Gunung Penanggungan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gunung Penanggungan
Gunung Penanggungan
Titik tertinggi
Ketinggian1 653 m (5 423 kaki)
Koordinat7°36′54″S 112°37′12″E / 7.615°S 112.62°E / -7.615; 112.62
Geografi
LetakKabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia
Geologi
Jenis gunungStratovolcano

Gunung Penanggungan (nama kuno: Gunung Pawitra) (1.653 m dpl) adalah gunung berapi kerucut dalam kondisi istirahat yang berada di Jawa Timur, Indonesia. Posisinya berada di perbatasan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Mojokerto (sisi barat) dan Kabupaten Pasuruan (sisi timur) dan berjarak kurang lebih 55 km sebelah selatan kota Surabaya.

Gunung Penanggungan merupakan gunung kecil yang berada pada satu kluster dengan Gunung Arjuno dan Gunung Welirang yang jauh lebih besar. Meskipun kecil, gunung ini memiliki keunikan dari sisi kesejarahan, karena di sekujur permukaannya, mulai dari kaki sampai mendekati puncak, dipenuhi banyak situs kepurbakalaan yang dibangun pada periode Hindu-Buddha dalam sejarah Indonesia.

Gunung Penanggungan dipandang sebagai gunung keramat, suci, dan merupakan jelmaan Mahameru, gunungnya para dewa. Hal tersebut juga terkait dengan tata letak Gunung Penanggungan yang unik. Dalam kitab Tantu Panggelaran Saka 1557 atau 1635 M, konon dinyatakan bahwa para dewa sepakat untuk menyetujui bahwa manusia dapat berkembang di Pulau Jawa, namun pulau itu tidak stabil, selalu berguncang diterpa ombak lautan. Lalu untuk menstabilkan kondisi Pulau Jawa, para dewa memindahkan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Dalam perjalanan kepindahan tersebut, sebagian Mahameru ada yang rontok berjatuhan, maka menjelmalah gunung-gemunung yang ada di Pulau Jawa dari barat ke timur. Bagian terbesarnya jatuh menjelma menjadi Gunung Semeru, sedang puncak Mahameru dihempaskan oleh para dewa menjadi Pawitra yang sekarang disebut Gunung Penanggungan. Oleh karena itu, Pawitra menjadi gunung yang keramat dalam pemikiran Jawa masa Hindu-Buddha, karena puncak Mahameru yang dipindahkan ke Jawa.[1]

Nama kuno[sunting | sunting sumber]

Sebelum dikenal sebagai Gunung Penanggungan, gunung tersebut dikenal sebagai Gunung Pawitra.[2] Nama “Pawitra” sudah dikenal sejak abad ke-10 Masehi.[3] Arti kata “pawitra” dalam bahasa Jawa kuno adalah keramat, suci, kesucian, atau sari.[4] Nama itu tertulis pada Prasasti Cunggrang yang ditemukan di Desa Sukci, Gempol, Pasuruan, di kaki gunung sebelah timur Penanggungan. Prasasti Cunggrang dikeluarkan oleh raja Mataram Kuno, Mpu Sindok, pada sekitar tahun 929 Masehi. Prasasti itu menyebut keberadaan sebuah pertapaan dan sumber air di Pawitra. Sumber air yang dimaksud mungkin adalah petirtaan (pemandian) Belahan saat ini, sekitar 4 kilometer dari Desa Sukci.[3]

Nama “Pawitra” juga disebutkan dalam Nagarakretagama karya Mpu Prapanca yang selesai ditulis pada 1365 Masehi. Kitab tersebut menyebutkan bahwa di Gunung Pawitra terdapat pemandian dan pertapaan air. Lebih lanjut, diceritakan bahwa penduduk desa setempat menyambut kedatangan raja Majapahit, Hayam Wuruk, ketika ia mengunjungi pertapaan tersebut.[3]

Sebuah naskah yang ditulis pada abad ke-15 dari masa kerajaan Sunda menyebutkan pula soal Gunung Pawitra. Naskah kuno tersebut mengisahkan seorang pangeran dari kerajaan Pakuan bernama Bujangga Manik. Ia meninggalkan keluarganya untuk menuntut ilmu di Jawa. Dalam perjalanannya ke arah timur, ia melewati kota Majapahit, mendaki Gunung Pawitra, dan berkunjung ke Gunung Gajahmungkur yang suci. Nama Gajahmungkur ini diduga merujuk pada salah satu dari delapan bukit yang mengelilingi Gunung Penanggungan, yaitu Bukit Gajahmungkur.[3]

Geologi dan morfologi[sunting | sunting sumber]

Gunung Penanggungan sering dianggap sebagai miniatur dari Gunung Semeru, karena hamparan puncaknya yang sama-sama terdapat pasir dan batuan yang luas.

Puncak Penanggungan (1.653 mdpl) berupa kerucut piroklastik dilengkapi dengan kubah lava. Empat puncak lain di bawahnya diwakili oleh bukit-bukit yang mengelilingi Gunung Penanggungan, yaitu :

- Puncak Gajahmungkur (1.087 mdpl)

- Puncak Bekel (1.238 mdpl)

- Puncak Kemuncup (1.227 mdpl)

- Puncak Sarahklopo (1.275 mdpl).

Sementara sisanya, adalah empat puncak yang lebih rendah lagi dari bukit-bukit, yaitu :

- Puncak Semodo (719 mdpl)

- Puncak Wangi (987 mdpl)

- Puncak Bende (927 mdpl)

- Puncak Jambe (747 mdpl).[5]

Ditilik dari usia pembentukan, Gunung Penanggungan terbentuk dari aktivitas generasi ketiga di kompleks Arjuno-Welirang-Anjasmoro, satu periode pembentukan dengan Gunung Arjuno muda, Gunung Welirang, dan Gunung Kelud, diperkirakan pada kala Holosen.[6][7] Aliran lava (tua) dari kawah tepi mengalir ke seluruh sisi dan tumpukan sisa awan panas (aliran piroklastik) membentuk punggungan di sekitarnya. Kajian oleh tim van Bemmelen (1937) mendapati gunung api ini telah tidak aktif paling tidak selama 1000 tahun, dan erupsi terakhir diperkirakan terjadi sekitar 200 M.[8]

Kawasan sekitaran Gunung Penanggungan merupakan hunian yang tergolong padat, juga merupakan pusat industri manufaktur yang berkembang pesat. Dalam radius 5 km dari puncak, hampir 20 000 jiwa menghuni kawasan sekeliling gunung; tetapi dalam jarak 10 km terdapat lebih daripada 400 ribu jiwa yang menghuni kawasan sekeliling gunung.[8]

Arkeologi dan nilai budaya[sunting | sunting sumber]

Candi Kendalisodo.
Lihat pula: Cagar Budaya Gunung Penanggungan.

Dilihat dari sisi sejarah, gunung ini memiliki nilai yang penting karena di sekujur lerengnya dipenuhi oleh ratusan situs-situs arkeologi dan spiritual Indonesia dari era Hindu-Buddha. Lebih dari seratus bangunan atau sisa bangunan ditemukan, kebanyakan berada pada sisi barat sampai utara (Kecamatan Trawas, Mojokerto).[9]

Menurut mitos Jawa, sebagaimana tertulis dalam Kitab Tantu Panggelaran, Gunung Penanggungan (Pawitra) merupakan bagian puncak Gunung Mahameru yang tercecer ketika dipindahkan ke Jawadwipa (Pulau Jawa). Penanggungan merupakan salah satu dari sembilan gunung yang dianggap suci di Jawa. Kakawin Negarakertagama menyebutkan bahwa Gunung Pawitra merupakan satu dari tujuh gunung tempat para resi bertapa (gunung lainnya adalah Pucangan, Sampud, Rupit, Pilang, Jagadhita, dan Butun[10]). Tampaknya, referensi kesucian tersebut tidak terlepas dari morfologi kompleks gunung ini, berupa satu puncak tertinggi yang dikelilingi oleh delapan puncak yang posisinya sedikit banyak mengingatkan pada gambaran mandala dalam kosmologi Hindu-Budha.

Mulai dari kaki, menuju ke lereng, sampai mendekati puncak gunung ini (yang telah ditemukan saat ini berada di Gunung Penanggungan sendiri, Gunung Bekel, Gunung Gajahmungkur, Gunung Saraklopo, dan Gunung Kemuncup) ditemukan berbagai peninggalan purbakala, baik candi, ceruk pertapaan, objek tunggal, petirtaan, maupun jalan lintas dari periode Hindu-Buddha di Jawa Timur. Inventarisasi dan dokumentasi pertama kali dilakukan oleh tim Dinas Kepurbakalaan Hindia Belanda 1935 –1940, di bawah pimpinan W.F. Stutterheim dan A. Gall, setelah sebelumnya banyak laporan dari berbagai sumber sejak 1900, beberapa bahkan menyertakan foto dan menemukan prasasti angka tahun dari abad ke-15 M.[11] Tim mencatat 81 kepurbakalaan ("Kep.") yang diberi angka Romawi I–LXXXI. Hasil penelitian ini baru diterbitkan pada 1951, tetapi datanya tidak lengkap lagi.[12]

Berdasarkan studi selama dua tahun (2012-2014) ditemukan 116 situs percandian atau objek kepurbakalaan, mulai dari kaki sampai mendekati puncak gunung.[13] Eksplorasi oleh tim dari UTC/UPC Universitas Surabaya (Ubaya) hingga 2017 telah menginvetarisasi 198 situs/bangunan kepurbakalaan.[14] Beberapa struktur yang ditemukan adalah Gapura Jedong (926 Masehi), Petirtaan Jalatunda (abad ke-10), Petirtaan Belahan (l.k. 1009 M), Candi Kendalisodo (Kep. LXV), Candi Merak (Kep. LXVII), Candi Yudha, Candi Pandawa (Kep. VI), dan Candi Selokelir (pertama kali dilaporkan tahun 1900 oleh seorang kontrolir bernama Broekveldt[11]). Selain bangunan, ditemukan pula benda-benda pendukung upacara dan tempat pertapaan. Candi-candi di Gunung Penanggungan memiliki gaya yang unik, yaitu bangunannya menempel pada dinding gunung/lereng, tidak berdiri sendiri. Banyak di antaranya bergaya punden berundak, yang dianggap sebagai ciri khas asli gaya bangunan pemujaan di Nusantara. Terbukanya "jalur ziarah kuno" setelah kebakaran hebat pada tahun 2015 juga menegaskan bahwa gunung ini adalah tempat suci bagi masyarakat Jawa di paruh pertama milenium kedua era modern.[12]

Karena kekayaan peninggalan budaya ini, kawasan Gunung Penanggungan telah ditetapkan menjadi Cagar Budaya pada tahun 2015. Pemerintah Provinsi Jawa Timur menetapkan "Satuan Ruang Geografis Kawasan Penanggungan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Provinsi" melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur no. 188/18/Kpts/013/2015 tanggal 14 Januari 2015.[15][16]

Vegetasi[sunting | sunting sumber]

Vegetasi yang menutupnya merupakan kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung. Pada bagian kerucut teratas menuju puncak terdapat padang rerumputan (stepa pegunungan) yang didominasi gelagah dan alang-alang serta di sana-sini terdapat pohon kaliandra yang tampaknya sengaja ditanam sebagai tanaman penghijauan.

Rute pendakian[sunting | sunting sumber]

Selain sebagai kawasan sejarah dan ziarah, gunung berapi ini juga merupakan sasaran pendakian. Karena puncaknya yang relatif lebih rendah daripada gunung lain di sekitarnya, gunung ini cocok untuk dijadikan sarana "pemanasan" atau sekadar berlibur. Ada sejumlah jalur pendakian yang umum digunakan.

Jalur Wonosunyo, Betro, Gempol[sunting | sunting sumber]

Jalur Betro diawali dari Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Ini adalah jalur yang dimulai dari sisi timur laut Gunung Penanggungan. Dari jalur ini pendaki akan melewati Petirtaan Belahan (Candi Sumber Tetek).

Jalur Jolotundo, Trawas[sunting | sunting sumber]

Awal jalur ini adalah Petirtaan Jolotundo di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, yang berlokasi di sisi barat gunung. Jalur ini boleh dibilang "jalur sejarah" atau "jalur ziarah" karena banyak melewati objek-objek purbakala, seperti Candi Bayi, Candi Putri, Candi Pura, Candi Gentong, dan Candi Sinta. Ujung jalur ini adalah kawasan puncak sisi utara. Ada percabangan arah utara menuju Candi Naga I di dekat Candi Pura. Dari Jolotundo juga terdapat percabangan ke kiri menuju puncak Gunung Bekel, yang akan melewati Candi Kama II dan Candi Kendalisodo.

Jalur Kedungudi, Trawas[sunting | sunting sumber]

Awal pendakian dimulai dari Desa Kedungudi, Kecamatan Trawas. Beberapa candi yang dilewati/berdekatan dengan jalur ini adalah Candi Guru dan Candi Siwa. Jalur ini juga berhubungan dengan jalur Jalatunda dan akan melewati Candi Sinta, Candi Lurah, Candi Carik, dan Candi Naga II

Jalur Tamiajeng, Trawas[sunting | sunting sumber]

Jalur ini adalah jalur paling populer bagi pendaki, dimulai dari Desa Tamiajeng, Trawas, Kabupaten Mojokerto, yang merupakan sisi barat daya gunung. Jalur ini paling singkat, tetapi cukup terjal. Terdapat empat pos perhentian sebelum sampai lapangan puncak. Dari jalur ini akan melewati pelataran yang dikenal sebagai "Bukit Bayangan".

Jalur Ngoro, Balekambang[sunting | sunting sumber]

Jalur ini dimulai dari Kecamatan Ngoro, Mojokerto,[17] tepatnya Dusun Genting, Desa Wotanmas Jedong. Jalur ini adalah jalur terberat.

Galeri[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Dewan Kesenian Jawa Timur, Penanggungan: Warisan Leluhur yang Tersimpan, Surabaya: DKJT, 2018, 6.
  2. ^ Agustie, Teo; Winarno (2020). "Mitos Gunung Pawitra Sebagai Sumber Ide Penciptaan Karya Seni Lukis". Jurnal Seni Rupa. 8 (1): 2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 September 2022. Diakses tanggal 24 September 2022. 
  3. ^ a b c d Sofansyah 2021, hlm. 129.
  4. ^ Sofansyah 2021, hlm. 132.
  5. ^ "Menepis kabut Pawitra". Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-24. Diakses tanggal 24 September 2022. 
  6. ^ Carstenz. A. GEOMORFOLOGI KOMPLEKS VULKAN ARJUNO-WELIRANG JAWA TIMUR Diarsipkan 2019-04-12 di Wayback Machine.. Artikel pada blog Klinik Geografi Fisik. Diakses 2 Januari 2019.
  7. ^ Bahar. H. 2017. INTERPRETASI KONDISI GEOLOGI WILAYAH VULKANIKMENGGUNAKAN Analisis CITRASATELIT LANDSAT 8(Daerah Studi: Gunung Penanggungan, Jawa Timur Diarsipkan 2019-04-12 di Wayback Machine.. Jurnal IPTEK Vol.21 No.2: 43-50.
  8. ^ a b Global Volcanism Program. Penanggungan Diarsipkan 2023-06-17 di Wayback Machine..
  9. ^ Bachtiar JA, Jaelani LM. 2017. Visualisasi Peta Cagar Budaya menggunakan Geoportal Palapa pada Kawasan Situs Trowulan dan Gunung Penanggungan JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2: 2337-3520.
  10. ^ Risa Herdahita Putri. Tempat Menyepi dan Belajar Agama Diarsipkan 2022-12-01 di Wayback Machine.. Majalah Historia daring. Edisi 7 Juni 2018, 19:16. Diakses 2 Januari 2019.
  11. ^ a b Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1974. Laporan Hasil Survai Kepurbakalaan di Gunung Penanggungan (Jawa Timur). Berita Penelitian Arkeologi no. 1. Hal. 1-21.
  12. ^ a b Chairul Akhmad. WAC 2017: Jejak Arkeologis Gunung Penanggungan[pranala nonaktif permanen]. U-Zone Travel. Edisi 04 Mei 2017. Diakses 2 Januari 2019.
  13. ^ Utomo, YW. Ditemukan 116 Situs di Gunung Penanggungan. Diarsipkan 2022-12-02 di Wayback Machine.. Kompas Daring. Edisi Kamis, 16 Januari 2014. Diakses 16 Oktober 2014.
  14. ^ Miftakhul F.S. Kenalkan 198 Cagar Budaya di Gunung Penanggungan Diarsipkan 2019-01-02 di Wayback Machine.. JawaPos daring Edisi 20 Mei 2017, 15:48:29 WIB. Diakses 2 Jannuari 2019.
  15. ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur. Penetapan Kawasan Cagar Budaya oleh Gubernur Jawa Timur Diarsipkan 2022-01-27 di Wayback Machine.. Indonesiana Platform Kebudayaan. 16 Desember 2014. Diakses 3 Januari 2019.
  16. ^ Fahrizal Tito. Pemprov Jatim Terbitkan SK Dukung Ubaya ungkap Situs Gunung Penanggungan Diarsipkan 2019-01-03 di Wayback Machine.. Edisi Senin, 30 Mei 2016 13:41:53 WIB. Diakses 3 Januari 2019.
  17. ^ Ishomuddin. Jalur Pendakian Gunung Penanggungan Ditutup Diarsipkan 2014-11-11 di Wayback Machine.. Tempo Daring. Edisi Selasa, 21 Oktober 2014. Diakses 11 November 2014.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Sofansyah, Dio Yulian (2021). "Gunung Pawitra: Arkeologi Alam Nusantara". Dalam Masruri, Bukhori. Benantara (dalam bahasa Indonesia). Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-481-654-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Agustus 2023. Diakses tanggal 24 September 2022. 

Lihat pula[sunting | sunting sumber]