Orang Banyumasan: Perbedaan antara revisi
k →Akhir Kesultanan Demak hingga Awal Mataram: penautan dengan laman wikipedia lain |
k Membatalkan 2 suntingan by 118.96.141.252 (bicara): Sampean nulisnya, tidak pada ditempatnya. (TW) Tag: Pembatalan |
||
(185 revisi perantara oleh 32 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{ethnic group |
{{Infobox ethnic group |
||
|group= Jawa Banyumasan <br/><small>{{Jav|ꦮꦺꦴꦁꦨꦚꦸꦩꦱꦤ꧀ /ꦠꦶꦪꦁꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀ /ꦥꦿꦶꦪꦤ꧀ꦠꦸꦤ꧀ꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀}}</small><br/><small>Wòng Jawa Banyumasan / Tiyang Jawi Toyåjênéan / Priyantun Jawi Toyåjênéan</small><br/><small></small> |
|||
|group=Suku Banyumasan |
|||
|image= |
|||
|image=[[Berkas:Tari Lengger jaipongan Banyumas.jpg|220px]] |
|||
|caption= |
|caption= Calung Banyumasan |
||
| population= 9.206.000<ref name="joshuaproject">{{cite web|url=http://joshuaproject.net/people_groups/12331/ID |title=Java Banyumasan in Indonesia |publisher=[[Joshua Project]] |access-date=2021-01-30}}</ref> |
|||
|poptime=8.448.964 |
|||
|langs=[[Bahasa Jawa Banyumasan]]<br>[[Bahasa Indonesia|Indonesia]] |
|||
|popplace=Kabupaten Banyumas , Banjarnegara , Purbalingga , Cilacap, Tegal , Brebes , Pemalang , Kebumen |
|||
|rels= [[Islam]] 97,5%<br/ >[[Kekristenan|Kristen]] ([[Protestan]] dan [[Katolik]]) 2,5% |
|||
|langs=[[Bahasa Banyumasan]],[[Bahasa Jawa]],[[Bahasa Indonesia]], [[Bahasa Sunda]] |
|||
| |
|related= [[suku Jawa]], [[suku Osing]], dan [[suku Tengger]] |
||
|related=[[Suku Cirebon]] ,[[Suku Jawa]], [[Suku Sunda]] |
|||
}} |
}} |
||
[[Berkas:Banyumasan.jpg|jmpl|Peta Pulau Jawa yang menunjukkan kawasan penuturan [[ |
[[Berkas:Banyumasan.jpg|jmpl|Peta Pulau Jawa yang menunjukkan kawasan penuturan [[Bahasa Jawa Banyumasan]]]] |
||
'''Banyumasan''' atau '''Suku Banyumasan''' adalah suatu sebutan terhadap kesatuan budaya, bahasa dan karakter yang hidup dan berkembang di masyarakat [[suku Jawa]] di wilayah Banyumasan. Wilayah Banyumasan adalah sebuah wilayah yang terletak di bagian barat provinsi [[Jawa Tengah]], [[Indonesia]] atau wilayah yang mengitari [[Gunung Slamet]] dan [[Sungai Serayu]]. Eks [[Karesidenan Banyumas]] pada masa pemerintahan [[Hindia Belanda]], umumnya adalah wilayah yang dianggap meliputi sebaran budaya masyarakat Banyumasan. [[Dialek Banyumasan|Bahasa Banyumasan]] menjadi salah satu ciri identitas masyarakat Banyumasan. |
|||
'''Orang Jawa Banyumasan''' ([[Ngoko]]: ''Wong Jawa Banyumasan''; [[Krama]]: ''Tiyang Jawi Toyåjênéan'')<ref>{{Cite book |
|||
Wilayah Banyumasan secara umum terdiri dari 2 bagian, yaitu wilayah Banyumasan Utara yang terdiri dari [[Brebes]], [[Tegal]] dan [[Pemalang]], serta wilayah Banyumasan Selatan yang mencakup [[Cilacap]], [[Kebumen]], [[Banjarnegara]], [[Purbalingga]] dan [[Banyumas]]. Hal ini merupakan implikasi dari regionalisasi yang dilakukan pada zaman dahulu. Walaupun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat-istiadat dan logat bahasa, tetapi secara umum daerah-daerah tersebut dapat dikatakan "sewarna", yaitu sama-sama menggunakan [[Dialek Banyumasan|''Bahasa Jawa Banyumasan'']] dan sama-sama berbudaya ''[[Penginyongan]]''. |
|||
|last = Harjawiyana |
|||
|first = Haryana |
|||
|author2 = Theodorus Supriya, |
|||
|title = Kamus unggah-ungguh basa Jawa |
|||
|publisher = Kanisius |
|||
|year = 2001 |
|||
|page = 185 |
|||
|url = https://books.google.com/books?id=-NOupFY-YTAC&pg=PA185 |
|||
|isbn = 978-979-672-991-3 |
|||
}}</ref> adalah etnis Jawa yang berasal dari [[Jawa Tengah]] (bagian [[barat]]) yang lebih akrab disebut sebagai ''Wong Ngapak'' dengan slogannya yang terkenal ''Ora Ngapak Ora Kêpénak''. Wilayah Banyumasan berada di dua eks keresidenan, [[keresidenan Banyumas|Banyumas]] dan [[keresidenan Pekalongan|Pekalongan]]. Meskipun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat-istiadat dan logat bahasa, akan tetapi secara umum daerah-daerah tersebut dapat dikatakan "sewarna", yaitu sama-sama menggunakan [[bahasa Jawa Banyumasan]]. |
|||
{{Main|suku Jawa}} |
|||
== |
== Bahasa == |
||
Bagi masyarakat Banyumas, bahasa Jawa Bayumasan merupakan bahasa ibu yang hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Hal ini seperti yang dikatakan Koentjaraningrat, [[orang Jawa]] memiliki pandangan yang sudah pasti mengenai kebudayaan Banyumas selain memiliki bentuk-bentuk organisasi sosial kuna yang khas, juga memiliki logat Banyumas yang berbeda (Koentjaraningrat, 1994:25). |
|||
=== Era Kerajaan Hindu dan Buddha === |
|||
Pada awal masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, wilayah Banyumasan terbagi dalam pengaruh [[Kerajaan Tarumanagara]] di barat dan [[Kerajaan Kalingga]] di timur dengan sungai Cipamali atau Kali Brebes sebagai batas alamnya. Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha lainnya yang mempunyai pengaruh di wilayah ini selanjutnya adalah [[Kerajaan Galuh]], [[Kerajaan Medang]], [[Kerajaan Kediri]], [[Kerajaan Singasari]] dan [[Majapahit]]. Saat Majapahit runtuh, wilayah Banyumasan menjadi bagian dari [[Kesultanan Demak]]. |
|||
Bahasa Jawa Banyumasan, atau yang lebih akrab disebut sebagai bahasa Ngapak, adalah dialek [[bahasa Jawa]] yang digunakan oleh masyarakat di [[Jawa Tengah]] bagian barat. Lebih tepatnya di dua eks-karesidenan, [[keresidenan Banyumas|Banyumas]] dan [[keresidenan Pekalongan|Pekalongan]] (sebagian). |
|||
=== Akhir Kesultanan Demak hingga Awal Mataram === |
|||
Pada zaman Kesultanan Demak (1478–1546), wilayah Banyumasan terdiri dari beberapa Kadipaten, di antaranya Kadipaten Pasirluhur dengan Adipatinya Banyak Belanak, juga Kadipaten Wirasaba dengan Adipatinya Wargo Utomo I. |
|||
Luasnya kekuasaan Kesultanan Demak membuat [[Trenggana|Sultan Trenggono]] (Sultan Demak ke III) merasa perlu memiliki angkatan perang yang kuat, untuk itu wilayah-wilayah Kesultanan Demak pun dibagi-bagi secara militer menjadi beberapa daerah komando militer. Untuk wilayah Barat, Sultan Trenggono mengangkat Adipati Banyak Belanak sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan Barat dengan cakupan wilayah meliputi Kerawang sampai gunung Sumbing (Wonosobo). Sebagai salah seorang Panglima Perang Kesultanan Demak, Adipati Pasirluhur dianugerahi gelar Pangeran Senopati Mangkubumi I sedangkan adiknya yang bernama Wirakencana diangkat menjadi Patih. |
|||
Eks-[[Karesidenan Banyumas]] meliputi [[Banjarnegara]], [[Purbalingga]], [[Banyumas]], [[Cilacap]], dan [[Kebumen]]. Eks [[Karesidenan Pekalongan]] meliputi [[Kabupaten Tegal]], [[Kota Tegal]], [[Brebes]], [[Pemalang]], [[Batang]], [[Kabupaten Pekalongan]] dan [[Kota Pekalongan]]. Dialek Banyumasan juga sampai ke [[Kabupaten Cirebon]], [[Kota Cirebon]] dan wilayah [[Jawa Barat]] yang berbatasan dengan [[Jawa Tengah]], seperti [[Ciamis]], [[Pangandaran]] meskipun sudah tercampur dengan bahasa dan dialek Sunda. Sejumlah ahli [[bahasa Jawa]] menyebut Bahasa Banyumasan sebagai bentuk Bahasa Jawa asli atau tahap awal.<ref>Budiono Herusasoto (2008) Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa Dan Watak</ref><ref>Politik Mataram yang Membentuk Bahasa Jawa Banyumasan[https://tirto.id/politik-mataram-yang-membentuk-bahasa-jawa-banyumasan-gvBd]</ref> |
|||
Setelah Sultan Trenggono wafat, Kesultanan Demak terpecah menjadi 3 bagian, salah satunya adalah [[Kesultanan Pajang|Pajang]] yang diperintah oleh [[Joko Tingkir]] dan bergelar Sultan Adiwijaya (1546–1587). Pada masa ini, sebagian besar wilayah Banyumasan termasuk dalam kekuasaan Pajang. |
|||
Ciri khas [[Bahasa Jawa Banyumasan]] terdapat pada bunyi vokal '''“a”''' pada banyak kata, terutama dalam akhirannya. Dalam [[Bahasa Jawa|Bahasa Jawa Baku]] ( Solo atau Yogyakarta) bunyi vokalnya berubah jadi '''“o”'''. Misalnya, jika di [[Cilacap]] orang ingin makan '''“sêga”''' (nasi), di [[Solo]] disebutnya orang ingin makan '''“sêgo”'''. Jika di [[Purwokerto]] sembilan adalah '''“sanga”''', di [[Yogyakarta]] jadi '''“songo”'''. |
|||
Mengikuti kebijakan pendahulunya, Sultan Adiwijaya juga mengangkat Adipati Pasirluhur yang saat itu dijabat Wirakencana, menjadi Senopati Pajang dengan gelar Pangeran Mangkubumi II. Sementara itu Adipati Kadipaten Wirasaba, Wargo Utomo I wafat dan salah seorang putranya bernama R. Joko Kaiman diangkat oleh Sultan Adiwijaya menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Wargo Utomo II, dia menjadi Adipati Wirasaba ke VII. |
|||
Perbedaan selanjutnya ada pada intonasi atau cara mengucapkan. Dalam [[Bahasa Jawa Banyumasan]] konsonan '''g''', '''k''', '''d''', dan '''b''' diucapkan ''''keras'''' dan ''''jelas'''', sementara di [[Bahasa Jawa|Bahasa Jawa Baku]] (Solo atau Yogyakarta) "tidak keras" dan "jelas". |
|||
Menjelang berakhirnya kejayaan kerajaan Pajang dan mulai berdirinya kerajaan [[Kesultanan Mataram|Mataram]] (1587), Adipati Wargo Utomo II menyerahkan kekuasaan Kadipaten Wirasaba ke saudara-saudaranya, sementara dia sendiri memilih membentuk Kadipaten baru dengan nama Kadipaten Banyumas dan dia menjadi Adipati pertama dengan gelar Adipati Marapat. |
|||
Misal, akhiran '''“krêtêg”''' di Banyumasan tetap menjadi '''“g,”''' sementara di [[Solo]] menjadi '''“k”''' (krêtêk). Atau akhiran '''“k”''' di kata '''“bapak”''' terdengar jelas di Banyumasan, sementara di [[Yogyakarta]] hampir tak terdengar. Demikian juga '''“jagad”''' yang menjadi '''“jagat”''' atau '''“lembab”''' berubah jadi '''“lembap”'''. |
|||
Selanjutnya, Kadipaten Banyumas inilah yang berkembang pesat, telebih setelah pusat Kadipatennya dipindahkan ke Sudagaran – Banyumas, pengaruh kekuasaannya menyebabkan Kadipaten-Kadipaten lainnya semakin mengecil. |
|||
Seiring dengan berkembangnya Kerajaan Mataram, Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan pun tunduk pada kekuasaan Mataram. |
|||
Perubahan-perubahan itu erat kaitannya dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Jawa di [[Pulau Jawa]] sehingga memunculkan kultur [[feodalisme]]. Dampaknya, [[Bahasa Jawa]] dibuat bertingkat-tingkat berdasarkan status sosial.<ref>Orang Ngapak Bukannya Kasar, Tapi Blak-blakan dan Apa Adanya[https://tirto.id/orang-ngapak-bukannya-kasar-tapi-blak-blakan-dan-apa-adanya-dkUE]</ref> |
|||
Kekuasaan Mataram atas Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tidak secara otomatis memasukkan wilayah Banyumasan ke dalam “lingkar dalam” kekuasaan Mataram sehingga Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tersebut masih memiliki otonomi dan penduduk Mataram pun menyebut wilayah Banyumasan sebagai wilayah Mancanegara Kulon. |
|||
== Budaya == |
|||
=== Awal pembentukan karesidenan & kabupaten === |
|||
Pada prinsipnya kebudayaan Banyumas merupakan bagian tak terpisahkan dari [[kebudayaan Jawa]], namun dikarenakan kondisi dan letak geografis yang jauh dari pusat kekuasaan keraton. Dengan demikian latar belakang kehidupan dan pandangan masyarakat Banyumas sangat dijiwai oleh semangat kerakyatan yang mengakibatkan pada berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari [[budaya Jawa]] (keraton). Jiwa dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas telah membawanya pada penampilan (perilaku) yang jika dilihat dari kacamata budaya keraton terkesan kasar dan rendah. Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, yang dilandasi semangat kerakyatan, [[cablaka]] (egaliter, blak-blakan) dan dibangun dari kehidupan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan demikian karena disebabkan wilayah Banyumas merupakan wilayah pinggiran dari kerajaan-kerajan besar seperti ([[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]], dan [[Kasunanan Surakarta Hadiningrat|Surakarta]]). Hal demikian mengakibatkan perkembangan kebudayaannya secara umum berlangsung lebih lambat dibanding dengan kebudayaan negarigung keraton.<ref>Sap, Tono (2010) Kebudayaan sebagai identitas masyarakat Banyumas. ISI Denpasar</ref> |
|||
Sebelum Belanda masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon dengan rentang wilayah meliputi antara Bagelen (Purworejo) sampai [[Majenang]] ([[Cilacap]]). Disebut Mancanegara Kulon karena pusat pemerintahan waktu itu memang berada di wilayah Surakarta atau wilayah wetan. |
|||
== Kesenian == |
|||
Terhitung sejak tanggal 22 Juni 1830, daerah Mancanegara Kulon ini secara politis masuk di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda, itulah awal penjajahan [[Belanda]], sekaligus akhir dari pendudukan kerajaan Mataram atas bumi Banyumasan. Selanjutnya para Adipati di wilayah Banyumasan pun tidak lagi tunduk pada Raja Mataram, mereka selanjutnya dipilih dan diangkat oleh Gubernur Jenderal dan dipilih dari kalangan penduduk pribumi, umumnya putera atau kerabat dekat Adipati terakhir. |
|||
Kesenian khas Banyumasan mendapat pengaruh dari pusat kebudayaan Jawa ([[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]], dan [[Kasunanan Surakarta Hadiningrat]]). Kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain: |
|||
* [[Wayang Kulit Gagrag Banyumasan]], yaitu jenis seni pertunjukan [[wayang kulit]] yang bernapaskan Banyumasan. Di daerah ini dikenal ada dua [[gragak]] atau gaya, yaitu [[Gragak Kidul Gunung]] dan [[Gragak Lor Gunung]]. Spesifikasi dari wayang kulit gragak Banyumasan adalah napas kerakyatannya yang begitu kental dalam pertunjukannya. |
|||
==== Karesidenan Banyumas ==== |
|||
Pemerintahan di wilayah Banyumasan diatur berdasarkan Konstitusi Nederland yang pada pasal 62 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintahan umum di [[Hindia Belanda]] (Indonesia) dilakukan oleh [[Gubernur]] Jenderal atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal adalah kepala eksekutif yang berhak mengangkat serta memberhentikan para pejabat di [[Hindia Belanda]], termasuk para Adipatinya. Saat itu yang menjadi Gubernur Jenderal adalah Johannes Graaf van den Bosch (16 Januari 1830 – 2 Juli 1833). |
|||
*[[Begalan]], adalah salah satu tradisi budaya masyarakat Jawa, utamanya Banyumas yang dilaksanakan sebagai bagian dari prosesi pernikahan yang dilaksanakan setelah acara akad nikah atau pada saat resepsi di tempat calon pengantin perempuan dimana yang dinikahkan adalah anak pertama dengan anak pertama, anak terakhir dengan anak terakhir, anak pertama dengan anak terakhir, dan anak pertama yang perempuan.<ref>Begalan, Tradisi Pernikahan Rakyat Banyumas[https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-purwokerto/baca-artikel/14341/Begalan-Tradisi-Pernikahan-Rakyat-Banyumas.html]</ref> |
|||
Upaya untuk mengontrol para Adipati ini sebenarnya agar [[Belanda]] mudah melakukan mobilisasi rakyat untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang lebih dikenal dengan tanam paksa. |
|||
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Xylofoon van bamboe met vijftien toetsen onderdeel van tjalung-ensemble TMnr 1029-11a.jpg|jmpl|Salah satu contoh alat musik calung banyumasan]] |
|||
Persiapan pembentukan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Banyumasan dilakukan oleh Residen Pekalongan bernama Hallewijn. Hallewijn tiba di wilayah Banyumasan pada 13 Juni 1830 dengan tugas utama mempersiapkan penyelenggaraan pemerintahan sipil di wilayah Banyumasan. Dia dibantu antara lain oleh Vitalis sebagai administrator juga Kapiten Tak sebagai komandan pasukan. |
|||
*[[Calung Banyumasan]], adalah alat musik yang terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas [[gambang barung]], [[gambang penerus]], [[dhendhem]], [[kenong]], [[gong]] & [[kendang]]. Selain itu ada juga '''Gong Sebul''' dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip [[gong]] tetapi dimainkan dengan cara ditiup (''sebul''), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut [[sinden]]. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, [[gending]] gaya Banyumasan, [[Surakarta]]-[[Yogyakarta]] dan sering pula disajikan lagu-lagu [[pop]] yang diaransir ulang. |
|||
Tanggal 20 September 1830, Hallewijn memberikan laporan umum hasil kerjanya kepada Komisaris [[Kerajaan]] yaitu Jenderal De Kock di [[Sokaraja]], di antara isi laporan tersebut adalah tentang cakupan wilayah Banyumasan yang meliputi (dari timur) : [[Kebumen]], Banjar ([[Banjarnegara]]), Panjer, [[Ayah]], Prabalingga ([[Purbalingga]]), [[Banyumas]], [[Kroya]], Adireja, [[Patikraja]], Purwakerta ([[Purwokerto]]), [[Ajibarang]], Karangpucung, Sidareja, [[Majenang]] sampai ke Daiyoe-loehoer ([[Dayeuhluhur]]), termasuk juga di dalamnya tanah-tanah Perdikan (daerah Istimewa) seperti Donan dan Kapungloo. Pada pertemuan di [[Sokaraja]] itulah akhirnya diresmikan berdirinya Karesidenan Banyumas yang meliputi sebagian besar wilayah mancanegara kulon, selanjutnya tanggal 1 November 1830 de Sturler dilantik sebagai Residen Banyumas pertama. |
|||
*[[Tek-Tek]], adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan [[Beduk]], [[seruling]], kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan tembang Jawa dan Dangdut. |
|||
Pada tanggal 18 Desember 1830 melalui Beslit Gubernur Jenderal J.G. van den Bosch, Karesidenan Banyumas diperluas dengan dimasukkannya Distrik Karangkobar (Banjarnegara), pulau [[Nusakambangan]], Madura (sebelumnya termasuk wilayah Cirebon) dan Karangsari (sebelumnya termasuk wilayah [[Tegal]]). |
|||
*[[Salawatan Jawa]], adalah seni musik yang bercorak [[Islam]] dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab [[Barzanji]]. |
|||
==== Awal pembentukan kabupaten-kabupaten ==== |
|||
Untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan, pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 22 Agustus 1831 membentuk 4 Regentschap (Kabupaten) di wilayah Karesidenan Banyumas yaitu, Kabupaten [[Banyumas]], [[Ajibarang]], Daiyoe-loehoer dan Prabalingga yang masing-masing dipimpin oleh seorang [[Bupati]] pribumi. Selain itu Residen de Sturler juga melakukan perubahan ejaan nama dan pembentukan struktur Afdeling yang berfungsi sebagai Asisten Residen di masing-masing Kabupaten. |
|||
*[[Lengger]], adalah jenis tarian tradisional yang tumbuh subur diwilayah sebaran budaya Banyumasan. [[Kesenian]] ini umumnya disajikan oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria yang lazim disebut [[badut]] (badut/bodor), Lengger disajikan di atas panggung pada malam hari atau siang hari, dan diiringi oleh perangkat musik calung. |
|||
Di antara yang mengalami perubahan nama adalah Prabalingga menjadi Poerbalingga, Daiyoe-Loehoer menjadi Dayoehloehoer dan Banjar menjadi [[Banjarnegara]], selanjutnya wilayah Banjarnegara diperluas dengan memasukkan Distrik Karangkobar, statusnyapun ditingkatkan menjadi sebuah [[Kabupaten]]. |
|||
*[[Sintren]], adalah seni traditional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian ''ébég''. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan '''trance'''/mendem, kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung dan dimasukkan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama-sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton. |
|||
Pembentukan Afdeling meliputi, Kabupaten Dayoehloehoer dan Kabupaten Ajibarang menjadi satu Afdeling yaitu Afdeling Ajibarang dengan ibukota [[Ajibarang]] dan D.A. Varkevisser diangkat sebagai Asisten Residen di Ajibarang sekaligus sebagai ”pendamping” Bupati Ajibarang Mertadiredja II dan Bupati Dayoehloehoer R. Tmg. Prawiranegara. Tiga Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten [[Banyumas]], [[Purbalingga]] dan [[Banjarnegara]] masing-masing memiliki Afdeling sendiri-sendiri. |
|||
*Aksi Muda, adalah kesenian bercorak [[Islam]] yang tersaji dalam bentuk atraksi Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian. |
|||
== Pemerintahan == |
|||
Wilayah Banyumasan merupakan sebuah wilayah yang meliputi 8 kabupaten yaitu [[Kabupaten Kebumen]], [[Kabupaten Cilacap]], [[Kabupaten Brebes]], [[Kabupaten Tegal]], [[Kabupaten Pemalang]], [[Kabupaten Banjarnegara]], [[Kabupaten Purbalingga]] dan [[Kabupaten Banyumas]]. |
|||
*[[Tari angguk]], yaitu kesenian bernapaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir pertunjukkan para pemain ''Trance'' (tidak sadar). |
|||
Kota-kota di wilayah Banyumasan antara lain : [[Brebes]], [[Tegal]], [[Pemalang]], [[Banjarnegara]], [[Kebumen]], [[Cilacap]], [[Purwokerto]], [[Purbalingga]], [[Slawi]], [[Bumiayu]], [[Gombong]], [[Majenang]], [[Bobotsari]], [[Ajibarang]], [[Sumpiuh]], [[Tanjung]], [[Comal]], [[Ketanggungan]], [[Purwareja]], [[Kroya]], [[Wangon, Banyumas|Wangon]], [[Prupuk Utara, Margasari, Tegal|Prupuk]], [[Prembun, Kebumen|Prembun]], [[Sokaraja]], [[Sidareja]] dll. |
|||
*[[Tari aplang]] atau Daeng, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri. |
|||
== Budaya == |
|||
Budaya Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah dikarenakan adanya pengaruh budaya Sunda (Priangan timur) yang bersebelahan, walaupun akarnya masih merupakan budaya Jawa. Ini juga sangat terkait dengan karakter masyarakatnya yang sangat egaliter tanpa mengenal istilah ''ningrat'' atau ''priyayi''. Hal ini juga tercermin dari bahasanya yaitu [[Dialek Banyumasan|bahasa Banyumasan]] yang pada dasarnya tidak mengenal tingkatan status sosial. Penggunaan bahasa ''halus'' (kromo) pada dasarnya merupakan serapan akibat interaksi intensif dengan masyarakat [[Jawa]] lainnya (wetanan) dan ini merupakan kemampuan masyarakat Banyumasan dalam mengapresiasi budaya luar. Penghormatan kepada orang yang lebih tua umumnya ditampilkan dalam bentuk sikap hormat, sayang serta sopan santun dalam bertingkah laku. |
|||
<!-- Tidak dapat dimungkiri bahwa pengaruh feodalisme memang terasa tetapi itu bukan merupakan karakter asli masyarakat Banyumasan. --> |
|||
*[[Bongkel]], adalah alat musik yang terbuat dari bambu, terdiri atas satu buah [[instrumen]] dengan empat bilah berlaras [[slendro]], dengan nada 2, 3, 5, 6. Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan [[gending|gendhing – gendhing]] khusus bongkel. Alat musik ini mirip [[Angklung]]. |
|||
Selain egaliter, masyarakat Banyumasan dikenal memiliki kepribadian yang jujur serta berterus terang atau biasa disebut cablaka/blakasuta. |
|||
*[[Tari buncis]], yaitu perpaduan antara [[seni musik]] & [[seni tari]] yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem. |
|||
== Kesenian == |
|||
[[Berkas:Tari Banyumasan.jpg|500px|jmpl|Tari Banyumasan]] |
|||
Kesenian khas Banyumasan tersebar di hampir seluruh pelosok daerah. Kesenian itu sendiri umumnya terdiri atas seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang berkaitang dengan kehidupan masyarakat pemilik-nya. Adapun bentuk-bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain: |
|||
* [[Wayang Kulit Gagrag Banyumasan]], yaitu jenis seni pertunjukan [[wayang kulit]] yang bernapaskan Banyumasan. Di daerah ini dikenal ada dua [[gragak]] atau gaya, yaitu [[Gragak Kidul Gunung]] dan [[Gragak Lor Gunung]]. Spesifikasi dari wayang kulit gragak Banyumasan adalah napas kerakyatannya yang begitu kental dalam pertunjukannya. |
|||
* Bégalan, yaitu seni tutur tradisional yang digunakan sebagai yang digunakan sebagai sarana upacara [[Nikah|pernikahan]], propertinya berupa alat-alat dapur yang masing-masing memiliki makna-makna simbolis yang berisi [[falsafah]] [[jawa]] & berguna bagi kedua mempelai dalam mengarungi hidup berumah tangga. |
|||
*[[Ebeg]], adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan [[prajurit]] berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cépét. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan [[jathilan]], [[kuda kepang]] dan [[kuda lumping]] di daerah lain. |
|||
=== Musik === |
|||
Musik-musik [[tradisional]] Banyumasan memiliki perbedaan yang cukup jelas dengan musik Jawa lainnya. |
|||
* Calung. Alat [[musik]] yang juga umum ditemukan di Tatar Sunda ini terbuat dari potongan [[bambu]] yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas [[gambang barung]], [[gambang penerus]], [[dhendhem]], [[kenong]], [[gong]] & [[kendang]]. Selain itu ada juga '''Gong Sebul''' dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip [[gong]] tetapi dimainkan dengan cara ditiup (''sebul''), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut [[sinden]]. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, [[gending]] gaya Banyumasan, [[Surakarta]]-[[Yogyakarta]] dan sering pula disajikan lagu-lagu [[pop]] yang diaransir ulang |
|||
* Kenthongan – sebagian menyebut Tek-Tek. Kentongan juga terbuat dari bambu. Kenthong adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan [[Beduk]], [[seruling]], kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan [[lagu]] [[Jawa]] dan [[Dangdut]]. |
|||
* Salawatan Jawa, yaitu salah satu seni musik bernapaskan [[Islam]] dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab [[Barzanji]]. |
|||
== Referensi == |
|||
{{reflist}} |
|||
# Lengger,yaitu jenis [[tari]]an [[tradisional]] yang tumbuh subur diwilayah sebaran [[budaya]] Banyumasan. [[Kesenian]] ini umumnya disajikan oleh dua orang [[wanita]] atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang [[penari]] [[pria]] yang lazim disebut [[badhud]] (badut/bodor), Lengger disajikan di atas panggung pada malam hari atau siang hari , dan diiringi oleh perangkat musik calung. |
|||
# Sintren, adalah seni traditional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian ''ébég''. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan '''trance'''/mendem, kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung dan dimasukkan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama-sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton. |
|||
# Aksi Muda, adalah kesenian bernapas [[Islam]] yang tersaji dalam bentuk atraksi Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian. |
|||
# Angguk, yaitu kesenian bernapaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir pertunjukkan para pemain ''Trance'' (tidak sadar) |
|||
# Aplang atau Daeng, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri. |
|||
# Bongkel, Musik Traditional yang mirip dengan [[angklung]], hanya terdiri atas satu buah [[instrumen]] dengan empat bilah berlaras [[slendro]], dengan nada 2, 3, 5, 6. Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan [[gending|gendhing – gendhing]] khusus bongkel. |
|||
# Buncis, yaitu perpaduan antara [[seni musik]] & [[seni tari]] yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem. |
|||
# Ebeg, adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan [[prajurit]] berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cépét. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan [[jathilan]], [[kuda kepang]] dan [[kuda lumping]] di daerah lain. |
|||
== Lihat pula == |
== Lihat pula == |
||
* |
*[[Baturaden]] |
||
* |
*[[Curug Cipendok]] |
||
* |
*[[Curug Belot]] |
||
*[[Teluk Penyu]] |
|||
{{InterWiki|code=map-bms}} |
|||
*[[Benteng Pendem]] |
|||
*[[Pulau Nusakambangan]] |
|||
*[[Pantai Ayah]] |
|||
*[[Pantai Widarapayung]] |
|||
*[[Bunga Wijayakusuma]] |
|||
*[[Sejarah Banyumas]] |
|||
*[[Sejarah Cilacap]] |
|||
*[[Sejarah Banjarnegara]] |
|||
*[[Sejarah Purbalingga]] |
|||
*[[Sejarah Brebes]] |
|||
*[[Sejarah Tegal]] |
|||
*[[Sejarah Pekalongan]] |
|||
*[[Sejarah Kebumen]] |
|||
[[Kategori:Banyumasan |
[[Kategori:Banyumasan]] |
||
[[Kategori:Budaya Jawa]] |
Revisi terkini sejak 8 September 2024 12.57
Jumlah populasi | |
---|---|
9.206.000[1] | |
Bahasa | |
Bahasa Jawa Banyumasan Indonesia | |
Agama | |
Islam 97,5% Kristen (Protestan dan Katolik) 2,5% | |
Kelompok etnik terkait | |
suku Jawa, suku Osing, dan suku Tengger |
Orang Jawa Banyumasan (Ngoko: Wong Jawa Banyumasan; Krama: Tiyang Jawi Toyåjênéan)[2] adalah etnis Jawa yang berasal dari Jawa Tengah (bagian barat) yang lebih akrab disebut sebagai Wong Ngapak dengan slogannya yang terkenal Ora Ngapak Ora Kêpénak. Wilayah Banyumasan berada di dua eks keresidenan, Banyumas dan Pekalongan. Meskipun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat-istiadat dan logat bahasa, akan tetapi secara umum daerah-daerah tersebut dapat dikatakan "sewarna", yaitu sama-sama menggunakan bahasa Jawa Banyumasan.
Bahasa
[sunting | sunting sumber]Bagi masyarakat Banyumas, bahasa Jawa Bayumasan merupakan bahasa ibu yang hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Hal ini seperti yang dikatakan Koentjaraningrat, orang Jawa memiliki pandangan yang sudah pasti mengenai kebudayaan Banyumas selain memiliki bentuk-bentuk organisasi sosial kuna yang khas, juga memiliki logat Banyumas yang berbeda (Koentjaraningrat, 1994:25).
Bahasa Jawa Banyumasan, atau yang lebih akrab disebut sebagai bahasa Ngapak, adalah dialek bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat di Jawa Tengah bagian barat. Lebih tepatnya di dua eks-karesidenan, Banyumas dan Pekalongan (sebagian).
Eks-Karesidenan Banyumas meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen. Eks Karesidenan Pekalongan meliputi Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Brebes, Pemalang, Batang, Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan. Dialek Banyumasan juga sampai ke Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon dan wilayah Jawa Barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah, seperti Ciamis, Pangandaran meskipun sudah tercampur dengan bahasa dan dialek Sunda. Sejumlah ahli bahasa Jawa menyebut Bahasa Banyumasan sebagai bentuk Bahasa Jawa asli atau tahap awal.[3][4]
Ciri khas Bahasa Jawa Banyumasan terdapat pada bunyi vokal “a” pada banyak kata, terutama dalam akhirannya. Dalam Bahasa Jawa Baku ( Solo atau Yogyakarta) bunyi vokalnya berubah jadi “o”. Misalnya, jika di Cilacap orang ingin makan “sêga” (nasi), di Solo disebutnya orang ingin makan “sêgo”. Jika di Purwokerto sembilan adalah “sanga”, di Yogyakarta jadi “songo”.
Perbedaan selanjutnya ada pada intonasi atau cara mengucapkan. Dalam Bahasa Jawa Banyumasan konsonan g, k, d, dan b diucapkan 'keras' dan 'jelas', sementara di Bahasa Jawa Baku (Solo atau Yogyakarta) "tidak keras" dan "jelas".
Misal, akhiran “krêtêg” di Banyumasan tetap menjadi “g,” sementara di Solo menjadi “k” (krêtêk). Atau akhiran “k” di kata “bapak” terdengar jelas di Banyumasan, sementara di Yogyakarta hampir tak terdengar. Demikian juga “jagad” yang menjadi “jagat” atau “lembab” berubah jadi “lembap”.
Perubahan-perubahan itu erat kaitannya dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Jawa di Pulau Jawa sehingga memunculkan kultur feodalisme. Dampaknya, Bahasa Jawa dibuat bertingkat-tingkat berdasarkan status sosial.[5]
Budaya
[sunting | sunting sumber]Pada prinsipnya kebudayaan Banyumas merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jawa, namun dikarenakan kondisi dan letak geografis yang jauh dari pusat kekuasaan keraton. Dengan demikian latar belakang kehidupan dan pandangan masyarakat Banyumas sangat dijiwai oleh semangat kerakyatan yang mengakibatkan pada berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari budaya Jawa (keraton). Jiwa dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas telah membawanya pada penampilan (perilaku) yang jika dilihat dari kacamata budaya keraton terkesan kasar dan rendah. Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, yang dilandasi semangat kerakyatan, cablaka (egaliter, blak-blakan) dan dibangun dari kehidupan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan demikian karena disebabkan wilayah Banyumas merupakan wilayah pinggiran dari kerajaan-kerajan besar seperti (Yogyakarta, dan Surakarta). Hal demikian mengakibatkan perkembangan kebudayaannya secara umum berlangsung lebih lambat dibanding dengan kebudayaan negarigung keraton.[6]
Kesenian
[sunting | sunting sumber]Kesenian khas Banyumasan mendapat pengaruh dari pusat kebudayaan Jawa (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat). Kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain:
- Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, yaitu jenis seni pertunjukan wayang kulit yang bernapaskan Banyumasan. Di daerah ini dikenal ada dua gragak atau gaya, yaitu Gragak Kidul Gunung dan Gragak Lor Gunung. Spesifikasi dari wayang kulit gragak Banyumasan adalah napas kerakyatannya yang begitu kental dalam pertunjukannya.
- Begalan, adalah salah satu tradisi budaya masyarakat Jawa, utamanya Banyumas yang dilaksanakan sebagai bagian dari prosesi pernikahan yang dilaksanakan setelah acara akad nikah atau pada saat resepsi di tempat calon pengantin perempuan dimana yang dinikahkan adalah anak pertama dengan anak pertama, anak terakhir dengan anak terakhir, anak pertama dengan anak terakhir, dan anak pertama yang perempuan.[7]
- Calung Banyumasan, adalah alat musik yang terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong & kendang. Selain itu ada juga Gong Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (sebul), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, gending gaya Banyumasan, Surakarta-Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop yang diaransir ulang.
- Tek-Tek, adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan Beduk, seruling, kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan tembang Jawa dan Dangdut.
- Salawatan Jawa, adalah seni musik yang bercorak Islam dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab Barzanji.
- Lengger, adalah jenis tarian tradisional yang tumbuh subur diwilayah sebaran budaya Banyumasan. Kesenian ini umumnya disajikan oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria yang lazim disebut badut (badut/bodor), Lengger disajikan di atas panggung pada malam hari atau siang hari, dan diiringi oleh perangkat musik calung.
- Sintren, adalah seni traditional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian ébég. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan trance/mendem, kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung dan dimasukkan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama-sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton.
- Aksi Muda, adalah kesenian bercorak Islam yang tersaji dalam bentuk atraksi Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian.
- Tari angguk, yaitu kesenian bernapaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir pertunjukkan para pemain Trance (tidak sadar).
- Tari aplang atau Daeng, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri.
- Bongkel, adalah alat musik yang terbuat dari bambu, terdiri atas satu buah instrumen dengan empat bilah berlaras slendro, dengan nada 2, 3, 5, 6. Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan gendhing – gendhing khusus bongkel. Alat musik ini mirip Angklung.
- Tari buncis, yaitu perpaduan antara seni musik & seni tari yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem.
- Ebeg, adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cépét. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan jathilan, kuda kepang dan kuda lumping di daerah lain.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Java Banyumasan in Indonesia". Joshua Project. Diakses tanggal 2021-01-30.
- ^ Harjawiyana, Haryana; Theodorus Supriya, (2001). Kamus unggah-ungguh basa Jawa. Kanisius. hlm. 185. ISBN 978-979-672-991-3.
- ^ Budiono Herusasoto (2008) Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa Dan Watak
- ^ Politik Mataram yang Membentuk Bahasa Jawa Banyumasan[1]
- ^ Orang Ngapak Bukannya Kasar, Tapi Blak-blakan dan Apa Adanya[2]
- ^ Sap, Tono (2010) Kebudayaan sebagai identitas masyarakat Banyumas. ISI Denpasar
- ^ Begalan, Tradisi Pernikahan Rakyat Banyumas[3]