Lompat ke isi

Suku Bali: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
M. Adiputra (bicara | kontrib)
 
(94 revisi perantara oleh 46 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{ethnic group|5|group=Suku Bali<br /><small>{{script|Bali|ᬳᬦᬓ᭄‌ᬩᬮᬶ}} (''Anak Bali'')</small>
{{ethnic group|
|image = Bali Hindu Wedding Traditional Dress.jpg
|group=Suku Bali{{br}}(''Anak Bali'')
|caption = Pakaian adat pernikahan orang [[Bali]].
|image=[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Balinese danseressen TMnr 60046652.jpg|300px]]
|poptime ='''3.946.416'''
|caption=Gadis-gadis Bali, {{circa}} tahun 1920-an.
|poptime=3.946.416<ref name="bps"/>
|popplace = {{flag|Indonesia}} '''3.946.416'''<ref name="SUKU"/>
|popplace=[[Provinsi Bali]]: 3.336.065<br>
|region1 = [[Bali]]
|pop1 = 3.336.065
[[Nusa Tenggara Barat]]:119.407<br>
|region2 = [[Nusa Tenggara Barat]]
[[Sulawesi Tengah]]:115.812<br>
|pop2 = 119.407
[[Lampung]]:104.810<br>
[[Sulawesi Tenggara]]:49.411<br>
|region3 = [[Sulawesi Tengah]]
|pop3 = 115.812
[[Sumatera Selatan]]:38.552<br>
|region4 = [[Lampung]]
[[Sulawesi Selatan]]:27.330<br>
|pop4 = 104.810
[[Malaysia]]:5.700<br>
|region5 = [[Sulawesi Tenggara]]
|langs=[[bahasa Bali]] dan [[bahasa Indonesia|Indonesia]]
|pop5 = 49.411
|rels=mayoritas beragama [[agama Hindu|Hindu]];{{br}}sisanya beragama [[Islam]], [[Kristen]], [[Katolik]], dan [[Buddha]]
|region6 = [[Sumatera Selatan]]
|related=[[suku Jawa]] (termasuk [[Suku Tengger|orang Tengger]] dan [[Suku Osing|Osing]]) dan [[suku Sasak]]
|pop6 = 38.552
|region7 = [[Sulawesi Selatan]]
|pop7 = 27.330
|region8 = [[Jawa Barat]]
|pop8 = 20.832
|region9 = [[Jawa Timur]]
|pop9 = 20.363
|region10 = [[DKI Jakarta]]
|pop10 = 15.181
|region11 = [[Sulawesi Barat]]
|pop11 = 14.657
|region12 = [[Sulawesi Utara]]
|pop12 = 14.347
|region13 = [[Kalimantan Selatan]]
|pop13 = 11.999
|langs = [[Bahasa Bali]] dan [[Bahasa Indonesia]]
|rels = '''Mayoritas'''<br>[[Berkas:Modre symbol Omkara.png|17px]] 95,22% [[Hindu Bali]]<br>'''Minoritas'''<br>{{•}}[[Berkas:Allah-green.svg|15px]] 3,24% [[Islam|Islam Sunni]]<br>{{•}}[[Berkas:Christian cross.svg|12px]] 1,26% [[Kristen]] ([[Protestan]] & [[Katolik]])<br>{{•}}[[Berkas:Dharma Wheel (2).svg|18px]] 0,26% [[Agama Buddha|Budha]]<br>{{•}}0,02% Lainnya<ref name=2010census>{{cite book |author=Aris Ananta |author2=Evi Nurvidya Arifin |author3=M Sairi Hasbullah |author4=Nur Budi Handayani |author5=Agus Pramono |title=Demography of Indonesia's Ethnicity |location=Singapore |publisher=Institute of Southeast Asian Studies |date=2015 |page=273}}</ref>
|related = [[Suku Sasak|Suku Sasak/Lombok]], [[Suku Sumbawa]], [[Suku Jawa]], [[Suku Osing]], [[Suku Madura]]
}}
}}
'''Suku Bali''' ([[bahasa Bali]]: ''Anak Bali'', ''Wong Bali'', atau ''Krama Bali'') adalah [[suku bangsa]] mayoritas di pulau [[Bali]], yang menggunakan [[bahasa Bali]] dan mengikuti budaya Bali. Sebagian besar suku Bali beragama [[Hindu]], kurang lebih 90%, sedangkan sisanya beragama [[Islam]], [[Kristen]], [[Katolik]], dan [[Buddha]]. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia.<ref name="bps">{{cite book|publisher=Badan Pusat Statistik|title =Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010 |year =2011 |isbn=9789790644175 |url=http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html}}</ref> Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di [[Provinsi Bali]]. Orang Bali juga banyak terdapat di [[Nusa Tenggara Barat]], [[Sulawesi Tengah]], [[Lampung]], [[Bengkulu]] dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya. Sebagian kecil orang Bali juga ada yang tinggal di [[Malaysia]].<ref>http://www.joshuaproject.net/assets/prayer-cards/id/PrayerCards-Country-MY-id.pdf</ref>


'''Suku Bali''' ({{lang-ban|{{script/Bali|ᬳᬦᬓ᭄‌ᬩᬮᬶ}}|anak Bali}}; disebut juga '''''wong Bali''''' atau '''''krama Bali''''') adalah [[suku bangsa]] mayoritas di pulau [[Bali]], yang menggunakan [[bahasa Bali]] dan mengikuti budaya Bali. Menurut hasil [[Sensus Penduduk Indonesia 2010]], ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia.<ref name="SUKU">{{Cite web|url=http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chotib/Kelompok_1/Referensi/BPS_kewarganegaraan_sukubangsa_agama_bahasa_2010.pdf|title=Kewarganegaraan Suku Bangsa, Agama, Bahasa 2010|website=demografi.bps.go.id|publisher=[[Badan Pusat Statistik]]|year=2010|format=PDF|accessdate=23 Februari 2022|pages=23-41|archive-date=12 Juli 2017|archive-url=https://web.archive.org/web/20170712140438/http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chotib/Kelompok_1/Referensi/BPS_kewarganegaraan_sukubangsa_agama_bahasa_2010.pdf|dead-url=yes}}</ref> Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di [[Provinsi Bali]] dan sisanya terdapat di [[Nusa Tenggara Barat]], [[Sulawesi Tengah]], [[Lampung]], [[Bengkulu]] dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya.<ref name="SUKU"/>
== Asal-usul ==

== Asal usul ==
{{main|Sejarah Bali}}
{{main|Sejarah Bali}}

Asal-usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang [[migrasi]]: gelombang pertama terjadi sebagai akibat dari persebaran penduduk yang terjadi di [[Nusantara]] selama [[prasejarah|zaman prasejarah]]; gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa [[sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha|perkembangan agama Hindu]] di Nusantara; gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari [[Jawa]], ketika [[Majapahit]] runtuh pada [[abad ke-15]]—seiring dengan [[Islamisasi]] yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk [[sinkretisme]] antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.
Asal usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang [[migrasi]]:
# Gelombang pertama terjadi sebagai akibat persebaran penduduk yang terjadi di [[Nusantara]] selama [[prasejarah|zaman prasejarah]];
# Gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa [[sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha|perkembangan agama Hindu]] di Nusantara;
# Gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari [[Jawa]], ketika [[Majapahit]] runtuh pada [[abad ke-15]]—seiring dengan [[Islamisasi]] yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk [[sinkretisme]] antara [[Budaya|kebudayaan]] Jawa klasik dengan [[tradisi]] asli Bali.


== Kebudayaan ==
== Kebudayaan ==
{{further|Kesenian Bali|Tari Bali|Arsitektur Bali|Masakan Bali}}
Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukirnya. [[Miguel Covarrubias|Covarrubias]] mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—lepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah [[pura]] yang indah, pemain [[gamelan]] andal, dan bahkan aktor berbakat.{{sfn|Vickers|2012|p=293}} Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun [[kelapa]] dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang.{{sfn|Vickers|2012|p=294}} Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin [[amatir]], yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud [[yadnya|persembahan]], dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.{{sfn|Vickers|2012|p=296}} Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi [[relief]] kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.{{sfn|Vickers|2012|p=298}}
{{multiple image
|align=left
|total_width=500
|header=Para gadis memakai ''sabuk'', baju Bali asli
|image1=A Balinese girl behind the door during The Pandan War festival; Riza Nugraha; June 2006.jpg
|caption1=
|image2=Girls in traditional Hindu dress in Bali Indonesia.jpg
|caption2=
}}
{{multiple image
|align=left
|total_width=500
|header=Para gadis Bali memakai [[kebaya]] modern
|image1=Kebaya Bali.jpg
|caption1=
|image2=Three Balinese girls wearing kebaya.jpg
|caption2=
}}
Kebudayaan Bali terkenal akan [[Tari|seni tari]], [[Seni pertunjukan|seni pertujukan]], dan [[Ukiran|seni ukir]]. [[Miguel Covarrubias]] mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—terlepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah [[pura]] yang indah, pemain [[gamelan]] andal, dan bahkan aktor berbakat.{{sfn|Vickers|2012|p=293}} Bahkan [[sesajen]] yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun [[kelapa]] dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang.{{sfn|Vickers|2012|p=294}} Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin [[amatir]], yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud [[yadnya|persembahan]], dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.{{sfn|Vickers|2012|p=296}} Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas [[Tionghoa]], atau dihiasi [[relief]] kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.{{sfn|Vickers|2012|p=298}}

[[Gamelan]] merupakan bentuk [[Musik|seni musik]] yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk ''piodalan'' (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara ''metatah'' (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, [[ngaben]], [[melasti]], dan sebagainya.{{sfn|Spies|1938|p=6–10}} Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut [[Walter Spies|Spies]], seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.{{sfn|de Zoete|1938|p=6–10}}


Sebagaimana di [[Jawa]], suku Bali juga mengenal pertunjukan [[wayang]], tetapi dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara [[agama Hindu]]-[[Buddhisme|Buddha]] dengan tradisi Bali.
[[Gamelan]] merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk ''piodalan'' (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara ''metatah'' (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, [[ngaben]], [[melasti]], dan sebagainya.{{sfn|Spies|1938|p=6–10}} Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut [[Walter Spies|Spies]], seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.{{sfn|de Zoete|1938|p=6–10}}


<gallery widths="220" heights="150">
Sebagaimana di [[Jawa]], suku Bali juga mengenal pertunjukan [[wayang]], namun dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara [[agama Hindu]]-[[Buddhisme|Buddha]] dengan tradisi Bali.
<gallery widths=220 heights=150>
File:Bali-Danse 0704a.jpg|Penari Legong di [[Ubud]].
File:Bali-Danse 0704a.jpg|Penari Legong di [[Ubud]].
File:Gamelan Orchestra (6336847793).jpg|Pertunjukan gamelan Bali di Kuta.
File:Gamelan Orchestra (6336847793).jpg|Pertunjukan gamelan Bali di Kuta.
File:18 Baris Poleng dancers resting before.JPG|Penari Baris Poleng di [[Kuta]].
File:18 Baris Poleng dancers resting before.JPG|Penari Baris Poleng di [[Kuta]].
</gallery>
</gallery>


== Kepercayaan ==
== Kepercayaan ==
{{main|Agama Hindu Dharma}}
{{main|Agama Hindu Bali}}
[[Berkas:Pura Taman Ayun terletak di Mengwi, Bali.jpg|jmpl|250px|ka|[[Pura]], rumah ibadah umat [[Hindu Bali]].]]
Sebanyak 3,2 juta [[umat Hindu]] tinggal di Bali,<ref name="bps"/> dan mayoritas suku Bali menganut kepercayaan [[Hinduisme|Hindu]] [[Siwa-Buddha]], salah satu denominasi [[agama Hindu]]. Para pendeta dari [[India]] yang berkelana di [[Nusantara]] memperkenalkan sastra Hindu-Buddha kepada suku Bali berabad-abad yang lalu. Masyarakat menerimanya dan mengkombinasikannya dengan [[mitologi Bali|mitologi pra-Hindu]] yang diyakini mereka.<ref>Steve Lansing, ''Three Worlds of Bali''. Praeger, 1983.</ref> Suku Bali yang telah ada sebelum gelombang migrasi ketiga, dikenal sebagai [[Bali Aga]], sebagian besar menganut agama berbeda dari suku Bali pada umumnya. Mereka mempertahankan tradisi [[animisme]].
[[Berkas:Kegiatan Persembahyangan Masyrakat Hindu Bali.jpg|jmpl|250px|ki|Kegiatan persembahyangan [[Hindu Bali]] di suatu desa di Sulawesi Tengah.]]
[[Berkas:Gedung Kantor Sinode GKPB.jpg|jmpl|250px|ka|Kantor sinode [[Gereja Kristen Protestan Bali]] di [[Mengwi, Badung|Mengwi]] [[Kabupaten Badung]].]]


Sebagian besar suku Bali beragama [[Hindu Bali|Hindu]]. Sebanyak 3,2 juta [[umat Hindu]] [[Indonesia]] tinggal di Bali,<ref name="SUKU"/> dan sebagian besar menganut kepercayaan Hindu aliran [[Siwa-Buddha]], sehingga berbeda dengan Hindu India.
== Tata Cara Penamaan ==
== Urutan Kelahiran ==
Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir".


Para pendeta dari [[India]] yang berkelana di [[Nusantara]] memperkenalkan sastra Hindu-Buddha kepada suku Bali berabad-abad yang lalu. Masyarakat menerimanya dan mengkombinasikannya dengan [[mitologi Bali|mitologi pra-Hindu]] yang diyakini mereka.<ref>Steve Lansing, ''Three Worlds of Bali''. Praeger, 1983.</ref> Suku Bali yang telah ada sebelum gelombang migrasi ketiga, dikenal sebagai [[Suku Bali Aga|Bali Aga]], sebagian besar menganut agama berbeda dari suku Bali pada umumnya. Mereka mempertahankan tradisi [[animisme]].
Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir abad 20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya. Tata cara penamaan ini antara lain :


Eksistensi kepercayaan suku Bali tak lepas dari campur tangan serta dukungan pemerintah kolonial Belanda, beberapa ''naturalist'', elit Bali dan masyarakat Belanda. Pemerintah kolonial melarang [[misionaris]] beroperasi di Bali pada 1881. Pada 1924, misi [[Gereja Katolik Roma|Katolik Roma]] ke Bali ditolak elite Bali dan pegawai kolonial mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan Belanda yang mau masuk ke Bali pada 1931 juga ditentang.<ref>{{citation |url=https://tirto.id/sejarah-hindu-bali-upaya-menuntut-pengakuan-dari-negara-diDD |title=Sejarah Hindu Bali: Upaya Menuntut Pengakuan dari Negara |author=Hussein Abdulsalam |created=9 Maret 2019 |access-date=16 Juni 2019}}</ref>
* Untuk membedakan jenis kelamin, masyarakat Bali menggunakan awalan “I” untuk anak laki-laki dan awalan “Ni” untuk anak perempuan


Setelah beberapa kali dilakukan penolakan, pada tanggal [[11 November]] [[1931]] ketua [[Christian and Missionary Alliance]] (CMA), R. A. Affray, membaptiskan 12 orang Bali asli di Yeh Poh, sungai kecil dekat dusun Untal-untal di [[Dalung, Kuta Utara, Badung|Desa Dalung]]. Dari sinilah sebagian suku Bali mulai menganut agama [[Kristen Protestan]] dengan gerejanya yaitu [[Gereja Kristen Protestan Bali]] (GKPB). Desa [[Blimbing Sari, Melaya, Jembrana|Blimbingsari]] di [[Melaya, Jembrana|Kecamatan Melaya]], [[Kabupaten Jembrana]] adalah salah satu desa di mana penduduknya mayoritas suku Bali yang beragama Kristen.<ref>{{cite web|url=https://www.jawaban.com/read/article/id/2021/10/23/4/211022103153/desa_blimbingsariwisata_religi_yang_padukan_gereja_dengan_sentuhan_budaya_bali|title=Desa Blimbingsari, Wisata Religi yang Padukan Gereja dengan Sentuhan Budaya Bali|website=www.jawaban.com|accessdate=23 Februari 2022}}</ref>
* Untuk anak pertama, biasanya diberi awalan “Wayan”, yang diambil dari kata "wayahan" yang artinya "tertua / lebih tua / yang paling matang". Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga sering digunakan adalah "Putu" dan "Gede". Kata “Putu” artinya "cucu", sedangkan “Gede” artinya "besar / lebih besar". Dua awalan nama ini biasanya digunakan oleh masyarakat Bali bagian utara dan barat, sedangkan di Bali bagian timur dan selatan cenderung memakai nama Wayan. Untuk anak perempuan kadang juga diberi tambahan kata “Luh”.


== Tata cara penamaan ==
* Untuk anak kedua, biasanya diberi awalan "Made", diambil dari kata "madya (tengah)". Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga dapat diberi nama depan "Nengah" yang juga diambil dari kata "tengah". Ada juga yang menggunakan awalan “Kadek” yang merupakan serapan dari kata “adi” yang bermakna "utama atau adik".
{{main|Nama Bali}}


Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar [[linguistik]] dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh Mahapatih [[Majapahit]], [[Gajah Mada]], sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir". Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir [[abad ke-20]], masyarakat Bali pun masih menggunakannya.
* Untuk anak ketiga, biasanya diberi nama depan "Nyoman" atau "Komang". Nyoman konon diambil dari kata "nyeman (lebih tawar)" yang asalnya dari lapisan terakhir pohon pisang, sebelum kulit terluar, yang rasanya cukup tawar. Nyoman. Komang, secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa / akhir”.


== Sistem Strata Sosial ==
* Untuk anak keempat, biasanya diawali dengan “Ketut”, yang merupakan serapan dari kata “ke + tuut” yang bermakna "mengikuti / mengekor". Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno "Kitut" yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang berawalan Ketut.
Sistem kehidupan masyarakat Bali disebut '''Wangsa''' berbeda dengan [[catur warna]] di [[Weda]], wangsa yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Meski saat ini tidak lagi diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, tetapi dalam beberapa hal masih dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal pembedaan berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada wangsa di masa lalu.


Sistem wangsa ini bermula pada abad XIV saat [[Kerajaan Bali]] ditundukkan oleh [[Majapahit]]. Pada mulanya wangsa ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa asal Majapahit dari [[Jawa]] yang diberi kuasa memerintah di Bali, dengan masyarakat lokal yang ditaklukkan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tetapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk sendiri strata sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari Majapahit.
* Untuk keluarga yang memiliki lebih dari empat anak, dapat digunakan kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya untuk anak kelima dan seterusnya. Ada juga yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. <ref>{{Citation


Mereka menguasai seluruh Pulau Bali dengan membagi kekuasaan di antara mereka, para panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.
== System Kasta ==
* Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan sebagai [[Brahmana]].
Masyarakat Bali mengenal system Kasta yang diturunkan dari leluhur mereka. Sysrem kasta ini konon bermula pasda abad XIV saat Bali ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit. Pada mulanya Kasta ini dibuat untuk membedakan antara kelas penguasa asal Majapahit yang diberi kuasa memerintah di Bali dengan masyarakat lokal taklukan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Para bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, bala tentara, abdi Keraton beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.
* Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan warna [[Kesatria]].
* Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan kasta tertinggi yakni Brahmana.
* Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan kasta Ksatria.
* Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal dari Jawa diberikan warna [[Waisya]].
* Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan kedudukan. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah di Bali dikenal dengan istilah "'''Jaba'''". Hal inipun diberlakukan kepada keturunan keluarga penguasa Bali kuno pra Majapahit dari Dinasti [[Warmadewa]] yang melebur dalam masyarakat Jaba setelah kehilangan kekuasaan mereka.
* Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal dari Jawa diberikan Kasta Weisya.
* Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan kedudukan atau tidak berkasta. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah yang biasa disebut kaum Sudra (Kasta Sudra) atau di Bali dikenal dengan istilah Jaba.


System kasta ini ini juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan kasta mereka. Selain itu juga sebagai alur profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya. Namun dalam prakteknya diberikan batasan tidak boleh saling mengawini antar kasta secara bebas. Anak laki-laki dari kalangan berkasta boleh mengawini anak perempuan dari kasta di bawahnya ataupun anak dari kalangan Sudra. Kepada istri mereka ini diberikan hak naik Kasta, kepada mereka diberikan sebutan Jero, dan seluruh keturunan mereka menyandang kasta sesuai ayahnya sesuai aturan Paternalistik.
Sistem wangsa ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh wangsa lainnya. Selain itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan wangsa mereka, terkait besar upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam praktiknya diberlakukan pula pada perkawinan, di mana wanita yang berasal dari tri wangsa menikahi pria dari jaba akan kehilangan hak wangsanya serta keturunannya. Begitu juga sebaliknya, para istri diberikan hak naik Wangsa dengan upacara adat pada Wangsa suaminya. Wanita yang telah naik Wangsa karena perkawinan ini kemudian disebut Jero. Seluruh keturunan sah mereka berhak menyandang wangsa yang sama dengan ayahnya sesuai aturan [[Paternalisme]].


Sistem wangsa ini masih kuat dipertahankan dalam [[Nama Bali|sistem penamaan masyarakat Bali]]. Mereka memberikan awalan nama yang menunjukkan wangsa keluarga mereka.<ref>{{citation
Aturan tersebut tidak berlaku kepada anak perempuan. Untuk anak perempuan dari kalangan berkasta secara adat tidak boleh mengawini laki-laki dari kalangan di bawahnya apalagi dari kaum Sudra (Jaba). Bila hal ini terjadi, maka anak perempuan itu harus meninggalkan kastanya dan jatuh selamanya ke dalam kasta suaminya.
| last = Sadnyini

| first = Ida Ayu
System Kasta ini masih dipertahankan dalam penamaan masyarakat Bali. Mereka memverikan ciri awalan nama yang menunjukkan Kasta keluarga mereka.
| title = CASTE SYSTEM OF HINDU COMMUNITY IN BALI: HISTORICAL JURIDICAL PERSPECTIVE
* Untuk keturunan dari kasta Brahmana, biasanya digunakan awalan "Ida Bagus" untuk laki-laki dan "Ida Ayu" untuk perempuan. Kasta Brahmana adalah kasta dari profesi pemuka agama, misalnya pendeta, pedanda, ratu pedanda. Namun saat ini tidak semua keturunan Brahmana memilih profesi sebagai pemuka agama.
| url= http://www.savap.org.pk/journals/ARInt./Vol.7(2)/2016(7.2-11).pdf

| accessdate = 2019-06-16}}</ref>
* Untuk keturunan dari kasta Ksatria, biasanya digunakan awalan "Anak Agung", "I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti Ayu" / "I Gusti Ayu"(perempuan), dan "I Gusti Ngurah". Meski pada mulanya Kasta Ksatria merupakan kasta dengan profesi pelaksana pemerintahan, namun saat ini tidak lagi menjadi suatu keharusan. Untuk menjadi pelaksana pemerintahan (PNS) dan pembela negara (TNI/POLRI) sesuai aturan Hukum RI tidak mengenal aturan kasta.
<ref>{{citation |url=http://inputbali.com/sejarah-bali/sejarah-adanya-kasta-di-bali |title=Sejarah Adanya Kasta di Bali |created=4 Mei 2019 |access-date=16 Juni 2019}}</ref>

* Untuk keturunan dari kasta Weisya, biasanya digunakan awalan "Ngakan", "Kompyang", "Sang", "Si", dsb. Namun sebagian tidak lagi menggunakan awalan nama depan terkait telah banyaknya terjadi asimilasi kelompok ini dengan kaum Sudra di masa lalu.

* Untuk keturunan dari kasta Sudra, dicirikan dengan nama tanpa awalan kebangsawanannya. Melainkan lagsung pada urutan nama sesuai pattern tradisi Bali. Untuk kaum pria menggunakan I Wayan (I Putu, I Gede), I Made ( I Kadek, I Nengah), I Nyoman ( I Komang), dan I Ketut. Ada pula yang tak mencantumkan awalan I melainkan langsung pada nama urutan seperti Wayan, Putu, Made, Nyoman, Ketut, dsb.
Untuk wanitanya umumnya menggunakan Ni Wayan (Ni Putu, Ni Luh), Ni Made (Ni Kadek, Ni Nengah), Ni Nyoman (Ni Komang), dan Ni Ketut. Namun ada pula sebagian kecil wanita yang tak menggunakan awalan Ni pada namanya melainkan langsung pada urutan tersebut, misalnya, Wayan , Kadek, Nyoman, dsb.

| last = Pasupati
| first = Budi
| title = Nama Orang Bali
| url= http://cakepane.blogspot.com/2012/07/nama-orang-bali.html?m=1
| accessdate = 2015-08-08}}</ref>


== Galeri ==
== Galeri ==
<gallery widths=220 heights=150>
<gallery widths="220" heights="150">
File:Three Balinese girls wearing kebaya.jpg|Para gadis Bali sedang menjunjung ''keben'', produk anyaman khas Bali sebagai wadah sesajen dan keperluan sehari-hari.
File:Bali 0720a.jpg|Para wanita Bali bergotong-royong saat menyambut hari raya.
File:Bali 0720a.jpg|Para wanita Bali bergotong-royong saat menyambut hari raya.
File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Goesti Ngoera K'toet Djilantik vorst van Boleleng Bali met zijn dochter. TMnr 60002162.jpg|Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut Jelantik beserta putrinya.
File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Goesti Ngoera K'toet Djilantik vorst van Boleleng Bali met zijn dochter. TMnr 60002162.jpg|Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut Jelantik beserta putrinya.
File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Goudsmeden aan het werk Bali TMnr 10014303.jpg|Para pandai besi di Bali (awal abad ke-19).
File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Goudsmeden aan het werk Bali TMnr 10014303.jpg|Para pandai besi di Bali (awal abad ke-19).
</gallery>
</gallery>


==Catatan kaki==
== Catatan kaki ==
{{commonscat|People of Bali|Suku Bali}}
{{commonscat|People of Bali|Suku Bali}}
{{reflist|2}}
{{reflist|2}}


==Daftar pustaka==
== Daftar pustaka ==
* {{citation| first=Adrian| last=Vickers| year=2012| title=Bali Tempo Doeloe| place=Jakarta| publisher=Komunitas Bambu| isbn=978-602-9402-07-0}}
* {{citation| first=Adrian| last=Vickers| year=2012| title=Bali Tempo Doeloe| place=Jakarta| publisher=Komunitas Bambu| isbn=978-602-9402-07-0}}
* {{citation| last1=de Zoete| first1=Beryl| last2=Spies| first2=Walter| title=Dance and Drama in Bali| place=London| year=1938| publisher=Faber and Faber Ltd.}}
* {{citation| last1=de Zoete| first1=Beryl| last2=Spies| first2=Walter| title=Dance and Drama in Bali| place=London| year=1938| publisher=Faber and Faber Ltd.}}

{{suku-stub}}


[[Kategori:Bali]]
[[Kategori:Bali]]
[[Kategori:Suku bangsa di Indonesia|Bali]]
[[Kategori:Kelompok etnik di Indonesia|Bali]]
[[Kategori:Suku bangsa di Bali]]
[[Kategori:Suku bangsa di Bali]]

Revisi terkini sejak 8 September 2024 04.55

Suku Bali
ᬳᬦᬓ᭄‌ᬩᬮᬶ (Anak Bali)
Pakaian adat pernikahan orang Bali.
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia 3.946.416[1]
Bali3.336.065
Nusa Tenggara Barat119.407
Sulawesi Tengah115.812
Lampung104.810
Sulawesi Tenggara49.411
Sumatera Selatan38.552
Sulawesi Selatan27.330
Jawa Barat20.832
Jawa Timur20.363
DKI Jakarta15.181
Sulawesi Barat14.657
Sulawesi Utara14.347
Kalimantan Selatan11.999
Bahasa
Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia
Agama
Mayoritas
95,22% Hindu Bali
Minoritas
 • 3,24% Islam Sunni
 • 1,26% Kristen (Protestan & Katolik)
 • 0,26% Budha
 • 0,02% Lainnya[2]
Kelompok etnik terkait
Suku Sasak/Lombok, Suku Sumbawa, Suku Jawa, Suku Osing, Suku Madura

Suku Bali (bahasa Bali: ᬳᬦᬓ᭄‌ᬩᬮᬶ, translit. anak Bali; disebut juga wong Bali atau krama Bali) adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali, yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia.[1] Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di Provinsi Bali dan sisanya terdapat di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Bengkulu dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya.[1]

Asal usul

Asal usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang migrasi:

  1. Gelombang pertama terjadi sebagai akibat persebaran penduduk yang terjadi di Nusantara selama zaman prasejarah;
  2. Gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa perkembangan agama Hindu di Nusantara;
  3. Gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari Jawa, ketika Majapahit runtuh pada abad ke-15—seiring dengan Islamisasi yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk sinkretisme antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.

Kebudayaan

Para gadis memakai sabuk, baju Bali asli
Para gadis Bali memakai kebaya modern

Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukir. Miguel Covarrubias mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—terlepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah pura yang indah, pemain gamelan andal, dan bahkan aktor berbakat.[3] Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun kelapa dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang.[4] Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin amatir, yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.[5] Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi relief kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.[6]

Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngaben, melasti, dan sebagainya.[7] Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut Spies, seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.[8]

Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang, tetapi dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali.

Kepercayaan

Pura, rumah ibadah umat Hindu Bali.
Kegiatan persembahyangan Hindu Bali di suatu desa di Sulawesi Tengah.
Kantor sinode Gereja Kristen Protestan Bali di Mengwi Kabupaten Badung.

Sebagian besar suku Bali beragama Hindu. Sebanyak 3,2 juta umat Hindu Indonesia tinggal di Bali,[1] dan sebagian besar menganut kepercayaan Hindu aliran Siwa-Buddha, sehingga berbeda dengan Hindu India.

Para pendeta dari India yang berkelana di Nusantara memperkenalkan sastra Hindu-Buddha kepada suku Bali berabad-abad yang lalu. Masyarakat menerimanya dan mengkombinasikannya dengan mitologi pra-Hindu yang diyakini mereka.[9] Suku Bali yang telah ada sebelum gelombang migrasi ketiga, dikenal sebagai Bali Aga, sebagian besar menganut agama berbeda dari suku Bali pada umumnya. Mereka mempertahankan tradisi animisme.

Eksistensi kepercayaan suku Bali tak lepas dari campur tangan serta dukungan pemerintah kolonial Belanda, beberapa naturalist, elit Bali dan masyarakat Belanda. Pemerintah kolonial melarang misionaris beroperasi di Bali pada 1881. Pada 1924, misi Katolik Roma ke Bali ditolak elite Bali dan pegawai kolonial mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan Belanda yang mau masuk ke Bali pada 1931 juga ditentang.[10]

Setelah beberapa kali dilakukan penolakan, pada tanggal 11 November 1931 ketua Christian and Missionary Alliance (CMA), R. A. Affray, membaptiskan 12 orang Bali asli di Yeh Poh, sungai kecil dekat dusun Untal-untal di Desa Dalung. Dari sinilah sebagian suku Bali mulai menganut agama Kristen Protestan dengan gerejanya yaitu Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB). Desa Blimbingsari di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana adalah salah satu desa di mana penduduknya mayoritas suku Bali yang beragama Kristen.[11]

Tata cara penamaan

Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir". Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir abad ke-20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya.

Sistem Strata Sosial

Sistem kehidupan masyarakat Bali disebut Wangsa berbeda dengan catur warna di Weda, wangsa yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Meski saat ini tidak lagi diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, tetapi dalam beberapa hal masih dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal pembedaan berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada wangsa di masa lalu.

Sistem wangsa ini bermula pada abad XIV saat Kerajaan Bali ditundukkan oleh Majapahit. Pada mulanya wangsa ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa asal Majapahit dari Jawa yang diberi kuasa memerintah di Bali, dengan masyarakat lokal yang ditaklukkan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tetapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk sendiri strata sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari Majapahit.

Mereka menguasai seluruh Pulau Bali dengan membagi kekuasaan di antara mereka, para panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.

  • Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan sebagai Brahmana.
  • Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan warna Kesatria.
  • Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal dari Jawa diberikan warna Waisya.
  • Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan kedudukan. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah di Bali dikenal dengan istilah "Jaba". Hal inipun diberlakukan kepada keturunan keluarga penguasa Bali kuno pra Majapahit dari Dinasti Warmadewa yang melebur dalam masyarakat Jaba setelah kehilangan kekuasaan mereka.

Sistem wangsa ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh wangsa lainnya. Selain itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan wangsa mereka, terkait besar upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam praktiknya diberlakukan pula pada perkawinan, di mana wanita yang berasal dari tri wangsa menikahi pria dari jaba akan kehilangan hak wangsanya serta keturunannya. Begitu juga sebaliknya, para istri diberikan hak naik Wangsa dengan upacara adat pada Wangsa suaminya. Wanita yang telah naik Wangsa karena perkawinan ini kemudian disebut Jero. Seluruh keturunan sah mereka berhak menyandang wangsa yang sama dengan ayahnya sesuai aturan Paternalisme.

Sistem wangsa ini masih kuat dipertahankan dalam sistem penamaan masyarakat Bali. Mereka memberikan awalan nama yang menunjukkan wangsa keluarga mereka.[12] [13]

Galeri

Catatan kaki

  1. ^ a b c d "Kewarganegaraan Suku Bangsa, Agama, Bahasa 2010" (PDF). demografi.bps.go.id. Badan Pusat Statistik. 2010. hlm. 23–41. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12 Juli 2017. Diakses tanggal 23 Februari 2022. 
  2. ^ Aris Ananta; Evi Nurvidya Arifin; M Sairi Hasbullah; Nur Budi Handayani; Agus Pramono (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 273. 
  3. ^ Vickers 2012, hlm. 293.
  4. ^ Vickers 2012, hlm. 294.
  5. ^ Vickers 2012, hlm. 296.
  6. ^ Vickers 2012, hlm. 298.
  7. ^ Spies 1938, hlm. 6–10.
  8. ^ de Zoete 1938, hlm. 6–10.
  9. ^ Steve Lansing, Three Worlds of Bali. Praeger, 1983.
  10. ^ Hussein Abdulsalam, Sejarah Hindu Bali: Upaya Menuntut Pengakuan dari Negara, diakses tanggal 16 Juni 2019 
  11. ^ "Desa Blimbingsari, Wisata Religi yang Padukan Gereja dengan Sentuhan Budaya Bali". www.jawaban.com. Diakses tanggal 23 Februari 2022. 
  12. ^ Sadnyini, Ida Ayu, CASTE SYSTEM OF HINDU COMMUNITY IN BALI: HISTORICAL JURIDICAL PERSPECTIVE (PDF), diakses tanggal 2019-06-16 
  13. ^ Sejarah Adanya Kasta di Bali, diakses tanggal 16 Juni 2019 

Daftar pustaka

  • Vickers, Adrian (2012), Bali Tempo Doeloe, Jakarta: Komunitas Bambu, ISBN 978-602-9402-07-0 
  • de Zoete, Beryl; Spies, Walter (1938), Dance and Drama in Bali, London: Faber and Faber Ltd.