Estetika agama: Perbedaan antara revisi
Baris 34: | Baris 34: | ||
== Lihat pula == |
== Lihat pula == |
||
{{Portal|Filsafat}} |
|||
* [[Akal dan cinta]] |
* [[Akal dan cinta]] |
||
* [[Dua dimensi manusia]] |
* [[Dua dimensi manusia]] |
Revisi per 10 Juli 2021 05.43
Estetika adalah salah satu penanda dalam filsafat. Selain etika, estetika juga terlingkup ke dalam aksiologi. Kehidupan manusia sendiri tidak dapat dilepaskan dari estetika, bahkan bidang yang berkutat kepada keindahan ini dianggap sebagai puncak dari agama. Agama menjadi sempurna jika estetika termaktub di dalamnya. Tujuan agama adalah etika, sedangkan tujuan etika adalah rasa nyaman dan aman. Rasa di sini domainnya adalah estetika. Dengan kata lain, penilaian indah atau tidaknya sesuatu itu pasti akan terus ada dalam diri manusia karena potensi yang dimiliki manusia itu sendiri, baik indra, akal, dan hati nurani. Estetika dalam ranah filsafat memunculkan beberapa tokoh, yaitu Immanuel Kant, David Hume, Auguste Comte. Adapun buku pertama yang menjelaskan mengenai estetika adalah karya Alexander Gottlieb Baumgarten berjudul Aesthetica yang ditulis pada 1750.
Filsafat seni
Puja dan puji bagi Allah sendiri. Penyempurna segala alam perwujudan/penuh kasih, penuh ampunan/raja hari keputusan/hanya kepada-Mu kami semua sembah menghadap/hanya kepada-Mu kami semua palingkan harap/bimbinglah kami ke lebuh lempang/menjejaki siapa telah Kau beri hati/bukan yang Kau dera dengan kemurkaan/bukan yang hilang jalan (Surah Al-Fatihah yang dipuiskan oleh Mohammad Diponegoro dalam Ulumul Qur’an no.1. VII, 1996)
Estetika sering disebut juga dengan filsafat seni. Seni sendiri adalah hasil oleh rasa seorang seniman. Logika modern memilah seni dengan reduktif. Seni dikerucutkan menjadi seni rupa (seni lukis dan seni pahat), seni pertunjukan (seni musik dan seni film), seni tari, dan seni sastra. Tentu banyak varian lain dari seni, seperti yang dapat dijumpai di daerah-daerah seluruh Nusantara. Seni di pelosok negeri sangat beragam, misalnya seni anyam yang ditemukan bisa berasal dari pandan, rotan, pohon teratai, dan lainnya.
Hari ini, kita sebagai penikmat seni pasti sangat terhibur dengan hasil olah sastra model Pramoedya Ananta Toer Sapardi Djoko Damono, Dewi Lestari, atau torehan-torehan ala Tere Liye. Dalam seni lukis, kita juga pasti kagum dengan sapuan di atas kanvas ala Affandi, Sudjojono, atau Joko Pekik. Begitu juga dengan kesehatan kita dari pagi hingga menjelang tidur, sebagian dari kita pasti tidak bisa lepas dari yang namanya musik. Sehingga, mengalunkan lagu-lagu Peterpan, Taylor Swift, atau Syahrini di gadget yang kita pakai. Atau bagi yang sedang jatuh cinta, berduaan di gedung bioskup adalah solusi, sebelum target mengena. Di sinilah letak betapa seni adalah hidup itu sendiri.
Nah, seni tidak bisa dilepaskan dari keindahan. Dalam kajian filsafat MJS, Pak Fahruddin menjelaskan definisi keindahan dari beberapa tokoh filsafat. Aristoteles, misalnya, mengatakan keindahan adalah suatu yang baik dan menyenangkan. Kaum Sophis mengatakan keindahan adalah apapun yang membuat senang. Sementara Hegel menyatakan, keindahan adalah identitas yang sempurna dari yang ideal dan nyata. Ditambahkan Pak Fahruddin, jika Ketuhanan Yang Maha Esa dalam filsafat bangsa kita belum mengejawantah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, berti itu belumlah indah.
Keindahan, seperti dijelaskan dosen berperawakan kecil ini, ada parameternya, di antaranya: unity (kesatuan, keutuhan), harmony (sebagai contoh adalah keselarasan nada), symetry (terpadu, misal merah dan putih), balance, dan contrast (berbeda tapi saling mendukung). Selain parameter, ada pula nilai dari sebuah keindahan. Ada nilai intrinsik, dan ada nilai ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang ada pada bandanya, sementara ekstrinsik ada pada aspek luarnya. Misalnya, si A menyukai sebuah buku karena buku tersebut berkaitan dengan seseorang di masa lalunya.
Nilai keindahan yang lain, ada juga yang disebut dengan nilai intelektual. Nilai ini berkaitan dengan teori tentang obyek yang diserap. Misalnya, sebuah patung dikatakan indah karena berkait dengan ulasan di buku tentang patung tersebut. Ada pula yang disebut nilai katarsis. Hal ini berkaitan dengan psikis seseorang, dan yang terakhir nilai ekspresi. Biasanya berkaitan dengan kepuasan senimannya, atau si pembuat karya.
Berbicara tentang estetika, tidak terlepas juga dari sejarah. Karena bagaimanapun estetika tidak muncul di ruang hampa. Ia berkutat dengan ruang dan waktu. Ia hadir dan berkelindan dengan manusia yang dianggap sebagai “pusat” kosmos. Kata Pak Fahruddin, di masa klasik, estetika berfokus pada si subyek. Masa ini, senimanlah yang menjadi pembicaraan. Sedang di era modern, si subyek digantikan oleh obyek. Obyek di sini maksudnya adalah karya si seniman, dan di zaman posmo, subyek sekaligus obyek dipadupadankan. Tidak ada lagi pemilihan antara subyek dan obyek.
Estetika tentu saja tidak bisa lepas dari tokoh besarnya. Merekalah yang membuat estetika menemukan tempatnya dalam ruang-ruang kefilsafatan. Kita mulai dari Plato, satu dari tiga filsuf terbesar selain Sang Maha Guru Socreates dan Sang Murid, Aristoteles. Plato adalah filsuf yang “bemain-main” pada dunia “Idea”. Makanya, berkait estetika, cintalah yang menjadi sumber keindahan. Cinta di sini adalah cinta diserap secara maksimal,
Level keindahan Plato, seperti diurai Pak mFahruddin, dimulai dari yang fisik (tubuh, tampilan luar), selanjutnya adalah intersubjektif (mencintai tubuh yang lain), kemudian spiritual, dan terakhir keindahan yang tak terikat aspek jasmani. Keindahan yang non-jasmani ini terkait dengan ide, misalnya sifat seseorang yang toleran dengan sesama, dan lain sebagainya.
Sementara Aristoteles setia dengan konsep realismenya. Sebagaimana kita tahu, ia adalah anti-tesis dari gurunya Plato yang mengatakan realitas itu adalah “idea”. Dalam estetika ia mengatakan bahwa seni adalah mimesis (tiruan) dari alam, benda, dan manusia. Perlu digarisbawahi, tiruan di sini adalah penciptaan yang baru, bukan meniru yang sudah ada.
Filsuf lain yang tak bisa diabaikan dalam menerka estetika tentu saja Immanuel Kant. Filsuf asal Jerman ini mengurai estetika yang disebutnya momen. Momen di sini sifatnya hierarkis. Pak Fahruddin menjelaskan, momen pertama adalah dis-interestedness (tanpa campur tangan manusia). Sebagai contoh, laut yang dilihat dari puncak gunung terlihat indah, tanpa adanya intervensi dari manusia.
Momen kedua adalah keuniversalan. Di sini tidak ada standar dalam keindahan. Sifatnya sama bagi semua orang. Misalnya, jika si A mengatakan seseorang itu jelek, sehingga si B, atau si C juga mengatakan hal yang sama. Ia tidak dibatasi budaya, agama, dan sekat-sekat kelompok lainnya. Berikutnya adalah momen esensialitas. Keterjangkauan adalah kata kuncinya. Sejauh mana manusia bisa menangkap objek estetis. Jadi, manusia menyesuaikan dengan daya (jangkau/tangkap) yang dimilikinya. Enggan kata lain, menyesuaikan dengan kemampuan. Dan yang terakhir adalah momen kebertujuan (purpose). Sebuah karya harus jelas tujuan estetikanya. Pak Fahruddin mencontohkan dengan sebuah handpone/hape. Tujuan hape adalah sebagai alat komunikasi.
Terakhir estetika perspektif Socrates. Guru semua filsuf ini meneropong estetika secara berbeda. Parameter keindahan versi Socrates, demikian Pak Fahruddin, adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi keinginan terakhir (idealitas). Ukurannya tergantung pribadi yang menyerap. Contohnya, kata dosen bergelar doktor ini, adalah manisnya teh. Masing-masing orang punya idealitas sendiri dari manisnya secangkir teh. Jadi, ukuran manisnya sudah ada dalam pribadi masing-masing orang.
Lihat pula
Rujukan
Daftar pustaka
Buku
- Adib, Mohammad (2014). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8479-93-6.
- Darwin (2015). Filsafat dan Cinta yang Menggebu. Yogyakarta: The Phinisi Press. ISBN 978-602-7250-62-8.
- Davies, Paul (2012). Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9483-87-4.
- Fromm, Erich (2011). Manusia Menjadi Tuhan: Pergumulan Tuhan Sejarah dan Tuhan Alam. Yogyakarta: Jalasutra. ISBN 978-602-8252-70-6.
- Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-0265-30-8.
- Pals, Daniel L. (2011). Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: Ircisod. ISBN 978-602-9789-08-9.
- Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7.