Kukang kayan: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Nampak, +Tampak; -nampak, +tampak; -Nampaknya, +Tampaknya; -nampaknya, +tampaknya) |
||
Baris 46: | Baris 46: | ||
Seperti kukang lainnya, ''N. kayan'' tergolong ke dalam spesies [[arboreal]], [[Hewan nokturnal|nokturnal]],{{Sfn|Ankel-Simons|2007|p=82}} dan [[omnivora]], dengan makanan utamanya berupa [[serangga]], getah pohon, nektar, dan buah-buahan.{{Sfn|Nekaris|Bearder|2007|pp=28–33}} Selain itu, spesies ini memiliki gigitan beracun, fitur unik yang membedakannya dari kukang lainnya. [[Toksin]] ini dihasilkan dengan cara menjilati kelenjar brakialis pada siku, dan percampuran [[sekresi]] kelenjar itu dengan air liur akan mengaktifkan racun tersebut. Gigitan beracun ini digunakan untuk melindungi diri dari ancaman [[predator|hewan pemangsa]], dan racun juga disebarkan pada rambut saat kukang menyisiri tubuh anaknya sebagai bentuk perlindungan terhadap bayinya itu. Ketika terancam, kukang akan menjilati kelenjar brakialis dan menggigit si penyerang, menyebarkan racun tersebut ke dalam luka gigitan. Kukang terkadang bertahan untuk tidak melepaskan gigitannya, agar penetrasi racunnya dapat lebih maksimal.{{Sfn|Alterman|1995|pp=421–423}} |
Seperti kukang lainnya, ''N. kayan'' tergolong ke dalam spesies [[arboreal]], [[Hewan nokturnal|nokturnal]],{{Sfn|Ankel-Simons|2007|p=82}} dan [[omnivora]], dengan makanan utamanya berupa [[serangga]], getah pohon, nektar, dan buah-buahan.{{Sfn|Nekaris|Bearder|2007|pp=28–33}} Selain itu, spesies ini memiliki gigitan beracun, fitur unik yang membedakannya dari kukang lainnya. [[Toksin]] ini dihasilkan dengan cara menjilati kelenjar brakialis pada siku, dan percampuran [[sekresi]] kelenjar itu dengan air liur akan mengaktifkan racun tersebut. Gigitan beracun ini digunakan untuk melindungi diri dari ancaman [[predator|hewan pemangsa]], dan racun juga disebarkan pada rambut saat kukang menyisiri tubuh anaknya sebagai bentuk perlindungan terhadap bayinya itu. Ketika terancam, kukang akan menjilati kelenjar brakialis dan menggigit si penyerang, menyebarkan racun tersebut ke dalam luka gigitan. Kukang terkadang bertahan untuk tidak melepaskan gigitannya, agar penetrasi racunnya dapat lebih maksimal.{{Sfn|Alterman|1995|pp=421–423}} |
||
Pola pada wajah membantu para kukang dalam mengenali lawan jenis, dan juga berfungsi sebagai strategi untuk menakut-nakuti predator dengan membuat mata |
Pola pada wajah membantu para kukang dalam mengenali lawan jenis, dan juga berfungsi sebagai strategi untuk menakut-nakuti predator dengan membuat mata tampak lebih besar dari ukuran sebenarnya.{{Sfn|Munds|Nekaris|Ford|2013|p=49}} |
||
== Konservasi == |
== Konservasi == |
Revisi per 20 Desember 2017 02.11
Nycticebus kayan | |
---|---|
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Filum: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Subordo: | |
Famili: | |
Genus: | |
Spesies: | N. kayan
|
Nama binomial | |
Nycticebus kayan Munds, Nekaris & Ford, 2013
|
Kukang kayan (Nycticebus kayan Munds, Nekaris & Ford, 2013) adalah primata strepsirrhini dan spesies kukang yang hidup di dataran tinggi Kalimantan bagian utara dan tengah. Spesies ini awalnya dianggap sebagai bagian dari populasi kukang borneo (N. menagensis) hingga tahun 2013, namun riset yang dilakukan terhadap spesimen museum menunjukkan bahwa wajah kedua spesies ini berbeda, yang membantu mengidentifikasi kedua spesies kukang tersebut. Perbedaan ini antara lain tampak pada tingginya kontras warna gelap dan terang pada wajah serta bentuk dan lebar pola garis wajah.
Spesies ini dinamai berdasarkan Sungai Kayan, yang mengalir melintasi habitat aslinya di Kalimantan. Seperti halnya kukang lain, spesies arboreal dan nokturnal ini umumnya memakan serangga, getah pohon, nektar, dan buah-buahan, serta memiliki gigitan beracun, kemampuan unik yang membedakannya dari primata lainnya. Meskipun belum dievaluasi oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), spesies ini diperkirakan tergolong ke dalam spesies berstatus Rentan, atau bisa juga dimasukkan ke dalam kategori yang berisiko lebih tinggi saat status konservasinya dinilai. Keberlangsungan hidup spesies ini terutama sekali terancam oleh kepunahan habitat dan perdagangan satwa liar ilegal.
Taksonomi dan filogeni
N. kayan tergolong jenis primata strepsirrhini dan spesies kukang (genus Nycticebus) dalam familia Lorisidae. Spesimen museum hewan ini sebelumnya digolongkan sebagai kukang borneo (Nycticebus menagensis), pertama kali diidentifikasi oleh naturalis Inggris Richard Lydekker pada tahun 1893 dengan nama Lemur menagensis.[2]
Pada 1939 Reginald Innes Pocock menulis revisi atas aneka jenis Nycticebus yang telah diterbitkan, dan berkesimpulan bahwa semua kukang itu hanya satu spesies saja, yakni N. coucang.[3] Pandangan ini bertahan selama 30 tahun lebih, sampai pada tahun 1971 ketika Colin Groves meyakini bahwa N. pygmaeus adalah spesies yang betul-betul berbeda, dan bahwa N. coucang terdiri dari empat subspesies yang berlainan; salah satunya N. c. menagensis.[4][5] Pada tahun 2006 kukang borneo dipulihkan kembali statusnya sebagai spesies tersendiri dengan nama N. menagensis, setelah analisis molekuler menunjukkan bahwa spesies tersebut secara genetis berbeda dari N. coucang.[6]
Belakangan, riset yang dilakukan terhadap banyak spesimen museum dan foto-foto N. menagensis menyimpulkan bahwa dua taksa yang semula berada pada aras subspesies kini dikembalikan statusnya ke tingkat spesies, yakni N. bancanus dan N. borneanus. Selain itu dikenali pula adanya satu spesies baru, N. kayan yang dianggap berbeda dari subspesies nomino, N. menagensis dan kedua taksa sebelumnya.[7] Semua spesies yang baru diakui ini memiliki perbedaan yang signifikan dalam bentuk pola warna pada wajah.[7] Analisis yang dilakukan terhadap pola warna wajah ini menunjukkan bahwa secara genetis, N. kayan berbeda dari N. menagensis dan N. borneanus melalui spesiasi simpatrik (perbedaan evolusi organisme yang hidup di wilayah geografis yang sama), sedangkan kendala geografis menyebabkan munculnya perbedaan dengan N. bancanus (spesiasi alopatrik).[8]
N. kayan dinamakan menurut Sungai Kayan, yang mengalir melewati habitat aslinya di dekat Peleben, tempat spesimen tipe kukang tersebut diperoleh.[9] Holotipe spesies ini adalah spesimen bernomor AMNH 106.012, yang awalnya dikoleksi oleh Baron V. von Plessen di dekat Peleben di provinsi Kalimantan Timur dan disimpan di Museum Sejarah Alam Amerika (AMNH, American Museum of Natural History) di New York. Holotipe ini terdiri dari kulit dan tengkorak spesies jantan dengan panjang dari kepala hingga badan 257.3 mm (10.1 in).[8]
Deskripsi fisik
Seperti kukang lainnya, Nycticebus kayan memiliki ekor vestigial, kepala bulat, dan telinga pendek.[10] Hewan jni juga memiliki rhinarium (permukaan telanjang dan lembab di sekitar lubang hidung) dan wajah datar yang lebar dengan mata yang besar.[11] Seperti N. menagensis dan semua spesies kukang borneo, N. kayan tidak memiliki gigi seri bagian atas, yang membedakannya dengan spesies kukang lainnya.[12] Pada tungkai depan, jari kedua lebih kecil dari yang lainnya; sementara ibu jari di kaki belakangnya mengarah berlawanan dengan arah jari lainnya, sehingga meningkatkan kekuatannya dalam mencengkeram ranting pohon. Jari kedua di kaki belakang memiliki kuku yang melengkung, yang digunakan untuk menggaruk dan menyisir tubuh, sedangkan kuku-kuku yang lainnya lurus.[11] N. kayan juga memiliki susunan gigi depan bawah yang disebut gigi sisir, juga digunakan untuk menyisir bulu, sama seperti primata lemur lainnya.[13] Pada siku bagian ventral, terdapat pembengkakan kecil yang disebut kelenjar brakial; kelenjar ini berfungsi untuk mengeluarkan racun bening yang tajam dan berminyak, yang digunakan untuk membela diri. Racun atau bisa ini disapukan pada gigi sisir, sebelum kukang menggigit musuhnya.[14]
Pola wajah N. kayan berbeda dari kukang borneo lainnya, dan dipakai dalam identifikasi. Pertama, pola berbentuk cincin gelap di sekitar mata biasanya membundar atau meruncing pada sisi sebelah atasnya (tidak baur atau kabur tepinya); sementara sisi bawahnya melampaui lengkung zigomatik (lengkung tulang pipi), bahkan terkadang pola ini meluas hingga melewati rahang bawah. Kedua, jalur pucat di antara kedua mata umumnya berbentuk mirip (umbi) bawang, berbeda dengan spesies kerabatnya yang memiliki pola menyiku persegi panjang. Selain itu, pita pucat di depan telinganya biasanya sedang-sedang saja lebarnya, sementara spesies kukang borneo lainnya memiliki pita pucat yang sempit atau, sebaliknya, lebar. Jika dibandingkan dengan N. menagensis, pola wajah N. kayan memiliki kontras warna antara hitam dan putih yang tajam, dan telinganya selalu tertutup rambut yang panjang, sedangkan telinga N. menagensis tidak demikian. Secara keseluruhan, rambut-rambut di tubuh N. kayan lebih panjang dan halus jika dibandingkan dengan rambut N. menagensis.[15] Dari spesimen yang tak banyak jumlahnya, diketahui N. kayan memiliki panjang sekitar 273.4 mm (10.8 in) dan berat sekitar 410.5 g (0.9 lb).[9]
Persebaran
N. kayan ditemukan di Kalimantan bagian utara dan tengah. Agihannya meluas ke arah selatan hingga ke Mahakam di Kalimantan Timur dan Sungai Rajang di sisi barat di Sarawak, ke arah utara hingga sebelah selatan Gunung Kinabalu di Sabah, Malaysia. Meskipun hewan ini tidak ditemukan di sepanjang pesisir, persebarannya meluas dari timur hingga ke barat di tengah-tengah Pulau Kalimantan. Wilayah persebarannya bertumpang tindih dengan persebaran N. menagensis di Kalimantan Timur dan Sabah,[9] dan bertetangga dengan N. borneanus di sebelah selatannya.[15]
Habitat dan ekologi
Seperti kukang lainnya, N. kayan tergolong ke dalam spesies arboreal, nokturnal,[10] dan omnivora, dengan makanan utamanya berupa serangga, getah pohon, nektar, dan buah-buahan.[16] Selain itu, spesies ini memiliki gigitan beracun, fitur unik yang membedakannya dari kukang lainnya. Toksin ini dihasilkan dengan cara menjilati kelenjar brakialis pada siku, dan percampuran sekresi kelenjar itu dengan air liur akan mengaktifkan racun tersebut. Gigitan beracun ini digunakan untuk melindungi diri dari ancaman hewan pemangsa, dan racun juga disebarkan pada rambut saat kukang menyisiri tubuh anaknya sebagai bentuk perlindungan terhadap bayinya itu. Ketika terancam, kukang akan menjilati kelenjar brakialis dan menggigit si penyerang, menyebarkan racun tersebut ke dalam luka gigitan. Kukang terkadang bertahan untuk tidak melepaskan gigitannya, agar penetrasi racunnya dapat lebih maksimal.[17]
Pola pada wajah membantu para kukang dalam mengenali lawan jenis, dan juga berfungsi sebagai strategi untuk menakut-nakuti predator dengan membuat mata tampak lebih besar dari ukuran sebenarnya.[18]
Konservasi
Status Nycticebus kayan masih belum dievaluasi oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), sedangkan N. menagensis telah ditetapkan sebagai spesies dengan status "Rentan" pada tahun 2008.[19] Karena N. menagensis telah dibagi menjadi empat spesies berbeda, masing-masing spesies baru ini menghadapi risiko yang lebih tinggi terhadap kepunahan. Oleh sebab itu, setiap spesies ini diperkirakan setidaknya akan diberi status "Rentan", meskipun tidak menutup kemungkinan beberapa spesies juga bisa digolongkan ke dalam kategori dengan risiko yang lebih tinggi.[20]
Antara tahun 1987 dan 2012, sepertiga hutan di Kalimantan telah musnah, yang menyebabkan keberlangsungan hidup N. kayan semakin terancam. Perdagangan satwa liar ilegal juga merupakan faktor utama yang mengancam habitat spesies ini;[7] bagian tubuh kukang biasanya dijual untuk dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Selain itu, sejumlah video viral di YouTube juga membantu mempromosikan perdagangan hewan peliharaan eksotis.[20][21][22] Meskipun demikian, semua spesies kukang dilindungi dari perdagangan ilegal oleh Apendiks I Konvensi Perdagangan Internasional Flora dan Fauna Liar Spesies Terancam Punah (CITES).[23]
Referensi
- ^ "Appendices I, II and III" (PDF). Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). 2010.
- ^ Munds, Nekaris & Ford 2013, hlm. 46.
- ^ Pocock 1939.
- ^ Groves 1971.
- ^ Groves 2001, hlm. 99.
- ^ Chen et al. 2006, hlm. 1198.
- ^ a b c Munds, Nekaris & Ford 2013, hlm. 47.
- ^ a b Munds, Nekaris & Ford 2013, hlm. 50.
- ^ a b c Munds, Nekaris & Ford 2013, hlm. 52.
- ^ a b Ankel-Simons 2007, hlm. 82.
- ^ a b Smith & Xie 2008, hlm. 159–160.
- ^ Munds, Nekaris & Ford 2013, hlm. 53.
- ^ Ankel-Simons 2007, hlm. 246.
- ^ Hagey, Fry & Fitch-Snyder 2007, hlm. 253.
- ^ a b Munds, Nekaris & Ford 2013, hlm. 50–52.
- ^ Nekaris & Bearder 2007, hlm. 28–33.
- ^ Alterman 1995, hlm. 421–423.
- ^ Munds, Nekaris & Ford 2013, hlm. 49.
- ^ Nekaris, A. & Streicher, U. (2008). "Nycticebus menagensis". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 23 January 2011.
- ^ a b Wall, T. (13 December 2012). "Three new species of venomous primate identified by MU researcher". Missouri University News Bureau. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 December 2012. Diakses tanggal 19 December 2012.
- ^ Bryner, J. (14 December 2012). "Slow loris species, Nycticebus kayan, discovered in Borneo". The Huffington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 January 2013. Diakses tanggal 15 December 2012.
- ^ Walker, M. (13 December 2012). "Primate species: new slow loris found in Borneo". BBC News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 December 2012.
- ^ Nekaris & Munds 2010, hlm. 390.
Daftar pustaka
- Alterman, L. (1995). "Toxins and toothcombs: potential allospecific chemical defenses in Nycticebus and Perodicticus". Dalam Alterman, L.; Doyle, G.A.; Izard, M.K. Creatures of the Dark: The Nocturnal Prosimians. New York, New York: Plenum Press. hlm. 413–424. ISBN 978-0-306-45183-6. OCLC 33441731.
- Ankel-Simons, F. (2007). Primate Anatomy (edisi ke-3rd). Academic Press. ISBN 978-0-12-372576-9.
- DOI:10.1007/s10764-006-9032-5 10.1007/s10764-006-9032-5
Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual - Groves, Colin P. (1971). "Systematics of the genus Nycticebus" (PDF). Proceedings of the Third International Congress of Primatology. Zürich, Switzerland. 1: 44–53.
- Groves, Colin P. (2001). Primate Taxonomy. Washington, DC: Smithsonian Institution Press. ISBN 978-1-56098-872-4.
- DOI:10.1007/978-0-387-34810-0 10.1007/978-0-387-34810-0
Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual - DOI:10.1002/ajp.22071 10.1002/ajp.22071
Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual - Nekaris, K.A.I.; Bearder, S.K. (2007). "Chapter 3: The Lorisiform Primates of Asia and Mainland Africa: Diversity Shrouded in Darkness". Dalam Campbell, C.; Fuentes, C.A.; MacKinnon, K.; Panger, M.; Stumpf, R. Primates in Perspective. New York, New York: Oxford University Press. hlm. 28–33. ISBN 978-0-19-517133-4.
- DOI:10.1007/978-1-4419-1560-3_22 10.1007/978-1-4419-1560-3_22
Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual - Osman Hill, W.C. (1953). Primates Comparative Anatomy and Taxonomy I—Strepsirhini. Edinburgh Univ Pubs Science & Maths, No 3. Edinburgh University Press. OCLC 500576914.
- Pocock, R.I. (1939). The fauna of British India, including Ceylon and Burma. Mammalia, vol. 1. London: Taylor and Francis.
- Smith, Andrew T.; Xie, Yan (2008). A Guide to the Mammals of China. Princeton University Press. ISBN 978-0-691-09984-2.