Lompat ke isi

Wali Sanga: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 136: Baris 136:


===Syekh Quro===
===Syekh Quro===
Selain keluarga Syekh Maulana Akbar Gujarat, ada lagi [[Syekh Quro]], muballigh asal [[Mekah]] bernama asli Hasanuddin yang bermarkas di Karawang makamnya ada di [[Pulo Bata]], Rawamerta (arah utara dari kota [[Karawang]]). Syekh Quro ini kemudian menjadi sangat terkenal karena menjadi Guru bagi Nyai Subang Larang di masa gadisnya. [[Nyai Subang Larang]] yang terkenal karena kehalusan budi dan kecantikannya kemudian dinikahi [[Prabu Siliwangi|Raden Manahrasa]] dari dinasti Siliwangi, yang kemudian hari setelah menjadi Raja mendapat gelar [[Sri Baduga Maharaja]].
Selain keluarga Syekh Maulana Akbar Gujarat, ada lagi [[Syekh Quro]], muballigh asal [[Mekah]] bernama asli Hasanuddin yang bermarkas di Karawang makamnya ada di [[Pulo Bata]], pulokalapa (arah utara dari kota [[Karawang]]). Syekh Quro ini kemudian menjadi sangat terkenal karena menjadi Guru bagi Nyai Subang Larang di masa gadisnya. [[Nyai Subang Larang]] yang terkenal karena kehalusan budi dan kecantikannya kemudian dinikahi [[Prabu Siliwangi|Raden Manahrasa]] dari dinasti Siliwangi, yang kemudian hari setelah menjadi Raja mendapat gelar [[Sri Baduga Maharaja]].


===Syekh Datuk Kahfi===
===Syekh Datuk Kahfi===

Revisi per 16 Januari 2007 21.05

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Arti Walisongo

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, niaga, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Nama-nama Walisongo

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.


Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim terkadang juga disebut sebagai Syekh Maghribi atau Sunan Gresik. Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarqandy diperkirakan lahir di Samarkand, di Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy, berubah menjadi Asmarakandi. Sebagian rakyat malah ada yang menyebutnya dengan panggilan Kakek Bantal.

Maulana Malik Ibrahim diperkirakan bersaudara dengan Maulana Ishaq, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ada yang berpendapat bahwa Maulana Ibrahim dan Maulana Ishaq adalah anak dari seorang ulama, bernama Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Sayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.

Maulana Malik Ibrahim bermukim di Champa selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja Champa, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Setelah merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya di Jawa disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Diceritakan bahwa sebagai Kakek Bantal, Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, yaitu kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Maulana malik Ibrahim adalah waliyullah pertama yang membawakan Islam ditanah jawa. Ia adalah seorang yang sangat cerdas, dekat dengan masyarakat serta mampu membawakan Islam lewat resonansi budaya setempat. Ia mampu menampilkan Islam sebagai sosok ajaran yang sangat mudah dipahami dan diamalkan masyarakat, yang saat itu sangat mengagungkan peradaban Hindu-Budha.

Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat adalah putra Maulana Malik Ibrahim, Muballigh yang bertugas dakwah di Champa, dengan ibu putri Champa. Jadi, terdapat kemungkinan Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dari ayahnya dan Champa dari ibunya.

Sunan Bonang dan Sunan Drajat

Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Mereka adalah putra-putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung, putra Raden Usman Haji yang belum dapat diketahui dengan jelas silsilahnya. Sunan Kudus adalah buah pernikahan Sunan Ngudung yang menikah dengan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.

Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Di titik ini (Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat) bertemulah garis nasab Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati.

Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang.

Tokoh Pendahulu Walisongo

Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro alias Jamaludin Akbar Khan dikatakan berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah. Ada versi yang meyakini beliau sebagai keturunan ke-10 dari Sayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Makamnya ada di beberapa tempat, yaitu di Semarang, Trowulan, dan di desa Turgo (dekat Pelawangan), Jogjakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul kuburannya. Perlu di nyatakan bahawa tempat wujudnya atau berdirinya seorang wali atau tokoh juga di panggil makam, seperti Makam Nabi Ibrahim di Masjidil Haram. Replika makam yang asli juga terkadang di bangun.

Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudra Pasai.

Sebagian masyarakat berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro adalah ayah dari Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq, yang menjadi ulama ternama di Indonesia. Maulana Malik Ibrahim mengislamkan Kerajaan Champa, dan adiknya, Maulana Ishaq, mengislamkan Samudra Pasai. Bila demikian, beberapa Walisongo, yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya, dan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah buyutnya. Maka bisa dikatakan bahwa para Walisongo dapat saja merupakan keturunan etnis Uzbek, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.

Bukti yang kuat bagaimanapun dari Sayyid `Alwî b. Tâhir Al-Haddad, mantan Mufti Johor (Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh, Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957) mengatakan mereka dari keturunan ayah adalah etnis Hadramaut yang telah berhijrah ke India. Yang pertama-tama ke India adalah cucu Sayyid Muhammad Sohib Mirbath iaitu Sayyid Abdul Malik Al-Muhajir bin Alawi BaAlawi Al-Husaini yang telah berhijrah ke Nasrabad, India dan ahli keluarganya kemudian terkenal dengan kabilah Azamat Khan.

Beliau menamakan puteranya Abdullah Khan yang kemudiannya menjadi leluhur para wali-wali tersebut.

Silsilah

Silsilah mereka banyak tersebar di masjid-masjid tua di Indonesia, antaranya Masjid Agung Demak, dan ia menunjukkan Syekh Jumadil Qubro sebagai generasi ke 18 dari Imam Hussain. Menempatkan beliau sebagai generasi ke 10 dari Imam Hussain, bagaimanapun, akan memposisikan beliau pada era Sayyid Muhammad Sohibus Saumiah bin Alawi Awwal yang lahir pada tahun 390H (969 M) dan wafat tahun 446H (1025M). Dan daftar-daftar keturunan Imam Hussain pada era tersebut adalah antara yang paling akurat dan terpercaya.


.Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin

.Ahmad Jalaludin Khan bin

.Abdullah Khan bin

.Abdul Malik Al-Muhajir (India) bin

.Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin

.Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)

.Ali Kholi' Qosam bin

.Alawi Ats-Tsani bin

.Muhammad Sohibus Saumi'ah bin

.Alawi Awwal bin

.Ubaidullah bin

.Ahmad al-Muhajir bin

.Isa Ar-Rumi bin

.Muhammad An-Naqib bin

.Ali Uradhi bin

.Ja'afar As-Sodiq bin

.Muhammad Al Baqir bin

.Ali Zainal 'Abidin bin

.Imam Hussain

Pada posisi generasi ke 18 dari Imam Hussain, maka keberadaan mereka di Indonesia dan rantau ini pada abad ke 14 dan 15 adalah lebih aktual dan persis.

Silsilah ini juga mengatakan bahawa Maulana Ishak adalah PUTERA Maulana Ibrahim, bukan saudara sekandung seayah. Bermakna Maulana Ishak adalah CUCU Syaikh Jumadil Kubro @ Syaikh Jamaludin Akbar tersebut.

Sila rujuk penulisan sejarah keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah, oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran dan 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur.

Syekh Maulana Akbar

Pada dasarnya ada beberapa tokoh di abad 14-15 yang dianggap pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa, yang diantaranya adalah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat yang lebih sering disebut Syekh Maulana Akbar oleh kaum Sufi di tanah air. Syekh Jamaluddin Akbar besar kemungkinan adalah tokoh yang juga di panggil Syekh Jumadil Qubro seperti yang disebut di atas. Nama Jumadil Qubro (Kubro) adalah korupsi Jamaludin Akbar seperti yang di katakan oleh Martin van Bruinessen ("Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150 (1994), 305-329.)

Dari beliaulah tampaknya sebagian besar Walisongo berasal seperti yang telah disebut diatas.

Di dalam Muqqadimah kitab Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan), penulis asal Bandung Muhammad Al-Baqir telah memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para muballigh Arab ke Asia Tenggara walaupun berisi banyak catatan sejarah yang menguatkan Walisongo dan Mubaligh masa awal lainnya keturunan Hadramawt, tapi satu kesimpulan bahwa Syekh Mawlana Akbar sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar adalah satu hal yang belum dapat dikonfirmasi sumber sejarah lain. Sementara riwayat turun-temurun kaum Sufi di Jawa Barat menyebutkan Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, satu klaim yang juga belum bisa diperkuat sumber sejarah lain.

Yang bisa dipastikan adalah tiga orang putra beliau meneruskan dakwah di Asia Tenggara hingga Nusantara yaitu Ibrahim Akbar (ayahanda Sunan Ampel) bermarkas di Champa, Ali Nuralam Akbar (kakek Sunan Gunung Jati) bermarkas di Pasai dan Zainal Alam Barakat. Silsilah Syekh Maulana Akbar Gujarat yang bernama asli Jamaluddin Akbar ini adalah putra Ahmad Jalal Syah, putra Abdullah Khan, putra Abdul Malik, putra Alwi, putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, seorang ulama besar Hadramaut, Yaman, di abad 12 M.

Syekh Muhammad Shahib Mirbath adalah putra Ali, putra Alwi, putra Muhammad, putra Alwi, putra Ubaidillah, putra Ahmad Al Muhajir, putra Isa Al Rumi, putra Muhammad An Naqib, putra Ali Uraidhi, putra Imam Jafar Shadiq, putra Imam Muhammad Al Baqir, putra Imam Ali Zainal Abidin, putra Sayyidina Husain, putra Sayyidina Ali Karromallohu Wajhah, dari pernikahan dengan Sayyidah Fatimah Az Zahra putri kesayangan Nabi Muhammad SAW.

Syekh Quro

Selain keluarga Syekh Maulana Akbar Gujarat, ada lagi Syekh Quro, muballigh asal Mekah bernama asli Hasanuddin yang bermarkas di Karawang makamnya ada di Pulo Bata, pulokalapa (arah utara dari kota Karawang). Syekh Quro ini kemudian menjadi sangat terkenal karena menjadi Guru bagi Nyai Subang Larang di masa gadisnya. Nyai Subang Larang yang terkenal karena kehalusan budi dan kecantikannya kemudian dinikahi Raden Manahrasa dari dinasti Siliwangi, yang kemudian hari setelah menjadi Raja mendapat gelar Sri Baduga Maharaja.

Syekh Datuk Kahfi

Kemudian datanglah Syekh Datuk Kahfi, muballigh asal Baghdad memilih markas di Pelabuhan Muara Jati (kota Cirebon sekarang). Beliau bernama asli Idhafi Mahdi. Makam beliau ada di Gunung Jati satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati. Majelis pengajian beliau menjadi sangat terkenal karena didatangi Nyai Rara Santang dan Kiyan Santang (Pangeran Cakrabuwana) yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahan dengan Raja Pajajaran dari dinasti Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu (dipertemukan) dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Syekh Khaliqul Idrus

Setelah kedatangan Syekh Datuk Kahfi, di Jepara mendaratlah seorang muballigh Parsi yang riwayat turun temurun bagi orang Sunda dan Jawa dipanggil Syekh Khaliqul Idrus. Menurut suatu penelitian, beliau diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq dengan laqob Al-Idrus putra Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi. Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang dikemudian hari menjadi menantu Raden Patah, dengan gelar Adipati Bin Yunus yang masyarakat lebih mudah memnggil dengan Pati Unus yang setelah gugur di Malaka 1521, dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.

Silsilah Syekh Khaliqul Idrus yang bernama asli Abdul Khaliq Al-Idrus, adalah putra Muhammad Al Alsiy, putra Abdul Muhyi Al Khoyri, putra Muhammad Akbar Al Ansari, putra Abdul Wahhab, putra Yusuf Al Mukhrowi, putra Muhammad Al Faqih Al Muqaddam, seorang ulama sangat terkenal di abad 13 di Hadramaut, Yaman, yang merupakan putra dari Ali, putra Muhammad Shahib Mirbath.

Di titik Muhammad Shahib Mirbath bertemulah silsilah Syekh Maulana Akbar Gujarat (yang merupakan kakek-buyut bagi sebagian besar Walisongo dan cikal bakal Keraton Cirebon dan Keraton Banten dan leluhur bagi para kyai pesantren di seluruh pesisir Pulau Jawa), dengan silsilah Syekh Khaliqul Idrus (kakek buyut Pangeran Sabrang Lor dan cikal bakal beberapa dinasti di Jawa Barat seperti dinasti Muhammad Wangsa (Bogor), dinasti Kusumahdinata (Sumedang) dan dinasti Wiradadaha (Tasikmalaya)).

Lihat pula: Pangeran Sabrang Lor

Bukti-bukti dan analisa sejarah yang memperkuat pendapat Walisongo keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif). Beberapa buktinya (no 1 dan 2) adalah sebagian dari yang telah dikumpulkan oleh penulis Muhammad Al Baqir dalam Thariqah Menuju Kebahagiaan:

  1. L.W.C Van Den Berg dalam bukunya Le Hadramawt et Les Colonies Arabes dans l’Archipel Indien (1886) mengatakan:”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar diantara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramawt (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (yakni kaum Sayyid Syarif Hadramaut) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
  2. Dalam buku yang sama hal 192-204, Van Den Berg menulis:”Pada abad XV, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab mengikuti jejak nenek moyangnya." Perhatikanlah tulisan Van Den Berg ini yang spesifik menyebut abad XV, yang merupakan abad spesifik kedatangan dan / atau kelahiran sebagian besar Wali Songo di pulau Jawa. Abad XV ini jauh lebih awal dari abad XVIII yang merupakan kedatangan kaum Hadramawt gelombang berikutnya yaitu mereka yang sekarang kita kenal bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga hadramawt lainnya.
  3. Hingga saat ini Umat Islam di Hadramawt bermadzhab Syafi’ie sama seperti mayoritas di Ceylon, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Sedangkan Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, kemudian Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) mayoritasnya bermadzhab Hanafi.
  4. Bahasa para pedagang Muslim yang datang ke Asia Tenggara (utamanya Malaka dan Nusantara) dinamakan bahasa Malay (Melayu) karena para pedagang dan Mubaligh yang datang di abad 14-15 sebagian besar datang dari pesisir India Barat yaitu Gujarat dan Malabar, yang mana orang-orang Malabar (sekarang termasuk neg. bagian Kerala) mempunyai bahasa Malayalam, walaupun asal-usul mereka adalah keturunan dari Hadramawt mengingat kesamaan madzhab Syafi’ie yang sangat spesifik dengan pengamalan tasawuf dan penghormatan kepada Ahlul Bait. Satu kitab fiqh mazhab Syafi’ie yang sangat popular di Indonesia Fathul Muin pengarangnya bahkan Zainuddin Al Malabary (berasal dari tanah Malabar), satu kitab fiqh yang sangat unik karena juga memasukkan pendapat kaum Sufi, bukan hanya pendapat kaum Fuqaha.
  5. Satu bukti yang sangat akurat adalah kesamaan Madzhab Syafi'ie dengan corak tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait yang sangat kental seperti kewajiban mengadakan Mawlid, membaca Diba & Barzanji, membaca beragam Sholawat Nabi, membaca doa Nur Nubuwwah (yang juga berisi doa keutamaan tentang cucu Rasul, Hasan dan Husayn) dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramawt, Mesir, Gujarat, Malabar, Ceylon, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Pengecualian mungkin hanya terhadap kaum Kurdistan di segitiga perbatasan Iraq, Turki dan Iran, yang mana mereka juga bermadzhab Syafi’ie dengan corak Tasawuf yang sangat kuat dan mengutamakan ahlul bait (Kitab Mawlid Barzanji dan Manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani adalah karya Ulama mereka Syekh Ja’far Barzanji) tapi tinggal di daerah pedalaman dan pegunungan, bukan pesisir seperti lainnya. Analisis sejarah diatas menandakan agama Islam dari madzhab dan corak ini sebagian besarnya disebarkan melalui jalur pelayaran dan perdagangan dan berasal dari satu sumber yaitu Hadramawt, karena Hadramawt adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'ie dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan ahlul bait.
  6. Di abad 15 Raja-raja Jawa (yang berkerabat dengan Walisongo) seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar, yang mana di abad 14 di Gujarat sudah dikenal keluarga besar Jamaluddin Akbar cucu keluarga besar Datuk Azhimat Khan (Abdullah Khan) putra Abdul Malik putra Alwi putra Muhammad Shahib Mirbath Ulama besar Hadramawt Abad 13M. Keluarga besar ini sudah sangat terkenal sebagai Mubaligh Musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Sumber tertulis tentang Walisongo

Ada beberapa sumber tertulis tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Giri II atau Sunan Dalem yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.

Juga dari tulisan mantan Mufti Johor (meninggal tahun 1962),Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh. Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957) yang beliau tukil antaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut

Mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik, sila lihat penulisan sejarah keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah, oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran dan 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur.

Lihat pula