Lompat ke isi

Kerajaan Bedahulu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Angayubagia (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh Jalak Bali (tlg jangn blok sy) (bicara) ke revisi terakhir oleh Nyilvoskt
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(45 revisi perantara oleh 16 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{lihat juga|Kerajaan Bali}}
{{Infobox Former Country
{{Infobox Former Country
| conventional_long_name = Kerajaan Bedahulu <br/>Kerajaan Pejeng <br/>Kerajaan Singamandawa
|conventional_long_name = Kerajaan Badahulu <br/>Kerajaan Péjéng <br/>Kerajaan Singamandawa <br/>Singhadwala
| native_name =
|native_name =
| common_name = Bedulu
|common_name = Bedulu
|s1 = Majapahit
| continent = Asia Tenggara
| country = Bali
|flag_s1 = Surya Majapahit.png
|common_languages = [[Bahasa Bali|Bali]] (utama)<br>{{nobold|[[Bahasa Jawa kuno|Kawi]] dan [[sansekerta]]}} (religius)
| s1 = Majapahit
|religion = [[Hindu Bali|Hindu]] (resmi)
| flag_s1 = Surya Majapahit.png
|capital = [[Pejeng, Tampaksiring, Gianyar|Pejeng]]
| common_languages = [[Bahasa Bali|Bali]]
|government_type = Monarki
| capital = [[Pejeng, Tampaksiring, Gianyar|Pejeng]]
|title_leader = Raja
| government_type = Monarki
|leader1 = [[Sri Kesari Warmadewa]]
| title_leader = Raja
|year_leader1 = 882–913
| leader1 = [[Sri Kesari Warmadewa]]
|leader2 = Dalem Makambika
| year_leader1 = 882–913
| leader2 = Dalem Makambika
|year_leader2 = 1345–1347
| year_leader2 = 1345–1347
|era =
| era =
|event_start =
| event_start =
|date_start =
| date_start =
|year_start = 883 M
| year_start = 883 M
|event_end = Dikalahkan oleh Majapahit
| event_end = Dikalahkan oleh Majapahit
|date_end =
| date_end =
|year_end = 1347 M
| year_end = 1347 M
}}
}}


'''Kerajaan Bedahulu''' atau '''Bedulu''' (disebut juga '''Kerajaan Pejeng''' karena lokasinya di [[Pejeng, Tampaksiring, Gianyar|Pejeng]]) adalah kerajaan kuno di pulau [[Bali]] pada abad ke-8 sampai abad ke-14, yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng (baca: ''pèjèng'') atau [[Bedulu, Blahbatuh, Gianyar|Bedulu]], [[Kabupaten Gianyar]], [[Bali]].
'''Kerajaan Badahulu''' atau '''Bedulu''' (disebut juga '''Kerajaan Pejeng''' karena lokasinya di [[Pejeng, Tampaksiring, Gianyar|Pejeng]]) adalah kerajaan kuno di pulau [[Bali]] pada abad ke-8 sampai abad ke-14 Masehi, yang memiliki pusat kerajaan di sekitar [[Pejeng, Tampaksiring, Gianyar|Pejeng]] (baca: ''pèjèng'') atau [[Bedulu, Blahbatuh, Gianyar|Bedulu]], [[Kabupaten Gianyar]], [[Bali]].


Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan [[dinasti Warmadewa]]. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Bedahulu) menentang ekspansi [[kerajaan Majapahit]] pada tahun 1343, yang dipimpin oleh [[Gajah Mada]], namun berakhir dengan kekalahan Bedulu. Perlawanan Bedulu kemudian benar-benar padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (''Dalem Makambika'') berhasil dikalahkan tahun 1347 M.
Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan [[dinasti Warmadewa]]. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Badahulu) yang menentang ekspansi [[kerajaan Majapahit]] pada tahun 1343 pimpinan [[Gajah Mada]], namun berakhir dengan kekalahan Bedulu. Perlawanan Bedulu kemudian benar-benar padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (''Dalem Makambika'') berhasil dikalahkan tahun 1347 M.


Setelah itu [[Gajah Mada]] menempatkan seorang keturunan [[brahmana]] dari [[Jawa]] bernama [[Sri Kresna Kepakisan]] sebagai raja (''Dalem'') di pulau Bali. Keturunan [[dinasti Kepakisan]] inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.
Setelah itu [[Gajah Mada]] menempatkan seorang keturunan [[brahmana]] dari [[Jawa]] bernama [[Sri Kresna Kepakisan]] sebagai raja (''Dalem'') di pulau Bali. Keturunan [[dinasti Kepakisan]] inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.


== Sejarah Kerajaan ==
== Sejarah ==
Nama Pejeng mulai dikenal sejak tahun 1705, melalui laporan naturalis Belanda [[Georg Everhard Rumphius]], berjudul ''Amboinsche Reteitkamer''. Dalam laporan tersebut, Rumphius menyebut keberadaan genderang (nekara) berbahan perunggu yang kemudian hari disebut ''Bulan Pejeng''. Rumphius sendiri belum pernah melihat benda tersebut. Dia mendapat informasi dari orang lain yang menyatakan bahwa di Pejeng ada benda misterius dari perunggu. Benda ini dianggap meteorit dan bidang pukulnya yang bulat dianggap sebagai bulatan roda. Rumphius menulis, benda ini semula tergeletak di tanah, tidak seorang pun yang berani memindahkan karena takut mendapat celaka. Inventarisasi kepurbakalaan yang dilakukan ''Oudheidkundige Dienst'' (OD) atau Jawatan Purbakala Pemerintah [[Hindia Belanda]], yang kemudian diteruskan oleh Balai Kepurbakalaan Indonesia, menemukan kenyataan Desa Pejeng memiliki peninggalan arkeologis yang amat beragam dan tersebar hampir di seluruh pelosok desa. Peninggalan-peninggalan purba dan tulisan-tulisan yang ada membuat para ahli memperkirakan Pejeng adalah pusat Kerajaan Bali Kuno yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kerajaan Bedahulu (883-1343 M). Kata ''"pejeng"'' sendiri diduga berasal dari kata ''"pajeng"'' (payung), karena dari desa inilah raja-raja Bali Kuno memayungi rakyatnya. Ada juga yang menduga berasal dari kata ''pajang'', bahasa Jawa Kuno yang berarti sinar. Bagi tetua di Pejeng, sebelum Pejeng desa itu disebut Soma Negara, ibukota '''Kerajaan Singamandawa'''.
Nama Pejeng mulai dikenal sejak tahun 1705, melalui laporan naturalis Belanda [[Georg Everhard Rumphius]], berjudul ''Amboinsche Reteitkamer''. Dalam laporan tersebut, Rumphius menyebut keberadaan genderang (nekara) berbahan perunggu yang kemudian hari disebut ''Bulan Pejeng''. Rumphius sendiri belum pernah melihat benda tersebut. Dia mendapat informasi dari orang lain yang menyatakan bahwa di Pejeng ada benda misterius dari perunggu. Benda ini dianggap meteorit dan bidang pukulnya yang bulat dianggap sebagai bulatan roda. Rumphius menulis, benda ini semula tergeletak di tanah, tidak seorang pun yang berani memindahkan karena takut mendapat celaka. Inventarisasi kepurbakalaan yang dilakukan ''Oudheidkundige Dienst'' (OD) atau Jawatan Purbakala Pemerintah [[Hindia Belanda]], yang kemudian diteruskan oleh Balai Kepurbakalaan Indonesia, menemukan kenyataan Desa Pejeng memiliki peninggalan arkeologis yang amat beragam dan tersebar hampir di seluruh pelosok desa. Peninggalan-peninggalan purba dan tulisan-tulisan yang ada membuat para ahli memperkirakan Pejeng adalah pusat Kerajaan Bali Kuno yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kerajaan Bedahulu (883-1343 M). Kata ''"pejeng"'' sendiri diduga berasal dari kata ''"pajeng"'' (payung), karena dari desa inilah raja-raja Bali Kuno memayungi rakyatnya. Ada juga yang menduga berasal dari kata ''pajang'', bahasa Jawa Kuno yang berarti sinar. Bagi tetua di Pejeng, sebelum Pejeng desa itu disebut Soma Negara, ibu kota '''Kerajaan Singamandawa'''.


''Bulan Pejeng'' yang kini disimpan di Pura Penataran Sasih adalah nekara terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia: tinggi 186,5&nbsp;cm dan garis tengah bidang pukul 160&nbsp;cm. Nekara bertipe moko ini dalam perkembangan lebih lanjut menjadi model pertama untuk semua jenis moko yang kini banyak dijumpai di wilayah Indonesia lainnya dalam ukuran lebih kecil. Nama nekara terdapat dalam berbagai bahasa mulai dari ''kettledrum'' (Inggris), ''pauke'' atau ''metalltrommeln'' (Jerman), ''ketletrom'' (Belanda), kedeltrommeln (Denmark), hingga tambour metallique (Prancis), sebagai nama yang paling sering digunakan. Di Indonesia, nekara memiliki nama lokal beragam, seperti bulan untuk menyebut nama nekara dari Pejeng (Bali), tifa guntur (Maluku), makalamau (Sangeang), moko (Alor), kuang (Pulau Pantar), dan wulu (Flores Timur).
''Bulan Pejeng'' yang kini disimpan di Pura Penataran Sasih adalah nekara terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia: tinggi 186,5&nbsp;cm dan garis tengah bidang pukul 160&nbsp;cm. Nekara bertipe moko ini dalam perkembangan lebih lanjut menjadi model pertama untuk semua jenis moko yang kini banyak dijumpai di wilayah Indonesia lainnya dalam ukuran lebih kecil. Nama nekara terdapat dalam berbagai bahasa mulai dari ''kettledrum'' (Inggris), ''pauke'' atau ''metalltrommeln'' (Jerman), ''ketletrom'' (Belanda), kedeltrommeln (Denmark), hingga tambour metallique (Prancis), sebagai nama yang paling sering digunakan. Di Indonesia, nekara memiliki nama lokal beragam, seperti bulan untuk menyebut nama nekara dari Pejeng (Bali), tifa guntur (Maluku), makalamau (Sangeang), moko (Alor), kuang (Pulau Pantar), dan wulu (Flores Timur).


Bulan Pejeng berasal dari kebudayaan logam terutama perunggu di Asia Tenggara dimulai sekitar 3000-2000 SM berdasarkan hasil temuan di situs Dongson, Provinsi Thanh Hoc, Vietnam Utara. Nekara yang masih disakralkan oleh masyarakat Bali ini menunjukkan, bahwa di Masa Pra-Sejarah Pejeng telah dihuni oleh masyarakat yang memiliki tingkat kebudayaan tinggi dan terhubung dengan masyarakat internasional. Dan, jauh sebelum pengaruh agama Hindu sampai di Bali.
Bulan Pejeng berasal dari kebudayaan logam terutama perunggu di Asia Tenggara dimulai sekitar 3000-2000 SM berdasarkan hasil temuan di situs Dongson, Provinsi Thanh Hoc, Vietnam Utara. Nekara yang masih disakralkan oleh masyarakat Bali ini menunjukkan, bahwa di Masa Pra-Sejarah Pejeng telah dihuni oleh masyarakat yang memiliki tingkat kebudayaan tinggi dan terhubung dengan masyarakat internasional jauh sebelum pengaruh agama Hindu sampai di Bali.


Salah satu prasasti berangka tahun 875 Saka/953 M berbahasa [[Sansekerta]] menyebut nama ''"Sri Walipuram"'' yang mengandung arti, bahwa Bali merupakan suatu kerajaan. Selain itu juga, ada beberapa prasasti yang menyebut kata ''baladwipamandala'', misalnya [[Prasasti Klandis]] menyebutkan;
Salah satu prasasti berangka tahun 875 Saka/953 M berbahasa [[Sansekerta]] menyebut nama ''"Sri Walipuram"'' yang mengandung arti, bahwa Bali merupakan suatu kerajaan. Selain itu juga, ada beberapa prasasti yang menyebut kata ''baladwipamandala'', misalnya [[Prasasti Klandis]] menyebutkan;
Baris 44: Baris 44:
Selain ungkapan tersebut, dalam [[Prasasti Cempaga A]] yang berangka tahun 1103 Saka/1181 M, Bali disebut dengan istilah ''“baliwipanagara”'' yang dapat diartikan Bali merupakan suatu Negara.
Selain ungkapan tersebut, dalam [[Prasasti Cempaga A]] yang berangka tahun 1103 Saka/1181 M, Bali disebut dengan istilah ''“baliwipanagara”'' yang dapat diartikan Bali merupakan suatu Negara.


Keberadaan Kerajaan Bali Kuno ini juga dikuatkan dengan peninggalan arca-arca kuno yang diletakkan dalam lingkungan pura di Pejeng yang dilindungi oleh masyarakat sampai sekarang, Misalnya saja, ''Arca Bhairawa'' di Pura Kebo Edan, ''Arca Ratu Mecaling'' di Pura Pusering Jagat (Pura Tasik), Pura Manik Galag (Pura Manik Corong) sebagai Pura Sad Kahyangan atau ''setananya'' Bhatara Manik Galang dan Pura Penataran Sasih.
Keberadaan Kerajaan Bali Kuno ini juga dikuatkan dengan peninggalan arca-arca kuno yang diletakkan dalam lingkungan pura di Pejeng yang dilindungi oleh masyarakat sampai sekarang, Misalnya saja, ''Arca Bhairawa'' di [[Pura Kebo Edan]], ''Arca Ratu Mecaling'' di Pura Pusering Jagat (Pura Tasik), [[Pura Manik Galag]] (Pura Manik Corong) sebagai Pura Sad Kahyangan atau ''setananya'' Bhatara Manik Galang dan Pura Penataran Sasih.


Penemuan fragmen-fragmen pada prasasti di Pejeng juga mengungkap sejarah dan perkembangan aliran agama di Bali sejak sebelum abad ke-8 M. Penelitian ahli purbakala, Dr. R. Goris, yang diterbitkan pada 1926 menyebutkan, di masa [[Udayana|Raja Dharma Udayana]] terapat sembilan sekte agama dengan penganut yang hidup berbaur dan berdampingan, yakni: Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Ke-sembilan sekte itu kemudian dikristalisasi oleh Senapati Mpu Rajakerta yang lebih dikenal sebagai Mpu Kuturan, dalam bentuk pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Pakraman (Desa Adat Bali) hingga kini. Penyatuan sekte-sekte itu dipercaya terjadi di Pura Samuan Tiga, Pejeng.
Penemuan fragmen-fragmen pada prasasti di Pejeng juga mengungkap sejarah dan perkembangan aliran agama di Bali sejak sebelum abad ke-8 M. Penelitian ahli purbakala, [[Roelof Goris|Dr. R. Goris]], yang diterbitkan pada 1926 menyebutkan, di masa [[Udayana|Raja Dharma Udayana]] terdapat sembilan aliran keagamaan dengan penganut yang hidup berbaur dan berdampingan, yakni: ''Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya)'' dan ''Ganapatya''. Ke-sembilan aliran itu kemudian dikristalisasi oleh Senapati Mpu Rajakerta yang lebih dikenal sebagai [[Mpu Kuturan]], dalam bentuk pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Pakraman (Desa Adat Bali) hingga kini. Penyatuan aliran-aliran itu dipercaya terjadi di [[Pura Samuan Tiga]], Pejeng.


Pejeng sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bali Kuno yang menurunkan raja-raja besar dari Dinasti Warmadewa, berakhir setelah penyerbuan [[Gajah Mada|Patih Gajah Mada]] dari [[Majapahit]] ke Bali pada 1343 M. Oleh Gajah Mada, pusat Kerajaan dipindahkan ke [[Gelgel, Klungkung, Klungkung|Gelgel]]. Pada 1686, pasca raja terakhir Dinasti Gelgel, [[Dalem Di Made|Dalem Dimade]] wafat, pusat kerajaan dipindahkan [[Klungkung, Klungkung|Klungkung]]. Pada periode Klungkung inilah, kekuasaan di Bali terpecah menjadi sembilan swapraja atau kerajaan kecil.<ref name="Pejeng">{{Cite web|url= http://www.pejeng.desa.id/reload.php?ref=post-content&post=sejarah-desa&refp=page&kat= |website= www.pejeng.desa.id |title= Sejarah Kerajaan Pejeng |access-date= 2019-02-14}}</ref>
Pejeng sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bali Kuno yang menurunkan raja-raja besar dari Dinasti Warmadewa, berakhir setelah penyerbuan [[Gajah Mada|Patih Gajah Mada]] dari [[Majapahit]] ke Bali pada 1343 M. Oleh Gajah Mada, pusat Kerajaan dipindahkan ke [[Gelgel, Klungkung, Klungkung|Gelgel]]. Pada 1686, pasca raja terakhir Dinasti Gelgel, [[Dalem Di Made]] wafat, pusat kerajaan dipindahkan [[Klungkung, Klungkung|Klungkung]]. Pada periode Klungkung inilah, kekuasaan di Bali terpecah menjadi sembilan swapraja atau kerajaan kecil.<ref name="Pejeng">{{Cite web |url= http://www.pejeng.desa.id/reload.php?ref=post-content&post=sejarah-desa&refp=page&kat= |website= www.pejeng.desa.id |title= Sejarah Kerajaan Pejeng |access-date= 2019-02-14 |archive-date= 2020-02-06 |archive-url= https://web.archive.org/web/20200206221824/http://www.pejeng.desa.id/reload.php?ref=post-content&post=sejarah-desa&refp=page&kat= |dead-url= yes }}</ref>


== Silsilah Raja-Raja Bedahulu ==
== Silsilah Raja-Raja Badahulu ==
{{utama|Daftar Raja Bali}}
Berikut adalah daftar silsilah raja yang berkuasa di Kerajaan Bedahulu;
Berikut adalah daftar silsilah raja yang berkuasa di Kerajaan Badahulu;
# [[Sri Kesari Warmadewa]]/Sri Wira Dalem Kesari (882-913)
=== Wangsa Warmadewa ===
# [[Sri Ugrasena]] - (915-939)
{{utama|Wangsa Warmadewa}}
# Agni
# [[Tabanendra Warmadewa]]
{{:Wangsa Warmadewa}}

# Candrabhaya Singa Warmadewa (960-975)
=== Wangsa Jaya ===
# [[Janasadhu Warmadewa]]
{{utama|Wangsa Jaya}}
# [[Śri Wijaya Mahadewi]]
Berikut daftar raja Bali Kuno, Wangsa Jaya;<ref name="tatkala">{{Cite web|date=2020-01-29|title=Tercatat 23 Nama Raja pada Masa Bali Kuno – Siapa Saja Mereka?|url=https://tatkala.co/2020/01/29/tercatat-23-nama-raja-pada-masa-bali-kuno-siapa-saja-mereka/|website=tatkala.co|language=en-US|access-date=2020-10-20}}</ref>
# [[Udayana]] / Sang Ratu Maruhani Sri Dharmodayana Warmadewa (988-1011)
* Paduka Sri Maharaja [[Śri Jayaśakti]] tahun 1055-1072 Ç (1133-1150 M)
# [[Mahendradatta]] / Gunapriya Dharmapatni (bersama Udayana) (989-1001)
* Paduka Sri Maharaja Sri [[Ragajaya]] tahun 1077 Ç (1155 M)
# [[Śri Ajñadewi|Sri Ajnadewi]] (1001-1016)
* Paduka Sri Maharaja [[Jayapangus|Sri Jayapangus Arkajacihna]] tahun 1099-1103 Ç (1178-1181 M)
# Sri Marakata (1022-1025)
* Paduka Sri Maharaja Sri [[Arjjaya Dengjaya Ketana]] (ratu, ca. 1200){{efn|Permaisuri [[Jayapangus]] dan ibu dari [[Ekajayalancana]]. Tidak diketemukan tahunnya, namun diperkirakan bersama Ekajayalancana}} dan ''Paduka Sri Maharaja Haji [[Ekajayalancana]]'' (penguasa bersama ca. 1200) [anak] mengeluarkan prasasti Kintamani E pada tahun 1122 Ç (1200 M)
# [[Anak Wungsu]] (1049-1077)
<!-- * [[Bhatara Guru Śri Adikuntiketana]] (ca. 1204)-->
# Sri Maharaja Sri Walaprabu (1079-1088)
* [[Bhatara Parameswara Sri Wirama]] (1126 Ç) terbaca dalam prasasti Pura Kehen C
# Sri Maharaja Sri Sakalendukirana (1088-1098)
<!-- * Masula Masuli.{{fact}} -->
# Sri Suradhipa (1115-1119)
* [[Bhatara Parameswara Hyang ning Hyang Adidewalancana|Adidewalancana]] atau ''Pameswara Çri Hyangning Hyang Adhidewalancana'' (1182 Ç, prasasti Bulihan B, ca. 1260-1286 M).
# Sri Jayasakti (1133-1150)

# Ragajaya
=== Wangsa Singasari ===
# [[Jayapangus|Sri Maharaja Aji Jayapangus]] (1178-1181)
''[[Singasari]] menaklukkan Bali tahun 1284 M (1208 Ç)''
# Arjayadengjayaketana
* Kryan Demung Sasabungalan (Saka 1206/1284 M)
* Rajapatih Makakasar, [[Kbo Parud]] atau ''Kebo Parud Makakasir'' (wakil Singasari, ca. 1296-1324 M){{efn|Pada masanya terjadi gelombang kedatangan para Arya dan rohaniawan dari Kerajaan Singasari serta kedatangan para Mpu keturunan Saptra Rsi bersama Bhujangga}} disebutkan dalam prasasti Pengotan E (1218 Ç) dan Sukawana D (1222 Ç). Apabila dilihat dari angka tahun prasasti yang dikeluarkan, maka rajapatih ini mengisi kekosongan pemerintahan setelah masa pemerintahan Raja Adidewalancana.
* Sri Masula Masuli (Saka 1246/1324 M)

''[[Singasari]] runtuh dan Bali menjadi kerajaan mandiri.''
* Mahaguru [[Dharmottungga Warmadewa]] atau ''Bethara Çri Maha Guru'' (sebelum 1324-1328 M) atau Bhatara Sri Mahaguru (1246-1247 Ç). Ia mengeluarkan tiga buah prasasti, namun memuat gelarnya berbeda-beda. Dalam prasasti Srokadan (1246 Ç) disebut dengan ''Paduka Bhatara Guru'' yang memerintah bersama-sama dengan cucunya (putunira), yakni ''Paduka Aji Sri Tarunajaya''. Dalam prasasti Cempaga C (1246 Ç) disebut dengan gelar ''Paduka Bhatara Sri Mahaguru'' dan dalam [[prasasti Tumbu]] (1247 Ç) ''Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa''.<ref name="tatkala"/>
* [[Walajayakertaningrat]] atau ''Çri Walajaya Krethaningrat'' atau ''Paduka Tara SriWalajayakattaningrat'' (1250 Ç, 1328-1337 M) [anak Dharmottungga], terbaca dalam prasasti Selumbung.<ref name="tatkala"/>
* [[Śri Astasura Ratna Bumi Banten]] atau disebut juga '''Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten''' (ca. 1337-1343 M){{efn|Para patihnya yang terkenal [[Pasung Grigis]] dan [[Kebo Iwa]]}} Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang berangka tahun 1259 Ç.<ref name="tatkala"/>

''[[Majapahit]] menaklukkan Bali'' 1343 M.
<!-- BUTUH RUJUKAN KARENA TIDAK JELAS
# Sri [[Arjjaya Dengjaya Ketana]]
# Aji Ekajayalancana
# Aji Ekajayalancana
# Bhatara Guru Sri Adikuntiketana
# Bhatara Guru Sri Adikuntiketana
# Parameswara
# Parameswara
# Adidewalancana
# Adidewalancana
# Sri Jayakasunu (1204-)
# Sri Jayakasunu (1204-?)
# Sri Mahaguru Dharmottungga Warmadewa / Walajayakertaningrat (Sri Masula Masuli / Dalem Buncing)
# Sri Mahaguru [[Dharmottungga Warmadewa]] / Walajayakertaningrat (Sri Masula Masuli / Dalem Buncing)
# Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Sri Tapa Ulung / Dalem Bedahulu) - (1332-1343)
# [[Śri Astasura Ratna Bumi Banten|Sri Astasura Ratna Bumi Banten]] (Sri Tapa Ulung / Dalem Bedahulu) - (1332-1343)
# Dalem Tokawa (1343-1345)
# Dalem Tokawa (1343-1345){{fact}}
# Dalem Makambika (1345-1347)
# Dalem Makambika (1345-1347){{fact}} -->


== Sisa peninggalan ==
== Sisa peninggalan ==
Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap [[Majapahit]] oleh legenda masyarakat [[Bali]] dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (''Bali Aga'') terhadap serangan Jawa (''Wong Majapahit''). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat [[Bali Aga]], misalnya di [[Terunyan, Kintamani, Bangli|Desa Trunyan]], [[Kintamani, Bangli]]; di [[Tenganan, Manggis, Karangasem|Desa Tenganan]], [[Manggis, Karangasem|Kecamatan Manggis]], [[Kabupaten Karangasem]]; serta di desa-desa [[Sembiran, Tejakula, Buleleng|Sembiran]], [[Cempaga, Bangli, Bangli|Cempaga]], [[Sidetapa, Banjar, Buleleng|Sidatapa]], [[Pedawa, Banjar, Buleleng|Pedawa]], [[Tigawasa, Banjar, Buleleng|Tigawasa]], [[Padang Bulia, Sukasada, Buleleng|Padangbulia]] di [[Kabupaten Buleleng]].
Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap [[Majapahit]] oleh legenda masyarakat [[Bali]] dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (''Bali Aga'') terhadap serangan Jawa (''Wong Majapahit''). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat [[Suku Bali Aga|Bali Aga]], misalnya di [[Terunyan, Kintamani, Bangli|Desa Trunyan]], [[Kintamani, Bangli]]; di [[Tenganan, Manggis, Karangasem|Desa Tenganan]], [[Manggis, Karangasem|Kecamatan Manggis]], [[Kabupaten Karangasem]]; serta di desa-desa [[Sembiran, Tejakula, Buleleng|Sembiran]], [[Cempaga, Bangli, Bangli|Cempaga]], [[Sidetapa, Banjar, Buleleng|Sidatapa]], [[Pedawa, Banjar, Buleleng|Pedawa]], [[Tigawasa, Banjar, Buleleng|Tigawasa]], [[Padang Bulia, Sukasada, Buleleng|Padangbulia]] di [[Kabupaten Buleleng]].


Beberapa objek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah [[Pura Jero Agung]], [[Pura Samuan Tiga]], [[Goa Gajah]], [[Pura Bukit Sinunggal]].
Beberapa objek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah [[Pura Jero Agung]], [[Pura Samuan Tiga]], [[Goa Gajah]], [[Pura Bukit Sinunggal]].
Baris 92: Baris 104:
* ''Sejarah Bali''. Nyoka, Penerbit & Toko Buku Ria, Denpasar, 1990.
* ''Sejarah Bali''. Nyoka, Penerbit & Toko Buku Ria, Denpasar, 1990.


== Pranala luar ==
=== Catatan ===
<references group="lower-alpha"/>
* {{id}} [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/02/0502.htm/ Pikiran Rakyat: Diduga di Bedulu Gianyar Bali Ada Kerajaan], edisi Jumat, 02 Juli 2004.
* {{id}} [http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/7/12/bd2.htm/ Bali Post: Pura Penegil Dharma Berawal dari Kerajaan Kawista], edisi Rabu, 12 Juli 2006.
* {{en}} [http://www.hostkingdom.net/seasiaisl.html/ Regnal Chronologies website: Southeast Asia (the Islands)]


== Pranala luar ==
* {{id}} [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/02/0502.htm/ Pikiran Rakyat: Diduga di Bedulu Gianyar Bali Ada Kerajaan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20050507201845/http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/02/0502.htm |date=2005-05-07 }}, edisi Jumat, 02 Juli 2004.
* {{id}} [http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/7/12/bd2.htm/ Bali Post: Pura Penegil Dharma Berawal dari Kerajaan Kawista] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20110406160210/http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/7/12/bd2.htm |date=2011-04-06 }}, edisi Rabu, 12 Juli 2006.
* {{en}} [http://www.hostkingdom.net/seasiaisl.html/ Regnal Chronologies website: Southeast Asia (the Islands)] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20061208112525/http://www.hostkingdom.net/seasiaisl.html |date=2006-12-08 }}
{{Kerajaan di Sunda Kecil}}
{{Kerajaan di Sunda Kecil}}



Revisi terkini sejak 28 Juni 2024 05.53

Kerajaan Badahulu
Kerajaan Péjéng
Kerajaan Singamandawa
Singhadwala

883 M–1347 M
Ibu kotaPejeng
Bahasa yang umum digunakanBali (utama)
Kawi dan sansekerta (religius)
Agama
Hindu (resmi)
PemerintahanMonarki
Raja 
• 882–913
Sri Kesari Warmadewa
• 1345–1347
Dalem Makambika
Sejarah 
• Didirikan
883 M
• Dikalahkan oleh Majapahit
1347 M
Digantikan oleh
Majapahit
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Badahulu atau Bedulu (disebut juga Kerajaan Pejeng karena lokasinya di Pejeng) adalah kerajaan kuno di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad ke-14 Masehi, yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng (baca: pèjèng) atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali.

Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Warmadewa. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Badahulu) yang menentang ekspansi kerajaan Majapahit pada tahun 1343 pimpinan Gajah Mada, namun berakhir dengan kekalahan Bedulu. Perlawanan Bedulu kemudian benar-benar padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (Dalem Makambika) berhasil dikalahkan tahun 1347 M.

Setelah itu Gajah Mada menempatkan seorang keturunan brahmana dari Jawa bernama Sri Kresna Kepakisan sebagai raja (Dalem) di pulau Bali. Keturunan dinasti Kepakisan inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.

Nama Pejeng mulai dikenal sejak tahun 1705, melalui laporan naturalis Belanda Georg Everhard Rumphius, berjudul Amboinsche Reteitkamer. Dalam laporan tersebut, Rumphius menyebut keberadaan genderang (nekara) berbahan perunggu yang kemudian hari disebut Bulan Pejeng. Rumphius sendiri belum pernah melihat benda tersebut. Dia mendapat informasi dari orang lain yang menyatakan bahwa di Pejeng ada benda misterius dari perunggu. Benda ini dianggap meteorit dan bidang pukulnya yang bulat dianggap sebagai bulatan roda. Rumphius menulis, benda ini semula tergeletak di tanah, tidak seorang pun yang berani memindahkan karena takut mendapat celaka. Inventarisasi kepurbakalaan yang dilakukan Oudheidkundige Dienst (OD) atau Jawatan Purbakala Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Balai Kepurbakalaan Indonesia, menemukan kenyataan Desa Pejeng memiliki peninggalan arkeologis yang amat beragam dan tersebar hampir di seluruh pelosok desa. Peninggalan-peninggalan purba dan tulisan-tulisan yang ada membuat para ahli memperkirakan Pejeng adalah pusat Kerajaan Bali Kuno yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kerajaan Bedahulu (883-1343 M). Kata "pejeng" sendiri diduga berasal dari kata "pajeng" (payung), karena dari desa inilah raja-raja Bali Kuno memayungi rakyatnya. Ada juga yang menduga berasal dari kata pajang, bahasa Jawa Kuno yang berarti sinar. Bagi tetua di Pejeng, sebelum Pejeng desa itu disebut Soma Negara, ibu kota Kerajaan Singamandawa.

Bulan Pejeng yang kini disimpan di Pura Penataran Sasih adalah nekara terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia: tinggi 186,5 cm dan garis tengah bidang pukul 160 cm. Nekara bertipe moko ini dalam perkembangan lebih lanjut menjadi model pertama untuk semua jenis moko yang kini banyak dijumpai di wilayah Indonesia lainnya dalam ukuran lebih kecil. Nama nekara terdapat dalam berbagai bahasa mulai dari kettledrum (Inggris), pauke atau metalltrommeln (Jerman), ketletrom (Belanda), kedeltrommeln (Denmark), hingga tambour metallique (Prancis), sebagai nama yang paling sering digunakan. Di Indonesia, nekara memiliki nama lokal beragam, seperti bulan untuk menyebut nama nekara dari Pejeng (Bali), tifa guntur (Maluku), makalamau (Sangeang), moko (Alor), kuang (Pulau Pantar), dan wulu (Flores Timur).

Bulan Pejeng berasal dari kebudayaan logam terutama perunggu di Asia Tenggara dimulai sekitar 3000-2000 SM berdasarkan hasil temuan di situs Dongson, Provinsi Thanh Hoc, Vietnam Utara. Nekara yang masih disakralkan oleh masyarakat Bali ini menunjukkan, bahwa di Masa Pra-Sejarah Pejeng telah dihuni oleh masyarakat yang memiliki tingkat kebudayaan tinggi dan terhubung dengan masyarakat internasional jauh sebelum pengaruh agama Hindu sampai di Bali.

Salah satu prasasti berangka tahun 875 Saka/953 M berbahasa Sansekerta menyebut nama "Sri Walipuram" yang mengandung arti, bahwa Bali merupakan suatu kerajaan. Selain itu juga, ada beberapa prasasti yang menyebut kata baladwipamandala, misalnya Prasasti Klandis menyebutkan;

“… ring maniratna singhasana siniwi sabalidwipamandala…” artinya: “… (sang raja) yang duduk di atas singgasana bertahtakan emas-permata dipuja oleh seluruh rakyat di wilayah Pulau Bali…”

Selanjutnya dalam Prasasti Dausa Indrakila A II (983 Saka/1061 M) menyebutkan:

“… nityasa kuminking sakaparipunnakna nikang balipamandala…” artinya: “… (raja) senantiasa memikirkan kesejahteraan rakyat di seluruh wilayah Pulau Bali…”.

Selain ungkapan tersebut, dalam Prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1103 Saka/1181 M, Bali disebut dengan istilah “baliwipanagara” yang dapat diartikan Bali merupakan suatu Negara.

Keberadaan Kerajaan Bali Kuno ini juga dikuatkan dengan peninggalan arca-arca kuno yang diletakkan dalam lingkungan pura di Pejeng yang dilindungi oleh masyarakat sampai sekarang, Misalnya saja, Arca Bhairawa di Pura Kebo Edan, Arca Ratu Mecaling di Pura Pusering Jagat (Pura Tasik), Pura Manik Galag (Pura Manik Corong) sebagai Pura Sad Kahyangan atau setananya Bhatara Manik Galang dan Pura Penataran Sasih.

Penemuan fragmen-fragmen pada prasasti di Pejeng juga mengungkap sejarah dan perkembangan aliran agama di Bali sejak sebelum abad ke-8 M. Penelitian ahli purbakala, Dr. R. Goris, yang diterbitkan pada 1926 menyebutkan, di masa Raja Dharma Udayana terdapat sembilan aliran keagamaan dengan penganut yang hidup berbaur dan berdampingan, yakni: Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Ke-sembilan aliran itu kemudian dikristalisasi oleh Senapati Mpu Rajakerta yang lebih dikenal sebagai Mpu Kuturan, dalam bentuk pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Pakraman (Desa Adat Bali) hingga kini. Penyatuan aliran-aliran itu dipercaya terjadi di Pura Samuan Tiga, Pejeng.

Pejeng sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bali Kuno yang menurunkan raja-raja besar dari Dinasti Warmadewa, berakhir setelah penyerbuan Patih Gajah Mada dari Majapahit ke Bali pada 1343 M. Oleh Gajah Mada, pusat Kerajaan dipindahkan ke Gelgel. Pada 1686, pasca raja terakhir Dinasti Gelgel, Dalem Di Made wafat, pusat kerajaan dipindahkan Klungkung. Pada periode Klungkung inilah, kekuasaan di Bali terpecah menjadi sembilan swapraja atau kerajaan kecil.[1]

Silsilah Raja-Raja Badahulu

[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah daftar silsilah raja yang berkuasa di Kerajaan Badahulu;

Wangsa Warmadewa

[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah raja-raja yang dianggap termasuk dalam wangsa Warmadewa:[2][3][4]

  • Śri Kesari Warmadewa (ca. 913-914 M), disebutkan dalam prasasti Blanjong (835 Ç), prasasti Panempahan dan prasasti Malet Gede (835 Ç)
  • Śri Ugrasena (ca. 915-942 M). Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Ç (915-942 M). Sedikitnya ada sembilan buah prasasti yang dikeluarkan, dan semuanya berbahasa Bali Kuno. Prasasti-prasasti yang dimaksud adalah prasasti Srokadan (837 Ç), Babahan I (839 Ç), Sembiran AI (844 Ç), Pengotan AI (846 Ç), Batunya AI (855 Ç), Dausa, Pura Bukit Indrakila AI (857 Ç), Serai AI (858 Ç), Dausa, Pura Bukit Indrakila BI (864 Ç), Gobleg, Pura Batur A.
  • Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa (ca. 955-967 M) memerintah bersama dengan permaisurinya yaitu Sri Subhadrika Dharmmadewi pada kurun waktu 877-889 Ç (955-977 M). Sedikitnya ada 4 prasasti yang memuat nama raja suami-istri tersebut, yakni prasasti Manik Liu AI (877 Ç), Manik Liu BI (877 Ç), Manik Liu C (877 Ç), Kintamani A (889 Ç)
  • Indrajayasingha Warmadewa disebut juga Candrabhaya Singha Warmadewa (penguasa bersama, Saka 878-896/ca. 956-974 M), pendiri Tirta Empul dan berdasarkan prasasti Manukaya (882 Ç)
  • Janasadhu Warmadewa (ca. 975 M), satu-satunya prasasti atas nama raja tersebut adalah prasasti Sembiran AII (897 Ç).[5]
  • Śri Wijaya Mahadewi (ratu, ca. 983 M), Satu-satunya prasasti menyebut nama raja ini adalah prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Ç)
  • Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni (ratu, sebelum 989-1007 M).[a] Memerintah bersama Dharma Udayana Warmadewa (ca. 989-1011 M) [suami Gunapriya] Raja suami-istri itu termuat dalam beberapa prasasti, yakni Prasasti Bebetin A I (911 Ç), Serai AII (915 Ç), Buwahan A (916 Ç), Sading A (923 Ç). Dalam prasasti, nama Gunapriyadharmapatni lebih dahulu disebutkan daripada Udayana. Pada tahun 933 Ç, terbit sebuah prasasti atas nama raja Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni Prasasti Batur, Pura Abang A (933 Ç).
  • Śri Ajñadewi atau Çri Adnya Dewi (ratu, ca. 1011-1016 M) yang mengeluarkan prasasti Sembiran AIII (938 Ç)
  • Airlangga (c. 1019-1042; Raja Medang Kahuripan) [kakak Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu]
  • Dharmawangsa Wardhana Marakatapangkaja atau Marakata Pangkaja Sthana Tunggadewa atau Paduka Haji Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa(ca. 1016-1025 M) [anak Dharma Udayana] yang mengeluarkan prasasti-prasasti antara lain Prasasti Batuan (944 Ç), Prasasti Sawan AI (945 Ç), Tengkulak A (945 Ç), Buwahan B (947 Ç).
  • Anak Wungsu (ca. 971-999 Ç, 1025-1077 M) [adik Airlangga dan Marakata Pangkaja] Raja yang memerintah terlama diantara raja-raja pada jaman Bali Kuno. Ada 31 prasasti dikeluarkannya atau yang dapat diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya.
  • Śri Maharaja Walaprabhu (antara 1001-1010 Ç, 1079–1088 M) mengeluarkan tiga buah prasasti yaitu Prasasti Babahan II, prasasti Ababi A, prasasti Klandis.
  • Śri Maharaja Sakalendukirana Laksmidhara Wijayottunggadewi atau Paduka Sri Maharaja Sri Çlendukirana Isana Gunadharmma Lakumidhara Wijayatunggadewi (ratu, ca. 1088-1101 M) Gelar ini terbaca dalam prasasti Pengotan BI (1010 Ç) dan Pengotan BII (1023 Ç).
  • Śri Maharaja Sri Suradhipa (ca. 1115-1119) mengeluarkan prasasti-prasasti Gobleg, Pura Desa III (1037 Ç), Angsari B (1041 Ç), Ababi, dan Tengkulak D.
  • Setelah berakhirnya masa pemerintahan raja Suradhipa, dimulailah masa pemerintahan "Wangsa Jaya" yang merupakan pecahan dari wangsa Warmadewa, secara beruntun memerintah di Bali terdapat empat orang raja yang menggunakan unsur Jaya dalam gelarnya, yaitu:
  1. Paduka Śri Maharaja Śri Jayaśakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150 M)
  2. Paduka Śri Maharaja Sri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155 M)
  3. Paduka Śri Maharaja Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181 M)
  4. Paduka Śri Maharaja Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjjaya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka (1200 M).[6]

Wangsa Jaya

[sunting | sunting sumber]

Berikut daftar raja Bali Kuno, Wangsa Jaya;[4]

Wangsa Singasari

[sunting | sunting sumber]

Singasari menaklukkan Bali tahun 1284 M (1208 Ç)

  • Kryan Demung Sasabungalan (Saka 1206/1284 M)
  • Rajapatih Makakasar, Kbo Parud atau Kebo Parud Makakasir (wakil Singasari, ca. 1296-1324 M)[c] disebutkan dalam prasasti Pengotan E (1218 Ç) dan Sukawana D (1222 Ç). Apabila dilihat dari angka tahun prasasti yang dikeluarkan, maka rajapatih ini mengisi kekosongan pemerintahan setelah masa pemerintahan Raja Adidewalancana.
  • Sri Masula Masuli (Saka 1246/1324 M)

Singasari runtuh dan Bali menjadi kerajaan mandiri.

  • Mahaguru Dharmottungga Warmadewa atau Bethara Çri Maha Guru (sebelum 1324-1328 M) atau Bhatara Sri Mahaguru (1246-1247 Ç). Ia mengeluarkan tiga buah prasasti, namun memuat gelarnya berbeda-beda. Dalam prasasti Srokadan (1246 Ç) disebut dengan Paduka Bhatara Guru yang memerintah bersama-sama dengan cucunya (putunira), yakni Paduka Aji Sri Tarunajaya. Dalam prasasti Cempaga C (1246 Ç) disebut dengan gelar Paduka Bhatara Sri Mahaguru dan dalam prasasti Tumbu (1247 Ç) Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa.[4]
  • Walajayakertaningrat atau Çri Walajaya Krethaningrat atau Paduka Tara SriWalajayakattaningrat (1250 Ç, 1328-1337 M) [anak Dharmottungga], terbaca dalam prasasti Selumbung.[4]
  • Śri Astasura Ratna Bumi Banten atau disebut juga Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten (ca. 1337-1343 M)[d] Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang berangka tahun 1259 Ç.[4]

Majapahit menaklukkan Bali 1343 M.

Sisa peninggalan

[sunting | sunting sumber]

Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa (Wong Majapahit). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kintamani, Bangli; di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem; serta di desa-desa Sembiran, Cempaga, Sidatapa, Pedawa, Tigawasa, Padangbulia di Kabupaten Buleleng.

Beberapa objek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah Pura Jero Agung, Pura Samuan Tiga, Goa Gajah, Pura Bukit Sinunggal.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Sejarah Kerajaan Pejeng". www.pejeng.desa.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-06. Diakses tanggal 2019-02-14. 
  2. ^ (Inggris) The people of Bali Angela Hobart p.24
  3. ^ Sejarah 2. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-746-906-1. 
  4. ^ a b c d e "Tercatat 23 Nama Raja pada Masa Bali Kuno – Siapa Saja Mereka?". tatkala.co (dalam bahasa Inggris). 2020-01-29. Diakses tanggal 2020-10-20. 
  5. ^ Burials, texts and rituals Brigitta Hauser-Schäublin p.45
  6. ^ Dawan, Lanang (Sabtu, 14 Mei 2011). "ŚRI SURADHIPA". PEMECUTAN-BEDULU-MAJAPAHIT. Diakses tanggal 2019-12-18. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Sejarah Bali. Nyoka, Penerbit & Toko Buku Ria, Denpasar, 1990.
  1. ^ ia memiliki tiga orang putra, Airlangga (Raja Medang-Kahuripan), Marakata Pangkaja, dan Anak Wungsu.
  2. ^ Permaisuri Jayapangus dan ibu dari Ekajayalancana. Tidak diketemukan tahunnya, namun diperkirakan bersama Ekajayalancana
  3. ^ Pada masanya terjadi gelombang kedatangan para Arya dan rohaniawan dari Kerajaan Singasari serta kedatangan para Mpu keturunan Saptra Rsi bersama Bhujangga
  4. ^ Para patihnya yang terkenal Pasung Grigis dan Kebo Iwa

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]