Lompat ke isi

Diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Cun Cun (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh Visnu92 (bicara) ke revisi terakhir oleh InternetArchiveBot
Tag: Pengembalian
Jonoo27 (bicara | kontrib)
Baris 8: Baris 8:


Tionghoa-Indonesia telah menjadi "tipikal [[kambing hitam]]" dalam situasi di mana ketidakpuasan yang meluas dan kerusuhan sosial menjadi kekerasan. Pengkambinghitaman telah menjadi lebih jelas selama periode sejak Indonesia merdeka.{{sfn|Tan|2008|p=239}}
Tionghoa-Indonesia telah menjadi "tipikal [[kambing hitam]]" dalam situasi di mana ketidakpuasan yang meluas dan kerusuhan sosial menjadi kekerasan. Pengkambinghitaman telah menjadi lebih jelas selama periode sejak Indonesia merdeka.{{sfn|Tan|2008|p=239}}

=== Language ===

Terms considered disparaging against Chinese Indonesians have entered common [[Indonesian language|Indonesian]] usage, at both the regional and national levels. The term ''Cina'', the use of which was mandated in 1967 instead of the then-commonly used ''Tionghoa'', was perceived as having similar negative connotations to ''Inlander'' for Native Indonesians.{{sfn|Setiono|2008|pp=986–987}} The term ''Tionghoa'' began to be used again after the beginning of Reformation, but by then ''Cina'' was not considered negative by the younger generation of Chinese Indonesians.{{sfn|Tan|2008|p=2}}

In different regions different terms have come into use that reflect common stereotypes. The following examples are from [[Surakarta]].{{sfn|Kinasih|2007|p=111}}

{| class="wikitable"
|-
! Original
! Translation
! Meaning
|-
| ''Porsi Cina''
| ''Chinese portion''
| The largest portion of food
|-
| ''Mambu Cina''
| ''Smelling of the Chinese''
| Newly purchased items
|-
| ''Tangisan Cina''
| ''Chinese tears''
| Mourning cry
|}


== Efek ==
== Efek ==

Revisi per 27 Juni 2024 16.23

Diskriminasi dan kekerasan terhadap orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia telah dicatat setidaknya sejak tahun 1740, ketika Pemerintah Kolonial Belanda membunuh sampai dengan 10.000 orang keturunan Tionghoa selama peristiwa Geger Pacinan. Sejak saat itu, diskriminasi dan kekerasan telah dicatat baik oleh pemerintah asing maupun Indonesia. Kejadian terburuk terjadi pada tahun 1998, ketika ratusan orang Tionghoa tewas dan puluhan lainnya diperkosa selama kerusuhan Mei 1998.

Diskriminasi dapat mengambil bentuk kekerasan, diksi atau penggunaan bahasa, dan undang-undang yang sangat membatasi. Karena diskriminasi ini, Tionghoa-Indonesia telah mengalami krisis identitas, tidak dapat diterima oleh Tiongkok dan penduduk Indonesia asli.

Bentuk

Kekerasan

Kekerasan terhadap Tionghoa-Indonesia umumnya terbatas pada properti, termasuk pabrik dan toko-toko.[1] Namun, pembunuhan dan penyerangan terjadi, termasuk di Batavia pada 1740, Tangerang pada 1946, selama periode setelah Gerakan 30 September, dan selama kerusuhan Mei 1998.[2]

Tionghoa-Indonesia telah menjadi "tipikal kambing hitam" dalam situasi di mana ketidakpuasan yang meluas dan kerusuhan sosial menjadi kekerasan. Pengkambinghitaman telah menjadi lebih jelas selama periode sejak Indonesia merdeka.[3]

Language

Terms considered disparaging against Chinese Indonesians have entered common Indonesian usage, at both the regional and national levels. The term Cina, the use of which was mandated in 1967 instead of the then-commonly used Tionghoa, was perceived as having similar negative connotations to Inlander for Native Indonesians.[4] The term Tionghoa began to be used again after the beginning of Reformation, but by then Cina was not considered negative by the younger generation of Chinese Indonesians.[5]

In different regions different terms have come into use that reflect common stereotypes. The following examples are from Surakarta.[6]

Original Translation Meaning
Porsi Cina Chinese portion The largest portion of food
Mambu Cina Smelling of the Chinese Newly purchased items
Tangisan Cina Chinese tears Mourning cry

Efek

Selama Orde Lama dan Orde Baru, Tionghoa-Indonesia pada umumnya memenuhi pembatasan hukum sebaik yang mereka bisa. Namun, kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perubahan dalam sikap, termasuk kegiatan politik yang lebih besar dan ketegasan.[7] Selain itu, diskriminasi menyebabkan krisis identitas etnis, dengan Tionghoa-Indonesia yang memiliki ikatan yang kuat dengan Tiongkok merasa tidak diterima oleh rakyat Indonesia, dan mereka dengan ikatan yang kuat Indonesia menginginkan persamaan hak.[8]

Lihat pula

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Tan 2008, hlm. 241.
  2. ^ Tan 2008, hlm. 239–248.
  3. ^ Tan 2008, hlm. 239.
  4. ^ Setiono 2008, hlm. 986–987.
  5. ^ Tan 2008, hlm. 2.
  6. ^ Kinasih 2007, hlm. 111.
  7. ^ Tan 2008, hlm. 218.
  8. ^ Tan 2008, hlm. 29.

Bibliografi

Sumber daring

  • "Ethnic Chinese tell of mass rapes". BBC. 23 June 1998. Diakses tanggal 15 May 2009. 
  • Daihani, Dadan Umar; Purnomo, Agus Budi (2001). "The May 1998 Riot in Jakarta, Indonesia, Analyzed with GIS". Diakses tanggal 15 May 2009. 
  • "Kota Solo Penuh Asap". Kompas (dalam bahasa Indonesian). Jakarta. 15 May 1998. hlm. 11. 
  • "Amuk Massa Landa Boyolali". Kompas (dalam bahasa Indonesian). Jakarta. 16 May 1998. hlm. 7. 
  • Wijayanta, Hanibal W.Y. (1 June 1998). "Percik Bara Seantero Nusantara" (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Forum Keadilan: 18–22.