Lompat ke isi

Hoegeng Iman Santoso: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib)
Syadhamskii (bicara | kontrib)
~Fix
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android App section source
 
(20 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{tambah referensi}}
{{tambah referensi}}
{{Infobox Officeholder
{{Infobox Officeholder
|honorific-prefix =
| honorific-prefix =
|name = Hoegeng Iman Santoso
| name = Hoegeng Iman Santoso
|image = Police chief Hoegeng Iman Santoso Colorized by Colorbykevin.jpg
| image = Police chief Hugeng Iman Santoso, Sekilas Lintas Kepolisian Republik Indonesia, p20.jpg
|imagesize = 200px
| imagesize = 200px
|caption =
| caption =
|order = ke-5
| order = ke-5
|office = Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
| office = Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
|president = [[Soeharto]]
| president = [[Soeharto]]
|term_start = 9 Mei 1968
| term_start = 9 Mei 1968
|term_end = 2 Oktober 1971
| term_end = 2 Oktober 1971
|predecessor = [[Soetjipto Joedodihardjo]]
| predecessor = [[Soetjipto Joedodihardjo]]
|successor = [[M. Hasan]]
| successor = [[M. Hasan]]
|office2 = Sekretaris Kabinet Indonesia
| office2 = Sekretaris Kabinet Indonesia
|order2 = ke-2
| order2 = ke-3
|president2 = [[Soekarno]]
| president2 = [[Soekarno]]
|term_start2 = 27 Maret 1966
| term_start2 = 27 Maret 1966
|term_end2 = 25 Juli 1966
| term_end2 = 25 Juli 1966
|predecessor2 = [[Djamin Ginting]]
| predecessor2 = [[Djamin Ginting]]
|successor2 = [[Sudharmono]]
| successor2 = [[Sudharmono]]
|office3 = Direktorat Jenderal Imigrasi
| office3 = Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesia{{!}}Direktur Jenderal Imigrasi
|order3 = ke-4
| order3 = ke-4
|president3 = [[Soekarno]]
| president3 = [[Soekarno]]
|term_start3 = 19 Januari 1961
| term_start3 = 19 Januari 1961
|term_end3 = 22 Juni 1965
| term_end3 = 22 Juni 1965
|predecessor3 = Notohatyanto
| predecessor3 = [[Notohatyanto]]
|successor3 = Widikdo Soedikman
| successor3 = Widikdo Soedikman
|birth_date = {{birth date|1921|10|14}}
| birth_date = {{birth date|1921|10|14}}
|birth_place = {{flagicon|Hindia Belanda}} [[Pekalongan]], [[Jawa Tengah]], [[Hindia Belanda]]
| birth_place = [[Pekalongan]], [[Jawa Tengah]], [[Hindia Belanda]]
|death_date = {{death date and age|2004|7|14|1921|10|14}}
| death_date = {{death date and age|2004|7|14|1921|10|14}}
|death_place = {{flagicon|Indonesia}} [[Jakarta]], [[Indonesia]]
| death_place = [[Jakarta]], [[Indonesia]]
|party =
| party =
|spouse = Meriyati "Merry" Roeslani
| spouse = Meriyati Roeslani
|children = 3
| children = 3
|relation = [[Rudy Wowor]] (menantu)<br>[[Kasino Hadiwibowo|Kasino]](Keponakan)
| relatives = {{hlist|Roos Mini Agoes Salim (keponakan)|[[Kasino (pelawak)|Kasino]] (keponakan)}}
|residence =
| residence =
|alma_mater =
| alma_mater =
|occupation =
| occupation =
| allegiance = {{unbulleted list|{{flag|Kekaisaran Jepang}} (1944–1945)|{{flag|Indonesia}} (1945–1971)}}
|religion = [[Islam]]
| branch = [[Berkas:Insignia of the Indonesian National Police.svg|25px]] [[Kepolisian Republik Indonesia]]
|allegiance = {{unbulleted list|{{flag|Kekaisaran Jepang}} (1944–1945)|{{flag|Indonesia}} (1945–1971)}}
| unit =
|branch = [[Berkas:Insignia of the Indonesian National Police.svg|25px]] [[Kepolisian Republik Indonesia]]
| rank = [[Berkas:PDU JEN.png|25px]] [[Jenderal Polisi]]
|unit =
| serviceyears = 1944—1971
|rank = [[Berkas:PDU JEN.png|25px]] [[Jenderal Polisi]]
|serviceyears = 1944—1971
}}
}}


[[Jenderal Polisi]] ([[Purnawirawan|Purn.]]) [[Doktorandus|Drs.]] '''Hoegeng Iman Santoso'''<ref>{{Cite web|title=Pejabat Kapolri dari Masa ke Masa|url=https://polri.go.id/sejarah-kapolri|website=Website Resmi Polri|access-date=25 September 2021}}</ref><ref>{{Cite web|title=Detail biodata Pejabat Menteri - Jenderal (Purn.) Dr. Hoegeng Imam Santoso|url=https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/cabinet_personnel/popup_profil_pejabat.php?id=231&presiden_id=&presiden=|website=Kepustakaan Presiden Republik Indonesia|access-date=14 Oktober 2022}}</ref><ref>{{Cite book|last=Muradi|date=2014|url=https://www.worldcat.org/oclc/881367626|title=Politics and Governance in Indonesia : the Police in the Era of Reformasi.|publisher=Taylor & Francis|isbn=1-306-86105-5|pages=185|oclc=881367626|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|last=van Dijk|first=C. (Kees)|date=2021|url=https://www.worldcat.org/oclc/1276859752|title=A Country in Despair Indonesia Between 1997 And 2000.|location=Boston|publisher=Brill|isbn=978-90-04-43487-5|pages=197|oclc=1276859752|url-status=live}}</ref> ({{lahirmati|[[Pekalongan]], [[Jawa Tengah]]|14|10|1921|[[Jakarta]]|14|7|2004}}) adalah satu tokoh [[kepolisian]] [[Indonesia]] yang pernah menjabat sebagai [[Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia]] ke-5. Hoegeng terkenal sebagai polisi paling berani dan [[jujur]] di Indonesia oleh [[media]] dan [[masyarakat]]. Hoegeng hidup pada era di mana banyak pejabat pemerintah yang [[korupsi|korup]]. [[Abdurrahman Wahid|Gus Dur]], mantan [[presiden Indonesia]] pernah memuji kejujuran Hoegeng, beliau mengatakan bahwa ''“hanya ada 3 polisi jujur di negara ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng”''. Hoegeng adalah salah satu orang tersingkat yang mengepalai badan kepolisian nasional Indonesia dari tahun 1968–1971.
[[Jenderal Polisi]] ([[Purnawirawan|Purn.]]) [[Doktorandus|Drs.]] '''Hoegeng Iman Santoso'''<ref>{{Cite web|title=Pejabat Kapolri dari Masa ke Masa|url=https://polri.go.id/sejarah-kapolri|website=Website Resmi Polri|access-date=25 September 2021}}</ref><ref>{{Cite web|title=Detail biodata Pejabat Menteri - Jenderal (Purn.) Dr. Hoegeng Imam Santoso|url=https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/cabinet_personnel/popup_profil_pejabat.php?id=231&presiden_id=&presiden=|website=Kepustakaan Presiden Republik Indonesia|access-date=14 Oktober 2022}}</ref><ref>{{Cite book|last=Muradi|date=2014|url=https://www.worldcat.org/oclc/881367626|title=Politics and Governance in Indonesia : the Police in the Era of Reformasi.|publisher=Taylor & Francis|isbn=1-306-86105-5|pages=185|oclc=881367626|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|last=van Dijk|first=C. (Kees)|date=2021|url=https://www.worldcat.org/oclc/1276859752|title=A Country in Despair Indonesia Between 1997 And 2000.|location=Boston|publisher=Brill|isbn=978-90-04-43487-5|pages=197|oclc=1276859752|url-status=live}}</ref> ({{lahirmati|[[Pekalongan]], [[Jawa Tengah]]|14|10|1921|[[Jakarta]]|14|7|2004}}) adalah [[Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia]] dari tahun 1968 hingga 1971. Hoegeng secara historis dikenal sebagai pejabat polisi yang paling berani dan jujur di negara ini, pada saat mayoritas pejabat pemerintah korup. Beliau terkenal karena tindakan dan upayanya yang terus menerus dalam memberantas korupsi dan permainan kekuasaan dalam kepolisian Indonesia serta mendorong peradilan pidana yang setara. Hoegeng merupakan salah satu Kepala Kepolisian Republik Indonesia dengan masa jabatan terpendek.
Hoegeng juga merupakan salah satu penandatangan [[Petisi 50]]. Namanya kini diabadikan sebagai nama [[Rumah Sakit Bhayangkara]] di [[Mamuju]], [[Sulawesi Barat]] dengan nama Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Iman Santoso dan namanya juga diabadikan sebagai nama stadion sepak bola di [[Kota Pekalongan]] dengan nama [[Stadion Jenderal Hoegeng]].<!--Hoegeng dikenal sebagai pribadi yang sangat sederhana dan luar biasa jujur, namun demikian oleh sebagian kalangan ia dianggap seorang yang tidak memiliki prestasi yang signifikan dalam memimpin kepolisian karena tiada keberanian untuk bertindak tegas ke dalam internal kepolisian, sehingga pada masa jabatannya sebagai Kapolri terjadi dua kasus akbar yang melahirkan rekayasa berujung pada peradilan sesat guna melindungi para anak pejabat yang terlibat kejahatan.
Yang pertama yaitu peristiwa pemerkosaan seorang penjual telur ;Sum Kuning, pada tanggal 18 September 1970, oleh anak-anak pejabat di [[Yogyakarta]], namun kemudian direkayasa oleh penyidik polisi seolah-olah laporan palsu sehingga Sum Kuninglah yang kemudian dituntut hukuman oleh jaksa, lalu kemudian direkayasa sekali lagi dengan memunculkan seorang tukang bakso yang dipaksa untuk mengaku sebagai pelakunya. Disinyalir kuat bahwa pelaku utama pemerkosaan tersebut adalah KPH Anglingkusumo (yang di kemudian hari pada tahun 2012 mengangkat dirinya sendiri sebagai "KGPAA Paku Alam IX tandingan" sebagai rival KGPAA Paku Alam yang asli.).
Kemudian peristiwa kedua adalah ditembak matinya Rene Louis Conrad ; seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung oleh para taruna AKABRI Kepolisian pada 6 Oktober 1970 seusai pertandingan olahraga antara ITB dengan AKABRI Kepolisian ; namun kemudian guna melindungi para taruna AKABRI Kepolisian tersebut yang notabene merupakan putera-putera pejabat (diantaranya terdapat nama taruna Nugroho Djajusman yang di kemudian hari berhasil menjadi jenderal polisi dan dikenal sangat dekat dengan tokoh-tokoh Front Pembela Islam / FPI) maka dibuat rekayasa ; dikorbankan seorang bintara Brimob (Djani Maman Surjaman) yang justru sedang bertugas jaga di lapangan dan berusaha melerai pertikaian namun malah dituduh seolah-olah melakukan penembakan itu (pada persidangan Djani Maman Surjaman, ia dibela oleh advokat Adnan Buyung Nasution yang mengemukakan sama sekali tiada ada bukti apapun bahwa ia bersalah, orang tua almarhum Rene Louis Conrad dan seluruh civitas academica ITB juga sebulatnya yakin bahwa bukan ia yang melakukan penembakan, namun karena hal tersebut merupakan rekayasa yang berpusat pada tokoh-tokoh penting di kepolisian, Djani Maman Surjaman divonis penjara 5 tahun 8 bulan.). Pada pengusutan peristiwa penembakan Rene Louis Conrad itu,tidak ada pengujian balistik yang berusaha menguji kebenaran materil tentang dari senjata mana asal proyektil yang menewaskan itu, padahal para taruna AKABRI Kepolisian itu terbukti membawa senjata api ketika peristiwa terjadi. Setelah ditembak mati, jenazah Rene Louis Conrad dibawa pergi oleh para taruna AKABRI Kepolisian dan kemudian diletakkan dengan begitu saja dalam sebuah ruangan di kantor polisi di Jalan Merdeka, Bandung. Kedua peristiwa ini merupakan catatan hitam rekayasa kasus ketika Hoegeng menjadi Kapolri.-->


== Biografi ==
== Biografi ==
Baris 70: Baris 64:
Suatu hari setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|proklamasi]], Soeprapto, teman ayah Hoegeng, mengumpulkan anggota polisi, termasuk Hoegeng dan atasannya Soekarno Djojonegoro, dan memberi tahu mereka tentang kemerdekaan Indonesia dan akan ada pemindahan kekuasaan. Pada bulan Oktober, Hoegeng dirawat di sebuah rumah sakit (sekarang [[Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi]]) di Semarang setelah menderita gegar otak selama bertugas menjaga tahanan Jepang. Saat itu, [[Pertempuran Lima Hari]] antara pejuang Indonesia dan tawanan Jepang terjadi. Pagi hari sebelum rumah sakit diserbu oleh Jepang, Hoegeng kabur karena tidak suka dengan suasana rumah sakit dan kabur dari tempat dia dirawat. Setelah pertempuran mulai berhenti, Hoegeng disarankan oleh dokter untuk beristirahat. Ia lalu pamit dan beristirahat di Pekalongan.{{sfn|Santoso|Sutrisno|Sirait|Hasibuan|2014|pp=20-23}}
Suatu hari setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|proklamasi]], Soeprapto, teman ayah Hoegeng, mengumpulkan anggota polisi, termasuk Hoegeng dan atasannya Soekarno Djojonegoro, dan memberi tahu mereka tentang kemerdekaan Indonesia dan akan ada pemindahan kekuasaan. Pada bulan Oktober, Hoegeng dirawat di sebuah rumah sakit (sekarang [[Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi]]) di Semarang setelah menderita gegar otak selama bertugas menjaga tahanan Jepang. Saat itu, [[Pertempuran Lima Hari]] antara pejuang Indonesia dan tawanan Jepang terjadi. Pagi hari sebelum rumah sakit diserbu oleh Jepang, Hoegeng kabur karena tidak suka dengan suasana rumah sakit dan kabur dari tempat dia dirawat. Setelah pertempuran mulai berhenti, Hoegeng disarankan oleh dokter untuk beristirahat. Ia lalu pamit dan beristirahat di Pekalongan.{{sfn|Santoso|Sutrisno|Sirait|Hasibuan|2014|pp=20-23}}


Selama di Pekalongan, Hoegeng dikunjungi Komodor [[Mohammad Nazir|M. Nazir]] yang kemudian menjadi [[Kepala Staf Angkatan Laut]] pertama. Nazir tertarik pada Hoegeng karena dia ingin membentuk polisi militer angkatan laut dan menawarkan yang terakhir untuk menjadi bagian dari angkatan laut. Hoegeng kemudian menerima tawaran itu terutama karena dia ingin tantangan karena kepolisian sudah mapan. Sebagai perwira militer berpangkat Mayor, ia diberi hak untuk tinggal di Hotel Merdeka, Yogyakarta, dan dibayar Rp 400 per bulan. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel Darwis, Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut di Tegal, tugas pertamanya adalah merumuskan landasan dasar kepolisian militer yang pada mulanya bernama satuan Penyelidik Militer Laut Chusus (PMLC). Selama tinggal di hotel, Hoegeng dibujuk oleh [[Soekanto Tjokrodiatmodjo]], kepala kepolisian, untuk kembali menjadi polisi. Di Yogyakarta, Hoegeng memiliki aktivitas lain sebagai pemeran utama sandiwara radio ''Saija dan Adinda'' yang disiarkan oleh radio Angkatan Laoet, Darat, dan Oedara (ALDO) dan [[Radio Republik Indonesia|RRI]] Yogya. Ia kemudian menikah dengan lawan mainnya dalam lakon, Merry, pada 31 Oktober 1946 di Jetis, Yogyakarta. Setelah mereka menikah, Hoegeng mengundurkan diri sebagai perwira angkatan laut untuk mengejar impian masa kecilnya menjadi seorang perwira polisi.{{sfn|Santoso|Sutrisno|Sirait|Hasibuan|2014|pp=23-26}}
Selama di Pekalongan, Hoegeng dikunjungi Komodor [[Mohammad Nazir|M. Nazir]] yang kemudian menjadi [[Kepala Staf Angkatan Laut]] pertama. Nazir tertarik pada Hoegeng karena dia ingin membentuk polisi militer angkatan laut dan menawarkan yang terakhir untuk menjadi bagian dari angkatan laut. Hoegeng kemudian menerima tawaran itu terutama karena dia ingin tantangan karena kepolisian sudah mapan. Sebagai perwira militer berpangkat Mayor, ia diberi hak untuk tinggal di Hotel Merdeka, Yogyakarta, dan dibayar Rp 400 per bulan. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel Darwis, Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut di Tegal, tugas pertamanya adalah merumuskan landasan dasar kepolisian militer yang pada mulanya bernama satuan Penyelidik Militer Laut Chusus (PMLC). Selama tinggal di hotel, Hoegeng dibujuk oleh [[Soekanto Tjokrodiatmodjo]], kepala kepolisian, untuk kembali menjadi polisi. Di Yogyakarta, Hoegeng memiliki aktivitas lain sebagai pemeran utama sandiwara radio ''Saija dan Adinda'' yang disiarkan oleh radio Angkatan Laoet, Darat, dan Oedara (ALDO) dan [[RRI Yogyakarta]]. Ia kemudian menikah dengan lawan mainnya dalam lakon, Merry, pada 31 Oktober 1946 di Jetis, Yogyakarta. Setelah mereka menikah, Hoegeng mengundurkan diri sebagai perwira angkatan laut untuk mengejar impian masa kecilnya menjadi seorang perwira polisi.{{sfn|Santoso|Sutrisno|Sirait|Hasibuan|2014|pp=23-26}}


===Kemerdekaan Indonesia dan pendudukan Belanda===
===Kemerdekaan Indonesia dan pendudukan Belanda===
Baris 81: Baris 75:
Sewaktu pendudukan [[Jepang]], ia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Setelah itu ia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut [[Jawa Tengah]] (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.
Sewaktu pendudukan [[Jepang]], ia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Setelah itu ia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut [[Jawa Tengah]] (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.


Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, [[Amerika Serikat]]. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatra Utara (1956) di [[Medan]]. Tahun 1959, mengikuti pendidikan Pendidikan [[Brimob]] dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Dari situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966.
Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, [[Amerika Serikat]]. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956) di [[Medan]]. Tahun 1959, mengikuti pendidikan Pendidikan [[Brimob]] dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Dari situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966.


==== Kepala Kepolisian Republik Indonesia ====
==== Kepala Kepolisian Republik Indonesia ====
Baris 94: Baris 88:


== Meninggal dunia ==
== Meninggal dunia ==
Hoegeng wafat di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2004 dalam usia 82 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Hoegeng wafat di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2004<ref>{{Cite book|last=Hendrowinoto|first=Nurinwa Ki S.|last2=Penulis|first2=Tim|date=2007|title=Ensiklopedi Kapolri: Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Iman Santoso|location=Jakarta|publisher=Panitia Penulisan Ensiklopedi Kapolri|isbn=978-979-16296-0-7|editor-last=Bahasa|editor-first=Tim Penyunting|pages=31-32|url-status=live}}</ref> dalam usia 82 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.


== Penghargaan ==
== Penghargaan ==

Revisi terkini sejak 11 November 2024 07.57

Hoegeng Iman Santoso
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5
Masa jabatan
9 Mei 1968 – 2 Oktober 1971
PresidenSoeharto
Sekretaris Kabinet Indonesia ke-3
Masa jabatan
27 Maret 1966 – 25 Juli 1966
PresidenSoekarno
Sebelum
Pengganti
Sudharmono
Sebelum
Direktur Jenderal Imigrasi ke-4
Masa jabatan
19 Januari 1961 – 22 Juni 1965
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Notohatyanto
Pengganti
Widikdo Soedikman
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1921-10-14)14 Oktober 1921
Pekalongan, Jawa Tengah, Hindia Belanda
Meninggal14 Juli 2004(2004-07-14) (umur 82)
Jakarta, Indonesia
Suami/istriMeriyati Roeslani
Anak3
Kerabat
  • Roos Mini Agoes Salim (keponakan)
  • Kasino (keponakan)
Karier militer
Pihak
Dinas/cabang Kepolisian Republik Indonesia
Masa dinas1944—1971
Pangkat Jenderal Polisi
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Hoegeng Iman Santoso[1][2][3][4] (14 Oktober 1921 – 14 Juli 2004) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dari tahun 1968 hingga 1971. Hoegeng secara historis dikenal sebagai pejabat polisi yang paling berani dan jujur di negara ini, pada saat mayoritas pejabat pemerintah korup. Beliau terkenal karena tindakan dan upayanya yang terus menerus dalam memberantas korupsi dan permainan kekuasaan dalam kepolisian Indonesia serta mendorong peradilan pidana yang setara. Hoegeng merupakan salah satu Kepala Kepolisian Republik Indonesia dengan masa jabatan terpendek.

Kehidupan awal dan pendidikan

[sunting | sunting sumber]

Hoegeng lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921. Nama lahirnya adalah Iman Santoso.[5] Nama Hoegeng diambil dari "bugel" (menjadi "bugeng" dan kemudian "hugeng"; yang berarti gemuk) karena tubuhnya yang gemuk semasa kecil. Ayahnya adalah Soekarjo Kario Hatmodjo dari Tegal, seorang jaksa di Pekalongan; ibunya adalah Oemi Kalsoem. Ia memiliki dua adik perempuan: Titi Soedjati dan Soedjatmi.[6] Hoegeng ingin menjadi polisi karena dipengaruhi oleh teman ayahnya yang menjadi kepala kepolisian di kampung halamannya Ating Natadikusumah.[7] Perwira hukum lain yang merupakan teman ayahnya adalah Soeprapto.[6]

Hoegeng bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS; sekolah dasar) Pekalongan dan lulus pada tahun 1934. Ia kemudian mendaftar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO; sekolah menengah pertama) di kota yang sama dan lulus tiga tahun kemudian. Ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya di Algemene Middelbare School (AMS; sekolah menengah atas) jurusan bahasa dan sastra Barat. Selama di AMS, Hoegeng berteman dengan seniornya Burhanuddin Harahap, teman sekelasnya Soedarpo Sastrosatomo, dan juniornya Usmar Ismail dan Rosihan Anwar. Pada tahun 1940, setelah lulus, ia pindah ke Batavia melanjutkan studinya di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS; perguruan tinggi hukum), meskipun beberapa anggota keluarganya menginginkannya untuk mendaftar di Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA; perguruan tinggi pegawai negeri). Di sana ia terlibat dalam organisasi kemahasiswaan bernama Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI). Di organisasi itu, ia bertemu Soebadio Sastrosatomo, Subandrio, Oemar Senoadji, Chairul Saleh, dan Hamid Algadrie.[8]

Pada bulan Maret 1942, Jepang menduduki Hindia Belanda. Awalnya, Hoegeng merasa lega dengan kedatangan Jepang. Tapi, kemudian militer Jepang menutup RHS. Hoegeng kemudian kembali ke rumah pada bulan April; ia menggunakan waktu luangnya untuk menjual telur dan buku sekolah bahasa Jepang bepergian dari satu kota ke kota lain termasuk Pati dan Semarang bersama temannya Soehardjo Soerjobroto. Di Semarang, ia bertemu kerabatnya dan ditawari bekerja di stasiun radio Hoso Kyoku. Dia diterima dan mulai bekerja satu bulan kemudian. Saat bekerja di stasiun, ia mendaftar ke pembukaan kursus polisi di Pekalongan. Hoegeng kemudian melamar dan diterima sebagai salah satu dari sebelas anggota kepolisian dari 130 pelamar.[9]

Dia bergabung dengan Marshall General School di Military Police School, Fort Gordon, Georgia, Amerika Serikat.

Karier awal

[sunting | sunting sumber]

Hoegeng awalnya merasa kecewa ketika mengetahui bahwa output dari kursus tersebut bukan untuk perwira tinggi (inspektur kedua), tetapi dua pangkat lebih rendah. Namun, dia masih melewatinya. Selama pelatihan, Hoegeng menerima Rp32 per bulan, bersih Rp19,50. Setiap hari setelah pelatihan, para taruna ditugaskan sebagai petugas polisi reguler di kota. Rekan-rekannya, para pelatih dan sesama taruna, kemudian menjadi perwira tinggi terkemuka termasuk Soemarto, Soehardjo Soerjobroto, Soerojo, dan Soedjono Parttokoesoemo. Setelah lulus dari kursus tersebut, Hoegeng sempat ragu apakah akan melanjutkan karirnya sebagai polisi atau sedikit beralih sebagai hakim. Saat itu, Soemarto, pelatihnya, mendaftarkan Hoegeng ke kursus perwira polisi di Sukabumi. Hoegeng kemudian diterima, meski tidak terlalu serius dalam seleksi tersebut, antara lain enam orang dari Pekalongan, alumnus kursus tadi.[10]

Di Sukabumi, Hoegeng mendaftar ke kursus Koto Kaisatsu Gakko, kursus bagi siapa saja yang sudah terlatih di kepolisian. Sebelum lulus, Hoegeng dan kawan-kawan mengira akan naik pangkat ke jenjang yang lebih tinggi bernama Junsabucho. Sebaliknya, peringkat mereka harus diturunkan menjadi Minarai Junsabucho. Mereka memprotes keras keputusan itu sampai Jenderal Harada dari Angkatan Darat ke-16 mengunjungi tempat itu untuk menenangkan mereka. Pada tahun 1944, Hoegeng lulus dan bersama ketiga temannya, Soetrisno, Noto Darsono, dan Soenarto, ditugaskan ke Chiang Bu (bagian keamanan) Semarang. Hoegeng dan Soenarto menduduki jabatan Koto Kei Satsuka (bagian intelijen), sedangkan Noto dan Soetrisno masing-masing diberi jabatan di Keimu Ka (urusan umum) dan Keiza Ka (urusan ekonomi). Setelah beberapa minggu di Semarang, Hoegeng dipromosikan menjadi Kei Bu Ho II. Dalam beberapa bulan berikutnya, Hoegeng kembali naik pangkat, kali ini menjadi Kei Bu Ho I. Sesaat sebelum Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu, Hoegeng dipindahkan ke Keibi Ka Cho (divisi perwalian) di bawah pimpinan R. Soekarno Djojonegoro dan dipromosikan lagi.[11]

Suatu hari setelah proklamasi, Soeprapto, teman ayah Hoegeng, mengumpulkan anggota polisi, termasuk Hoegeng dan atasannya Soekarno Djojonegoro, dan memberi tahu mereka tentang kemerdekaan Indonesia dan akan ada pemindahan kekuasaan. Pada bulan Oktober, Hoegeng dirawat di sebuah rumah sakit (sekarang Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi) di Semarang setelah menderita gegar otak selama bertugas menjaga tahanan Jepang. Saat itu, Pertempuran Lima Hari antara pejuang Indonesia dan tawanan Jepang terjadi. Pagi hari sebelum rumah sakit diserbu oleh Jepang, Hoegeng kabur karena tidak suka dengan suasana rumah sakit dan kabur dari tempat dia dirawat. Setelah pertempuran mulai berhenti, Hoegeng disarankan oleh dokter untuk beristirahat. Ia lalu pamit dan beristirahat di Pekalongan.[12]

Selama di Pekalongan, Hoegeng dikunjungi Komodor M. Nazir yang kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Laut pertama. Nazir tertarik pada Hoegeng karena dia ingin membentuk polisi militer angkatan laut dan menawarkan yang terakhir untuk menjadi bagian dari angkatan laut. Hoegeng kemudian menerima tawaran itu terutama karena dia ingin tantangan karena kepolisian sudah mapan. Sebagai perwira militer berpangkat Mayor, ia diberi hak untuk tinggal di Hotel Merdeka, Yogyakarta, dan dibayar Rp 400 per bulan. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel Darwis, Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut di Tegal, tugas pertamanya adalah merumuskan landasan dasar kepolisian militer yang pada mulanya bernama satuan Penyelidik Militer Laut Chusus (PMLC). Selama tinggal di hotel, Hoegeng dibujuk oleh Soekanto Tjokrodiatmodjo, kepala kepolisian, untuk kembali menjadi polisi. Di Yogyakarta, Hoegeng memiliki aktivitas lain sebagai pemeran utama sandiwara radio Saija dan Adinda yang disiarkan oleh radio Angkatan Laoet, Darat, dan Oedara (ALDO) dan RRI Yogyakarta. Ia kemudian menikah dengan lawan mainnya dalam lakon, Merry, pada 31 Oktober 1946 di Jetis, Yogyakarta. Setelah mereka menikah, Hoegeng mengundurkan diri sebagai perwira angkatan laut untuk mengejar impian masa kecilnya menjadi seorang perwira polisi.[13]

Kemerdekaan Indonesia dan pendudukan Belanda

[sunting | sunting sumber]

Setelah bergabung kembali, Hoegeng tercatat sebagai mahasiswa Akademi Kepolisian di Mertoyudan, Magelang. Selama liburan di pertengahan tahun 1947, Hoegeng dan istrinya yang sedang hamil mengunjungi keluarganya di Pekalongan. Namun, pada tanggal 21 Juli militer Belanda melakukan operasi militer. Hoegeng dan keluarganya kemudian melarikan diri ke selatan kota. Hoegeng diberitahu oleh Soekarno Djojonegoro, Kepala Kepolisian Pekalongan, bahwa Soekanto telah memerintahkan semua mahasiswa akademi untuk membantu kepolisian setempat. Tugas Hoegeng saat itu adalah mengumpulkan materi intelijen. Kemudian, dia ditangkap oleh petugas polisi yang bekerja untuk Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Saat ditangkap, Hoegeng diperlakukan dengan baik, tidak seperti yang lain. Dia akhirnya mengetahui bahwa orang yang memberi perintah itu adalah de Bretonniere, temannya di RHS. Hoegeng dibujuk untuk bekerja untuk NICA tetapi menolak. Setelah tiga minggu, dia dibebaskan. Hoegeng kemudian memutuskan untuk mengunjungi komando Yogyakarta. Dia, istrinya, dan orang tuanya pergi ke Jakarta pada awalnya. Di Jakarta, Hoegeng bertemu dengan Soemarto yang saat itu menjabat Wakil Kepala Djawatan Kepolisian Negara dan diminta menjadi bawahannya. Hoegeng diterima tetapi ingin mengunjungi Yogyakarta. Dia dibantu oleh Soemarto dan meninggalkan istrinya dan pergi sendiri pada bulan September. Di Yogyakarta, Hoegeng melaporkan tugasnya kepada Soekanto dan meminta izin sebagai bawahan Soemarto di Jakarta; Soekanto memberikan izin. Pada bulan November, Hoegeng bekerja sebagai asisten Soemarto dan diberi tugas untuk mengamati tahanan politik Indonesia dan membantu mereka jika memungkinkan. Di Jakarta, ia berkorespondensi dengan Sudirman, Hamengkubuwono IX, Oerip Soemohardjo, Suryadi Suryadarma, dan M. Nazir.[14]

Ia pernah menjadi Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) di Surabaya, Jawa Timur pada tahun 1952. Ia menjadi kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di Medan, Sumatera Utara pada tahun 1956. Pada tahun 1959, ia mengikuti sekolah pelatihan Mobile Brigade (Mobrig) dan menjadi staf direktorat II di Markas Besar Polri pada tahun 1960, ia menjadi Kepala Djawatan Imigrasi pada tahun 1960, menjadi Menteri Iuran Negara pada tahun 1965, dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti pada tahun 1966. Setelah Hoegeng mengundurkan diri sebagai kepala polisi, ia tampil di TVRI bermain gitar Hawaii bersama dengan band "The Hawaiian Seniors", dan menjadi pembawa acara musik The Hawaiian Seniors (aslinya Irama Lautan Teduh) dari tahun 1968 sampai 1979. Kadang ia tampil bersama istrinya, Merry Hoegeng dan putrinya, Reny Hoegeng atau Aditya Hoegeng.[15]

Sewaktu pendudukan Jepang, ia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Setelah itu ia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.

Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956) di Medan. Tahun 1959, mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Dari situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969, namanya kemudian berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Hoegeng mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971 dan digantikan oleh Drs. Mohamad Hasan.

Saat menjadi Kapolri Hoegeng Iman Santoso melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut struktur organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Pada masa jabatannya terjadi perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabes Pol).

Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya, sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.

Kehidupan pribadi

[sunting | sunting sumber]

Di luar dinas kepolisian Hoegeng terkenal dengan kelompok pemusik Hawaii, The Hawaiian Seniors, selain ikut menyanyi juga memainkan ukulele. Kegiatan Hoegeng tersebut sempat ditampilkan di TVRI, namun kemudian dicekal oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia. Setelah pencekalan itu, Hoegeng lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkebun di kebunnya yang kecil di seputaran Jonggol, Bogor. Selain berkebun ia juga kerap menghabiskan waktunya untuk melukis, hobi yang sudah ia lakukan sejak ia masih muda. Gaya lukisannya cenderung naturalis. Mulanya ia gemar melukis potret manusia, namun lama kelamaan lebih sering melukis pemandangan dan bunga. Semasa masih menjabat sebagai Kapolri, ia menolak menjual lukisanya. Namun setelah pensiun, Hoegeng baru mau menjual karya-karyanya untuk keperluan pribadi atau untuk keperluan sosial.[16]

Meninggal dunia

[sunting | sunting sumber]

Hoegeng wafat di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2004[17] dalam usia 82 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Penghargaan

[sunting | sunting sumber]

Atas semua pengabdiannya kepada negara, Hoegeng Iman Santoso telah menerima sejumlah tanda jasa baik di dalam maupun luar negeri, di antaranya;

Baris ke-1 Bintang Mahaputera Utama (14 Agustus 2004)[18] Bintang Gerilya
Baris ke-2 Bintang Dharma Bintang Bhayangkara Utama Bintang Kartika Eka Paksi Utama
Baris ke-3 Bintang Jalasena Utama Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan
Baris ke-4 Satyalancana Satya Dasawarsa Satyalancana Jana Utama Satyalancana Ksatriya Tamtama
Baris ke-5 Satyalancana Prasetya Pancawarsa Satyalancana Perang Kemerdekaan I Satyalancana Perang Kemerdekaan II
Baris ke-6 Satyalancana G.O.M I Satyalancana Sapta Marga Satyalancana Penegak
Baris ke-7 Knight Grand Cross of the Most Noble Order of the Crown of Thailand - Thailand Knight Grand Cross of the Order of Orange-Nassau - Belanda Panglima Setia Mahkota (P.S.M.) - Malaysia

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Pejabat Kapolri dari Masa ke Masa". Website Resmi Polri. Diakses tanggal 25 September 2021. 
  2. ^ "Detail biodata Pejabat Menteri - Jenderal (Purn.) Dr. Hoegeng Imam Santoso". Kepustakaan Presiden Republik Indonesia. Diakses tanggal 14 Oktober 2022. 
  3. ^ Muradi (2014). Politics and Governance in Indonesia : the Police in the Era of Reformasi. Taylor & Francis. hlm. 185. ISBN 1-306-86105-5. OCLC 881367626. 
  4. ^ van Dijk, C. (Kees) (2021). A Country in Despair Indonesia Between 1997 And 2000. Boston: Brill. hlm. 197. ISBN 978-90-04-43487-5. OCLC 1276859752. 
  5. ^ Santoso et al. 2014, hlm. viii.
  6. ^ a b Santoso et al. 2014, hlm. 7.
  7. ^ Santoso et al. 2014, hlm. 5.
  8. ^ Santoso et al. 2014, hlm. 8-11.
  9. ^ Santoso et al. 2014, hlm. 12-13.
  10. ^ Santoso et al. 2014, hlm. 14-16.
  11. ^ Santoso et al. 2014, hlm. 17-20.
  12. ^ Santoso et al. 2014, hlm. 20-23.
  13. ^ Santoso et al. 2014, hlm. 23-26.
  14. ^ Santoso et al. 2014, hlm. 26-30.
  15. ^ Santoso et al. 2009, hlm. 3
  16. ^ author, Suhartono (2014). Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan. Jakarta: Kompas. hlm. 97, 98, 99, 100. ISBN 978797097691 Periksa nilai: length |isbn= (bantuan). 
  17. ^ Hendrowinoto, Nurinwa Ki S.; Penulis, Tim (2007). Bahasa, Tim Penyunting, ed. Ensiklopedi Kapolri: Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Iman Santoso. Jakarta: Panitia Penulisan Ensiklopedi Kapolri. hlm. 31–32. ISBN 978-979-16296-0-7. 
  18. ^ Daftar WNI Yang Memperoleh Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Tahun 2004 - Sekarang (PDF). Diakses tanggal 25 Agustus 2021. 

Bibliografi

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
Jabatan kepolisian
Didahului oleh:
Soetjipto Joedodihardjo
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
1968–1971
Diteruskan oleh:
Mohamad Hasan