulasi udara biasanya berganti musim. Maka dalam bulan-bulan tersebut suhu udara berubah.[1]
Dikenal karena memiliki iklim yang dingin, suhu di Dieng bahkan bisa turun hingga 2 °C (bersamaan dengan angin dingin hingga -2 °C) di puncak musim kemaraunya. Meskipun jarang terjadi namun embun beku akan muncul setiap tahun, terutama malam hari dan pagi hari di bulan Juli dan Agustus. Hal ini berlangsung rata-rata selama satu minggu. Meskipun fenomena cuaca yang jarang terjadi secara regional ini kadang-kadang menarik wisatawan untuk datang ke daerah Dieng.[2] Ketika salju tiba pertanian di sekitar Dieng akan mengalami kerusakan dan gagal panen, pertanian dan tanaman seperti kentang yang paling parah terkena dampaknya.
Berdasarkan klasifikasi iklim Köppen, Dieng masuk dalam golongan Cwb, dengan musim kemarau yang dingin dan musim hujan yang relatif lebih hangat. Rata-rata suhu tahunan di Dihyang adalah 14,0 °C.[3]
Data iklim Dihyang | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bulan | Jan | Feb | Mar | Apr | Mei | Jun | Jul | Agt | Sep | Okt | Nov | Des | Tahun |
Rata-rata tertinggi °C (°F) | 17.9 (64.2) |
18.5 (65.3) |
18.6 (65.5) |
18.4 (65.1) |
18.5 (65.3) |
18.5 (65.3) |
18.2 (64.8) |
18.0 (64.4) |
18.5 (65.3) |
18.8 (65.8) |
19.2 (66.6) |
18.8 (65.8) |
18.49 (65.28) |
Rata-rata harian °C (°F) | 13.9 (57) |
14.3 (57.7) |
14.4 (57.9) |
14.4 (57.9) |
14.3 (57.7) |
13.8 (56.8) |
13.2 (55.8) |
12.8 (55) |
13.6 (56.5) |
14.2 (57.6) |
14.7 (58.5) |
14.4 (57.9) |
14 (57.19) |
Rata-rata terendah °C (°F) | 10.0 (50) |
10.1 (50.2) |
10.3 (50.5) |
10.4 (50.7) |
10.1 (50.2) |
9.2 (48.6) |
8.3 (46.9) |
7.6 (45.7) |
8.7 (47.7) |
9.6 (49.3) |
10.3 (50.5) |
10.1 (50.2) |
9.56 (49.21) |
Presipitasi mm (inci) | 370 (14.57) |
430 (16.93) |
434 (17.09) |
249 (9.8) |
153 (6.02) |
83 (3.27) |
53 (2.09) |
35 (1.38) |
57 (2.24) |
170 (6.69) |
230 (9.06) |
388 (15.28) |
2.652 (104,42) |
Sumber: [3] |
Geografi
Dieng merupakan kawasan vulkanik aktif yang juga gunung api raksasa berbentuk dataran luas dengan panjang kurang lebih 9 mil (14 km) dan lebar 4 mil (6 km) memanjang dari arah barat daya-tenggara. Ketinggian Dieng mencapai 2000 Meter di atas permukaan laut.
Secara administratif Dieng meliputi Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Wilayah Kabupaten Wonosobo di bagian timur disebut Dieng Wetan. Sedangkan wilayah bagian barat di Kabupaten Banjarnegara disebut Dieng Kulon.
Luas wilayah Dieng Wetan adalah 282.000 ha, yang dihuni oleh penduduk sebanyak 1.557 jiwa. Sebaliknya Dieng Kulon lebih luas dari Dieng Wetan, dengan luas 337.864 ha yang dihuni oleh penduduk sebanyak 2.480 jiwa.
Secara teritorial antara Dieng Kulon dan Dieng Wetan dibatasi dengan sungai kecil yang bernama Kali Tulis. Wilayah Dieng terletak di sebelah barat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sehingga pemandangan disekitarnya tampak asri dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi.
Beberapa peninggalan budaya dan wilayah geografi Dieng telah dijadikan sebagai objek wisata dan dikelola bersama oleh kedua pemerintah setempat, yaitu Banjarnegara dan Wonosobo.
Geologi
- Lihat pula: Pegunungan Dieng
Pada dasarnya Dataran Tinggi Dieng adalah kaldera yang dikelilingi oleh gunung-gunung di sekitarnya, antara lain Gunung Prahu (2.565 m) di sebelah timur laut kaldera, Bukit Sikunir (2.463 m), Gunung Pakuwaja (2.595 m), Gunung Bismo (2.365 m) di sebelah selatan kaldera, serta kompleks Gunung Butak-Dringo-Petarangan (di sebelah barat laut). Di bawah permukaan kaldera terdapat aktivitas vulkanik, seperti halnya Yellowstone ataupun Dataran Tinggi Tengger. Di sini terdapat banyak kawah (crater) dan rekahan (vent) yang mengeluarkan hasil aktivitas geologi dalam berbagai wujud: fumarola, solfatara,sumber gas (CO2 maupun CO), dan mata air (panas maupun dingin), serta danau vulkanik. Beberapa kawah masih sangat aktif, seperti Sileri, Candradimuka, dan Sikidang, dijadikan objek wisata alam.
Kondisi ini memiliki potensi bahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah tersebut. Kasus terakhir yang merenggut ratusan nyawa adalah bencana letusan gas Kawah Sinila pada tahun 1979. Tidak hanya gas beracun dan erupsi, tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi (vulkanik), erupsi lumpur, tanah longsor, dan banjir. Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan.
Dari sisi biologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena di air-air panas di dekat kawah ditemukan beberapa spesies mikroorganisme termofilik ("penyuka panas") yang berpotensi menyingkap kehidupan awal di Bumi. Dieng juga memiliki beberapa spesies tumbuhan khas yang jarang dijumpai di tempat lain akibat kombinasi kondisi iklim dan geotermalnya yang unik.
Kawah-kawah
Kawah-kawah aktif di Dataran Tinggi Dieng menunjukkan adanya aktivitas vulkanik yang tinggi di bawah permukaan tanah. Selain semburan gas atau uap air, bentuk aktivitas lainnya adalah letusan (erupsi) maupun gempa bumi. Bencana sekunder yang dapat terjadi adalah banjir dan aliran lahar. Pemantauan aktivitas dilakukan oleh PVMBG melalui Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Dieng di Desa Karangtengah. Berikut adalah kawah-kawah aktif yang ditemukan di Dataran Tinggi Dieng.
Kawasan Utara
Kumpulan kawah ini berada di sekitar Gunung Sipandu.
Terdapat banyak kawah-kawah di sekitar Sileri. Daerah ini sangat aktif dan telah dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik panas bumi/geotermal (PLTP) oleh PT Geo Dipa Energi.
Kawasan Selatan
Aktivitas geotermal di bagian selatan ditemukan di sekitar Gunung Pangonan sampai kompleks Gunung Pakuwaja-Sikunir. Kompleks ini juga berada terdekat dengan kompleks percandian di Dieng.
- Sibanteng
- Sikendang, berada di tepi Telaga Warna dan berpotensi gas beracun
- Sikidang
- Upas-Luwuk
- Pakuwaja
- Pulosari
Selain kawah aktif juga terdapat kawah-kawah non-aktif atau mati. Lapangan geotermal di sekitar Sikidang juga sudah dimanfaatkan untuk PLTP.
Kawasan Barat Laut
Agak jauh, berada di sebelah barat dari kompleks Sileri dan di utara pusat kecamatan Batur, terdapat kumpulan aktivitas vulkanik yang terkenal karena catatan letusan yang mematikan akibat emisi gas oksida karbon dengan konsentrasi tinggi. Aktivitas vulkanik di sini terkait dengan keberadaan kompleks Gunung Butak-Petarangan yang sebelumnya merupakan gunung api stratovulkan.
- Candradimuka
- Jalatunda
- Sidongkal
- Siglagah
- Sigluduk, berpotensi gas beracun
- Sinila , berpotensi gas beracun
- Timbang , berpotensi gas beracun
Galeri gambar
-
Sumur Jalatunda pada tahun 1937
Danau vulkanik
Danau atau telaga banyak terbentuk di Dataran Tinggi Dieng karena memang bagian tertentu kawasan ini berawa-rawa serta akibat aktivitas geologi.
- Telaga Warna
- Telaga Pengilon
- Telaga Cebong
- Telaga Merdada
- Telaga Dringo
- Telaga Nila
Sejarah
Dihyang dahulu merupakan pusat kegamaan Hindu dan tempat ditemukannya delapan candi dari Kerajaan Mataram Kuno.[4] Belum ditemukan sumber prasasti mengenai kapan candi tersebut dibangun, diperkirakan berkisar antara pertengahan abad ke-7 hingga abad ke-8 Masehi; candi yang ditemukan di daerah Dieng diketahui didapati memiliki struktur batu tertua yang diketahui di Jawa.[5] Pada zamannya candi di Dihyang diperkirakan berjumlah 400 tetapi hanya delapan yang tersisa. Candi-candi yang tersisa sekarang dinamai menurut nama tokoh pada epos Mahabharata dan pewayangan Jawa.[6]
Ditinjau dari segi arsitektur candi di Jawa Tengah, candi Dihyang memliki gaya arsitektur Jawa Tengahan atau Mataram Kuno. Penelitian yang dilakukan memperkirakan bahwa candi-candi tersebut dibangun dalam periode yang sama, berkisar antara abad ke-7 hingga ke-8. Sebuah prasasti yang ditemukan di dekat candi Arjuna bertanggal sekitar tahun 808-809 M, merupakan bentuk aksara Jawa Kuno tertua yang masih ada, mengungkapkan bahwa candi di Dihyang terus dihuni dari pertengahan abad ke-7 hingga awal abad ke-9.[7]
Candi di Dihyang ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh seorang tentara Inggris saat mengunjungi reruntuhan candi yang terletak di tengah danau. Saat itu dataran di sekitar tergenang air dan membentuk danau kecil. Pada tahun 1856, Isidore van Kinsbergen memimpin upaya untuk mengeringkan danau untuk mengungkap candi. Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan proyek rekonstruksi pada tahun 1864, dilanjutkan dengan studi lebih lanjut dan foto-foto yang diambil oleh Van Kinsbergen.[6]
Tradisi
Beberapa penduduk di Dieng diketahui memiliki fenotipe, rambut yang gimbal. Diduga sifat rambut ini diturunkan secara genetik. Setiap tahun diadakan upacara pemotongan rambut gimbal untuk warga dengan ciri fisik demikian. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Dieng pada tanggal siji Sura menurut Kalender Jawa. Tradisi ini bertujuan untuk membersihkan dan membebaskan anak-anak berambut gimbal dari sukerta (malapetaka).[8]
Kepercayaan bahwa anak berambut gimbal adalah keturunan Kyai Kolodete, seorang mantan resi Hindu yang kemudian memeluk Islam. Mereka juga percaya bahwa rambut gimbal hanya boleh dipotong bila anak yang bersangkutan sudah menghendakinya dan harus dilakukan ruwatan yang dipimpin tetua adat. Uniknya, ruwatan ini hanya dapat dilakukan setelah orang tua memenuhi permintaan yang diajukan oleh anak yang bersangkutan. Konon jika pemotongan rambut gimbal tidak dilakukan maka rambut tersebut akan kembali tumbuh dan anak akan sering sakit-sakitan.[9]
Galeri
-
Arca dewa Syiwa Trimukha di Museum Dieng Kailasa
Lihat juga
Bacaan lebih lanjut
- Backshall, Stephan et al. (1999) Indonesia The Rough Guide London Penguin ISBN 1-85828-429-5 pp. 190–195
- Dalton, Bill Indonesia Handbook fourth edition pp. 280–283
- Dumarcay, J and Miksic J. Temples of the Dieng Plateau in Miksic, John 1996 (editor) 1996 Ancient History Volume 1 of Indonesian Heritage Series Archipelago Press, Singapore. ISBN 981-3018-26-7
- Muffler, L.J.P., 1970, Geothermla potential of the Dieng Mountains, central Java, Indonesia: U.S. Geol. Survey Project rep. (IR) IND-10
- Mertadiwangsa, S. Adisarwono, (1999) Dataran tinggi Dieng : objek wisata alam dan objek wisata budayanya: Kaliwangi Offset Yogyakarta, (In Indonesian)
- Witton, Patrick (2003). Indonesia (edisi ke-7). Melbourne: Lonely Planet. hlm. 209–211. ISBN 1-74059-154-2.
Referensi
- ^ "Dieng Plateau". diengplateau.com. 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Mei 2021.
- ^ Flora, Maria, ed. (31 Juli 2018). "Wisatawan Berburu Foto Embun Es di Dataran Tinggi Dieng". Liputan6.com.
- ^ a b http://en.climate-data.org/location/623617/
- ^ Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1.
- ^ Romain, Julie (2011), "Indian Architecture in the 'Sanskrit Cosmopolis': The Temples of the Dieng Plateau", dalam Manguin, Pierre-Yves; Mani; Wade, Geoff, Early Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross-cultural Exchange, 2, Singapore: Nalanda-Sriwijaya Centre. Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 299–316, ISBN 9789814345101
- ^ a b Wright, A., & Smith, C. (2013). Volcanoes of Indonesia: Creators and Destroyers. Editions Didier Millet.
- ^ Drs. R. Soekmono (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 87.
- ^ Abdoel, Ifa (2013). Journey to Amazing Sites. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm. 262–264. ISBN 9786020218335.
- ^ "Anak-Anak Rambut Gimbal di Dieng Titipan Kyai Kolo Dete". Indonesia Kaya. Diakses tanggal 4 Maret 2019.