Lompat ke isi

Konferensi Meja Bundar: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: menghilangkan referensi [ * ]
(ringkasan suntingan dihapus)
Tag: menghilangkan referensi [ * ]
Baris 68: Baris 68:
-tambah bodoh
-tambah bodoh


HASIL DEKRIT PRESIDEN 1949:
== Dampak ==
-dapet mi gratis
{{See also|Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda}}
-dapet utang banyak
Tanggal [[27 Desember]] [[1949]], pemerintahan sementara negara dilantik. [[Soekarno]] menjadi Presidennya, dengan [[Hatta]] sebagai [[Perdana Menteri]], yang membentuk [[Kabinet Republik Indonesia Serikat]]. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
-makan bareng monyet

-dapet duit gratis
Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal [[kemerdekaan Indonesia]]. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdeekaan [[de facto]] Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda [[Ben Bot]] mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; [[Menteri Luar Negeri Indonesia]] [[Hassan Wirayuda]] mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara".<ref>{{cite news |work=New York Times |title=Dutch withhold apology in Indonesia |url=http://www.nytimes.com/2005/08/16/world/asia/16iht-Indo.html?_r=0 |accessdate=12 Juli 2013 |date=17 Agustus 2005}}</ref>
-makin botak

-makin miskin
Tekait utang Hindia Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.<ref>[http://historia.co.id/artikel/kuno/844/Majalah-Historia/Ganti_Rugi_Penjajahan Pembayaran utang Hindia Belanda oleh Indonesia]</ref>
-makin kurus
-makin sering kentut
-makin sering BUANG AIR BESAR


== Catatan kaki ==
== Catatan kaki ==

Revisi per 28 September 2017 14.17

Konferensi Meja Bundar
Nama panjang:
Konferensi Meja Bundar
Dirancang23 Agustus 1949
Ditandatangani2 November 1949
LokasiDen Haag, Belanda
Efektif27 Desember 1949 (Penyerahan Kedaulatan)
Syarat
  • Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
  • Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinya; rancangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Belanda.
Penanda tangan

Pihak

PenyimpanKerajaan Belanda
BahasaBelanda

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.[1] Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.

Latar belakang

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.[2]

Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.[3]

Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya.[4] Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.

Negosiasi

Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer.[5] Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda.[6] Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.

J.H. van Maarseveen, Sultan Hamid II dan Mohammad Hatta menandatangani Perjanjian Meja Bundar, 2 November 1949

Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda berlangsung berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan mereka dan berpendapat mengenai apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942. Delegasi Indonesia terutama merasa marah karena harus membayar biaya yang menurut mereka digunakan oleh Belanda dalam tindakan militer terhadap Indonesia. Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam komisi PBB untuk Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia Belanda.[7]

Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu. Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya.[8] Meskipun opini publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati.[9] Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.[10]

hasil makan indomie: -kesurupan -jadi sinting -makin jelek -tambah bodoh

HASIL DEKRIT PRESIDEN 1949: -dapet mi gratis -dapet utang banyak -makan bareng monyet -dapet duit gratis -makin botak -makin miskin -makin kurus -makin sering kentut -makin sering BUANG AIR BESAR

Catatan kaki

  1. ^ Critchley to Department of External Affairs Australian Department of Foreign Affairs and Trade
  2. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 60.
  3. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 64-65.
  4. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 66-67.
  5. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 70.
  6. ^ Kahin 1961, hlm. 437.
  7. ^ Kahin 1961, hlm. 439-441, 443.
  8. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 67.
  9. ^ Kahin 1961, hlm. 443-444.
  10. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 69-70.

Rujukan

  • Kolff (pub) (1949), Hasil-Hasil Konperensi Medja Bundar sebagaimana diterima pada Persidangan Umum yang kedua Terlangsung Tangal 2 Nopember 1949 di Ridderzaal di Kota 'S-Gravenhage (Results of the Round Table Conference as Accepted at the Plenary Session on 2 November 1949 at the Knight's Hall [Parliament Building] in the Hague) (dalam bahasa Indonesian), Djakarta: Kolff 
  • Ide Anak Agung Gde Agung (1973), Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945–1965, Mouton & Co, ISBN 979-8139-06-2 
  • Kahin, George McTurnan (1961) [1952], Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press 
  • Ricklefs, M.C. (1993), A History of Modern Indonesia Since c.1300 (edisi ke-2nd), London: MacMillan, ISBN 0-333-57689-6 
  • Taylor, Alastair M. (1960), Indonesian Independence and the United Nations, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, ISBN 0-837-18005-8 

Pranala luar