Sunan Gunung Jati: Perbedaan antara revisi
+kat(s) |
Tanda baca & tebal huruf Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(522 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{Infobox religious biography|honorific-prefix=As-Syekh|name=Syarif Hidayatullah <br> ( Sunan Gunung Jati )|image=Sunan Gunung Jati.jpeg|alt=|caption=|religion=[[Islam]]|denomination=[[Sunni]]|known_for=[[Wali Sanga]]|birth_name=Syarif Hidayatullah |birth_date=1448|birth_place=|death_date=19 September 1568|death_place=[[Kesultanan Cirebon]]|father=[[Syarif Abdullah Umdatuddin]]|mother=[[Rara Santang|Syarifah Mudaim]]|children=*Pangeran Jaya Kelana |
|||
[[Gambar:Sunan_gunung_jati.jpg|right|thumb|ilustrasi '''Sunan Gunung Jati''']] |
|||
*Pangeran Bratakelana |
|||
'''Sunan Gunung Jati''' atau '''Syarif Hidayatullah''', lahir sekitar [[1450]] M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar [[1448]] M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok [[ulama]] besar di [[Jawa]] bernama [[walisongo]]. |
|||
*Ratu Ayu Winahon |
|||
*[[Maulana Hasanuddin dari Banten|Pangeran Sebakingking]] |
|||
*[[Ratu Wulung Ayu]] |
|||
*Pangeran Pasarean|resting_place=[[Astana Gunung Sembung]]|spouse=*Nyai Gedeng Babadan |
|||
*Nyai Rara Jati |
|||
*Nyai Mas Pakungwati |
|||
*Nyai Ageng Tepasari |
|||
*Nyai Kawunganten |
|||
*Syarifah Baghdad |
|||
*Ong Tien Nio|office1=[[Kesultanan Cirebon|Sultan Cirebon]] ke-1|term_start1=1482|term_end1=1568|predecessor1=Jabatan baru|successor1=[[Fatahillah]]|office2=[[Kerajaan Cirebon Larang|Tumenggung Cirebon]]|term_start2=1479|term_end2=1482|predecessor2=[[Pangeran Walangsungsang|Pangeran Cakrabuana]]|successor2=Jabatan dihapus|predecessor=[[Maulana Muhammad Ali Al-Akbar]]|successor=}}'''Sunan Gunung Jati''' atau lebih di kenal sebagai Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari [[Walisongo]], ia dilahirkan Tahun [[1448]] [[Masehi]] dari pasangan [[Syarif Abdullah Umdatuddin]] dan '''[[Rara Santang|Syarifah Mudaim]]''', putri dari [[Sri Baduga Maharaja]] dari [[Kerajaan Sunda|Kerajaan Padjajaran]]. |
|||
Beliau dinobatkan menjadi [[Tumenggung]] Cirebon ke-2 pada tahun [[1479]] dengan gelar Maulana Jati. Beliau juga menikahi seorang Syarifah bernama Nyai Ageng Tepasari (putri dari Ki Gede Tepasan/ Arya Jaka Semprung yang merupakan Keturunan Brawijaya V yang menurunkan sultan-sultan [[Kota Cirebon|Cirebon.]] Dari pernikahan tersebut maka Sayyid Al-Kamil mendapat sebutan Syarif Hidayatullah. |
|||
==Orang tua== |
|||
===Ayah=== |
|||
[[Sunan Gunung Jati]] bernama '''Syarif Hidayatullah''', lahir sekitar tahun [[1450]]. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.<br> |
|||
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari [[Gujarat]], [[India]] yang sangat dikenal sebagai [[Syekh Maulana Akbar]] bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra [[Syekh Muhammad Shahib Mirbath]], ulama besar di [[Hadramaut]], [[Yaman]] yang silsilahnya sampai kepada [[Rasulullah]] melalui cucu beliau [[Husain bin Ali|Imam Husain]]. |
|||
Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama [[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]] di daerah [[Tangerang Selatan]], [[Banten]]. |
|||
== Silsilah == |
|||
Sedangkan nama Sunan Gunung Jati diabadikan menjadi nama [[Universitas Islam negeri]] di [[Bandung]], yaitu [[UIN Sunan Gunung Djati|Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati]]<ref>{{Cite web|last=UIN Sunan Gunung Djati Bandung|title=Sejarah UIN Sunan Gunung Djati Bandung|url=https://uinsgd.ac.id/sejarah/|website=UIN Sunan Gunung Djati Bandung}}</ref>, dan [[Komando Resor Militer 063|Korem 063/Sunan Gunung Jati]] di [[Cirebon]]. |
|||
.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah bin |
|||
.Abdullah bin |
|||
== Asal Usul == |
|||
.Ali Nurul 'Alam |
|||
Sunan Gunung Jati lahir di Makkah Al-Mukarramah dengan nama Syarif Hidayatullah tahun 1448 Masehi. Ibunya bernama Nyai Rara Santang binti Prabu Siliwangi. Nyai Rara Santang pergi haji ke Makkah bersama kakaknya Pangeran Cakrabuana. Selama tinggal di Makkah, beliau nyantri di Syaikh Bayanullah, adik Syaikh Datuk Kahfi. [[Syekh Datuk Kahfi|Syaikh Datuk Kahfi]] adalah ulama asal Makkah yang menyebarkan Islam di Cirebon. Nyai Rara Santang dan Kakaknya berguru kepadanya, dan gurunya tersebut yang memerintahkannya untuk segera menunaikan ibadah haji ke Makkah bersama kakaknya, Pangeran Cakrabuana. |
|||
Di Makkah, Nyai Rara Santang menikah dengan Syarif Abdullah Al-Hasyimi yang kemudian setelah menjadi sultan bergelar Sultan Maulana Umdatuddin Al-Hasyimi. Ia menguasai wilayah Bani Ismail di Mesir dan Bani israil di Palestina. Nyai Rara Santang kemudian mendapat nama baru Syarifah Muda’im dan tinggal di Mesir bersama suami dan anaknya. |
|||
.Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin |
|||
Ketika berumur dua puluh tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Makkah dan nyantri di ulama-ulama Makkah. Setelah itu ia pergi ke Nusantara. Ia mampir di Gujarat, lalu ke Kerajaan Samudra Pasai. Di Pasai ia nyantri di Sayyid Maulana Ishaq. Dari Pasai ia berlayar menuju Banten. Dari Banten kemudian menuju Surabaya untuk nyantri di Sunan Ampel. Setelah beberapa lama barulah ia diperintahkan menemani pamannya di Cirebon untuk menyebarkan agama Islam. Ia membangun pesantren di daerah Gunung Jati. Kemudian ia dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. |
|||
.Ahmad Jalaludin Khan bin |
|||
Paragrap di atas, adalah kisah Sunan Gunung Jati yang diambil dari manuskrip Carita Purwaka Caruban Nagari dari mulai pupuh duabelas sampai tujuhbelas. Manuskrip Carita Purawaka Caruban nagari adalah sebah kitab yang ditulis Pangeran Arya Cirebon tahun 1720. |
|||
.Abdullah Khan bin |
|||
== Silsilah == |
|||
.Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin |
|||
.Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin |
|||
.[[Muhammad Sohib Mirbath]] (Hadhramaut) |
|||
.Ali Kholi' Qosam bin |
|||
.Alawi Ats-Tsani bin |
|||
.Muhammad Sohibus Saumi'ah bin |
|||
.Alawi Awwal bin |
|||
.Ubaidullah bin |
|||
.[[Ahmad al-Muhajir]] bin |
|||
.Isa Ar-Rumi bin |
|||
.Muhammad An-Naqib bin |
|||
'''Pendapat ke-1 :''' Silsilah ini berjalur muasal Uzbekistan Asia Tengah sesuai dengan data pihak Keprabon Cirebon bernasab via jalur Al-Musawi Al-Kadzimi Al-Husaini, diakui jalur ini dan di isbat oleh Naqib Internasional melalui Naqib Hasyimiyyun Turki. |
|||
.Ali Uradhi bin |
|||
Silsilah : |
|||
.Ja'afar As-Sodiq bin |
|||
.Muhammad |
1. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam |
||
2. Husein Asy-Syahid (imam III [[Syiah]] Dua Belas Imam) |
|||
.Ali Zainal 'Abidin bin |
|||
3. Ali Zainal Abidin (imam IV [[Syiah Dua Belas Imam]]) |
|||
.Imam Hussain |
|||
4. Muhammad Al-Baqir (imam V Syiah Dua Belas Imam) |
|||
Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad Rasulullah. |
|||
6. Ja'far Ash-Shadiq (imam VI Syiah Dua Belas Imam) |
|||
===Ibu=== |
|||
Ibunda Syarif Hidayatullah adalah [[Nyai Rara Santang]] putri [[Prabu Siliwangi]] (dari Nyai Subang Larang) adik [[Kiyan Santang]] bergelar Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada [[Syekh Datuk Kahfi]], seorang Muballigh asal [[Baghdad]] bernama asli [[Idhafi Mahdi]]. |
|||
7. Musa Al-Kadzim (imam VII Syiah [[Dua Belas Imam]]) |
|||
Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor. |
|||
8. Ali Ar-Ridha (imam VIII Syiah Dua Belas Imam) |
|||
===Pertemuan orang tuanya=== |
|||
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di [[Mesir]], tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di [[Majelis Syekh Quro]], Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di [[Majelis Syekh Kahfi]], Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang). |
|||
9. Muhammad Al-Jawad (imam IX Syiah Dua Belas Imam) |
|||
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu. |
|||
10. Ali Al-Hadi (imam X Syiah Dua Belas Imam) |
|||
Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah. |
|||
11. Ja'far Az-Zaki |
|||
12. Ali Al-Asykar |
|||
13. Abdullah At-Taqi |
|||
14. Ahmad |
|||
==Perjalanan Hidup== |
|||
===Proses belajar=== |
|||
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) [[Mekah]] dan [[Madinah]] karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah [[haji]] untuk umat Islam. |
|||
15. Mahmud |
|||
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota [[Cirebon]] dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat. |
|||
16. Muhammad |
|||
===Pernikahan=== |
|||
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama [[Nyai Kawunganten]]. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu [[Ratu Wulung Ayu]] dan [[Mawlana Hasanuddin]] yang kelak menjadi Sultan Banten I. |
|||
17. Ja'far |
|||
===Kesultanan Demak=== |
|||
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian [[Kesultanan Demak]] tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama [[Walisongo]]. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia [[Raden Patah]] yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa. |
|||
18. Ali Al-Mu'ayyid |
|||
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan [[vassal state]] dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon. |
|||
19. Sayyid Husain Jalaluddin Al-Bukhari |
|||
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya. |
|||
20. Ahmad Al-Kabir |
|||
===Gangguan proses Islamisasi=== |
|||
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan [[Pakuan]] dan [[Galuh]] (di Jawa Barat) dan [[Majapahit]] (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari [[Portugis]] yang telah mulai expansi di Asia Tenggara. |
|||
21. Makhdum Husein Jalaluddin An-Naqwi |
|||
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan [[Syekh Siti Jenar]] pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya. |
|||
22. Mahmud Nasiruddin |
|||
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut. |
|||
23. Husein Jamaluddin Al-Akbar |
|||
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya [[Sunda Kelapa]] yang masih dalam kekuasaan Pakuan. |
|||
24. Ali Nuruddin |
|||
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing [[Pati Unus]] dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511. |
|||
25. Abdullah Umdatuddin |
|||
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat [[Tubagus Pasai]] (belakangan dikenal dengan nama [[Fatahillah]]),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa. |
|||
26. Sultan Syarif Hidayatullah Al-Hidayat Sunan Gunung Jati ll Cirebon |
|||
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh [[Kesultanan Banten]] di Barat dan [[Kesultanan Cirebon]] di Timur. |
|||
'''Pendapat ke-2 :''' Silsilah yang bersumber pada catatan Syajarotu al-Muluk dan sudah disesuaikan dengan berbagai catatan Kesultanan Kelantan, Kerajaan Palembang dan beberapa catatan yang lebih ma'ruf (diketahui) dan masyhur (lebih banyak dikenal). |
|||
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam. |
|||
Syeikh Jumadil Kubro adalah anak dari Sayyid Ahmad Jalaluddin Ahsan (Azmat) Khan bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Malik bin ‘Alwi (‘Ammul Faqih) bin Muhammad (Shahib Mirbath) bin ‘Ali (Khola Qosam) bin ‘Alwi bin Muhammad bin ‘Alwi (‘Alawiyyin) bin ‘Ubaidullah bin Ahmad (al-Muhajir) bin ‘Isa (an-Naqib) bin ‘Ali (al-‘Uroidli) bin Ja’far (as-Shodiq) bin Muhammad (al-Baqir) bin ‘Ali (Zainul ‘Abidin) bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib dan Fathimah (az-Zahro al-Batul) binti Muhammad Rasulullah SAW. |
|||
Tahun [[1527]] bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka [[1521]]. |
|||
== Riwayat Hidup == |
|||
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi [[Jayakarta]] dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah. |
|||
=== Proses Belajar === |
|||
Babad Cirebon menyebutkan, ketika Pangeran Cakrabuwana membangun [[Kota Cirebon]] dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah ''Uwak''nya wafat. |
|||
=== Kesultanan Cirebon === |
|||
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya. |
|||
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di [[Tuban]], [[Jawa Timur]] untuk mencari pengganti [[Sunan Ampel]] sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, [[Gunungjati, Cirebon|kecamatan Gunung Jati]], [[kabupaten Cirebon]], [[Jawa Barat|propinsi Jawa Barat]]. Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai ''Puser Bumi'' (bahasa Indonesia: pusatnya dunia).<ref name=rohmat>Kurnia, Rohmat. 2009. Tempat dan Peristiwa Sejarah di Jawa Barat. [[Bandung]]: Sarana Pancakarya Nusa</ref> |
|||
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa [[Cirebon]] kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan ''Nyai'' Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari [[Mesir]]) yang sebelumnya menikahi ''Nyimas'' Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan ''Nyai'' Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai ''Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah''.<ref name=kabcirebon>{{Cite web |url=http://www.cirebonkab.go.id/id_ID/sekilas-kab-cirebon/sejarah-kabupaten-cirebon/ |title=Kabupaten Cirebon - Sejarah Kabupaten Cirebon |access-date=2015-10-16 |archive-date=2016-07-29 |archive-url=https://web.archive.org/web/20160729214221/http://www.cirebonkab.go.id/id_ID/sekilas-kab-cirebon/sejarah-kabupaten-cirebon/ |dead-url=yes }}</ref> |
|||
===Perundingan Yang Sangat Menentukan=== |
|||
Syarif Hidayatullah melalui lembaga [[Wali Sanga]] selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu ''Silih Wangi'') agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya ''Nyai'' Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang [[muslim]] jauh sebelum menikah dengan prabu ''Silih Wangi'', tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan [[kerajaan Galuh]] dan [[kerajaan Sunda|Sunda]] sudah menjadi satu kembali di tangan prabu ''Silih Wangi''), seperti yang tertuang dalam naskah ''Purwaka Caruban Nagari'' karya Pangeran Arya Carbon. |
|||
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan [[1568]] hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi. |
|||
{{cquote | Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala. |
|||
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah [[Cibeo]] sekarang. |
|||
<br>(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah) }} |
|||
Pada tanggal 12 [[Safar]] 887 [[Hijriyah]] atau tepatnya pada tanggal [[2 April]] [[1482]] Masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu ''Silih Wangi'' selaku Raja [[Pakwan Pajajaran]] bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti.<ref name=rohmat/><ref name=kabcirebon/> Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon ([[bahasa Cirebon]]: ''gegeden''). |
|||
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman [[Baduy Luar]]. |
|||
== Wafat == |
|||
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta [[Sunda Wiwitan]]. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan. |
|||
[[Berkas:Sanctuary of Sunan Gunung Jati.jpg|jmpl|232x232px|Makam Sunan Gunung Jati]] |
|||
Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berpulang ke rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 19 September 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka. |
|||
Sunan Gunung Jati meninggal dalam usia 120 tahun. Takhta Cirebon lalu diwarisi oleh cicitnya, [[Panembahan Ratu I|Zainul Arifin]] yang naik takhta di usia 23 tahun dengan gelar Panembahan Ratu. |
|||
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan. |
|||
Syekh Syarif Hidayatullah kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati oleh warga Cirebon karena ia dimakamkan di komplek pemakaman bukit [[Gunungjati, Cirebon|Gunung Jati]], yang sekarang dikenal dengan nama [[Astana Gunung Sembung]]. |
|||
Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah air, sejarah telah membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif Hidayatullah baik dalam kapasitas sebagi Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat ulung dan Negarawan yang bijak. |
|||
== Referensi == |
|||
{{reflist}} |
|||
== Pranala luar == |
|||
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama [[Sultan Haji]]. |
|||
* [http://www.uinjkt.ac.id/ Website Resmi] [[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]] |
|||
== Rujukan Kitab == |
|||
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah. |
|||
* Kitab '''Syamsu Azh Zhahirah fi Nasabi Ahli al-Bait''' oleh [https://archive.org/search.php?query=creator%3A%22Sayyid+Abdurrohman+bin+Muhammad+al-Masyhur%22 Sayyid Abdurrohman bin Muhammad al-Masyhur] |
|||
{{S-start}} |
|||
{{s-hou|al-Huseini al Kadzimi||1448||1568}} |
|||
{{s-reg|}} |
|||
{{s-bef|before=[[Pangeran Walangsungsang|Walangsungsang]]<br><small>Tumenggung Cirebon}} |
|||
{{s-ttl|title=[[Kesultanan Cirebon|Sultan Cirebon]]|years=1482–1568}} |
|||
{{s-aft|after=Pangeran Pasarean}} |
|||
{{end}}{{Walisongo}} |
|||
[[Kategori:Wali Sanga]] |
|||
[[kategori:Walisongo|Gunung Jati]] |
|||
[[ |
[[Kategori:Kelahiran 1448|Gunung Jati]] |
||
[[Kategori:Kelahiran 1450|Gunung Jati]] |
[[Kategori:Kelahiran 1450|Gunung Jati]] |
||
[[Kategori:Kematian |
[[Kategori:Kematian 1568|Gunung Jati]] |
||
[[Kategori:Arab-Indonesia]] |
|||
[[Kategori:Bangsawan Sunda]] |
|||
[[Kategori:Tokoh dari Cirebon]] |
|||
[[Kategori:Tokoh penyebar Islam di Indonesia]] |
Revisi terkini sejak 8 November 2024 20.56
As-Syekh Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Jati ) | |
---|---|
Sultan Cirebon ke-1 | |
Masa jabatan 1482–1568 | |
Pendahulu Jabatan baru | |
Tumenggung Cirebon | |
Masa jabatan 1479–1482 | |
Pengganti Jabatan dihapus | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Syarif Hidayatullah 1448 |
Meninggal | 19 September 1568 |
Makam | Astana Gunung Sembung |
Agama | Islam |
Pasangan |
|
Anak |
|
Orang tua |
|
Denominasi | Sunni |
Dikenal sebagai | Wali Sanga |
Pemimpin Muslim | |
Pendahulu | Maulana Muhammad Ali Al-Akbar |
Sunan Gunung Jati atau lebih di kenal sebagai Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin dan Syarifah Mudaim, putri dari Sri Baduga Maharaja dari Kerajaan Padjajaran.
Beliau dinobatkan menjadi Tumenggung Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati. Beliau juga menikahi seorang Syarifah bernama Nyai Ageng Tepasari (putri dari Ki Gede Tepasan/ Arya Jaka Semprung yang merupakan Keturunan Brawijaya V yang menurunkan sultan-sultan Cirebon. Dari pernikahan tersebut maka Sayyid Al-Kamil mendapat sebutan Syarif Hidayatullah.
Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di daerah Tangerang Selatan, Banten.
Sedangkan nama Sunan Gunung Jati diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung, yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati[1], dan Korem 063/Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Asal Usul
[sunting | sunting sumber]Sunan Gunung Jati lahir di Makkah Al-Mukarramah dengan nama Syarif Hidayatullah tahun 1448 Masehi. Ibunya bernama Nyai Rara Santang binti Prabu Siliwangi. Nyai Rara Santang pergi haji ke Makkah bersama kakaknya Pangeran Cakrabuana. Selama tinggal di Makkah, beliau nyantri di Syaikh Bayanullah, adik Syaikh Datuk Kahfi. Syaikh Datuk Kahfi adalah ulama asal Makkah yang menyebarkan Islam di Cirebon. Nyai Rara Santang dan Kakaknya berguru kepadanya, dan gurunya tersebut yang memerintahkannya untuk segera menunaikan ibadah haji ke Makkah bersama kakaknya, Pangeran Cakrabuana.
Di Makkah, Nyai Rara Santang menikah dengan Syarif Abdullah Al-Hasyimi yang kemudian setelah menjadi sultan bergelar Sultan Maulana Umdatuddin Al-Hasyimi. Ia menguasai wilayah Bani Ismail di Mesir dan Bani israil di Palestina. Nyai Rara Santang kemudian mendapat nama baru Syarifah Muda’im dan tinggal di Mesir bersama suami dan anaknya.
Ketika berumur dua puluh tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Makkah dan nyantri di ulama-ulama Makkah. Setelah itu ia pergi ke Nusantara. Ia mampir di Gujarat, lalu ke Kerajaan Samudra Pasai. Di Pasai ia nyantri di Sayyid Maulana Ishaq. Dari Pasai ia berlayar menuju Banten. Dari Banten kemudian menuju Surabaya untuk nyantri di Sunan Ampel. Setelah beberapa lama barulah ia diperintahkan menemani pamannya di Cirebon untuk menyebarkan agama Islam. Ia membangun pesantren di daerah Gunung Jati. Kemudian ia dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Paragrap di atas, adalah kisah Sunan Gunung Jati yang diambil dari manuskrip Carita Purwaka Caruban Nagari dari mulai pupuh duabelas sampai tujuhbelas. Manuskrip Carita Purawaka Caruban nagari adalah sebah kitab yang ditulis Pangeran Arya Cirebon tahun 1720.
Silsilah
[sunting | sunting sumber]Pendapat ke-1 : Silsilah ini berjalur muasal Uzbekistan Asia Tengah sesuai dengan data pihak Keprabon Cirebon bernasab via jalur Al-Musawi Al-Kadzimi Al-Husaini, diakui jalur ini dan di isbat oleh Naqib Internasional melalui Naqib Hasyimiyyun Turki.
Silsilah :
1. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
2. Husein Asy-Syahid (imam III Syiah Dua Belas Imam)
3. Ali Zainal Abidin (imam IV Syiah Dua Belas Imam)
4. Muhammad Al-Baqir (imam V Syiah Dua Belas Imam)
6. Ja'far Ash-Shadiq (imam VI Syiah Dua Belas Imam)
7. Musa Al-Kadzim (imam VII Syiah Dua Belas Imam)
8. Ali Ar-Ridha (imam VIII Syiah Dua Belas Imam)
9. Muhammad Al-Jawad (imam IX Syiah Dua Belas Imam)
10. Ali Al-Hadi (imam X Syiah Dua Belas Imam)
11. Ja'far Az-Zaki
12. Ali Al-Asykar
13. Abdullah At-Taqi
14. Ahmad
15. Mahmud
16. Muhammad
17. Ja'far
18. Ali Al-Mu'ayyid
19. Sayyid Husain Jalaluddin Al-Bukhari
20. Ahmad Al-Kabir
21. Makhdum Husein Jalaluddin An-Naqwi
22. Mahmud Nasiruddin
23. Husein Jamaluddin Al-Akbar
24. Ali Nuruddin
25. Abdullah Umdatuddin
26. Sultan Syarif Hidayatullah Al-Hidayat Sunan Gunung Jati ll Cirebon
Pendapat ke-2 : Silsilah yang bersumber pada catatan Syajarotu al-Muluk dan sudah disesuaikan dengan berbagai catatan Kesultanan Kelantan, Kerajaan Palembang dan beberapa catatan yang lebih ma'ruf (diketahui) dan masyhur (lebih banyak dikenal).
Syeikh Jumadil Kubro adalah anak dari Sayyid Ahmad Jalaluddin Ahsan (Azmat) Khan bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Malik bin ‘Alwi (‘Ammul Faqih) bin Muhammad (Shahib Mirbath) bin ‘Ali (Khola Qosam) bin ‘Alwi bin Muhammad bin ‘Alwi (‘Alawiyyin) bin ‘Ubaidullah bin Ahmad (al-Muhajir) bin ‘Isa (an-Naqib) bin ‘Ali (al-‘Uroidli) bin Ja’far (as-Shodiq) bin Muhammad (al-Baqir) bin ‘Ali (Zainul ‘Abidin) bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib dan Fathimah (az-Zahro al-Batul) binti Muhammad Rasulullah SAW.
Riwayat Hidup
[sunting | sunting sumber]Proses Belajar
[sunting | sunting sumber]Babad Cirebon menyebutkan, ketika Pangeran Cakrabuwana membangun Kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Kesultanan Cirebon
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia: pusatnya dunia).[2]
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[3]
Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali di tangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.
(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)
Pada tanggal 12 Safar 887 Hijriyah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 Masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja Pakwan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti.[2][3] Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon: gegeden).
Wafat
[sunting | sunting sumber]Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berpulang ke rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 19 September 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.
Sunan Gunung Jati meninggal dalam usia 120 tahun. Takhta Cirebon lalu diwarisi oleh cicitnya, Zainul Arifin yang naik takhta di usia 23 tahun dengan gelar Panembahan Ratu.
Syekh Syarif Hidayatullah kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati oleh warga Cirebon karena ia dimakamkan di komplek pemakaman bukit Gunung Jati, yang sekarang dikenal dengan nama Astana Gunung Sembung.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ UIN Sunan Gunung Djati Bandung. "Sejarah UIN Sunan Gunung Djati Bandung". UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
- ^ a b Kurnia, Rohmat. 2009. Tempat dan Peristiwa Sejarah di Jawa Barat. Bandung: Sarana Pancakarya Nusa
- ^ a b "Kabupaten Cirebon - Sejarah Kabupaten Cirebon". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-07-29. Diakses tanggal 2015-10-16.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]Rujukan Kitab
[sunting | sunting sumber]- Kitab Syamsu Azh Zhahirah fi Nasabi Ahli al-Bait oleh Sayyid Abdurrohman bin Muhammad al-Masyhur
Sunan Gunung Jati al-Huseini al Kadzimi Lahir: 1448 Meninggal: 1568
| ||
Gelar | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Walangsungsang Tumenggung Cirebon |
Sultan Cirebon 1482–1568 |
Diteruskan oleh: Pangeran Pasarean |