Lompat ke isi

Orang Banyumasan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Taylorbot (bicara | kontrib)
perbaikan panggilan templat salah: "Cat main" -> "Main" | t=451 su=36 in=42 at=36 -- only 37 edits left of totally 74 possible edits | edr=000-0000 ovr=010-1111 aft=000-0000
 
(35 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{rujukan}}
{{Infobox ethnic group
{{Infobox ethnic group
|group=Banyumasan <br/><small>{{Jav|ꦮꦺꦴꦁꦨꦚꦸꦩꦱꦤ꧀ /ꦠꦶꦪꦁꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀ /ꦥꦿꦶꦪꦤ꧀ꦠꦸꦤ꧀ꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀}}</small><br/><small>Wòng Jawa Banyumasan / Tiyang Jawi Toyåjênéan / Priyantun Jawi Toyåjênéan</small><br/><small></small>
|group= Jawa Banyumasan <br/><small>{{Jav|ꦮꦺꦴꦁꦨꦚꦸꦩꦱꦤ꧀ /ꦠꦶꦪꦁꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀ /ꦥꦿꦶꦪꦤ꧀ꦠꦸꦤ꧀ꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀}}</small><br/><small>Wòng Jawa Banyumasan / Tiyang Jawi Toyåjênéan / Priyantun Jawi Toyåjênéan</small><br/><small></small>
|image=
|image=
|caption= Calung Banyumasan
|caption= Calung Banyumasan
Baris 7: Baris 6:
|langs=[[Bahasa Jawa Banyumasan]]<br>[[Bahasa Indonesia|Indonesia]]
|langs=[[Bahasa Jawa Banyumasan]]<br>[[Bahasa Indonesia|Indonesia]]
|rels= [[Islam]] 97,5%<br/ >[[Kekristenan|Kristen]] ([[Protestan]] dan [[Katolik]]) 2,5%
|rels= [[Islam]] 97,5%<br/ >[[Kekristenan|Kristen]] ([[Protestan]] dan [[Katolik]]) 2,5%
|related= sub etnis [[Suku Jawa|Jawa]] lainya dan [[Suku Sunda]]
|related= [[suku Jawa]], [[suku Osing]], dan [[suku Tengger]]
}}
}}
[[Berkas:Banyumasan.jpg|jmpl|Peta Pulau Jawa yang menunjukkan kawasan penuturan [[Bahasa Jawa Banyumasan]]]]
[[Berkas:Banyumasan.jpg|jmpl|Peta Pulau Jawa yang menunjukkan kawasan penuturan [[Bahasa Jawa Banyumasan]]]]


'''Jawa Banyumasan''' ([[Ngoko]]: ''Wong Jawa Banyumasan;'' [[Krama]]: ''Tiyang Jawi Toyajenean'', [[Bahasa Indonesia|Indonesia]]: '''Orang Jawa Banyumasan''')<ref>{{Cite book
'''Orang Jawa Banyumasan''' ([[Ngoko]]: ''Wong Jawa Banyumasan''; [[Krama]]: ''Tiyang Jawi Toyåjênéan'')<ref>{{Cite book
|last = Harjawiyana
|last = Harjawiyana
|first = Haryana
|first = Haryana
Baris 21: Baris 20:
|url = https://books.google.com/books?id=-NOupFY-YTAC&pg=PA185
|url = https://books.google.com/books?id=-NOupFY-YTAC&pg=PA185
|isbn = 978-979-672-991-3
|isbn = 978-979-672-991-3
}}</ref> adalah etnis Jawa yang berasal dari Provinsi [[Jawa Tengah]] bagian barat. Etnis Jawa Banyumasan sedikit berbeda budaya, bahasa dan karakter dari etnis Jawa pada umumnya. Etnis Jawa Banyumasan lebih dikenal dengan sebutan wong ngapak karena ciri khas logatnya yang ngapak dan slogan: "Ora Ngapak Ora Kepenak". Wilayah Banyumasan adalah sebuah wilayah yang terletak di bagian paling barat provinsi [[Jawa Tengah]] atau wilayah yang mengitari [[Gunung Slamet]] dan [[Sungai Serayu]]. Eks [[Karesidenan Banyumas]] pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh keluarga Wiryodiharjo , dan umumnya adalah wilayah yang dianggap meliputi sebaran budaya Jawa Dialek Banyumasan yang menjadi salah satu ciri khas identitas masyarakat Jawa Banyumasan.
}}</ref> adalah etnis Jawa yang berasal dari [[Jawa Tengah]] (bagian [[barat]]) yang lebih akrab disebut sebagai ''Wong Ngapak'' dengan slogannya yang terkenal ''Ora Ngapak Ora Kêpénak''. Wilayah Banyumasan berada di dua eks keresidenan, [[keresidenan Banyumas|Banyumas]] dan [[keresidenan Pekalongan|Pekalongan]]. Meskipun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat-istiadat dan logat bahasa, akan tetapi secara umum daerah-daerah tersebut dapat dikatakan "sewarna", yaitu sama-sama menggunakan [[bahasa Jawa Banyumasan]].
{{Main|suku Jawa}}


== Bahasa ==
Wilayah Banyumasan terdiri dari eks Karesidenan Banyumas yang meliputi; [[Cilacap]], [[Banjarnegara]], [[Purbalingga]] dan [[Banyumas]]. Hal ini merupakan implikasi dari regionalisasi yang dilakukan pada zaman dahulu. Walaupun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat-istiadat dan logat bahasa, tetapi secara umum daerah-daerah tersebut dapat dikatakan "sewarna", yaitu sama-sama menggunakan [[Bahasa Jawa]] [[Dialek Banyumasan]].
Bagi masyarakat Banyumas, bahasa Jawa Bayumasan merupakan bahasa ibu yang hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Hal ini seperti yang dikatakan Koentjaraningrat, [[orang Jawa]] memiliki pandangan yang sudah pasti mengenai kebudayaan Banyumas selain memiliki bentuk-bentuk organisasi sosial kuna yang khas, juga memiliki logat Banyumas yang berbeda (Koentjaraningrat, 1994:25).


Bahasa Jawa Banyumasan, atau yang lebih akrab disebut sebagai bahasa Ngapak, adalah dialek [[bahasa Jawa]] yang digunakan oleh masyarakat di [[Jawa Tengah]] bagian barat. Lebih tepatnya di dua eks-karesidenan, [[keresidenan Banyumas|Banyumas]] dan [[keresidenan Pekalongan|Pekalongan]] (sebagian).
== Era Kerajaan Hindu dan Buddha ==


Eks-[[Karesidenan Banyumas]] meliputi [[Banjarnegara]], [[Purbalingga]], [[Banyumas]], [[Cilacap]], dan [[Kebumen]]. Eks [[Karesidenan Pekalongan]] meliputi [[Kabupaten Tegal]], [[Kota Tegal]], [[Brebes]], [[Pemalang]], [[Batang]], [[Kabupaten Pekalongan]] dan [[Kota Pekalongan]]. Dialek Banyumasan juga sampai ke [[Kabupaten Cirebon]], [[Kota Cirebon]] dan wilayah [[Jawa Barat]] yang berbatasan dengan [[Jawa Tengah]], seperti [[Ciamis]], [[Pangandaran]] meskipun sudah tercampur dengan bahasa dan dialek Sunda. Sejumlah ahli [[bahasa Jawa]] menyebut Bahasa Banyumasan sebagai bentuk Bahasa Jawa asli atau tahap awal.<ref>Budiono Herusasoto (2008) Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa Dan Watak</ref><ref>Politik Mataram yang Membentuk Bahasa Jawa Banyumasan[https://tirto.id/politik-mataram-yang-membentuk-bahasa-jawa-banyumasan-gvBd]</ref>
{{Referensi}}
Pada awal masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, wilayah Banyumasan terbagi dalam pengaruh [[Kerajaan Tarumanagara]] di barat {{fact}} dan [[Kerajaan Kalingga]] di timur dengan [[Sungai Pemali|Sungai Cipamali]] atau [[Sungai Brebes|Kali Brebes]] sebagai batas alamnya. Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha lainnya yang mempunyai pengaruh di wilayah ini selanjutnya adalah [[Kerajaan Galuh]], [[Kerajaan Medang]], [[Kerajaan Kediri]], [[Kerajaan Singasari]] dan [[Majapahit]]. Saat Majapahit runtuh, wilayah Banyumasan menjadi bagian dari [[Kesultanan Demak]].


Ciri khas [[Bahasa Jawa Banyumasan]] terdapat pada bunyi vokal '''“a”''' pada banyak kata, terutama dalam akhirannya. Dalam [[Bahasa Jawa|Bahasa Jawa Baku]] ( Solo atau Yogyakarta) bunyi vokalnya berubah jadi '''“o”'''. Misalnya, jika di [[Cilacap]] orang ingin makan '''“sêga”''' (nasi), di [[Solo]] disebutnya orang ingin makan '''“sêgo”'''. Jika di [[Purwokerto]] sembilan adalah '''“sanga”''', di [[Yogyakarta]] jadi '''“songo”'''.
== Akhir Kesultanan Demak hingga Awal Mataram ==


Perbedaan selanjutnya ada pada intonasi atau cara mengucapkan. Dalam [[Bahasa Jawa Banyumasan]] konsonan '''g''', '''k''', '''d''', dan '''b''' diucapkan ''''keras'''' dan ''''jelas'''', sementara di [[Bahasa Jawa|Bahasa Jawa Baku]] (Solo atau Yogyakarta) "tidak keras" dan "jelas".
=== Pembagian Kekuasaan ===
Pada zaman Kesultanan Demak (1478–1546), wilayah Banyumasan terdiri dari beberapa Kadipaten, di antaranya Kadipaten Pasirluhur dengan Adipatinya Banyak Belanak juga Kadipaten Wirasaba dengan Adipatinya Wargo Utomo I.
Luasnya kekuasaan Kesultanan Demak membuat [[Trenggana|Sultan Trenggono]] (Sultan Demak ke III) merasa perlu memiliki angkatan perang yang kuat. Untuk itu wilayah-wilayah Kesultanan Demak pun dibagi-bagi secara militer menjadi beberapa daerah komando militer. Untuk wilayah Barat, Sultan Trenggono mengangkat Adipati Banyak Belanak sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan Barat dengan cakupan wilayah meliputi [[Kabupaten Karawang|Karawang]] sampai [[Gunung Sumbing]] ([[Kabupaten Wonosobo|Wonosobo]]). Sebagai salah seorang Panglima Perang Kesultanan Demak, Adipati Pasirluhur dianugerahi gelar Pangeran Senopati Mangkubumi I sedangkan adiknya yang bernama Wirakencana diangkat menjadi Patih.


Misal, akhiran '''“krêtêg”''' di Banyumasan tetap menjadi '''“g,”''' sementara di [[Solo]] menjadi '''“k”''' (krêtêk). Atau akhiran '''“k”''' di kata '''“bapak”''' terdengar jelas di Banyumasan, sementara di [[Yogyakarta]] hampir tak terdengar. Demikian juga '''“jagad”''' yang menjadi '''“jagat”''' atau '''“lembab”''' berubah jadi '''“lembap”'''.
Setelah Sultan Trenggono wafat, Kesultanan Demak terpecah menjadi 3 bagian, salah satunya adalah [[Kesultanan Pajang|Pajang]] yang diperintah oleh [[Joko Tingkir]] dan bergelar Sultan Adiwijaya (1546–1587). Pada masa ini, sebagian besar wilayah Banyumasan termasuk dalam kekuasaan Pajang. Mengikuti kebijakan pendahulunya, Sultan Adiwijaya juga mengangkat Adipati Pasirluhur yang saat itu dijabat Wirakencana, menjadi Senopati Pajang dengan gelar Pangeran Mangkubumi II. Sementara itu Adipati Kadipaten Wirasaba, Wargo Utomo I wafat dan salah seorang putranya bernama R. Joko Kaiman diangkat oleh Sultan Adiwijaya menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Wargo Utomo II, dia menjadi Adipati Wirasaba ke VII.


Perubahan-perubahan itu erat kaitannya dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Jawa di [[Pulau Jawa]] sehingga memunculkan kultur [[feodalisme]]. Dampaknya, [[Bahasa Jawa]] dibuat bertingkat-tingkat berdasarkan status sosial.<ref>Orang Ngapak Bukannya Kasar, Tapi Blak-blakan dan Apa Adanya[https://tirto.id/orang-ngapak-bukannya-kasar-tapi-blak-blakan-dan-apa-adanya-dkUE]</ref>
=== Awal Kesultanan Mataram ===
Menjelang berakhirnya kejayaan kerajaan Pajang dan mulai berdirinya [[Kesultanan Mataram]] (1587), Adipati Wargo Utomo II menyerahkan kekuasaan Kadipaten Wirasaba ke saudara-saudaranya, sementara dia sendiri memilih membentuk Kadipaten baru dengan nama Kadipaten Banyumas dan dia menjadi Adipati pertama dengan gelar Adipati Marapat.


== Budaya ==
Selanjutnya, Kadipaten Banyumas inilah yang berkembang pesat, telebih setelah pusat Kadipatennya dipindahkan ke [[Sudagaran, Banyumas, Banyumas|Sudagaran – Banyumas]], pengaruh kekuasaannya menyebabkan Kadipaten-Kadipaten lainnya semakin mengecil.
Pada prinsipnya kebudayaan Banyumas merupakan bagian tak terpisahkan dari [[kebudayaan Jawa]], namun dikarenakan kondisi dan letak geografis yang jauh dari pusat kekuasaan keraton. Dengan demikian latar belakang kehidupan dan pandangan masyarakat Banyumas sangat dijiwai oleh semangat kerakyatan yang mengakibatkan pada berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari [[budaya Jawa]] (keraton). Jiwa dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas telah membawanya pada penampilan (perilaku) yang jika dilihat dari kacamata budaya keraton terkesan kasar dan rendah. Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, yang dilandasi semangat kerakyatan, [[cablaka]] (egaliter, blak-blakan) dan dibangun dari kehidupan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan demikian karena disebabkan wilayah Banyumas merupakan wilayah pinggiran dari kerajaan-kerajan besar seperti ([[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]], dan [[Kasunanan Surakarta Hadiningrat|Surakarta]]). Hal demikian mengakibatkan perkembangan kebudayaannya secara umum berlangsung lebih lambat dibanding dengan kebudayaan negarigung keraton.<ref>Sap, Tono (2010) Kebudayaan sebagai identitas masyarakat Banyumas. ISI Denpasar</ref>
Seiring dengan berkembangnya Kerajaan Mataram, Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan pun tunduk pada kekuasaan Mataram.


== Kesenian ==
Kekuasaan Mataram atas Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tidak secara otomatis memasukkan wilayah Banyumasan ke dalam “lingkar dalam” kekuasaan Mataram sehingga Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tersebut masih memiliki otonomi dan penduduk Mataram pun menyebut wilayah Banyumasan sebagai wilayah Mancanegara Kulon.
Kesenian khas Banyumasan mendapat pengaruh dari pusat kebudayaan Jawa ([[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]], dan [[Kasunanan Surakarta Hadiningrat]]). Kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain:


* [[Wayang Kulit Gagrag Banyumasan]], yaitu jenis seni pertunjukan [[wayang kulit]] yang bernapaskan Banyumasan. Di daerah ini dikenal ada dua [[gragak]] atau gaya, yaitu [[Gragak Kidul Gunung]] dan [[Gragak Lor Gunung]]. Spesifikasi dari wayang kulit gragak Banyumasan adalah napas kerakyatannya yang begitu kental dalam pertunjukannya.
== Awal pembentukan karesidenan & kabupaten ==
Sebelum Belanda masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon dengan rentang wilayah meliputi antara [[Bagelen, Purworejo|Bagelen (Purworejo)]] sampai [[Majenang]] ([[Cilacap]]). Disebut Mancanegara Kulon karena pusat pemerintahan waktu itu memang berada di wilayah [[Kasunanan Surakarta|Surakarta]] atau wilayah wetan.


*[[Begalan]], adalah salah satu tradisi budaya masyarakat Jawa, utamanya Banyumas yang dilaksanakan sebagai bagian dari prosesi pernikahan yang dilaksanakan setelah acara akad nikah atau pada saat resepsi di tempat calon pengantin perempuan dimana yang dinikahkan adalah anak pertama dengan anak pertama, anak terakhir dengan anak terakhir, anak pertama dengan anak terakhir, dan anak pertama yang perempuan.<ref>Begalan, Tradisi Pernikahan Rakyat Banyumas[https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-purwokerto/baca-artikel/14341/Begalan-Tradisi-Pernikahan-Rakyat-Banyumas.html]</ref>
Terhitung sejak tanggal 22 Juni 1830, daerah Mancanegara Kulon ini secara politis masuk di bawah kontrol [[Hindia Belanda|Pemerintah Kolonial Belanda]]. Pada saat itulah awal penjajahan [[Belanda]] sekaligus akhir dari pendudukan Kesultanan Mataram atas Bumi Banyumasan. Selanjutnya, para Adipati di wilayah Banyumasan pun tidak lagi tunduk pada Raja Mataram. Mereka selanjutnya dipilih dan diangkat oleh [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda|Gubernur Jenderal]] dan dipilih dari kalangan penduduk pribumi, umumnya putera atau kerabat dekat Adipati terakhir.
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Xylofoon van bamboe met vijftien toetsen onderdeel van tjalung-ensemble TMnr 1029-11a.jpg|jmpl|Salah satu contoh alat musik calung banyumasan]]


*[[Calung Banyumasan]], adalah alat musik yang terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas [[gambang barung]], [[gambang penerus]], [[dhendhem]], [[kenong]], [[gong]] & [[kendang]]. Selain itu ada juga '''Gong Sebul''' dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip [[gong]] tetapi dimainkan dengan cara ditiup (''sebul''), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut [[sinden]]. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, [[gending]] gaya Banyumasan, [[Surakarta]]-[[Yogyakarta]] dan sering pula disajikan lagu-lagu [[pop]] yang diaransir ulang.
=== Karesidenan Banyumas ===
Pemerintahan di wilayah Banyumasan diatur berdasarkan Konstitusi Nederland yang pada pasal 62 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintahan umum di [[Hindia Belanda]] (Indonesia) dilakukan oleh [[Gubernur]] Jenderal atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal adalah kepala eksekutif yang berhak mengangkat serta memberhentikan para pejabat di [[Hindia Belanda]], termasuk para Adipatinya. Saat itu yang menjadi [[Johannes van den Bosch|Gubernur Jenderal adalah Johannes Graaf van den Bosch]] (16 Januari 1830 – 2 Juli 1833).


*[[Tek-Tek]], adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan [[Beduk]], [[seruling]], kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan tembang Jawa dan Dangdut.
Upaya untuk mengontrol para Adipati ini sebenarnya agar [[Belanda]] mudah melakukan mobilisasi rakyat untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang lebih dikenal dengan tanam paksa.
Persiapan pembentukan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Banyumasan dilakukan oleh Residen Pekalongan bernama Hallewijn. Hallewijn tiba di wilayah Banyumasan pada 13 Juni 1830 dengan tugas utama mempersiapkan penyelenggaraan pemerintahan sipil di wilayah Banyumasan. Dia dibantu antara lain oleh Vitalis sebagai administrator juga Kapiten Tak sebagai komandan pasukan.


*[[Salawatan Jawa]], adalah seni musik yang bercorak [[Islam]] dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab [[Barzanji]].
Tanggal 20 September 1830, Hallewijn memberikan laporan umum hasil kerjanya kepada Komisaris [[Kerajaan]] yaitu [[Hendrik Merkus de Kock|Jenderal De Kock]] di [[Sokaraja]], di antara isi laporan tersebut adalah tentang cakupan wilayah Banyumasan yang meliputi (dari timur): [[Kebumen]], Banjar ([[Banjarnegara]]), [[Panjer, Kebumen, Kebumen|Panjer]], [[Ayah]], Prabalingga ([[Purbalingga]]), [[Banyumas]], [[Kroya]], [[Adiraja, Adipala, Cilacap|Adiraja]], [[Patikraja]], Purwakerta ([[Purwokerto]]), [[Ajibarang]], [[Karangpucung, Cilacap|Karangpucung]], [[Sidareja, Cilacap|Sidareja]], [[Majenang]] sampai ke Daiyoe-loehoer ([[Dayeuhluhur]]) termasuk juga di dalamnya tanah-tanah Perdikan (daerah Istimewa) seperti [[Donan, Cilacap Tengah, Cilacap|Donan]] dan Kapungloo. Pada pertemuan di [[Sokaraja]] akhirnya diresmikan pendirian Karesidenan Banyumas yang meliputi sebagian besar wilayah mancanegara kulon, selanjutnya tanggal 1 November 1830 de Sturler dilantik sebagai Residen Banyumas pertama.


*[[Lengger]], adalah jenis tarian tradisional yang tumbuh subur diwilayah sebaran budaya Banyumasan. [[Kesenian]] ini umumnya disajikan oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria yang lazim disebut [[badut]] (badut/bodor), Lengger disajikan di atas panggung pada malam hari atau siang hari, dan diiringi oleh perangkat musik calung.
Pada tanggal 18 Desember 1830, melalui Beslit Gubernur Jenderal J.G. van den Bosch, Karesidenan Banyumas diperluas dengan dimasukkannya Distrik [[Karangkobar, Banjarnegara|Karangkobar]] (Banjarnegara, terletak di dekat [[Dieng]]), pulau [[Nusakambangan]], [[Madura, Wanareja, Cilacap|Madura]] (sebelumnya termasuk wilayah [[Kabupaten Cirebon|Cirebon]], sekarang termasuk dalam wilayah [[Wanareja, Cilacap]]) dan [[Karangsari, Bulakamba, Brebes|Karangsari]] (sebelumnya termasuk wilayah [[Tegal]]).


*[[Sintren]], adalah seni traditional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian ''ébég''. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan '''trance'''/mendem, kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung dan dimasukkan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama-sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton.
=== Awal pembentukan kabupaten-kabupaten ===
Untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan, [[Hindia Belanda|Pemerintah Kolonial Belanda]] pada tanggal 22 Agustus 1831 membentuk 4 ''Regentschap'' (Kabupaten) di wilayah Karesidenan Banyumas yaitu Kabupaten [[Banyumas]], [[Ajibarang]], Daiyoe-loehoer dan Prabalingga yang masing-masing dipimpin oleh seorang [[bupati]] pribumi. Selain itu, Residen de Sturler juga melakukan perubahan ejaan nama dan pembentukan struktur ''Afdeling'' yang berfungsi sebagai Asisten Residen di masing-masing Kabupaten. Di antara yang mengalami perubahan nama adalah Prabalingga menjadi Poerbalingga, Daiyoe-Loehoer menjadi Dayoehloehoer dan Banjar menjadi [[Banjarnegara]], selanjutnya wilayah Banjarnegara diperluas dengan memasukkan Distrik Karangkobar dan statusnyapun ditingkatkan menjadi sebuah [[Kabupaten]].


*Aksi Muda, adalah kesenian bercorak [[Islam]] yang tersaji dalam bentuk atraksi Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian.
Pembentukan Afdeling meliputi Kabupaten Dayoehloehoer dan Kabupaten Ajibarang menjadi satu Afdeling yaitu Afdeling Ajibarang dengan ibu kota [[Ajibarang]] dan D.A. Varkevisser diangkat sebagai Asisten Residen di Ajibarang sekaligus sebagai ”pendamping” Bupati Ajibarang Mertadiredja II dan Bupati Dayoehloehoer R. Tmg. Prawiranegara. Tiga Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten [[Banyumas]], [[Purbalingga]] dan [[Banjarnegara]] masing-masing memiliki Afdeling sendiri-sendiri.


*[[Tari angguk]], yaitu kesenian bernapaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir pertunjukkan para pemain ''Trance'' (tidak sadar).
== Pemerintahan ==
Wilayah Banyumasan merupakan sebuah wilayah yang meliputi 7 kabupaten yaitu [[Kabupaten Kebumen]], [[Kabupaten Wonosobo]] (bagian barat) [[Kabupaten Cilacap]], [[Kabupaten Pemalang]] (bagian selatan), [[Kabupaten Banjarnegara]], [[Kabupaten Purbalingga]] dan [[Kabupaten Banyumas]].


*[[Tari aplang]] atau Daeng, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri.
Kota-kota di wilayah Banyumasan antara lain: [[Banjarnegara]], [[Kebumen]], [[Cilacap]], [[Purwokerto]], [[Purbalingga]], [[Gombong]], [[Mandiraja, Banjarnegara|Mandiraja]], [[Karanganyar, Kebumen|Karanganyar]], [[Majenang]], [[Ajibarang]], [[Sumpiuh]], [[Kroya]], [[Wangon, Banyumas|Wangon]], [[Tanjung]], [[Bobotsari, Purbalingga|Bobotsari]], [[Purwareja Klampok, Banjarnegara|Purwareja]], [[Sokaraja]], [[Sidareja]] dll.


*[[Bongkel]], adalah alat musik yang terbuat dari bambu, terdiri atas satu buah [[instrumen]] dengan empat bilah berlaras [[slendro]], dengan nada 2, 3, 5, 6. Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan [[gending|gendhing – gendhing]] khusus bongkel. Alat musik ini mirip [[Angklung]].
== Bahasa ==
Orang Banyumasan berbicara dengan [[Bahasa Banyumasan]] (Dialek Bahasa Jawa), bahasa Banyumasan masih mempertahankan kosakata dari [[Jawa Kuno]]. Banyumasan tetap menggunakan kata "a" bukan "O" seperti pada Bahasa Jawa Kuno , ini terkenal karena Bahasa Banyumasan tidak terpengaruh [[Bahasa Jawa Surakarta|Bahasa Jawa Mataram]].


*[[Tari buncis]], yaitu perpaduan antara [[seni musik]] & [[seni tari]] yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem.
Seperti orang Jawa di Indonesia, kebanyakan orang Banyumasan yang bilingual fasih berbahasa Indonesia dan Banyumasan. Dalam jajak pendapat publik yang diadakan sekitar tahun 1990, sekitar 12% orang Jawa menggunakan bahasa Indonesia, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia dan sisanya menggunakan bahasa Jawa secara eksklusif.

=== Pengaruh Sunda ===
Di beberapa daerah terutama di [[Kabupaten Cilacap]], [[Kabupaten Brebes|Brebes]] juga [[Kabupaten Banyumas|Banyumas]] dan [[Kabupaten Tegal|Tegal]] yang masih bagian dari [[Tatar Sunda]], sebagian penduduknya masih merupakan [[Suku Sunda]], karena pengaruh historis wilayah ini sebagai bagian dari [[Kerajaan Galuh]] sehingga menyebabkan beberapa orang Banyumasan yang hidup berdampingan atau menikah dengan orang Sunda tersebut ikut mengikuti budaya Sunda dan mampu bercakap-cakap menggunakan bahasa Sunda terutama [[bahasa Sunda Ciamis|dialek Ciamis]] dan [[Bahasa Sunda Brebes|dialek Brebes]]. Sementara itu [[Bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas]] dan [[Bahasa Sunda di Kabupaten Tegal|Tegal]] pernah dituturkan oleh masyarakat keturunan Sunda di kedua kabupaten ini, namun kedua bahasa ini telah dianggap punah.

== Budaya ==

{{Referensi}}
Budaya Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah dikarenakan adanya pengaruh Budaya Sunda (Priangan timur) {{fact}} yang bersebelahan, walaupun akarnya masih merupakan budaya Jawa. Ini juga sangat terkait dengan karakter masyarakatnya yang sangat egaliter tanpa mengenal istilah ''ningrat'' atau ''priyayi''. Hal ini juga tercermin dari bahasanya yaitu [[Dialek Banyumasan|Bahasa Jawa Banyumasan]] yang pada dasarnya tidak mengenal tingkatan status sosial.

Penggunaan bahasa halus ([[krama]]) pada dasarnya merupakan serapan akibat interaksi intensif dengan masyarakat [[Jawa]] lainnya (''wetanan'') dan ini merupakan kemampuan masyarakat Banyumasan dalam mengapresiasi budaya luar. Penghormatan kepada orang yang lebih tua umumnya ditampilkan dalam bentuk sikap hormat, sayang serta sopan santun dalam bertingkah laku.
<!-- Tidak dapat dimungkiri bahwa pengaruh feodalisme memang terasa tetapi itu bukan merupakan karakter asli masyarakat Banyumasan. -->

Selain egaliter, masyarakat Banyumasan dikenal memiliki kepribadian yang jujur serta berterus terang atau biasa disebut cablaka/blakasuta.{{fact}}

<!-- pengaruh budaya Sunda di Banyumasan apa saja, sebutkan -->

== Kesenian ==
Kesenian khas Banyumasan tersebar di hampir seluruh pelosok daerah. Kesenian itu sendiri umumnya terdiri atas seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang berkaitang dengan kehidupan masyarakat pemilik-nya. Adapun bentuk-bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain:
* [[Wayang Kulit Gagrag Banyumasan]], yaitu jenis seni pertunjukan [[wayang kulit]] yang bernapaskan Banyumasan. Di daerah ini dikenal ada dua [[gragak]] atau gaya, yaitu [[Gragak Kidul Gunung]] dan [[Gragak Lor Gunung]]. Spesifikasi dari wayang kulit gragak Banyumasan adalah napas kerakyatannya yang begitu kental dalam pertunjukannya.
* Bégalan, yaitu seni tutur tradisional yang digunakan sebagai yang digunakan sebagai sarana upacara [[Nikah|pernikahan]], propertinya berupa alat-alat dapur yang masing-masing memiliki makna-makna simbolis yang berisi [[falsafah]] [[jawa]] & berguna bagi kedua mempelai dalam mengarungi hidup berumah tangga.

=== Musik ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Xylofoon van bamboe met vijftien toetsen onderdeel van tjalung-ensemble TMnr 1029-11a.jpg|jmpl|Salah satu contoh alat musik calung banyumasan]]
Musik-musik [[tradisional]] Banyumasan memiliki perbedaan yang cukup jelas dengan musik Jawa lainnya.
* Calung. Alat [[musik]] yang juga umum ditemukan di Tatar Sunda ini terbuat dari potongan [[bambu]] yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas [[gambang barung]], [[gambang penerus]], [[dhendhem]], [[kenong]], [[gong]] & [[kendang]]. Selain itu ada juga '''Gong Sebul''' dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip [[gong]] tetapi dimainkan dengan cara ditiup (''sebul''), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut [[sinden]]. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, [[gending]] gaya Banyumasan, [[Surakarta]]-[[Yogyakarta]] dan sering pula disajikan lagu-lagu [[pop]] yang diaransir ulang
* Kenthongan – sebagian menyebut Tek-Tek. Kentongan juga terbuat dari bambu. Kenthong adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan [[Beduk]], [[seruling]], kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan [[lagu]] [[Jawa]] dan [[Dangdut]].
* Salawatan Jawa, yaitu salah satu seni musik bernapaskan [[Islam]] dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab [[Barzanji]].


*[[Ebeg]], adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan [[prajurit]] berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cépét. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan [[jathilan]], [[kuda kepang]] dan [[kuda lumping]] di daerah lain.
=== Tarian ===
# Lengger,yaitu jenis [[tari]]an [[tradisional]] yang tumbuh subur diwilayah sebaran [[budaya]] Banyumasan. [[Kesenian]] ini umumnya disajikan oleh dua orang [[wanita]] atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang [[penari]] [[pria]] yang lazim disebut [[badhud]] (badut/bodor), Lengger disajikan di atas panggung pada malam hari atau siang hari, dan diiringi oleh perangkat musik calung.
# Sintren, adalah seni traditional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian ''ébég''. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan '''trance'''/mendem, kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung dan dimasukkan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama-sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton.
# Aksi Muda, adalah kesenian bernapas [[Islam]] yang tersaji dalam bentuk atraksi Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian.
# Angguk, yaitu kesenian bernapaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir pertunjukkan para pemain ''Trance'' (tidak sadar)
# Aplang atau Daeng, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri.
# [[Bongkel]], Musik Traditional yang mirip dengan [[angklung]], hanya terdiri atas satu buah [[instrumen]] dengan empat bilah berlaras [[slendro]], dengan nada 2, 3, 5, 6. Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan [[gending|gendhing – gendhing]] khusus bongkel.
# Buncis, yaitu perpaduan antara [[seni musik]] & [[seni tari]] yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem.
# Ebeg, adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan [[prajurit]] berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cépét. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan [[jathilan]], [[kuda kepang]] dan [[kuda lumping]] di daerah lain.


== Referensi ==
== Referensi ==
Baris 117: Baris 75:


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
* [[Baturaden]]
*[[Baturaden]]
* [[Curug Cipendok]]
*[[Curug Cipendok]]
*[[Curug Belot]]
*[[Teluk Penyu]]
*[[Benteng Pendem]]
*[[Pulau Nusakambangan]]
*[[Pantai Ayah]]
*[[Pantai Widarapayung]]
*[[Bunga Wijayakusuma]]
*[[Sejarah Banyumas]]
*[[Sejarah Cilacap]]
*[[Sejarah Banjarnegara]]
*[[Sejarah Purbalingga]]
*[[Sejarah Brebes]]
*[[Sejarah Tegal]]
*[[Sejarah Pekalongan]]
*[[Sejarah Kebumen]]


[[Kategori:Banyumasan]]
[[Kategori:Banyumasan]]

Revisi terkini sejak 14 Juni 2024 18.57

Jawa Banyumasan
ꦮꦺꦴꦁꦨꦚꦸꦩꦱꦤ꧀ /ꦠꦶꦪꦁꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀ /ꦥꦿꦶꦪꦤ꧀ꦠꦸꦤ꧀ꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀
Wòng Jawa Banyumasan / Tiyang Jawi Toyåjênéan / Priyantun Jawi Toyåjênéan
Jumlah populasi
9.206.000[1]
Bahasa
Bahasa Jawa Banyumasan
Indonesia
Agama
Islam 97,5%
Kristen (Protestan dan Katolik) 2,5%
Kelompok etnik terkait
suku Jawa, suku Osing, dan suku Tengger
Peta Pulau Jawa yang menunjukkan kawasan penuturan Bahasa Jawa Banyumasan

Orang Jawa Banyumasan (Ngoko: Wong Jawa Banyumasan; Krama: Tiyang Jawi Toyåjênéan)[2] adalah etnis Jawa yang berasal dari Jawa Tengah (bagian barat) yang lebih akrab disebut sebagai Wong Ngapak dengan slogannya yang terkenal Ora Ngapak Ora Kêpénak. Wilayah Banyumasan berada di dua eks keresidenan, Banyumas dan Pekalongan. Meskipun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat-istiadat dan logat bahasa, akan tetapi secara umum daerah-daerah tersebut dapat dikatakan "sewarna", yaitu sama-sama menggunakan bahasa Jawa Banyumasan.

Bagi masyarakat Banyumas, bahasa Jawa Bayumasan merupakan bahasa ibu yang hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Hal ini seperti yang dikatakan Koentjaraningrat, orang Jawa memiliki pandangan yang sudah pasti mengenai kebudayaan Banyumas selain memiliki bentuk-bentuk organisasi sosial kuna yang khas, juga memiliki logat Banyumas yang berbeda (Koentjaraningrat, 1994:25).

Bahasa Jawa Banyumasan, atau yang lebih akrab disebut sebagai bahasa Ngapak, adalah dialek bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat di Jawa Tengah bagian barat. Lebih tepatnya di dua eks-karesidenan, Banyumas dan Pekalongan (sebagian).

Eks-Karesidenan Banyumas meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen. Eks Karesidenan Pekalongan meliputi Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Brebes, Pemalang, Batang, Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan. Dialek Banyumasan juga sampai ke Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon dan wilayah Jawa Barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah, seperti Ciamis, Pangandaran meskipun sudah tercampur dengan bahasa dan dialek Sunda. Sejumlah ahli bahasa Jawa menyebut Bahasa Banyumasan sebagai bentuk Bahasa Jawa asli atau tahap awal.[3][4]

Ciri khas Bahasa Jawa Banyumasan terdapat pada bunyi vokal “a” pada banyak kata, terutama dalam akhirannya. Dalam Bahasa Jawa Baku ( Solo atau Yogyakarta) bunyi vokalnya berubah jadi “o”. Misalnya, jika di Cilacap orang ingin makan “sêga” (nasi), di Solo disebutnya orang ingin makan “sêgo”. Jika di Purwokerto sembilan adalah “sanga”, di Yogyakarta jadi “songo”.

Perbedaan selanjutnya ada pada intonasi atau cara mengucapkan. Dalam Bahasa Jawa Banyumasan konsonan g, k, d, dan b diucapkan 'keras' dan 'jelas', sementara di Bahasa Jawa Baku (Solo atau Yogyakarta) "tidak keras" dan "jelas".

Misal, akhiran “krêtêg” di Banyumasan tetap menjadi “g,” sementara di Solo menjadi “k” (krêtêk). Atau akhiran “k” di kata “bapak” terdengar jelas di Banyumasan, sementara di Yogyakarta hampir tak terdengar. Demikian juga “jagad” yang menjadi “jagat” atau “lembab” berubah jadi “lembap”.

Perubahan-perubahan itu erat kaitannya dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Jawa di Pulau Jawa sehingga memunculkan kultur feodalisme. Dampaknya, Bahasa Jawa dibuat bertingkat-tingkat berdasarkan status sosial.[5]

Pada prinsipnya kebudayaan Banyumas merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jawa, namun dikarenakan kondisi dan letak geografis yang jauh dari pusat kekuasaan keraton. Dengan demikian latar belakang kehidupan dan pandangan masyarakat Banyumas sangat dijiwai oleh semangat kerakyatan yang mengakibatkan pada berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari budaya Jawa (keraton). Jiwa dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas telah membawanya pada penampilan (perilaku) yang jika dilihat dari kacamata budaya keraton terkesan kasar dan rendah. Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, yang dilandasi semangat kerakyatan, cablaka (egaliter, blak-blakan) dan dibangun dari kehidupan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan demikian karena disebabkan wilayah Banyumas merupakan wilayah pinggiran dari kerajaan-kerajan besar seperti (Yogyakarta, dan Surakarta). Hal demikian mengakibatkan perkembangan kebudayaannya secara umum berlangsung lebih lambat dibanding dengan kebudayaan negarigung keraton.[6]

Kesenian khas Banyumasan mendapat pengaruh dari pusat kebudayaan Jawa (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat). Kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain:

  • Begalan, adalah salah satu tradisi budaya masyarakat Jawa, utamanya Banyumas yang dilaksanakan sebagai bagian dari prosesi pernikahan yang dilaksanakan setelah acara akad nikah atau pada saat resepsi di tempat calon pengantin perempuan dimana yang dinikahkan adalah anak pertama dengan anak pertama, anak terakhir dengan anak terakhir, anak pertama dengan anak terakhir, dan anak pertama yang perempuan.[7]
Salah satu contoh alat musik calung banyumasan
  • Calung Banyumasan, adalah alat musik yang terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong & kendang. Selain itu ada juga Gong Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (sebul), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, gending gaya Banyumasan, Surakarta-Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop yang diaransir ulang.
  • Tek-Tek, adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan Beduk, seruling, kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan tembang Jawa dan Dangdut.
  • Salawatan Jawa, adalah seni musik yang bercorak Islam dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab Barzanji.
  • Lengger, adalah jenis tarian tradisional yang tumbuh subur diwilayah sebaran budaya Banyumasan. Kesenian ini umumnya disajikan oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria yang lazim disebut badut (badut/bodor), Lengger disajikan di atas panggung pada malam hari atau siang hari, dan diiringi oleh perangkat musik calung.
  • Sintren, adalah seni traditional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian ébég. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan trance/mendem, kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung dan dimasukkan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama-sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton.
  • Aksi Muda, adalah kesenian bercorak Islam yang tersaji dalam bentuk atraksi Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian.
  • Tari angguk, yaitu kesenian bernapaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir pertunjukkan para pemain Trance (tidak sadar).
  • Tari aplang atau Daeng, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri.
  • Tari buncis, yaitu perpaduan antara seni musik & seni tari yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem.
  • Ebeg, adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cépét. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan jathilan, kuda kepang dan kuda lumping di daerah lain.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Java Banyumasan in Indonesia". Joshua Project. Diakses tanggal 2021-01-30. 
  2. ^ Harjawiyana, Haryana; Theodorus Supriya, (2001). Kamus unggah-ungguh basa Jawa. Kanisius. hlm. 185. ISBN 978-979-672-991-3. 
  3. ^ Budiono Herusasoto (2008) Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa Dan Watak
  4. ^ Politik Mataram yang Membentuk Bahasa Jawa Banyumasan[1]
  5. ^ Orang Ngapak Bukannya Kasar, Tapi Blak-blakan dan Apa Adanya[2]
  6. ^ Sap, Tono (2010) Kebudayaan sebagai identitas masyarakat Banyumas. ISI Denpasar
  7. ^ Begalan, Tradisi Pernikahan Rakyat Banyumas[3]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]