Lompat ke isi

Belenggu (Buddhisme): Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Cun Cun (bicara | kontrib)
Faredoka (bicara | kontrib)
-kelekatan +kemelekatan (KBBI)
 
(79 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Buddhist term|fontsize=100%|title=''saṃyojana''|pi=saṃyojana|si=|en=fetter|bo=|bo-Latn=|zh=結|km=|km-Latn=|ko=결|ko-Latn=gyeol|zh-Latn=jié|vi=kiết sử|th=สังโยชน์<br />(IPA: sǎŋ jôːt)|ja=結|ja-Latn=yui|tl=|my=သံယောဇဉ်|sa=संयोजन|my-Latn=san yaw jain|id=belenggu|lo=ປຸຖຸຊົນ|lo-Latn=pu thu son|bn=বন্ধন|bn-Latn=bandhana|sa-Latn=saṃyojana}}
{{buddhisme}}
{{Buddhisme|dhamma}}
Dalam [[agama Buddha]], sebuah '''belenggu''', rantai atau ikatan (<small>[[Bahasa Pali|Pāli]]</small>: ''samyojana'', ''saŋyojana'', ''saññojana'') jiwa, mengikat mahluk hidup kepada [[Samsara (Buddhisme)|sa{{IAST|ṃ}}sāra]], lingkaran kehidupan beserta dengan [[dukkha]]. Dengan memutuskan seluruh belenggu, seseorang mencapai [[Nirvana|nibbāna]] (<small>[[Bahasa Pali|Pāli]]; [[Sanskerta|Skt.]]</small>: ''nirvā{{IAST|ṇ}}a'').
Dalam [[Buddhisme]], sebuah '''belenggu batin''', '''rantai batin''', atau '''ikatan batin''' ([[Bahasa Pali|Pali]]: ''saṁyojana'', ''saññojana''; [[Bahasa Sanskerta|Sanskerta]]: संयोजन, ''saṁyojana'') mengikat mahkluk hidup pada [[samsara]], yaitu lingkaran [[punarbawa]] yang disertai [[Penderitaan (Buddhisme)|penderitaan]]. Dengan meyingkirkan seluruh belenggu secara bertahap, seseorang mencapai [[Nirvana|Nirwana]] melalui [[empat tingkat kemuliaan]].


Belenggu, bersama-sama dengan [[Rintangan (Buddhisme)|rintangan]] dan berbagai [[faktor mental]] tidak baik lainnya, merupakan bagian dari [[pengotor batin]] (''kilesa'').<ref name=":0" />
== Belenggu penderitaan ==
Di seluruh [[Kanon Pali]], kata "belenggu" digunakan untuk menjelaskan fenomena intrapsikis yang mengikat seseorang kepada penderitaan. Sebagai contoh, dalam Itivuttaka 1.15 kitab [[Khuddaka Nikaya]], [[Buddha Gautama|Buddha]] menyatakan:
:"Bhikkhu, Saya tidak membayangkan belenggu lain - terbelenggu yang oleh karenanya mahluk yang tergabung berkelana dan [[Kelahiran kembali (Buddhisme)|berpindah-pindah]] dalam waktu yang lama - seperti belenggu [[Tanha|keinginan]]. Terbelenggu oleh belenggu akan keinginan, mahluk hidup tergabung berkelana dan berpindah-pindah dalam waktu yang lama."<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/iti/iti.1.001-027.than.html#iti-015 Thanissaro (2001)].</ref>


== Theravāda ==
Di lain pihak, penderitaan yang disebabkan oleh sebuah belenggu sebagaimana ''tersirat'' dalam percakapan teknis dalam [[Samyutta Nikaya|SM]] 35.232, dimana YM. [[Sariputta]] bercakap-cakap dengan YM. Kotthita:
{{Lihat pula|Theravāda}}
:YM. Kotthita: "Bagaimana, rekan Sariputta, bahwa ... telinga adalah belenggu akan suara atau suara merupakan belenggu akan telinga?..."
=== Belenggu penderitaan ===
{{Lihat juga|Penderitaan (Buddhisme)|Empat Kebenaran Mulia}}


Dalam [[Kanon Pali|Tripitaka Pali]], kata "belenggu" digunakan untuk menjelaskan fenomena intrapsikis yang mengikat seseorang pada penderitaan. Sebagai contoh, dalam kitab [[Itivuttaka]] (Taṇhāsaṁyojana Sutta, Iti 15)<ref>{{Cite web|last=Sujato|first=Bhikkhu|title=Iti 15: Taṇhāsaṁyojanasutta|url=https://suttacentral.net/iti15/en/sujato|website=SuttaCentral|language=en|access-date=2024-09-12}}</ref> yang merupakan bagian dari [[Khuddaka Nikaya|Khuddaka Nikāya]], [[Buddha Gautama|Buddha]] menyatakan:
:YM. Sariputta: "Rekan Kotthita, sebuah ... telinga bukanlah belenggu akan suara ataupun suara merupakan belenggu akan telinga, akan tetapi keinginan dan nafsu yang timbul daripadanya yang bergantung pada keduanya: terdapatlah belenggu disana.."<ref>Bodhi (2000), p. 1230. Tangentially, in discussing the use of the concept of "the fetter" in the [[Satipatthana Sutta]] (regarding mindfulness of the six [[Ayatana|sense bases]]), Bodhi (2005) references ''this'' sutta (SN 35.232) as explaining what is meant by "the fetter," that is, "desire and lust" (''chanda-raga''). (While providing this exegesis, Bodhi, 2005, also comments that the Satipatthana Sutta commentary associates the term "fetter" in that sutta as referring to all ten fetters.)</ref>
:"Para ''bhikkhu'', saya tidak melihat satu pun belenggu—belenggu yang mengikat makhluk-makhluk yang tergabung untuk [[Punarbawa|mengembara dan berpindah-pindah]] selama waktu yang sangat lama—seperti belenggu [[nafsu keinginan]]. Terbelenggu oleh belenggu nafsu keinginan, makhluk-makhluk yang tergabung untuk mengembara dan berpindah-pindah selama waktu yang sangat lama."<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/iti/iti.1.001-027.than.html#iti-015 Thanissaro (2001)].</ref>


Di bagian kitab suci lainnya, penderitaan yang disebabkan oleh belenggu-belenggu dijelaskan ''secara tersirat'' dalam sebuah percakapan teknis antara [[Sariputta|Sāriputta]] dan Kotthita dalam Koṭṭhita Sutta ([[Samyutta Nikaya|SN]] 35.232):
== Daftar belenggu ==
:Kotthita:
Belenggu diberi nomor dengan cara yang berbeda antara [[Sutta Pitaka]] dan [[Abhidhamma Pitaka]] [[Kanon Pali]]
:* "... Apakah mata adalah belenggu bagi bentuk-bentuk atau apakah bentuk-bentuk adalah belenggu bagi mata?
:* Apakah telinga adalah belenggu bagi suara-suara atau apakah suara-suara adalah belenggu bagi telinga?
:* Apakah pikiran adalah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran atau apakah fenomena-fenomena pikiran adalah belenggu bagi pikiran?"


:Sāriputta:
=== Daftar sepuluh belenggu menurut Sutta Pitaka ===
:* "...Mata bukanlah belenggu bagi bentuk-bentuk juga bentuk-bentuk bukanlah belenggu bagi mata, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana.
{{TahapanBelengguKelahiran|notes=1}}
:* Telinga bukanlah belenggu bagi suara-suara juga suara-suara bukanlah belenggu bagi telinga, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana. ...
Sutta Pitaka dalam Kanon Pali menjelaskan sepuluh "belenggu-belenggu untuk menjadi":<ref>Belenggu-belenggu ini diberi nomor, sebagai contoh, dalam [[Samyutta Nikaya|SN]] 45.179 dan 45.180 (Bodhi, 2000, hal. 1565-66). Artikel berbahasa Pali dan terjemahan bahasa Inggris untuk sepuluh belenggu ini didasari oleh [http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707234429/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09).</ref>
:* Pikiran bukanlah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran juga fenomena-fenomena pikiran bukanlah belenggu bagi pikiran, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana. ..."<ref>Bodhi (2000), p. 1230. Tangentially, in discussing the use of the concept of "the fetter" in the [[Satipatthana Sutta]] (regarding mindfulness of the six [[Ayatana|sense bases]]), Bodhi (2005) references ''this'' sutta (SN 35.232) as explaining what is meant by "the fetter," that is, "desire and lust" (''chanda-raga''). (While providing this exegesis, Bodhi, 2005, also comments that the Satipatthana Sutta commentary associates the term "fetter" in that sutta as referring to all ten fetters.)</ref><ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=SN 35.232: Koṭṭhitasutta|url=https://suttacentral.net/sn35.232/id/anggara|website=SuttaCentral|language=id|access-date=2024-09-12}}</ref>
# percaya pada diri (<small>Pali</small>:''{{IAST|sakkāya-diṭṭhi}}'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2684.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707211711/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2684.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09), menjelaskan ''{{IAST|sakkāya-diṭṭhi}}'' sebagai "teori akan jiwa, bidaah individualitas, spekulasi akan keabadian atau hal lain mengenai individualitas seseorang." Bodhi (2000), p. 1565, [[Samyutta Nikaya|SN]] 45.179, menerjemahkannya sebagai "pandangan identitas"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "pandangan akan kepribadian"; Harvey (2007), p. 71, menggunakan "pandangan-pandangan dalam kelompok yang ada"; [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] menggunakan "pandangan-pandangan identifikasi-diri"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "kepercayaan-pribadi."</ref>
# keraguan atau ketidakpastian, terutama mengenai [[dhamma|ajaran]] (''vicikicchā'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:1406.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 615, "Vicikicchā" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707163716/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:1406.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09), menjelaskan ''vicikicchā'' sebagai "keraguan, kebingungan, ketidakpastian." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Gethin (1998), p. 73, and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keraguan."[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] menggunakan "ketidakpastian." Harvey provides, "kebimbangan akan tanggung-jawab kepada tiga perlindungan dan nilai kehidupan" (cf. M i.380 and S ii.69-70).</ref>
# Kemelekatan pada ritual dan kebiasaan (''sīlabbata-parāmāso'')<ref>Sebagai contoh, lihat: [http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.4:1:236.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 713, "Sīla" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120718141541/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.4:1:236.pali|date=2012-07-18}} (retrieved 2008-04-09), mengenai konsep serupa akan ''sīlabbatupādāna'' (= ''sīlabbata-[[upādāna]]''), "berupaya setelah bekerja dan ritual." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkan istilah ini sebagai "pemahaman menyimpang akan peraturan dan sumpah"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "bergantung pada peraturan dan sumpah"; Harvey (2007), p. 71, uses "pemahaman akan peraturan dan sumpah"; [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] menggunakan "pemahaman akan peraturan dan pelaksanaan"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "keterikatan akan ritus dan rituals."</ref>
# nafsu indria (''kāmacchando'')<ref>Untuk diskusi yang lebih luas mengenai istilah ini, lihat, contoh., [http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.1:1:467.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 203-4, "Kāma" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120715052659/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.1:1:467.pali |date=2012-07-15 }}, and [http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.1:1:1594.pali p. 274, "Chanda" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120709221147/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.1:1:1594.pali |date=2012-07-09 }} (retrieved 2008-04-09). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.179), Gethin (1998), p. 73, Harvey (2007), p. 71, [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkan ''kāmacchando'' sebagai "nafsu indria" (''"sensual desire"'').</ref>
# keinginan buruk (''vyāpādo'' atau ''byāpādo'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2462.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 654, "Vyāpāda" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707233819/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2462.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan ''vyāpādo'' sebagai "berlaku buruk, berbuat jahat: keinginan untuk melukai, kedengkian, keinginan buruk." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Harvey (2007), p. 71, [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keinginan buruk" (''"ill will") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keengganan" (''"aversion"'').</ref>
# nafsu akan keberadaan materi, nafsu akan kelahiran kembali secara material (''rūparāgo'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:565.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120712131456/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:565.pali |date=2012-07-12 }} (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan ''rūparāgo'' sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam rūpa" (''"lust after rebirth in rūpa"''). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan bentuk" (''"lust for form"'') Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan akan bentuk" (''"desire for form"''). [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] menggunakan "keinginan akan bentuk" (''"passion for form"''). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan dalam Dunia Bentuk" (''"craving for existence in the Form World").</ref>
# nafsu akan keberadaan non-materi, nafsu akan kelahiran kembali di dunia tanpa bentuk (''arūparāgo'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:565.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120712131456/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:565.pali |date=2012-07-12 }} (retrieved 2008-04-09), menyarankan bahwa ''arūparāgo'' dapat dijelaskan sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam arūpa" (''"lust after rebirth in arūpa"''). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan ketidakadaan bentuk" (''"lust for the formless"''). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan untuk keadaan tanpa bentuk" (''"desire for the formless"''). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "keterikatan akan bentuk murni atau dunia-dunia tanpa bentuk" (''"attachment to the pure form or formless worlds"'') [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] menggunakan "keinginan untuk apa yang tidak berbentuk" (''"passion for what is formless"''). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan di Dunia Tanpa Bentuk" (''"craving for existence in the Formless World"'').</ref>
# kesombongan (''māno'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:3957.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 528, "Māna" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120711111223/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:3957.pali |date=2012-07-11 }} (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan ''māna'' sebagai "kebanggaan, kesombongan, keangkuhan" (''"pride, conceit, arrogance"''). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kesombongan" (''"conceit"''). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "kebanggaan" (''"pride"''). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kesombongan 'Saya adalah'" (''"the 'I am' conceit"'').</ref><ref>Untuk membedakan antara belenggu pertama, "pandangan akan diri" dan belenggu ke delapan "kesombongan," lihat, contoh:, [[Samyutta Nikaya|SN]] 22.89 [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.089.than.html (trans., Thanissaro, 2001).]</ref>
# kegelisahan (''uddhaccaŋ'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.0:1:3582.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 136, "Uddhacca" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120713204220/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.0:1:3582.pali |date=2012-07-13 }} (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan ''uddhacca'' sebagai "melampaui-keseimbangan, pergolakan, kegirangan, kebingunan, tergesa-gesa" (''"over-balancing, agitation, excitement, distraction, flurry"''). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Harvey (2007), p. 72, [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kegelisahan" (''"restlessness"''). Gethin (1998), p. 73, uses "agitation."</ref>
# kedunguan (''[[Avidya|avijjā]]'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.0:1:2303.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 85, "Avijjā" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707234341/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.0:1:2303.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan ''avijjā'' sebagai "kedunguan; akar buruk utama dan kelahiran kembali yang terus menerus" (''"ignorance; the main root of evil and of continual rebirth"''). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Gethin (1998), p. 73, [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] and Walshe (1995), p. 27, translate it as "ignorance." Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kedunguan spiritual" (''"spiritual ignorance"'').</ref>


=== Daftar belenggu ===
Sebagaimana ditampilkan pada tabel di sebelah kanan, di dalam Sutta Pitaka, lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu rendah" (''orambhāgiyāni saṃyojanāni'') dan diberantas segera setelah menjadi seorang [[pemasuk-arus]]; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (''uddhambhāgiyāni saṃyojanāni''), diberantas oleh seorang [[arahat]].<ref>Untuk referensi sutta-tunggal baik untuk "belenggu-belenggu tinggi" dan "belenggu-belenggu rendah," lihat, [[Digha Nikaya|DN]] 33 (bagian kelima) dan [[Anguttara Nikaya|AN]] 1.13. Dalam hal lainnya, sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu rendah diikuti dengan sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu tinggi, seperti dalam: [[Samyutta Nikaya|SN]] 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 dan 46.184; SN 47.103 dan 47.104; SN 48.123 dan 48.124; SN 49.53 dan 49.54; SN 50.53 dan 50.54; SN 51.85 dan 51.86; SN 53.53 dan 53.54; dan, AN 9.67 dan 9.70. Sebagai tambahana, lima belenggu rendah sendiri (tanpa rujukan akan belenggu-belenggu tinggi) didiskusikan, contoh, dalam [[Majjhima Nikaya|MN]] 64.</ref>
Belenggu dijelaskan dan diurutkan dengan cara yang berbeda dalam daftar-daftar di [[Sutta Pitaka|Sutta Piṭaka]] dan [[Abhidhamma Pitaka|Abhidhamma Piṭaka]] [[Kanon Pali|Tripitaka Pali]].


=== Tiga belenggu ===
==== Sutta Piṭaka: sepuluh jenis belenggu ====
{{Lihat juga|Sutta Piṭaka}}
Baik dalam Sa{{IAST|ṅ}}gīti Sutta ([[Digha Nikaya|DN]] 33) dan Dhammasa{{IAST|ṅgaṇ}}i (Dhs. 1002-1006) merujuk kepada "tiga belenggu" sebagai tiga belenggu pertama dari sepuluh belenggu dalam Sutta Pitaka sebagaimana disebutkan di atas:
# percaya pada diri (''{{IAST|sakkāya-diṭṭhi}}'')
# keraguan (''vicikicchā'')
# kemelekatan pada ritual dan kebiasaan (''sīlabbata-parāmāso'')<ref>Untuk daftar dalam Sa{{IAST|ṅ}}gīti Sutta mengenai tiga belenggu-belenggu, lihat, contoh, Walshe (1995), p. 484. Untuk daftar tiga belenggu dalam Dhammasa{{IAST|ṅgaṇ}}i, lihat: Rhys Davids (1900), pp. 256-61. Lihat pula, [http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, entry for "Saŋyojana"] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707234429/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09), mengenai ''tī{{IAST|ṇ}}i saŋyojanāni''. (C.A.F. Rhys Davids (1900), p. 257, menerjemahkan ketiga istilah ini sebagai "teori kepribadian, kebingungan, dan penularan akan hal-hal yang semata-mata merupakan peraturan dan ritual" (''"the theory of individuality, perplexity, and the contagion of mere rule and ritual."))</ref>
Menurut Kanon, tiga belenggu-belenggu telah diberantas oleh para [[pemasuk-arus]] dan [[kembali-sekali]].<ref>See, e.g., [[Majjhima Nikaya|MN]] 6 and MN 22.</ref>


Sutta Piṭaka dalam Tripitaka Pali menjelaskan sepuluh "belenggu eksistensi atau keberadaan":<ref>Belenggu-belenggu ini diberi nomor, sebagai contoh, dalam [[Samyutta Nikaya|SN]] 45.179 dan 45.180 (Bodhi, 2000, hal. 1565-66). Artikel berbahasa Pali dan terjemahan bahasa Inggris untuk sepuluh belenggu ini didasari oleh [http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707234429/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09).</ref>
=== Daftar sepuluh belunggu menurut Abhidhamma Pitaka ===
Kitab [[Dhamma Sangani]] dalam [[Abhidhamma Pitaka]] (Dhs. 1113-34) menyediakan daftar lain mengenai sepuluh belenggu, daftar ini juga ditemukan dalam Culla [[Niddesa]] kitab [[Khuddaka Nikaya]] (Nd2 656, 1463) dan pada [[atthakatha|komentar-komentar]] [[Kanon Pali]]. Penomorannya adalah:<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707234429/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali|date=2012-07-07}} merujuk Cula Niddesa 657, 1463, dan Dhamma Sangani 1113. Pada faktanya, keseluruhan bagian dari Dhamma Sangani ditujukan kepada belenggu-belenggu (buku III, ch. V, Dhs. 1113-34), lihat pula Rhys Davids (1900), hal. 297-303. (Rhys Davids, 1900 hal. 297, menyediakan terjemahan dalam bahasa Inggris mengenai istilah-istilah berbahasa Pali: "sensualitas, penolakan, kesombongan, pendapat spekulatif, kebingungan, penularan aturan dan ritual semata, gairah untuk eksistensi baru, iri hati, kekejaman, kebodohan.") (''""sensuality, repulsion, conceit, speculative opinion, perplexity, the contagion of mere rule and ritual, the passion for renewed existence, envy, meanness, ignorance."'') Pada naskah-naskah setelah masa kanon, daftar ini juga dapat ditemukan dalam komentar [[Buddhagosa]] (dalam ''Papañcasudani'') pada bagian [[Satipatthana Sutta]] mengenai enam [[Ayatana|dasar indra]] dan belenggu-belenggu.[http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/soma/wayof.html (Soma, 1998)].</ref>
# percaya ada [[Tanpa atma|diri atau roh]] (<small>Pali</small>: ''{{IAST|sakkāya-diṭṭhi}}'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2684.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707211711/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2684.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09), menjelaskan ''{{IAST|sakkāya-diṭṭhi}}'' sebagai "teori akan jiwa, bidaah individualitas, spekulasi akan keabadian atau hal lain mengenai individualitas seseorang." Bodhi (2000), p. 1565, [[Samyutta Nikaya|SN]] 45.179, menerjemahkannya sebagai "pandangan identitas"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "pandangan akan kepribadian"; Harvey (2007), p. 71, menggunakan "pandangan-pandangan dalam kelompok yang ada"; [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] menggunakan "pandangan-pandangan identifikasi-diri"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "kepercayaan-pribadi."</ref>
# [[Keraguan (Buddhisme)|keraguan]] atau ketidakpastian, terutama mengenai [[dhamma|ajaran]] (''vicikicchā'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:1406.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 615, "Vicikicchā" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707163716/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:1406.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09), menjelaskan ''vicikicchā'' sebagai "keraguan, kebingungan, ketidakpastian." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Gethin (1998), p. 73, and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keraguan."[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] menggunakan "ketidakpastian." Harvey provides, "kebimbangan akan tanggung-jawab kepada tiga perlindungan dan nilai kehidupan" (cf. M i.380 and S ii.69-70).</ref>
# nafsu sensual (Pali: ''kāma-rāga'')
# [[Kemelekatan (Buddhisme)|kemelekatan]] pada ritual dan adat (''sīlabbata-parāmāsa'')<ref>Sebagai contoh, lihat: [http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.4:1:236.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 713, "Sīla" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120718141541/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.4:1:236.pali|date=2012-07-18}} (retrieved 2008-04-09), mengenai konsep serupa akan ''sīlabbatupādāna'' (= ''sīlabbata-[[upādāna]]''), "berupaya setelah bekerja dan ritual." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkan istilah ini sebagai "pemahaman menyimpang akan peraturan dan sumpah"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "bergantung pada peraturan dan sumpah"; Harvey (2007), p. 71, uses "pemahaman akan peraturan dan sumpah"; [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] menggunakan "pemahaman akan peraturan dan pelaksanaan"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "keterikatan akan ritus dan rituals."</ref>
# kemarahan (''{{IAST|paṭigha}}'')
# [[Nafsu keinginan|nafsu indrawi]] (''kāmacchanda'')<ref>Untuk diskusi yang lebih luas mengenai istilah ini, lihat, contoh., [http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.1:1:467.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 203-4, "Kāma" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120715052659/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.1:1:467.pali |date=2012-07-15 }}, and [http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.1:1:1594.pali p. 274, "Chanda" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120709221147/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.1:1:1594.pali |date=2012-07-09 }} (retrieved 2008-04-09). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.179), Gethin (1998), p. 73, Harvey (2007), p. 71, [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkan ''kāmacchando'' sebagai "nafsu indria" (''"sensual desire"'').</ref>
# kesombongan (''māna'')
# [[Kebencian (Buddhisme)|niat jahat]] (''vyāpāda'' atau ''byāpāda'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2462.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 654, "Vyāpāda" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707233819/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2462.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan ''vyāpādo'' sebagai "berlaku buruk, berbuat jahat: keinginan untuk melukai, kedengkian, keinginan buruk." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Harvey (2007), p. 71, [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keinginan buruk" (''"ill will") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keengganan" (''"aversion"'').</ref>
# pandangan-pandangan (''{{IAST|diṭṭhi}}'')
# [[nafsu keinginan]] atas keberadaan materi, nafsu keinginan atas [[Punarbawa|kelahiran kembali]] di dunia materi (''rūparāga'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:565.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120712131456/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:565.pali |date=2012-07-12 }} (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan ''rūparāgo'' sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam rūpa" (''"lust after rebirth in rūpa"''). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan bentuk" (''"lust for form"'') Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan akan bentuk" (''"desire for form"''). [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] menggunakan "keinginan akan bentuk" (''"passion for form"''). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan dalam Dunia Bentuk" (''"craving for existence in the Form World").</ref>
# keraguan (''vicikicchā'')
# nafsu keinginan atas keberadaan nonmateri, nafsu atas kelahiran kembali di dunia tanpa materi (''arūparāga'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:565.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120712131456/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:565.pali |date=2012-07-12 }} (retrieved 2008-04-09), menyarankan bahwa ''arūparāgo'' dapat dijelaskan sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam arūpa" (''"lust after rebirth in arūpa"''). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan ketidakadaan bentuk" (''"lust for the formless"''). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan untuk keadaan tanpa bentuk" (''"desire for the formless"''). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "keterikatan akan bentuk murni atau dunia-dunia tanpa bentuk" (''"attachment to the pure form or formless worlds"'') [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] menggunakan "keinginan untuk apa yang tidak berbentuk" (''"passion for what is formless"''). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan di Dunia Tanpa Bentuk" (''"craving for existence in the Formless World"'').</ref>
# kemelekatan pada kebiasaan dan ritual (''sīlabbata-parāmāsa'')
# [[Kesombongan (Buddhisme)|kesombongan]] (''māna'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:3957.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 528, "Māna" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120711111223/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:3957.pali |date=2012-07-11 }} (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan ''māna'' sebagai "kebanggaan, kesombongan, keangkuhan" (''"pride, conceit, arrogance"''). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kesombongan" (''"conceit"''). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "kebanggaan" (''"pride"''). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kesombongan 'Saya adalah'" (''"the 'I am' conceit"'').</ref><ref>Untuk membedakan antara belenggu pertama, "pandangan akan diri" dan belenggu ke delapan "kesombongan," lihat, contoh:, [[Samyutta Nikaya|SN]] 22.89 [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.089.than.html (trans., Thanissaro, 2001).]</ref>
# nafsu akan keberadaan (''bhava-rāga'')
# [[Kegelisahan (Buddhisme)|kegelisahan]] (''uddhacca'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.0:1:3582.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 136, "Uddhacca" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120713204220/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.0:1:3582.pali |date=2012-07-13 }} (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan ''uddhacca'' sebagai "melampaui-keseimbangan, pergolakan, kegirangan, kebingunan, tergesa-gesa" (''"over-balancing, agitation, excitement, distraction, flurry"''). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Harvey (2007), p. 72, [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kegelisahan" (''"restlessness"''). Gethin (1998), p. 73, uses "agitation."</ref>
# kecemburuan (''issā'')
# [[Ketidaktahuan (Buddhisme)|ketidaktahuan]] (''avijjā'')<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.0:1:2303.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 85, "Avijjā" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707234341/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.0:1:2303.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan ''avijjā'' sebagai "kedunguan; akar buruk utama dan kelahiran kembali yang terus menerus" (''"ignorance; the main root of evil and of continual rebirth"''). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Gethin (1998), p. 73, [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.013.than.html Thanissaro (2000)] and Walshe (1995), p. 27, translate it as "ignorance." Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kedunguan spiritual" (''"spiritual ignorance"'').</ref>
# keserakahan (''macchariya'')
{{TahapanBelengguKelahiran|notes=1}}Sebagaimana ditampilkan pada tabel, di dalam Sutta Piṭaka, lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu-belenggu rendah" (''orambhāgiyāni saṃyojanāni'') dan disingkirkan segera setelah seseorang mencapai tingkat [[sotapana|''sotāpanna'']]; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (''uddhambhāgiyāni saṃyojanāni''), disingkirkan oleh seorang [[arahat]].<ref>Untuk referensi sutta-tunggal baik untuk "belenggu-belenggu tinggi" dan "belenggu-belenggu rendah," lihat, [[Digha Nikaya|DN]] 33 (bagian kelima) dan [[Anguttara Nikaya|AN]] 1.13. Dalam hal lainnya, sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu rendah diikuti dengan sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu tinggi, seperti dalam: [[Samyutta Nikaya|SN]] 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 dan 46.184; SN 47.103 dan 47.104; SN 48.123 dan 48.124; SN 49.53 dan 49.54; SN 50.53 dan 50.54; SN 51.85 dan 51.86; SN 53.53 dan 53.54; dan, AN 9.67 dan 9.70. Sebagai tambahana, lima belenggu rendah sendiri (tanpa rujukan akan belenggu-belenggu tinggi) didiskusikan, contoh, dalam [[Majjhima Nikaya|MN]] 64.</ref>
# kebodohan (''avijjā'').
Komentar menegaskan bahwa pandangan-pandangan, keraguan, kemelekatan pada kebiasaan dan ritual, kecemburuan dan keserakahan keluar dari tahapan pertama akan Kesadaran (sotāpatti); nafsu sensual yang kotor dan kemarahan pada tingkatan kedua (sakadāgāmitā) dan bahkan bentuk halus serupa pada tingkatan ketiga (anāgāmitā); dan kesombongan, nafsu akan keberadaan dan kebodohan pada tahapan keempat dan akhir (arahatta).


==== Sutta Piṭaka: tiga jenis belenggu ====
=== Belenggu-belenggu yang berhubungan dengan rumah tangga ===
Dalam Sa{{IAST|ṅ}}gīti Sutta ([[Digha Nikaya|DN]] 33) dan Dhammasa{{IAST|ṅgaṇ}}i (Dhs. 1002-1006), dijelaskan "tiga belenggu" yang sama seperti tiga belenggu pertama dalam daftar sepuluh jenis belenggu menurut Sutta Piṭaka yang telah disebutkan di atas:
Secara khusus, Sutta "Potaliya" ([[Majjhima Nikaya|MN]] 54), mengenal ''delapan'' belenggu-belenggu (termasuk tiga dari [[Pancasila (Buddha)|Lima Ajaran]]) yang mana mengabaikan "menyebabkan pemutusan hubungan" (''"lead[s] to the cutting off of affairs"'') (''vohāra-samucchedāya saṃvattanti''): (1) menghancurkan kehidupan (''{{IAST|pāṇātipāto}}''); (2) mencuri (''{{IAST|adinnādānaṃ}}''); (3) ucapan salah (''musāvādo''); (4) fitnah (''pisunā''); (5) iri hati dan keserakahan (''giddhilobho''); (6) kebencian (''nindāroso''); (7) kemarahan dan kebencian (''kodhūpāyāso''); dan, (8) kesombongan (''atimāno'').<ref>Untuk terjemahan dalam bahasa Inggris, lihat: Ñā{{IAST|ṇ}}amoli & Bodhi (2001), pp. 467-469, dan [http://www.metta.lk/tipitaka/2Sutta-Pitaka/2Majjhima-Nikaya/Majjhima2/054-potaliya-e1.html Upalavanna (''undated'')]. Untuk romanisasi transliterasi bahasa Pali, [http://www.metta.lk/tipitaka/2Sutta-Pitaka/2Majjhima-Nikaya/Majjhima2/054-potaliya-p.html SLTP (''undated'')].</ref>
# percaya ada [[Tanpa atma|diri atau roh]] (<small>Pali</small>: ''{{IAST|sakkāya-diṭṭhi}}'')
# [[Keraguan (Buddhisme)|keraguan]] atau ketidakpastian, terutama mengenai [[dhamma|ajaran]] (''vicikicchā'')
# [[Kelekatan (Buddhisme)|kemelekatan]] pada ritual dan adat (''sīlabbata-parāmāsa'')<ref>Untuk daftar dalam Sa{{IAST|ṅ}}gīti Sutta mengenai tiga belenggu-belenggu, lihat, contoh, Walshe (1995), p. 484. Untuk daftar tiga belenggu dalam Dhammasa{{IAST|ṅgaṇ}}i, lihat: Rhys Davids (1900), pp. 256-61. Lihat pula, [http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, entry for "Saŋyojana"] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707234429/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09), mengenai ''tī{{IAST|ṇ}}i saŋyojanāni''. (C.A.F. Rhys Davids (1900), p. 257, menerjemahkan ketiga istilah ini sebagai "teori kepribadian, kebingungan, dan penularan akan hal-hal yang semata-mata merupakan peraturan dan ritual" (''"the theory of individuality, perplexity, and the contagion of mere rule and ritual."))''</ref>
Menurut Tripitaka Pali, tiga belenggu telah diberantas oleh para [[pemasuk-arus]] dan [[kembali-sekali]].<ref>See, e.g., [[Majjhima Nikaya|MN]] 6 and MN 22.</ref>


==== Abhidhamma Piṭaka: sepuluh jenis belenggu ====
== Belenggu individual ==
{{Lihat juga|Abhidhamma Piṭaka}}
Belenggu-belenggu berikut merupakan tiga belenggu pertama dalam daftar sepuluh belenggu yang terdapat di Sutta Pitaka sebagaimana disebutkan terdahulu, dan daftar Sa{{IAST|ṅ}}gīti Sutta dan Abhidhamma Pitaka akan "tiga belenggu" (DN33, Dhs. 1003 ''ff''). Sebagaimana dijelaskan dibawah, pemberantasan tiga belenggu-belenggu ini merupakan petunjuk kanonikal akan seseorang yang berada pada jalur [[Bodhi|pencerahan]].


Kitab [[Dhammasangani|Dhammasaṅgaṇī]] dalam [[Abhidhamma Pitaka|Abhidhamma Piṭaka]] (Dhs. 1113-34) menyediakan daftar lain mengenai sepuluh belenggu, daftar ini juga ditemukan dalam kitab Cuḷaniddesa bagian [[Khuddaka Nikaya]] (Nd2 656, 1463) dan pada [[Komentar (Theravāda)|kitab-kitab komentar]]. Daftarnya adalah:<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707234429/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2509.pali|date=2012-07-07}} merujuk Cula Niddesa 657, 1463, dan Dhamma Sangani 1113. Pada faktanya, keseluruhan bagian dari Dhamma Sangani ditujukan kepada belenggu-belenggu (buku III, ch. V, Dhs. 1113-34), lihat pula Rhys Davids (1900), hal. 297-303. (Rhys Davids, 1900 hal. 297, menyediakan terjemahan dalam bahasa Inggris mengenai istilah-istilah berbahasa Pali: "sensualitas, penolakan, kesombongan, pendapat spekulatif, kebingungan, penularan aturan dan ritual semata, gairah untuk eksistensi baru, iri hati, kekejaman, kebodohan.") (''""sensuality, repulsion, conceit, speculative opinion, perplexity, the contagion of mere rule and ritual, the passion for renewed existence, envy, meanness, ignorance."'') Pada naskah-naskah setelah masa kanon, daftar ini juga dapat ditemukan dalam komentar [[Buddhagosa]] (dalam ''Papañcasudani'') pada bagian [[Satipatthana Sutta]] mengenai enam [[Ayatana|dasar indra]] dan belenggu-belenggu.[http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/soma/wayof.html (Soma, 1998)].</ref>
=== Pandangan identitas (sakkāya-di{{IAST|ṭṭ}}hi) ===
# [[Nafsu keinginan|nafsu indrawi]] (Pali: ''kāma-rāga'')
# antipati (''{{IAST|paṭigha}}'')
# [[Kesombongan (Buddhisme)|kesombongan]] (''māna'')
# [[Pandangan (Buddhisme)|pandangan salah]] (''{{IAST|diṭṭhi}}'')
# [[Keraguan (Buddhisme)|keraguan]] (''vicikicchā'')
# [[Kemelekatan (Buddhisme)|kemelekatan]] pada ritual dan adat (''sīlabbata-parāmāsa'')
# [[Nafsu keinginan|nafsu atas keberadaan]] (''bhava-rāga'')
# [[Iri hati (Buddhisme)|iri hati]] (''issā'')
# [[Kekikiran (Buddhisme)|kekikiran]] (''macchariya'')
# [[Ketidaktahuan (Buddhisme)|ketidaktahuan]] (''avijjā'')
Kitab komentar menegaskan bahwa pandangan salah, keraguan, kemelekatan pada ritual, iri hati, dan kekikiran dapat dibasmi dengan pencapaian [[Empat tingkat kemuliaan|tingkat kesucian]] pertama (''sotāpatti''); nafsu indrawi yang kotor dan antipati pada tingkat kedua (''sakadāgāmitā''); perwujudan halus dari belenggu serupa pada tingkatan ketiga (''anāgāmitā''); dan kesombongan, nafsu atas keberadaan, dan ketidaktahuan pada tahapan keempat atau terakhir (''arahatta'').


=== Belenggu perumah tangga ===
Secara etimologi, ''kāya'' berarti "tubuh", ''sakkāya'' berarti "tubuh fisik", dan ''{{IAST|diṭṭhi}}'' berarti "pandangan" (sering kali menunjuk kepada pandangan ''salah'', dalam agama Buddha, sebagaimana dicontohkan dalam tampilan tabel berikut).
{{Lihat juga|Upasaka-upasika|Pancasila (Buddhisme)}}


Secara khusus, Potaliya Sutta ([[Majjhima Nikaya|MN]] 54), menjelaskan ''delapan'' belenggu (termasuk tiga poin dari [[Pancasila (Buddhisme)|Pancasila]]) yang "menuntun menuju terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia ([[Jalan Mulia Berunsur Delapan]])" (''ariyassa vinaye vohārasamucchedāya saṁvattanti'') bagi seorang perumah tangga atau [[Upasaka-upasika|umat awam]] (''upāsaka-upāsikā''):
Secara umum, "percaya akan keberadaan diri sendir" atau, lebih ringkasnya, "pandangan diri" merujuk kepada "kepercayaan bahwa dalam satu [[Skandha|khanda]] atau lainnya terdapat entitas permanen, sebuah ''attā''".<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2684.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707211711/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2684.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09). Lihat pula, ''[[anatta]]''.</ref>


# pembunuhan makhluk hidup (''{{IAST|pāṇātipāta}}'')
Sama halnya, dalam [[Majjhima Nikaya|MN]] 2,Sabbasava Sutta, Buddha menjelaskan "belenggu akan pandangan" dalam bentuk berikut:
# pencurian (''{{IAST|adinnādānaṃ}}'')
{{PaliCanonSamanaViews}}
# kebohongan (''musāvāda'')
:"Demikian lah bagaimana [seseorang dengan pandangan salah] hadir dengan tidak sesuai: 'Siapakah saya pada masa lalu? ... Bagaimana saya pada masa mendatang? ... Saya kah? Tidakkah saya? Apa saya? ...'
# fitnah (''pisuṇā'')
# perampasan dan keserakahan (''giddhilobha'')
# cacian dan kedengkian (''nindāroso'')
# kemarahan dan kejengkelan (''kodhūpāyāsa'')
# kesombongan (''atimāno'')<ref>Untuk terjemahan dalam bahasa Inggris, lihat: Ñā{{IAST|ṇ}}amoli & Bodhi (2001), pp. 467-469, dan [http://www.metta.lk/tipitaka/2Sutta-Pitaka/2Majjhima-Nikaya/Majjhima2/054-potaliya-e1.html Upalavanna (''undated'')]. Untuk romanisasi transliterasi bahasa Pali, [http://www.metta.lk/tipitaka/2Sutta-Pitaka/2Majjhima-Nikaya/Majjhima2/054-potaliya-p.html SLTP (''undated'')].</ref><ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=MN 54: Potaliyasutta|url=https://suttacentral.net/mn54/id/anggara|website=SuttaCentral|language=id|access-date=2024-09-12}}</ref>


=== Belenggu individual ===
:"Sebagaimana ia hadir dengan tidak sesuai, satu dari enam jenis pandangan timbul dalam dirinya: ...
Belenggu-belenggu berikut ini adalah tiga belenggu pertama yang disebutkan dalam daftar sepuluh belenggu Sutta Pitaka, dan juga dalam daftar “tiga belenggu” Saṅgīti Sutta dan Abhidhamma Pitaka (DN 33, Dhs. 1002 ff.). Seperti yang ditunjukkan di bawah ini, tersingkirkannya ketiga belenggu ini adalah indikator kanonis bahwa seseorang telah berada di jalan menuju [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]].
:"As he attends inappropriately in this way, one of six kinds of view arises in him: ...
:* 'Saya memiliki jiwa...'
:* 'Saya tidak memiliki jiwa...'
:* 'Justru karena pengertian akan jiwa saya mengartikan jiwa...'
:* 'Justru karena pengertian akan diri saya mengartikan tanpa-jiwa...'
:* 'Justru karena pengertian akan tanpa-jiwa, saya mengartikan jiwa...'
:* 'Ini adalah jiwa saya sesungguhnya ... adalah jiwa milik saya yang senantiasa...'
:"Hal ini disebut juga semak-belukar mengenai pandangan, sebuah hutan belantara mengenai pandangan, pemutar balikkan mengenai pandangan, geliatan akan pandanggan, sebuah belenggu mengenai pandangan. Terikat oleh belenggu mengenai pandangan, yang awam ... tidak terbebaskan, Saya menyampaikan kepada mu, dari penderitaan & tekanan."<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.002.than.html Thanissaro (1997a)].</ref>


==== Pandangan identitas diri (''sakkāya-di{{IAST|ṭṭ}}hi'') ====
=== Keraguan (vicikicchā) ===
{{Lihat juga|Pandangan (Buddhisme)|Tanpa atma}}


Secara etimologi, ''kāya'' berarti "tubuh", ''sakkāya'' berarti "tubuh fisik", dan ''{{IAST|diṭṭhi}}'' berarti "[[Pandangan (Buddhisme)|pandangan]]" (sering kali merujuk pada ''pandangan salah,'' dalam Buddhisme, sebagaimana dicontohkan dalam tabel berikut).
Pada umumnya, "keraguan" merujuk kepada keraguan mengenai ajaran Buddha, [[Dhamma]]. (Pengajaran setara lainnya ditampilkan pada tabel di sebelah kanan.)


{{Infobox enam guru sesat}}
Lebih jelasnya, dalam [[Samyutta Nikaya|SN]] 22.84, Tissa Sutta,<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.084.than.html Thanissaro (2005)]</ref> Buddha dengan tegas memperingatkan terhadap ketidakpastian mengenai [[Jalan Utama Berunsur Delapan]], yang dijelaskan sebagai jalur yang tepat menuju Nibbana, memimpin seseorang melewati kebodohan, nafsu indria, kemarahan dan keputusasaan.


Secara umum, "percaya atas keberadaan diri atau roh" atau, lebih ringkasnya, "pandangan identitas diri" merujuk pada "kepercayaan bahwa dalam satu [[Gugusan (Buddhisme)|gugusan]] atau lainnya terdapat suatu entitas permanen, sebuah ''atta''".<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2684.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707211711/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2684.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09). Lihat pula, ''[[anatta]]''.</ref>
=== Kemelekatan akan kebiasaan dan ritual (sīlabbata-parāmāso) ===
''[[Sila|Sīla]]'' merujuk pada "perilaku moral", ''vata'' (atau ''bata'') untuk "tugas keagamaan, ketaantan, tata cara, pelaksanaan, kebiasaan,"<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:987.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 597, "Vata (2)" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707112213/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:987.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09).</ref> dan ''parāmāsa''untuk "menjadi terikat kepada" atau "penularan" dan memiliki konotasi akan "penyalahgunaan" Dhamma.<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:1775.pali ''Ibid.'', p. 421, "Parāmāsa" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120801030825/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:1775.pali |date=2012-08-01 }} (retrieved 2008-04-09).</ref> Keseluruhan, ''sīlabbata-parāmāso'' diterjemahkan menjadi "penularan pengaruh buruk akan peraturan dan ritual, kecanduan akan pekerjaan baik, khayalan bahwa hal tersebut cukup"<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.4:1:236.pali ''Ibid.'', p. 713, "Sīla" entry regarding the suffix "bbata"] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120718141541/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.4:1:236.pali |date=2012-07-18 }} (retrieved 2008-04-09).</ref> atau, lebih sederhananya, "jatuh kembali kepada kemelekatan akan pedoman dan peraturan."<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an06/an06.055.than.html Thanissaro (1997b)].</ref>


Dalam Sabbasava Sutta ([[Majjhima Nikaya|MN]] 2), Buddha juga menjelaskan "belenggu atas pandangan":
Sementara belenggu akan keraguan dapat dianggap sebagai upaya untuk menyinggung ajaran [[Shramana''samana'']] yang bersaing selama masa Buddha, belenggu mengenai kebiasaan dan riual
:"Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana:
sepertinya merujuk kepada beberapa adat kebiasaan penguasa brahmanik kontemporer.<ref>Sebagai perbandingan, lihat: Gethin (1998), hal. 10-13, untuk sebuah diskusi yang dilakukan Buddha mengenai tradisi sramanik dan brahmanik.</ref>
:* 'Apakah aku ada di masa lampau?
:* Apakah aku tidak ada di masa lampau?
:* Apakah aku di masa lampau?
:* Bagaimanakah aku di masa lampau?
:* Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau?
:* Apakah aku akan ada di masa depan?
:* Apakah aku akan tidak ada di masa depan?
:* Akan menjadi apakah aku di masa depan?
:* Akan bagaimanakah aku di masa depan?
:* Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’
: Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut:
:* ‘Apakah aku ada?
:* Apakah aku tidak ada?
:* Apakah aku?
:* Bagaimanakah aku?
:* Dari manakah makhluk ini datang?
:* Ke manakah makhluk ini akan pergi?’
:“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya ...:
:* ‘ada diri [atau roh] bagiku’ ...
:* ‘tidak ada diri [atau roh] bagiku’ ...
:* ‘aku melihat diri [atau roh] dengan diri [atau roh]’ ...
:*'aku melihat bukan-diri [atau bukan-roh] dengan diri [atau roh]’ ...
:* ‘aku melihat diri [atau roh] dengan bukan-diri [atau bukan-roh]’ ...
:* ‘adalah diriku [atau rohku] ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku [atau rohku] ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’ ...
:[[Pandangan (Buddhisme)|Pandangan]] spekulatif ini, para ''bhikkhu'', disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. [Oleh] karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari [[Penderitaan (Buddhisme)|penderitaan]], Aku katakan."<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.002.than.html Thanissaro (1997a)].</ref><ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=MN 2: Sabbāsavasutta|url=https://suttacentral.net/mn2/id/anggara|website=SuttaCentral|language=id|access-date=2024-09-12}}</ref>


==== Keraguan (''vicikicchā'') ====
== Memangkas belenggu ==
{{Lihat juga|Keraguan (Buddhisme)|Keyakinan (Buddhisme)}}
<table cellpadding=0 cellspacing=8 width="32%" style="background:Azure; border:1px solid DarkGray; margin:0px 0px 15px 15px; float:right; font-size:90%">
<tr><td style="text-align:center; color:SlateBlue">
<font=3>'''Meditasi<br />dengan&nbsp;belenggu-belenggu'''</font>
<tr><td style="text-align:left; color:DarkSlateBlue">
"Disini, O [[bhikkhu]], seorang bhikkhu mengerti mata dan bentuk materi dan belenggu yang timbul tergantung pada keduanya (mata dan bentuk); ia mengerti bagaimana belenggu yang tidak timbul menjadi timbul; ia mengerti bagaimana mengabaikan belenggu yang timbul tersebut; dan ia mengerti bagaimana hal yang tidak-timbul pada masa mendatang akan belenggu yang diabaikan terjadi. [Dan oleh karenanya] ia mengerti telinga dan suara .... indra pembauan dan bau-bauan .... indra pengecapan dan rasa .... indra sentuhan dan objek yang dapat disentuh .... [dan] kesadaran dan objek-objek batin ..."
<tr><td style="text-align:right; color:SlateBlue">
– ''[[Satipatthana Sutta]]'' ([[Majjhima Nikaya|MN]] 10)<ref>[http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/soma/wayof.html#discourse Soma, 1998, bagian "The Six Internal and the Six External Sense-bases."] Perlu digaris bawahi bahwa hanya belenggu yang diabaikan, ''bukan'' [[Ayatana|organ indra]] atau objek indra.</ref>


Pada umumnya, "keraguan" merujuk pada keraguan mengenai ajaran Buddha, yaitu [[Dhamma]]. (Ajaran-ajaran serupa lainnya ditampilkan pada tabel "Pandangan enam guru sesat".)
</table>


Lebih jelasnya, dalam [[Samyutta Nikaya|SN]] 22.84, Tissa Sutta,<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.084.than.html Thanissaro (2005)]</ref> Buddha dengan tegas memperingatkan tentang keraguan atas [[Jalan Mulia Berunsur Delapan]], yang dijelaskan sebagai jalur yang benar menuju [[Nibbāna]], memimpin seseorang melewati ketidaktahuan, nafsu indrawi, antipati, dan keputusasaan.
Pada [[Majjhima Nikaya|MN]] 64, "Khotbah Panjang kepada Mālunkyāputta," Buddha menyatakan bahwa jalan untuk mengabaikan lima belenggu rendah (yang adalah, lima dari "sepuluh belenggu" ''pertama'' sebagaimana disebutkan terdahulu) adalah melalui pencapaian [[jhana]] dan pengetahuan akan [[vipassana]] secara bersamaan.<ref>{{IAST|Ñāṇamoli}} & Bodhi (2001), pp. 537-41.</ref> Dalam [[Samyutta Nikaya|SN]] 35.54, "Mengabaikan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang yang mengabaikan belenggu-belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai [[anicca|ketidak kekalan]]" (<small>Pali</small>:''anicca'') duabelas [[ayatana|sumber indra]] (''āyatana''), hal-hal yang sehubungan dengan enam indra-kesadaran (''{{IAST|viññaṇa}}''), dan hasil reaksi [[Sparśa|sentuhan]] (''phassa'') dan [[Vedana|sensasi]] (''vedanā'').<ref>Bodhi (2000), p. 1148.</ref> Pada hal yang sama, dalam SN35.55, "Menumbangkan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa ia yang menumbangkan belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai [[Anatta|tanpa diri]]" (''anatta'') sumber indra, indra kesadaran, sentuhan dan sensasi.<ref>Bodhi (2000), p. 1148. Perhatikan bahwa Sutta-Sutta yang menjadi rujukan (MN 64, SN 35.54 and SN 35.55) dapat dilihat saling melengkapi dan konsisten jika, sebagai contoh, menyimpulkan bahwa seseorang perlu menggunakan pencapaian jhanik dan pengetahuan vipassana guna "mengetahui dan melihat" ketidak kekalan dan inti tanpa-diri dari sumber indra, kesadaran, kontak dan sensasi. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai ketidak kekalan dan tanpa-diri, lihat [[Tiga Corak Umum]].</ref>


==== Kemelekatan pada ritual dan adat (''sīlabbata-parāmāsa'') ====
Kanon Pali secara tradisional menjelaskan pemangkasan belenggu-belenggu ini dalam [[Empat tingkat pencerahan|empat tingkatan]]:
{{Lihat juga|Kemelekatan (Buddhisme)}}
* Ia yang memotong tiga belenggu pertama (<small>Pali</small>: ''{{IAST|tīṇi saŋyojanāni}}'') menjadi [[Sotapanna|"pemasuk-arus" (''sotapanna'')]];
* Ia yang memotong tiga belenggu pertama dan secara berarti melemahkan dua belenggu berikut untuk menjadi [[Sakadagami|"kembali sekali" (''sakadagami'')]];
* Ia yang memotong lima belenggu pertama (''orambhāgiyāni samyojanāni'') menjadi seorang [[Anagami|"tidak-kembali" (''anagami'')]];
* Ia yang memotong seluruh sepuluh belenggu menjadi seorang [[arahat]].<ref>See, e.g., Bhikkhu Bodhi's introduction in Ñā{{IAST|ṇ}}amoli & Bodhi (2001), pp. 41-43. Bodhi in turn cites, for example, MN 6 and MN 22.</ref>


''[[Sila|Sīla]]'' merujuk pada "perilaku moral", ''vata'' (atau ''bata'') berarti "tugas keagamaan, ketaatan, tata cara, pelaksanaan, adat,"<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:987.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 597, "Vata (2)" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707112213/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:987.pali |date=2012-07-07 }} (retrieved 2008-04-09).</ref> dan ''parāmāsa'' berati "kemelekatan pada" atau "penularan" dan memiliki konotasi terkait "penyalahgunaan" Dhamma.<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:1775.pali ''Ibid.'', p. 421, "Parāmāsa" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120801030825/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.2:1:1775.pali |date=2012-08-01 }} (retrieved 2008-04-09).</ref> Secara keseluruhan, ''sīlabbata-parāmāsa'' diterjemahkan menjadi "kemelekatan pada peraturan dan ritual, kecanduan atas perilaku moral, khayalan bahwa hal tersebut cukup"<ref>[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.4:1:236.pali ''Ibid.'', p. 713, "Sīla" entry regarding the suffix "bbata"] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120718141541/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.4:1:236.pali |date=2012-07-18 }} (retrieved 2008-04-09).</ref> atau, lebih sederhananya, "jatuh kembali pada kemelekatan atas ritual dan adat."<ref>[http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an06/an06.055.than.html Thanissaro (1997b)].</ref>
== Hubungan dengan konsep inti lainnya ==


Sementara belenggu keraguan dapat dianggap sebagai upaya untuk menyinggung ajaran petapa lain semasa Buddha yang berlawanan, belenggu mengenai ritual dan adat sepertinya merujuk pada beberapa adat dari para brahmana.<ref>Sebagai perbandingan, lihat: Gethin (1998), hal. 10-13, untuk sebuah diskusi yang dilakukan Buddha mengenai tradisi sramanik dan brahmanik.</ref>
Sama dengan konsep Buddhis yang ditemukan di seluruh Kanon Pali termasuk [[lima hambatan]] (''nīvara{{IAST|ṇ}}āni'') dan sepuluh kekotoran ([[kilesa|''kilesā'']]). Dengan perbandingan, dalam tradisi [[Theravada]], belenggu-belenggu menjangkau kehidupan berlipat kali dan sangat sulit untuk dihapus, sedangkan hambatan bersifat rintangan sementara. Kekotoran mencakup ''seluruh'' kekotoran batin termasuk belenggu dan hambatan.<ref>Gunaratana (2003), dhamma talk entitled "Dhamma [Satipatthana] - Ten Fetters."</ref>

=== Memangkas belenggu ===
{{quote box|fontsize=90%|quote="Di sini, seorang ''bhikkhu'' memahami mata, ia memahami bentuk-bentuk, dan ... belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ... bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.

“Ia memahami telinga, ia memahami suara-suara … hidung, ... bau-bauan, … lidah, ... rasa kecapan, … badan, ... objek-objek sentuhan, … pikiran [atau batin], ... objek-objek pikiran [atau objek batin], dan ... belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ... bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana agar belenggu-belenggu yang telah ditinggalkan itu tidak muncul di masa depan. ..."|source=– Mahāsatipaṭṭhāna Sutta ([[Majjhima Nikāya|MN]] 10)<ref>Soma, 1998, bagian "The Six Internal and the Six External Sense-bases." Perlu digaris bawahi bahwa hanya belenggu yang diabaikan, bukan organ indra atau objek indra.</ref><ref>Anggara, Indra. "SuttaCentral". MN 10: Mahāsatipaṭṭhānasutta. Diakses tanggal 2024-09-13.</ref>|title=Meditasi atas belenggu|width=40%}}

Dalam [[Majjhima Nikaya|MN]] 64, "Khotbah Panjang kepada Mālunkyāputta," Buddha menyatakan bahwa jalan untuk meninggalkan lima belenggu rendah (yang adalah, lima dari "sepuluh belenggu" ''pertama'' sebagaimana disebutkan sebelumnya) adalah melalui pencapaian [[jhana|''jhāna'']] dan pengetahuan [[Vipassanā|''vipassanā'']] secara bersamaan.<ref>{{IAST|Ñāṇamoli}} & Bodhi (2001), pp. 537-41.</ref> Dalam [[Samyutta Nikaya|SN]] 35.54, "Meninggalkan Belenggu-belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang dianggap meninggalkan belenggu-belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai [[anicca|ketidakkekalan]]" (<small>Pali</small>: ''anicca'') dua belas [[landasan indra]] (''āyatana''), hal-hal yang sehubungan dengan enam indra-kesadaran (''{{IAST|viññāṇa}}''), [[Kontak (Buddhisme)|kontak]] indra (''phassa''), dan [[Perasaan (Buddhisme)|perasaan]] (''vedanā'').<ref>Bodhi (2000), p. 1148.</ref> Berkaitan dengan hal yang sama, dalam SN 35.55, "Mencabut Belenggu-belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang mencabut belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai [[Anatta|tanpa atma]]" (''anatta'') landasan indra, indra kesadaran, kontak indra, dan perasaan.<ref>Bodhi (2000), p. 1148. Perhatikan bahwa Sutta-Sutta yang menjadi rujukan (MN 64, SN 35.54 and SN 35.55) dapat dilihat saling melengkapi dan konsisten jika, sebagai contoh, menyimpulkan bahwa seseorang perlu menggunakan pencapaian jhanik dan pengetahuan vipassana guna "mengetahui dan melihat" ketidak kekalan dan inti tanpa-diri dari sumber indra, kesadaran, kontak dan sensasi. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai ketidak kekalan dan tanpa-diri, lihat [[Tiga Corak Umum]].</ref>

Tripitaka Pali secara tradisional menjelaskan pemangkasan belenggu-belenggu ini dalam [[Empat tingkat pencerahan|empat tingkatan]]:
* Ia yang memotong tiga belenggu pertama (<small>Pali</small>: ''{{IAST|tīṇi saṁyojanāni}}'') menjadi seorang [[Sotapanna|"pemasuk-arus" (''sotāpanna'')]];
* Ia yang memotong tiga belenggu pertama dan secara bertahap melemahkan dua belenggu berikutnya menjadi seorang yang [[Sakadagami|"kembali-sekali-lagi" (''sakadāgāmi'')]];
* Ia yang memotong lima belenggu pertama (''orambhāgiyāni samyojanāni'') menjadi seorang yang [[Anagami|"tidak-kembali-lagi" (''anāgāmi'')]];
* Ia yang memotong keseluruhan sepuluh belenggu menjadi seorang [[arahat]].<ref>See, e.g., Bhikkhu Bodhi's introduction in Ñā{{IAST|ṇ}}amoli & Bodhi (2001), pp. 41-43. Bodhi in turn cites, for example, MN 6 and MN 22.</ref>

=== Hubungan dengan konsep lain ===
{{Lihat juga|Rintangan (Buddhisme)|Pengotor batin}}

Konsep tentang belenggu serupa dengan konsep buddhis yang ditemukan di seluruh Tripitaka Pali, termasuk [[Rintangan (Buddhisme)|lima rintangan batin]] (''{{IAST|nīvaraṇa}}'') dan sepuluh [[pengotor batin]] (kilesa). Sebagai perbandingan, dalam aliran [[Theravada|Theravāda]], ''belenggu'' biasanya mencakupi banyak kehidupan (masa lalu, saat ini, dan masa depan setelah kelahiran kembali) dan sulit dihilangkan, sedangkan ''rintangan'' merujuk pada hambatan sementara saat praktik [[Meditasi (Buddhisme)|meditasi]]. Pengotor batin (''kilesa'') mencakup ''seluruh'' pengotor batin, termasuk belenggu (''saṁjoyana'') dan rintangan (''nīvaraṇa'').<ref name=":0">Gunaratana (2003), dhamma talk entitled "Dhamma [Satipatthana] - Ten Fetters."</ref>

== Mahayana ==
{{Lihat pula|Mahayana}}

=== Sembilan jenis belenggu ===
Dalam Mahāprajñāpāramitāśāstra (bab VI), dijelaskan bahwa “para Arahat telah mematahkan belenggu (''parikṣīṇabhava-saṃyojana'') dari eksistensi ini.” Belenggu-belenggu (''saṃyojana'') ini ada sembilan dalam daftar:<ref name=":1">{{Cite web|last=www.wisdomlib.org|date=2008-06-29|title=Samyojana, Sanyojana, Saṃyojana: 20 definitions|url=https://www.wisdomlib.org/definition/samyojana#mahayana|website=www.wisdomlib.org|language=en|access-date=2024-10-03}}</ref>

# [[Nafsu keinginan|nafsu]] (''anunaya''),
# antipati (''pratigha''),
# [[Kesombongan (Buddhisme)|kesombongan]] (''māna''),
# [[Kebodohan (Buddhisme)|kebodohan]] (''avidyā''),
# [[Keraguan (Buddhisme)|keraguan]] (''vicikitsā''),
# [[Pandangan (Buddhisme)|pandangan]] salah (''dṛṣṭi''),
# [[Kemelekatan (Buddhisme)|kemelekatan]] (''parāmarśa''),
# [[Kekikiran (Buddhisme)|kekikiran]] (''mātsarya''),
# [[Iri hati (Buddhisme)|iri hati]] (''īrṣya'').

''Saṃyojana'' ini meliputi seluruh eksistensi dan eksistensi ini meliputi semua ''saṃyojana''. Oleh karena itu, muncul ungkapan "mematahkan belenggu" (''parikṣīṇabhava-saṃyojana'').<ref name=":1" />


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
* [[Anatta]], mengenai belenggu pertama (''{{IAST|sakkāya-diṭṭhi}}'')
* [[Anatta]], konsep yang terkait dengan belenggu pertama (''{{IAST|sakkāya-diṭṭhi}}'').
* [[Empat tingkat pencerahan]], mengenai penghapusan belenggu-belenggu
* [[Empat tingkat pencerahan]], mengenai penghapusan belenggu-belenggu.
* [[Lima hambatan]], juga termasuk belenggu keempat (''kamacchanda''), kelima (''vyapada''), kesembilan (''uddhacca'') dan kedua (''vicikiccha'')
* [[Rintangan (Buddhisme)|Lima rintangan]], juga termasuk belenggu keempat (''kamacchanda''), kelima (''vyāpāda''), kesembilan (''uddhacca'') dan kedua (''vicikicchā'').
* [[Upadana]] (Kemelekatan), dimana empat jenis kemelekatan awal adalah kemelekatan untuk merasakan kesenangan (''kamupadana''), pandangan salah (''ditthupadana''), kebiasaan dan ritual (''silabbatupadana'') dan doktrin-diri (''attavadupadana'').
* [[Upadana]] (kemelekatan), dengan empat jenis kelakatan awal: kemelekatan atas kesenangan indrawi (''kāmupādāna'' atau ''kāma-upadana''), pandangan salah (''diṭṭhupadānā''), ritual dan adat (''sīlabbata-upādāna''), dan ajaran tentang diri atau roh (''attavāda-upādāna'').


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi terkini sejak 4 Oktober 2024 20.08

Terjemahan dari
saṃyojana
Indonesiabelenggu
Inggrisfetter
Palisaṃyojana
Sanskertaसंयोजन
(IAST: saṃyojana)
Tionghoa
(Pinyinjié)
Jepang
(rōmaji: yui)
Korea
(RR: gyeol)
Bengaliবন্ধন
Myanmarသံယောဇဉ်
(MLCTS: san yaw jain)
Thaiสังโยชน์
(IPA: sǎŋ jôːt)
Vietnamkiết sử
Laoປຸຖຸຊົນ
Daftar Istilah Buddhis

Dalam Buddhisme, sebuah belenggu batin, rantai batin, atau ikatan batin (Pali: saṁyojana, saññojana; Sanskerta: संयोजन, saṁyojana) mengikat mahkluk hidup pada samsara, yaitu lingkaran punarbawa yang disertai penderitaan. Dengan meyingkirkan seluruh belenggu secara bertahap, seseorang mencapai Nirwana melalui empat tingkat kemuliaan.

Belenggu, bersama-sama dengan rintangan dan berbagai faktor mental tidak baik lainnya, merupakan bagian dari pengotor batin (kilesa).[1]

Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Belenggu penderitaan

[sunting | sunting sumber]

Dalam Tripitaka Pali, kata "belenggu" digunakan untuk menjelaskan fenomena intrapsikis yang mengikat seseorang pada penderitaan. Sebagai contoh, dalam kitab Itivuttaka (Taṇhāsaṁyojana Sutta, Iti 15)[2] yang merupakan bagian dari Khuddaka Nikāya, Buddha menyatakan:

"Para bhikkhu, saya tidak melihat satu pun belenggu—belenggu yang mengikat makhluk-makhluk yang tergabung untuk mengembara dan berpindah-pindah selama waktu yang sangat lama—seperti belenggu nafsu keinginan. Terbelenggu oleh belenggu nafsu keinginan, makhluk-makhluk yang tergabung untuk mengembara dan berpindah-pindah selama waktu yang sangat lama."[3]

Di bagian kitab suci lainnya, penderitaan yang disebabkan oleh belenggu-belenggu dijelaskan secara tersirat dalam sebuah percakapan teknis antara Sāriputta dan Kotthita dalam Koṭṭhita Sutta (SN 35.232):

Kotthita:
  • "... Apakah mata adalah belenggu bagi bentuk-bentuk atau apakah bentuk-bentuk adalah belenggu bagi mata?
  • Apakah telinga adalah belenggu bagi suara-suara atau apakah suara-suara adalah belenggu bagi telinga?
  • Apakah pikiran adalah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran atau apakah fenomena-fenomena pikiran adalah belenggu bagi pikiran?"
Sāriputta:
  • "...Mata bukanlah belenggu bagi bentuk-bentuk juga bentuk-bentuk bukanlah belenggu bagi mata, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana.
  • Telinga bukanlah belenggu bagi suara-suara juga suara-suara bukanlah belenggu bagi telinga, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana. ...
  • Pikiran bukanlah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran juga fenomena-fenomena pikiran bukanlah belenggu bagi pikiran, melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana. ..."[4][5]

Daftar belenggu

[sunting | sunting sumber]

Belenggu dijelaskan dan diurutkan dengan cara yang berbeda dalam daftar-daftar di Sutta Piṭaka dan Abhidhamma Piṭaka Tripitaka Pali.

Sutta Piṭaka: sepuluh jenis belenggu

[sunting | sunting sumber]

Sutta Piṭaka dalam Tripitaka Pali menjelaskan sepuluh "belenggu eksistensi atau keberadaan":[6]

  1. percaya ada diri atau roh (Pali: sakkāya-diṭṭhi)[7]
  2. keraguan atau ketidakpastian, terutama mengenai ajaran (vicikicchā)[8]
  3. kemelekatan pada ritual dan adat (sīlabbata-parāmāsa)[9]
  4. nafsu indrawi (kāmacchanda)[10]
  5. niat jahat (vyāpāda atau byāpāda)[11]
  6. nafsu keinginan atas keberadaan materi, nafsu keinginan atas kelahiran kembali di dunia materi (rūparāga)[12]
  7. nafsu keinginan atas keberadaan nonmateri, nafsu atas kelahiran kembali di dunia tanpa materi (arūparāga)[13]
  8. kesombongan (māna)[14][15]
  9. kegelisahan (uddhacca)[16]
  10. ketidaktahuan (avijjā)[17]
Empat tingkat kemuliaan sesuai Sutta Piṭaka.
Bodhi Punarbawa Belenggu yang disingkirkan
sotāpanna ± tujuh kali;
manusia
atau dewa
  1. pandangan
    identitas
    (anatta)
  2. keraguan
    pada Triratna
  3. kemelekatan
    pada ritual
    atau adat
belenggu
rendah
sakadāgāmi sekali lagi;
manusia
anāgāmi sekali lagi,
suddhāvāsa
arahat tidak ada belenggu
tinggi

Sebagaimana ditampilkan pada tabel, di dalam Sutta Piṭaka, lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu-belenggu rendah" (orambhāgiyāni saṃyojanāni) dan disingkirkan segera setelah seseorang mencapai tingkat sotāpanna; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (uddhambhāgiyāni saṃyojanāni), disingkirkan oleh seorang arahat.[18]

Sutta Piṭaka: tiga jenis belenggu

[sunting | sunting sumber]

Dalam Sagīti Sutta (DN 33) dan Dhammasaṅgaṇi (Dhs. 1002-1006), dijelaskan "tiga belenggu" yang sama seperti tiga belenggu pertama dalam daftar sepuluh jenis belenggu menurut Sutta Piṭaka yang telah disebutkan di atas:

  1. percaya ada diri atau roh (Pali: sakkāya-diṭṭhi)
  2. keraguan atau ketidakpastian, terutama mengenai ajaran (vicikicchā)
  3. kemelekatan pada ritual dan adat (sīlabbata-parāmāsa)[19]

Menurut Tripitaka Pali, tiga belenggu telah diberantas oleh para pemasuk-arus dan kembali-sekali.[20]

Abhidhamma Piṭaka: sepuluh jenis belenggu

[sunting | sunting sumber]

Kitab Dhammasaṅgaṇī dalam Abhidhamma Piṭaka (Dhs. 1113-34) menyediakan daftar lain mengenai sepuluh belenggu, daftar ini juga ditemukan dalam kitab Cuḷaniddesa bagian Khuddaka Nikaya (Nd2 656, 1463) dan pada kitab-kitab komentar. Daftarnya adalah:[21]

  1. nafsu indrawi (Pali: kāma-rāga)
  2. antipati (paṭigha)
  3. kesombongan (māna)
  4. pandangan salah (diṭṭhi)
  5. keraguan (vicikicchā)
  6. kemelekatan pada ritual dan adat (sīlabbata-parāmāsa)
  7. nafsu atas keberadaan (bhava-rāga)
  8. iri hati (issā)
  9. kekikiran (macchariya)
  10. ketidaktahuan (avijjā)

Kitab komentar menegaskan bahwa pandangan salah, keraguan, kemelekatan pada ritual, iri hati, dan kekikiran dapat dibasmi dengan pencapaian tingkat kesucian pertama (sotāpatti); nafsu indrawi yang kotor dan antipati pada tingkat kedua (sakadāgāmitā); perwujudan halus dari belenggu serupa pada tingkatan ketiga (anāgāmitā); dan kesombongan, nafsu atas keberadaan, dan ketidaktahuan pada tahapan keempat atau terakhir (arahatta).

Belenggu perumah tangga

[sunting | sunting sumber]

Secara khusus, Potaliya Sutta (MN 54), menjelaskan delapan belenggu (termasuk tiga poin dari Pancasila) yang "menuntun menuju terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia (Jalan Mulia Berunsur Delapan)" (ariyassa vinaye vohārasamucchedāya saṁvattanti) bagi seorang perumah tangga atau umat awam (upāsaka-upāsikā):

  1. pembunuhan makhluk hidup (pāṇātipāta)
  2. pencurian (adinnādānaṃ)
  3. kebohongan (musāvāda)
  4. fitnah (pisuṇā)
  5. perampasan dan keserakahan (giddhilobha)
  6. cacian dan kedengkian (nindāroso)
  7. kemarahan dan kejengkelan (kodhūpāyāsa)
  8. kesombongan (atimāno)[22][23]

Belenggu individual

[sunting | sunting sumber]

Belenggu-belenggu berikut ini adalah tiga belenggu pertama yang disebutkan dalam daftar sepuluh belenggu Sutta Pitaka, dan juga dalam daftar “tiga belenggu” Saṅgīti Sutta dan Abhidhamma Pitaka (DN 33, Dhs. 1002 ff.). Seperti yang ditunjukkan di bawah ini, tersingkirkannya ketiga belenggu ini adalah indikator kanonis bahwa seseorang telah berada di jalan menuju kecerahan.

Pandangan identitas diri (sakkāya-diṭṭhi)

[sunting | sunting sumber]

Secara etimologi, kāya berarti "tubuh", sakkāya berarti "tubuh fisik", dan diṭṭhi berarti "pandangan" (sering kali merujuk pada pandangan salah, dalam Buddhisme, sebagaimana dicontohkan dalam tabel berikut).

Pandangan enam guru sesat
Pandangan dari enam samaṇa dalam Tripitaka Pali, juga dikenal sebagai enam guru sesat, sesuai Sāmaññaphala Sutta (DN 2).[24]
Pūraṇa Kassapa
Amoralisme
(akiriyavāda; natthikavāda)
Tidak ada pahala atau hukuman atas perbuatan baik maupun buruk.
Makkhali Gosāla (Ājīvika)
Fatalisme
(ahetukavāda; niyativāda)
Kita tak berdaya; penderitaan sudah ditakdirkan.
Ajita Kesakambalī (Carwaka)
Materialisme
(ucchedavāda; natthikavāda)
Hiduplah bersenang-senang; dengan kematian, semuanya akan musnah.
Pakudha Kaccāyana
Eternalisme dan kategorialisme (sassatavāda; sattakāyavāda)Empat unsur, kesenangan, kesakitan, dan jiwa adalah abadi dan tidak berinteraksi.
Nigantha Nātaputta (Jainisme)
Brata
(mahāvrata)
Diberkahi, dibersihkan oleh, dan dipenuhi [hanya] dengan penghindaran terhadap segala kejahatan.[25]
Sañjaya Belaṭṭhiputta (Ajñana)
Agnostisisme
(amarāvikkhepavāda)
"Aku tak berpikir begitu. Aku tak berpikir demikian pula atau sebaliknya. Aku tak berpikir tidak atau bukan-tidak." Penundaan penilaian.

Secara umum, "percaya atas keberadaan diri atau roh" atau, lebih ringkasnya, "pandangan identitas diri" merujuk pada "kepercayaan bahwa dalam satu gugusan atau lainnya terdapat suatu entitas permanen, sebuah atta".[26]

Dalam Sabbasava Sutta (MN 2), Buddha juga menjelaskan "belenggu atas pandangan":

"Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana:
  • 'Apakah aku ada di masa lampau?
  • Apakah aku tidak ada di masa lampau?
  • Apakah aku di masa lampau?
  • Bagaimanakah aku di masa lampau?
  • Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau?
  • Apakah aku akan ada di masa depan?
  • Apakah aku akan tidak ada di masa depan?
  • Akan menjadi apakah aku di masa depan?
  • Akan bagaimanakah aku di masa depan?
  • Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’
Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut:
  • ‘Apakah aku ada?
  • Apakah aku tidak ada?
  • Apakah aku?
  • Bagaimanakah aku?
  • Dari manakah makhluk ini datang?
  • Ke manakah makhluk ini akan pergi?’
“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya ...:
  • ‘ada diri [atau roh] bagiku’ ...
  • ‘tidak ada diri [atau roh] bagiku’ ...
  • ‘aku melihat diri [atau roh] dengan diri [atau roh]’ ...
  • 'aku melihat bukan-diri [atau bukan-roh] dengan diri [atau roh]’ ...
  • ‘aku melihat diri [atau roh] dengan bukan-diri [atau bukan-roh]’ ...
  • ‘adalah diriku [atau rohku] ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku [atau rohku] ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’ ...
Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. [Oleh] karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan."[27][28]

Keraguan (vicikicchā)

[sunting | sunting sumber]

Pada umumnya, "keraguan" merujuk pada keraguan mengenai ajaran Buddha, yaitu Dhamma. (Ajaran-ajaran serupa lainnya ditampilkan pada tabel "Pandangan enam guru sesat".)

Lebih jelasnya, dalam SN 22.84, Tissa Sutta,[29] Buddha dengan tegas memperingatkan tentang keraguan atas Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang dijelaskan sebagai jalur yang benar menuju Nibbāna, memimpin seseorang melewati ketidaktahuan, nafsu indrawi, antipati, dan keputusasaan.

Kemelekatan pada ritual dan adat (sīlabbata-parāmāsa)

[sunting | sunting sumber]

Sīla merujuk pada "perilaku moral", vata (atau bata) berarti "tugas keagamaan, ketaatan, tata cara, pelaksanaan, adat,"[30] dan parāmāsa berati "kemelekatan pada" atau "penularan" dan memiliki konotasi terkait "penyalahgunaan" Dhamma.[31] Secara keseluruhan, sīlabbata-parāmāsa diterjemahkan menjadi "kemelekatan pada peraturan dan ritual, kecanduan atas perilaku moral, khayalan bahwa hal tersebut cukup"[32] atau, lebih sederhananya, "jatuh kembali pada kemelekatan atas ritual dan adat."[33]

Sementara belenggu keraguan dapat dianggap sebagai upaya untuk menyinggung ajaran petapa lain semasa Buddha yang berlawanan, belenggu mengenai ritual dan adat sepertinya merujuk pada beberapa adat dari para brahmana.[34]

Memangkas belenggu

[sunting | sunting sumber]
Meditasi atas belenggu

"Di sini, seorang bhikkhu memahami mata, ia memahami bentuk-bentuk, dan ... belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ... bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.

“Ia memahami telinga, ia memahami suara-suara … hidung, ... bau-bauan, … lidah, ... rasa kecapan, … badan, ... objek-objek sentuhan, … pikiran [atau batin], ... objek-objek pikiran [atau objek batin], dan ... belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ... bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana agar belenggu-belenggu yang telah ditinggalkan itu tidak muncul di masa depan. ..."

– Mahāsatipaṭṭhāna Sutta (MN 10)[35][36]

Dalam MN 64, "Khotbah Panjang kepada Mālunkyāputta," Buddha menyatakan bahwa jalan untuk meninggalkan lima belenggu rendah (yang adalah, lima dari "sepuluh belenggu" pertama sebagaimana disebutkan sebelumnya) adalah melalui pencapaian jhāna dan pengetahuan vipassanā secara bersamaan.[37] Dalam SN 35.54, "Meninggalkan Belenggu-belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang dianggap meninggalkan belenggu-belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai ketidakkekalan" (Pali: anicca) dua belas landasan indra (āyatana), hal-hal yang sehubungan dengan enam indra-kesadaran (viññāṇa), kontak indra (phassa), dan perasaan (vedanā).[38] Berkaitan dengan hal yang sama, dalam SN 35.55, "Mencabut Belenggu-belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang mencabut belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai tanpa atma" (anatta) landasan indra, indra kesadaran, kontak indra, dan perasaan.[39]

Tripitaka Pali secara tradisional menjelaskan pemangkasan belenggu-belenggu ini dalam empat tingkatan:

Hubungan dengan konsep lain

[sunting | sunting sumber]

Konsep tentang belenggu serupa dengan konsep buddhis yang ditemukan di seluruh Tripitaka Pali, termasuk lima rintangan batin (nīvaraṇa) dan sepuluh pengotor batin (kilesa). Sebagai perbandingan, dalam aliran Theravāda, belenggu biasanya mencakupi banyak kehidupan (masa lalu, saat ini, dan masa depan setelah kelahiran kembali) dan sulit dihilangkan, sedangkan rintangan merujuk pada hambatan sementara saat praktik meditasi. Pengotor batin (kilesa) mencakup seluruh pengotor batin, termasuk belenggu (saṁjoyana) dan rintangan (nīvaraṇa).[1]

Sembilan jenis belenggu

[sunting | sunting sumber]

Dalam Mahāprajñāpāramitāśāstra (bab VI), dijelaskan bahwa “para Arahat telah mematahkan belenggu (parikṣīṇabhava-saṃyojana) dari eksistensi ini.” Belenggu-belenggu (saṃyojana) ini ada sembilan dalam daftar:[41]

  1. nafsu (anunaya),
  2. antipati (pratigha),
  3. kesombongan (māna),
  4. kebodohan (avidyā),
  5. keraguan (vicikitsā),
  6. pandangan salah (dṛṣṭi),
  7. kemelekatan (parāmarśa),
  8. kekikiran (mātsarya),
  9. iri hati (īrṣya).

Saṃyojana ini meliputi seluruh eksistensi dan eksistensi ini meliputi semua saṃyojana. Oleh karena itu, muncul ungkapan "mematahkan belenggu" (parikṣīṇabhava-saṃyojana).[41]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  • Anatta, konsep yang terkait dengan belenggu pertama (sakkāya-diṭṭhi).
  • Empat tingkat pencerahan, mengenai penghapusan belenggu-belenggu.
  • Lima rintangan, juga termasuk belenggu keempat (kamacchanda), kelima (vyāpāda), kesembilan (uddhacca) dan kedua (vicikicchā).
  • Upadana (kemelekatan), dengan empat jenis kelakatan awal: kemelekatan atas kesenangan indrawi (kāmupādāna atau kāma-upadana), pandangan salah (diṭṭhupadānā), ritual dan adat (sīlabbata-upādāna), dan ajaran tentang diri atau roh (attavāda-upādāna).

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Gunaratana (2003), dhamma talk entitled "Dhamma [Satipatthana] - Ten Fetters."
  2. ^ Sujato, Bhikkhu. "Iti 15: Taṇhāsaṁyojanasutta". SuttaCentral (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-09-12. 
  3. ^ Thanissaro (2001).
  4. ^ Bodhi (2000), p. 1230. Tangentially, in discussing the use of the concept of "the fetter" in the Satipatthana Sutta (regarding mindfulness of the six sense bases), Bodhi (2005) references this sutta (SN 35.232) as explaining what is meant by "the fetter," that is, "desire and lust" (chanda-raga). (While providing this exegesis, Bodhi, 2005, also comments that the Satipatthana Sutta commentary associates the term "fetter" in that sutta as referring to all ten fetters.)
  5. ^ Anggara, Indra. "SN 35.232: Koṭṭhitasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-09-12. 
  6. ^ Belenggu-belenggu ini diberi nomor, sebagai contoh, dalam SN 45.179 dan 45.180 (Bodhi, 2000, hal. 1565-66). Artikel berbahasa Pali dan terjemahan bahasa Inggris untuk sepuluh belenggu ini didasari oleh Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09).
  7. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), menjelaskan sakkāya-diṭṭhi sebagai "teori akan jiwa, bidaah individualitas, spekulasi akan keabadian atau hal lain mengenai individualitas seseorang." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkannya sebagai "pandangan identitas"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "pandangan akan kepribadian"; Harvey (2007), p. 71, menggunakan "pandangan-pandangan dalam kelompok yang ada"; Thanissaro (2000) menggunakan "pandangan-pandangan identifikasi-diri"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "kepercayaan-pribadi."
  8. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 615, "Vicikicchā" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), menjelaskan vicikicchā sebagai "keraguan, kebingungan, ketidakpastian." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Gethin (1998), p. 73, and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keraguan."Thanissaro (2000) menggunakan "ketidakpastian." Harvey provides, "kebimbangan akan tanggung-jawab kepada tiga perlindungan dan nilai kehidupan" (cf. M i.380 and S ii.69-70).
  9. ^ Sebagai contoh, lihat: Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 713, "Sīla" entry Diarsipkan 2012-07-18 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mengenai konsep serupa akan sīlabbatupādāna (= sīlabbata-upādāna), "berupaya setelah bekerja dan ritual." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkan istilah ini sebagai "pemahaman menyimpang akan peraturan dan sumpah"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "bergantung pada peraturan dan sumpah"; Harvey (2007), p. 71, uses "pemahaman akan peraturan dan sumpah"; Thanissaro (2000) menggunakan "pemahaman akan peraturan dan pelaksanaan"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "keterikatan akan ritus dan rituals."
  10. ^ Untuk diskusi yang lebih luas mengenai istilah ini, lihat, contoh., Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 203-4, "Kāma" entry Diarsipkan 2012-07-15 di Archive.is, and p. 274, "Chanda" entry Diarsipkan 2012-07-09 di Archive.is (retrieved 2008-04-09). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.179), Gethin (1998), p. 73, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkan kāmacchando sebagai "nafsu indria" ("sensual desire").
  11. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 654, "Vyāpāda" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan vyāpādo sebagai "berlaku buruk, berbuat jahat: keinginan untuk melukai, kedengkian, keinginan buruk." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keinginan buruk" ("ill will") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keengganan" ("aversion").
  12. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan rūparāgo sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam rūpa" ("lust after rebirth in rūpa"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan bentuk" ("lust for form") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan akan bentuk" ("desire for form"). Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan akan bentuk" ("passion for form"). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan dalam Dunia Bentuk" ("craving for existence in the Form World").
  13. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), menyarankan bahwa arūparāgo dapat dijelaskan sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam arūpa" ("lust after rebirth in arūpa"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan ketidakadaan bentuk" ("lust for the formless"). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan untuk keadaan tanpa bentuk" ("desire for the formless"). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "keterikatan akan bentuk murni atau dunia-dunia tanpa bentuk" ("attachment to the pure form or formless worlds") Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan untuk apa yang tidak berbentuk" ("passion for what is formless"). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan di Dunia Tanpa Bentuk" ("craving for existence in the Formless World").
  14. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 528, "Māna" entry Diarsipkan 2012-07-11 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan māna sebagai "kebanggaan, kesombongan, keangkuhan" ("pride, conceit, arrogance"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kesombongan" ("conceit"). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "kebanggaan" ("pride"). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kesombongan 'Saya adalah'" ("the 'I am' conceit").
  15. ^ Untuk membedakan antara belenggu pertama, "pandangan akan diri" dan belenggu ke delapan "kesombongan," lihat, contoh:, SN 22.89 (trans., Thanissaro, 2001).
  16. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 136, "Uddhacca" entry Diarsipkan 2012-07-13 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan uddhacca sebagai "melampaui-keseimbangan, pergolakan, kegirangan, kebingunan, tergesa-gesa" ("over-balancing, agitation, excitement, distraction, flurry"). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Harvey (2007), p. 72, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kegelisahan" ("restlessness"). Gethin (1998), p. 73, uses "agitation."
  17. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 85, "Avijjā" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan avijjā sebagai "kedunguan; akar buruk utama dan kelahiran kembali yang terus menerus" ("ignorance; the main root of evil and of continual rebirth"). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Gethin (1998), p. 73, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, translate it as "ignorance." Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kedunguan spiritual" ("spiritual ignorance").
  18. ^ Untuk referensi sutta-tunggal baik untuk "belenggu-belenggu tinggi" dan "belenggu-belenggu rendah," lihat, DN 33 (bagian kelima) dan AN 1.13. Dalam hal lainnya, sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu rendah diikuti dengan sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu tinggi, seperti dalam: SN 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 dan 46.184; SN 47.103 dan 47.104; SN 48.123 dan 48.124; SN 49.53 dan 49.54; SN 50.53 dan 50.54; SN 51.85 dan 51.86; SN 53.53 dan 53.54; dan, AN 9.67 dan 9.70. Sebagai tambahana, lima belenggu rendah sendiri (tanpa rujukan akan belenggu-belenggu tinggi) didiskusikan, contoh, dalam MN 64.
  19. ^ Untuk daftar dalam Sagīti Sutta mengenai tiga belenggu-belenggu, lihat, contoh, Walshe (1995), p. 484. Untuk daftar tiga belenggu dalam Dhammasaṅgaṇi, lihat: Rhys Davids (1900), pp. 256-61. Lihat pula, Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, entry for "Saŋyojana" Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mengenai i saŋyojanāni. (C.A.F. Rhys Davids (1900), p. 257, menerjemahkan ketiga istilah ini sebagai "teori kepribadian, kebingungan, dan penularan akan hal-hal yang semata-mata merupakan peraturan dan ritual" ("the theory of individuality, perplexity, and the contagion of mere rule and ritual."))
  20. ^ See, e.g., MN 6 and MN 22.
  21. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is merujuk Cula Niddesa 657, 1463, dan Dhamma Sangani 1113. Pada faktanya, keseluruhan bagian dari Dhamma Sangani ditujukan kepada belenggu-belenggu (buku III, ch. V, Dhs. 1113-34), lihat pula Rhys Davids (1900), hal. 297-303. (Rhys Davids, 1900 hal. 297, menyediakan terjemahan dalam bahasa Inggris mengenai istilah-istilah berbahasa Pali: "sensualitas, penolakan, kesombongan, pendapat spekulatif, kebingungan, penularan aturan dan ritual semata, gairah untuk eksistensi baru, iri hati, kekejaman, kebodohan.") (""sensuality, repulsion, conceit, speculative opinion, perplexity, the contagion of mere rule and ritual, the passion for renewed existence, envy, meanness, ignorance.") Pada naskah-naskah setelah masa kanon, daftar ini juga dapat ditemukan dalam komentar Buddhagosa (dalam Papañcasudani) pada bagian Satipatthana Sutta mengenai enam dasar indra dan belenggu-belenggu.(Soma, 1998).
  22. ^ Untuk terjemahan dalam bahasa Inggris, lihat: Ñāamoli & Bodhi (2001), pp. 467-469, dan Upalavanna (undated). Untuk romanisasi transliterasi bahasa Pali, SLTP (undated).
  23. ^ Anggara, Indra. "MN 54: Potaliyasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-09-12. 
  24. ^ "DN 2 Sāmaññaphala Sutta; The Fruits of the Contemplative Life". www.dhammatalks.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 10 July 2024. 
  25. ^ Bhikku, Ñāṇamoli; Bhikku, Bodhi (9 November 1995). The Middle Length Discourses of the Buddha: A Translation of the Majjhima Nikaya (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-Fourth). Simon and Schuster. hlm. 1258–59. ISBN 978-0-86171-072-0. Diakses tanggal 10 July 2024. 
  26. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09). Lihat pula, anatta.
  27. ^ Thanissaro (1997a).
  28. ^ Anggara, Indra. "MN 2: Sabbāsavasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-09-12. 
  29. ^ Thanissaro (2005)
  30. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 597, "Vata (2)" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09).
  31. ^ Ibid., p. 421, "Parāmāsa" entry Diarsipkan 2012-08-01 di Archive.is (retrieved 2008-04-09).
  32. ^ Ibid., p. 713, "Sīla" entry regarding the suffix "bbata" Diarsipkan 2012-07-18 di Archive.is (retrieved 2008-04-09).
  33. ^ Thanissaro (1997b).
  34. ^ Sebagai perbandingan, lihat: Gethin (1998), hal. 10-13, untuk sebuah diskusi yang dilakukan Buddha mengenai tradisi sramanik dan brahmanik.
  35. ^ Soma, 1998, bagian "The Six Internal and the Six External Sense-bases." Perlu digaris bawahi bahwa hanya belenggu yang diabaikan, bukan organ indra atau objek indra.
  36. ^ Anggara, Indra. "SuttaCentral". MN 10: Mahāsatipaṭṭhānasutta. Diakses tanggal 2024-09-13.
  37. ^ Ñāṇamoli & Bodhi (2001), pp. 537-41.
  38. ^ Bodhi (2000), p. 1148.
  39. ^ Bodhi (2000), p. 1148. Perhatikan bahwa Sutta-Sutta yang menjadi rujukan (MN 64, SN 35.54 and SN 35.55) dapat dilihat saling melengkapi dan konsisten jika, sebagai contoh, menyimpulkan bahwa seseorang perlu menggunakan pencapaian jhanik dan pengetahuan vipassana guna "mengetahui dan melihat" ketidak kekalan dan inti tanpa-diri dari sumber indra, kesadaran, kontak dan sensasi. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai ketidak kekalan dan tanpa-diri, lihat Tiga Corak Umum.
  40. ^ See, e.g., Bhikkhu Bodhi's introduction in Ñāamoli & Bodhi (2001), pp. 41-43. Bodhi in turn cites, for example, MN 6 and MN 22.
  41. ^ a b www.wisdomlib.org (2008-06-29). "Samyojana, Sanyojana, Saṃyojana: 20 definitions". www.wisdomlib.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-10-03.