Lompat ke isi

Airlangga: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 65: Baris 65:
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut ''[[Serat Calon Arang]]'' ia kemudian bergelar '''Resi Erlangga Jatiningrat''', sedangkan menurut ''[[Babad Tanah Jawi]]'' ia bergelar '''Resi Gentayu'''. Namun yang paling dapat dipercaya adalah [[prasasti Gandhakuti]] (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah '''Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana'''.
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut ''[[Serat Calon Arang]]'' ia kemudian bergelar '''Resi Erlangga Jatiningrat''', sedangkan menurut ''[[Babad Tanah Jawi]]'' ia bergelar '''Resi Gentayu'''. Namun yang paling dapat dipercaya adalah [[prasasti Gandhakuti]] (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah '''Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana'''.


Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga mengundurkan diri menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama [[Dewi Kili Suci]]. Nama asli putri tersebut dalam [[Prasasti Cane]] (1021) sampai [[Prasasti Turun Hyang]] (1035) adalah [[Sanggramawijaya Tunggadewi]]. Menurut ''[[Serat Calon Arang]]'', Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja [[Bali]], maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama [[Mpu Bharada]] berangkat ke [[Bali]] mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan [[Udayana]] digantikan putra keduanya yang bernama [[Marakata]]{{fact}} sebagai raja [[Bali]], dan [[Marakata]] kemudian digantikan adik yang lain yaitu [[Anak Wungsu]].
Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga mengundurkan diri menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama [[Dewi Kili Suci]]. Nama asli putri tersebut dalam [[Prasasti Cane]] (1021) sampai [[Prasasti Turun Hyang]] (1035) adalah [[Sanggramawijaya Tunggadewi]]. Menurut ''[[Serat Calon Arang]]'', Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja [[Bali]], maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama [[Mpu Bharada]] berangkat ke [[Bali]] mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan [[Udayana]] digantikan putra keduanya yang bernama [[Marakata Pangkaja]] sebagai raja [[Bali]], dan '''Marakata'''kemudian digantikan adik yang lain yaitu [[Anak Wungsu]].


Pada tahun 1042, Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. [[Mpu Bharada]] ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam ''[[Serat Calon Arang]]'', ''[[Nagarakretagama]]'', dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut [[Kadiri]] berpusat di kota baru, yaitu [[Daha]], diperintah oleh [[Sri Samarawijaya]]. Sedangkan kerajaan timur disebut [[Janggala]] berpusat di kota lama, yaitu [[Kahuripan]], diperintah oleh [[Mapanji Garasakan]].
Pada tahun 1042, Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. [[Mpu Bharada]] ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam ''[[Serat Calon Arang]]'', ''[[Nagarakretagama]]'', dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut [[Kadiri]] berpusat di kota baru, yaitu [[Daha]], diperintah oleh [[Sri Samarawijaya]]. Sedangkan kerajaan timur disebut [[Janggala]] berpusat di kota lama, yaitu [[Kahuripan]], diperintah oleh [[Mapanji Garasakan]].

Revisi per 10 April 2022 01.39

Airlangga (Bali, 990 - Candi Belahan, 1049) atau sering ditulis dengan Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur, yang memerintah tahun 1009-1042 dengan nama gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk menggubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam medan peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibagi menjadi dua Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala untuk kedua putranya. Nama Airlangga hingga saat ini masih dikenang dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.

Airlangga
Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa
Arca perwujudan Airlangga sebagai Dewa Wisnu mengendarai Garuda. Koleksi Museum Trowulan, Jawa Timur.
Raja Kerajaan Kahuripan
Berkuasa1009 - 1042
Informasi pribadi
Kelahiran990
Bali
Kematian1049
Candi Belahan
Pemakaman
WangsaWangsa Isyana
AyahUdayana
IbuMahendradatta
Anak
AgamaHindu

Asal usul

Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 1000. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Masa pelarian

Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Wwatan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora), yang merupakan sekutu dari Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.[1]

Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (Vanagiri) Wonogiri ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.[2] Nama ini masih dipakai sebagai nama suatu desa (Desa Wotan Mas Jedong) di Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.

Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja dari Colamandala Kerajaan Chola India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa dalam mempersiapkan diri untuk menaklukkan tanah Jawa.

Masa perluasan wilayah kekuasaan

Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Usaha ini penuh dengan perjuangan berat dan tidak selalu berjalan dengan mulus peperangan demi peperangan dilaluinya.

Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin dari selatan Wengker (sekarang daerah sungai Ngasinan, Kelurahan Kelutan, Trenggalek). Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, selanjutnya Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.

Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung Ratu Lodoyong berhasil mengalahkan kekuatan pasukan Airlangga, bahkan menghancurkan istana Watan Mas. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan, Sambeng, Lamongan ditemani Mapanji Tumanggala. Peristiwa ini diceritakan dalam prasasti Terep (1032), Dari sini, ia menyusun kekuatan kembali sambil mendirikan istana baru di Kahuripan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).

Raja wanita yang merusak istana Watan Mas pada akhirnya dapat dikalahkannya pada tahun 1032 itu juga, Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam wangsa Isyana. Terakhir, tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma, raja daerah Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Masa pembangunan

Kerajaan dengan pusatnya di Kahuripan ini wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka (wisuda) Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.

  • Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
  • Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
  • Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
  • Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
  • Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
  • Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.

Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.

Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan raja Wurawari.

Pembagian kerajaan

Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga mengundurkan diri menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam Prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata Pangkaja sebagai raja Bali, dan Marakatakemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.

Pada tahun 1042, Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.

Dalam Prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembagian kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.

Akhir hayat

Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Kahuripan, Daha, atau Panjalu

Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Silsilah

Pemakaian nama Airlangga

Nama Airlangga pada masa sekarang diabadikan menjadi beberapa nama, antara lain:

  1. Nama sebuah kelurahan di Surabaya.
  2. Di Surabaya juga terdapat Universitas Airlangga, sebuah perguruan tinggi negeri tertua dan ternama di Indonesia.
  3. Di Kota Kediri terdapat Museum Airlangga.
  4. Di Jakarta terdapat Penerbit Erlangga.
  5. Sebuah layanan kereta api penumpang yang dioperasikan oleh Kereta Api Indonesia untuk rute Surabaya-Jakarta.
  6. Selain itu beberapa kota juga menggunakannya sebagai nama jalan.

Kepustakaan

  • Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Referensi

  1. ^ de Casparis, J.G., Airlangga, The Threshold of the Second Millennium, IIAS Newsletter Online, No. 18. Diakses 8 Juli 2008 (alamat baru diakses 3 Des 2013).
  2. ^ Nama kota ini tercatat dalam prasasti Cane (1021).
Didahului oleh:
Dharmawangsa Teguh
Raja Kahuripan
1009-1042
Diteruskan oleh:
Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan

Pranala luar