Lompat ke isi

Perfilman Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kontibusi
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler menghilangkan referensi [ * ]
k ←Suntingan 2001:D08:1038:6B11:B824:7AAA:D0EC:6D25 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Prad Nelluru
Tag: Pengembalian
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De Menteng Bioscoop in Djakarta TMnr 60054768.jpg|thumb|275px|Bioskop Menteng, Jakarta (sekitar 1950-1960)]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De Menteng Bioscoop in Djakarta TMnr 60054768.jpg|jmpl|275px|Bioskop Menteng, Jakarta (sekitar 1950-1960)]]
'''Perfilman Indonesia''' memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai [[bioskop|bioskop-bioskop]] lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, ''[[Catatan si Boy]]'', ''[[Blok M (film)|Blok M]]'' dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain [[Onky Alexander]], [[Meriam Bellina]], [[Lydia Kandou]], [[Nike Ardilla]], [[Paramitha Rusady]], [[Desy Ratnasari]].
'''Perfilman Indonesia''' memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai [[bioskop|bioskop-bioskop]] lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, ''[[Catatan si Boy]]'', ''[[Blok M (film)|Blok M]]'' dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain [[Onky Alexander]], [[Meriam Bellina]], [[Lydia Kandou]], [[Nike Ardilla]], [[Paramitha Rusady]], [[Desy Ratnasari]].


Pada tahun-tahun itu acara [[Festival Film Indonesia]] masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun [[1990-an|90-an]] yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari [[Hollywood]] dan [[Hong Kong]] telah merebut posisi tersebut.
Pada tahun-tahun itu acara [[Festival Film Indonesia]] masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun [[1990-an|90-an]] yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari [[Hollywood]] dan [[Hong Kong]] telah merebut posisi tersebut.


Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film ''[[Petualangan Sherina]]'' yang diperankan oleh [[Sherina Munaf]], [[penyanyi]] cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. [[Riri Riza]] dan [[Mira Lesmana]] yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film ''[[Petualangan Sherina]]'' yang diperankan oleh [[Sherina Munaf]], [[penyanyi]] cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. [[Riri Riza]] dan [[Mira Lesmana]] yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.


Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film ''[[Jelangkung (film)|Jelangkung]]'' yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film ''[[Ada Apa dengan Cinta?]]'' yang mengorbitkan sosok [[Dian Sastrowardoyo]] dan [[Nicholas Saputra]] ke kancah perfilman yang merupakan film ''romance'' remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film ''[[Petualangan Sherina]]'' (film oleh [[Joshua Suherman|Joshua]], [[Tina Toon]]), yang mirip dengan ''[[Jelangkung (film)|Jelangkung]]'' (''[[Di Sini Ada Setan]]'', ''[[Tusuk Jelangkung]]''), dan juga ''romance'' remaja seperti ''[[Biarkan Bintang Menari]]'', ''[[Eiffel I'm in Love]]''. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti ''[[Arisan!]]'' oleh [[Nia Dinata]].
Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film ''[[Jelangkung (film)|Jelangkung]]'' yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film ''[[Ada Apa dengan Cinta?]]'' yang mengorbitkan sosok [[Dian Sastrowardoyo]] dan [[Nicholas Saputra]] ke kancah perfilman yang merupakan film ''romance'' remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film ''[[Petualangan Sherina]]'' (diperankan oleh [[Derby Romero|Derbi Romero]], [[Sherina Munaf]]), yang mirip dengan ''[[Jelangkung (film)|Jelangkung]]'' (''[[Di Sini Ada Setan]]'', ''[[Tusuk Jelangkung]]''), dan juga ''romance'' remaja seperti ''[[Biarkan Bintang Menari]]'', ''[[Eiffel I'm in Love]]''. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti ''[[Arisan!]]'' oleh [[Nia Dinata]].


Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul ''[[Pasir Berbisik]]'' yang menampilkan [[Dian Sastrowardoyo]] dengan [[Christine Hakim]] dan [[Didi Petet]]. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh [[Christine Hakim]] seperti ''[[Daun di Atas Bantal]]'' yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film [[Garin Nugroho]] yang lainnya, seperti ''[[Aku Ingin Menciummu Sekali Saja]]'', juga ada film ''[[Marsinah (film)|Marsinah]]'' yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti ''[[Beth (film)|Beth]]'', ''[[Novel tanpa huruf R]]'', ''[[Kwaliteit 2]]'' yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. [[Festival Film Indonesia]] juga kembali diadakan pada tahun [[2004]] setelah vakum selama 12 tahun.
Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul ''[[Pasir Berbisik]]'' yang menampilkan [[Dian Sastrowardoyo]] dengan [[Christine Hakim]] dan [[Didi Petet]]. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh [[Christine Hakim]] seperti ''[[Daun di Atas Bantal]]'' yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film [[Garin Nugroho]] yang lainnya, seperti ''[[Aku Ingin Menciummu Sekali Saja]]'', juga ada film ''[[Marsinah (film)|Marsinah]]'' yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti ''[[Beth (film)|Beth]]'', ''[[Novel tanpa huruf R]]'', ''[[Kwaliteit 2]]'' yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. [[Festival Film Indonesia]] juga kembali diadakan pada tahun [[2004]] setelah vakum selama 12 tahun.


Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film [[Hollywood]]. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.
Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film [[Hollywood]]. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.


== Sejarah ==
== Sejarah ==
===Periode 1900 - 1942===
=== Periode 1900 - 1942 ===
[[Berkas:Loetoeng kasaroeng.jpg|thumb|200px|Poster film ''[[Loetoeng Kasaroeng]]'' tahun 1926.]]
[[Berkas:Loetoeng kasaroeng.jpg|jmpl|200px|Poster film ''[[Loetoeng Kasaroeng]]'' tahun 1926.]]
Era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya [[bioskop]] pertama di Indonesia pada [[5 Desember]] [[1900]] di daerah [[Tanah Abang]], [[Batavia]] dengan nama ''Gambar Idoep'' yang menayangkan berbagai film bisu.
Era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya [[bioskop]] pertama di Indonesia pada [[5 Desember]] [[1900]] di daerah [[Tanah Abang]], [[Batavia]] dengan nama ''Gambar Idoep'' yang menayangkan berbagai film bisu.


Film pertama yang dibuat pertama kalinya di [[Indonesia]] adalah [[film bisu]] tahun [[1926]] yang berjudul ''[[Loetoeng Kasaroeng]]'' dan dibuat oleh sutradara [[Belanda]] [[G. Kruger]] dan [[L. Heuveldorp]]. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan [[Hindia Belanda]], wilayah [[jajahan]] [[Kerajaan Belanda]]. Film ini dibuat dengan didukung oleh [[aktor]] lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di [[Bandung]] dan muncul pertama kalinya pada tanggal [[31 Desember]], [[1926]] di [[teater]] ''Elite and Majestic'', [[Bandung]].
Film pertama yang dibuat pertama kalinya di [[Indonesia]] adalah [[film bisu]] tahun [[1926]] yang berjudul ''[[Loetoeng Kasaroeng]]'' dan dibuat oleh sutradara [[Belanda]] [[G. Kruger]] dan [[L. Heuveldorp]]. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan [[Hindia Belanda]], wilayah [[jajahan]] [[Kerajaan Belanda]]. Film ini dibuat dengan didukung oleh [[aktor]] lokal oleh [[Perusahaan Film]] [[Jawa NV]] di [[Bandung]] dan muncul pertama kalinya pada tanggal [[31 Desember]], [[1926]] di [[teater]] ''[[Elite and Majestic]]'', [[Bandung]].


Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film [[Shanghai]]. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai [[Lily van Java]] ([[1928]]) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.
Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film [[Shanghai]]. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai ''[[Lily van Java]]'' ([[1928]]) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.


Sejak tahun [[1931]], pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya Bunga Roos dari Tjikembang ([[1931]]) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesie Malaise (1931).
Sejak tahun [[1931]], pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya ''[[Boenga Roos dari Tjikembang (film 1931)|Boenga Roos dari Tcikembang]]'' ([[1931]]) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu ''[[Indonesia Malaise]]'' (1931).


Pada awal tahun [[1934]], [[Albert Balink]], seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film [[Pareh]] dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ''ANIF'' (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan [[Jatinegara]]) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama [[Saeroen]]. Akhirnya mereka memproduksi membuat film [[Terang Boelan]] (1934) yang berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.
Pada awal tahun [[1934]], [[Albert Balink]], seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film ''[[Pareh]]'' dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, [[Manus Franken]], untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ''ANIF'' (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan [[Jatinegara]]) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama [[Saeroen]]. Akhirnya mereka memproduksi membuat film ''[[Terang Boelan]]'' (1934) yang berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.
[[Berkas:Number of feature films produced in Indonesia.svg|jmpl|300x300px|Jumlah film layar lebar yang diproduksi di Indonesia]]


===Periode 1942 - 1949===
=== Periode 1942 - 1949 ===
Pada masa ini, produksi [[film]] di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik [[Jepang]]. Pemutaran fil di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film -film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya, ehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya prodkusi film nasional.
Pada masa ini, produksi [[film]] di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik [[Jepang]]. Pemutaran film di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film -film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya, sehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya produksi film nasional.


Pada [[1942]] saja, '''Nippon Eigha Sha''', perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia, hanya dapat memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan [[1001 Malam]].
Pada [[1942]] saja, '''Nippon Eigha Sha''', perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia, hanya dapat memproduksi 3 film yaitu [[Pulo Inten]], [[Bunga Semboja]] dan [[1001 Malam]].


Lenyapnya usaha swasta di bidang film dan sedikitnya produksi yang dihasilkan oleh studio yang dipimpin oleh Jepang dengan sendirinya mempersempit ruang gerak dan kesempatan hidup para artis dan karyawan film dan pembentukan bintang-bintang baru hampir tidak ada. Namun mereka yang sudah dilahirkan sebagai [[artis]] tidaklah dapat begitu saja meninggalkan profesinya. Satu-satunya jalan keluar untuk dapat terus mengembangkan dan memelihara bakat serta mempertahankan hidup adalah naik panggung [[sandiwara]]. Beberapa rombongan sandiwara profesional dari zaman itu antara lain adalah ''Bintang Surabaya'', ''Pancawarna'' dan ''Cahaya Timur'' di Pulau [[Jawa]]. Selain itu sebuah kumpulan sandiwara amatir ''Maya'' didirikan, dimana didalamnya bernaung beberapa seniman-seniwati terpelajar dibawah pimpinan [[Usmar Ismail]] yang kelak menjadi Bapak Perfilman Nasional.
Lenyapnya usaha swasta di bidang film dan sedikitnya produksi yang dihasilkan oleh studio yang dipimpin oleh Jepang dengan sendirinya mempersempit ruang gerak dan kesempatan hidup para artis dan karyawan film dan pembentukan bintang-bintang baru hampir tidak ada. Namun mereka yang sudah dilahirkan sebagai [[artis]] tidaklah dapat begitu saja meninggalkan profesinya. Satu-satunya jalan keluar untuk dapat terus mengembangkan dan memelihara bakat serta mempertahankan hidup adalah naik panggung [[sandiwara]]. Beberapa rombongan sandiwara profesional dari zaman itu antara lain adalah ''Bintang Surabaya'', ''Pancawarna'' dan ''Cahaya Timur'' di Pulau [[Jawa]]. Selain itu sebuah kumpulan sandiwara amatir ''Maya'' didirikan, dimana didalamnya bernaung beberapa seniman-seniwati terpelajar dibawah pimpinan [[Usmar Ismail]] yang kelak menjadi Bapak Perfilman Nasional.


===Periode 1950 - 1962===
=== Periode 1950 - 1962 ===
Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal [[30 Maret]] karena pada tepatnya tanggal [[30 Maret]] [[1950]] adalah hari pertama pengambilan gambar film [[Darah & Doa]] atau ''Long March of Siliwangi'' yang disutradarai oleh [[Usmar Ismail]]. Hal ini disebabkana karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan [[Indonesia]]. Selain itu film ini juga merupakan fil pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli yang bernama [[Perfini]] (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dimana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya.
Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal [[30 Maret]] karena pada tepatnya tanggal [[30 Maret]] [[1950]] adalah hari pertama pengambilan gambar film [[Darah & Doa]] atau ''Long March of Siliwangi'' yang disutradarai oleh [[Usmar Ismail]]. Hal ini disebabkana karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan [[Indonesia]]. Selain itu film ini juga merupakan film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli yang bernama [[Perfini]] (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dimana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya.


Selain itu pada tahun [[1951]] diresmikan pula Metropole, bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Pada masa ini jumlah bioskop meningkat pesat dan sebagian besar dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada tahun [[1955]] terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).
Selain itu pada tahun [[1951]] diresmikan pula [[Metropole]], bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Pada masa ini jumlah bioskop meningkat pesat dan sebagian besar dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada tahun [[1955]] terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).


Pada masa itu selain [[PFN]] yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, yaitu [[Perfini]] dan Persari (dipimpin oleh [[Djamaluddin Malik]].
Pada masa itu selain [[PFN]] yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, yaitu [[Perfini]] dan [[Persari]] (dipimpin oleh [[Djamaluddin Malik]].


===Periode 1962 - 1965===
=== Periode 1962 - 1965 ===
Era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai film yang menjadi agen imperialisme [[Amerika Serikat]], pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu Jumlah bioskop mengalami penurunan sangat drastis akibat gejolak politik. Jika pada tahun [[1964]] terdapat 700 bioskop, pada tahun berikutnya, yakni tahun [[1965]] hanya tinggal tersisa 350 bioskop.
Era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai film yang menjadi agen imperialisme [[Amerika Serikat]], pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu Jumlah bioskop mengalami penurunan sangat drastis akibat gejolak politik. Jika pada tahun [[1964]] terdapat 700 bioskop, pada tahun berikutnya, yakni tahun [[1965]] hanya tinggal tersisa 350 bioskop.


===Periode 1965 - 1970===
=== Periode 1965 - 1970 ===
Era ini dipengaruhi oleh gejolak [[politik]] yang diakibatkan oleh peristiwa [[G30S]] [[PKI]] yang membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu [[inflasi]] yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah mengadakan ''sanering'' pada tahun [[1966]] yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada akhir era ini perfilman Indonesia cukup terbantu dengan membanjirnya film impor sehingga turut memulihkan bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penonton.
Era ini dipengaruhi oleh gejolak [[politik]] yang diakibatkan oleh peristiwa [[G30S]] [[PKI]] yang membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu [[inflasi]] yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah mengadakan ''sanering'' pada tahun [[1966]] yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada akhir era ini perfilman Indonesia cukup terbantu dengan membanjirnya film impor sehingga turut memulihkan bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penonton.


===Periode 1970 - 1991===
=== Periode 1970 - 1991 ===
Pada masa ini [[teknologi]] pembuatan film dan era perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga mengalami persaingan dengan televisi ([[TVRI]]). Pada tahun [[1978]] didirikan Sinepleks Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, [[Sudwikatmono]] menyusul dibangunnya [[Studio 21]] pada tahun [[1987]]. Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop - bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape.
Pada masa ini [[teknologi]] pembuatan film dan era perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga mengalami persaingan dengan televisi ([[TVRI]]). Pada tahun [[1978]] didirikan [[Sinepleks Jakarta Theater]] oleh pengusaha Indonesia, [[Sudwikatmono]] menyusul dibangunnya [[Studio 21]] pada tahun [[1987]]. Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop - bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape.


===Periode 1991 - 1998===
=== Periode 1991 - 1998 ===
Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami [[mati suri]] dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema [[seks]] yang meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi [[VCD]], [[Laserdisc|LD]] dan [[DVD]] yang menjadi pesaing baru.
Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami [[mati suri]] dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema [[seks]] yang meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi [[VCD]], [[Laserdisc|LD]] dan [[DVD]] yang menjadi pesaing baru.


Bertepatan dengan era ini lahir pula UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang mengatur peniadaan kewajiban izin produksi yang turut menyumbang surutnya produksi film. Kewajiban yang masih harus dilakukan hanyalah pendaftaran produksi yang bahkan prosesnya bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Bahkan sejak [[Departemen Penerangan Republik Indonesia|Departemen Penerangan]] dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang mengurusi dan bertanggungjawab terhadap proses produksi film nasional. Dampaknya ternyata kurang menguntungkan sehingga para pembuat film tidak lagi mendaftarkan filmnya sebelum mereka berproduksi sehingga mempersulit untuk memperoleh data produksi film Indonesia - baik yang utama maupun [[indie]] - secara akurat.
Bertepatan dengan era ini lahir pula UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang mengatur peniadaan kewajiban izin produksi yang turut menyumbang surutnya produksi film. Kewajiban yang masih harus dilakukan hanyalah pendaftaran produksi yang bahkan prosesnya bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Bahkan sejak [[Departemen Penerangan Republik Indonesia|Departemen Penerangan]] dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang mengurusi dan bertanggungjawab terhadap proses produksi film nasional. Dampaknya ternyata kurang menguntungkan sehingga para pembuat film tidak lagi mendaftarkan filmnya sebelum mereka berproduksi sehingga mempersulit untuk memperoleh data produksi film Indonesia - baik yang utama maupun [[indie]] - secara akurat.
Baris 55: Baris 56:
Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman Indonesia yaitu '''Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia'' yang terbit pada tahun [[1992]] dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode [[1991]].
Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman Indonesia yaitu '''Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia'' yang terbit pada tahun [[1992]] dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode [[1991]].


===Periode 1998 - sekarang===
=== Periode 1998 - sekarang ===
Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul di era ini adalah [[Cinta dalam Sepotong Roti]] karya [[Garin Nugroho]]. Setelah itu muncul [[Mira Lesmana]] dengan [[Petualangan Sherina]] dan [[Rudi Soedjarwo]] dengan [[Ada Apa dengan Cinta?]] (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema film [[horor]] dan film [[remaja]]. Pada tahun [[2005]], hadir [[Blitzmegaplex]] di dua kota besar di Indonesia, [[Jakarta]] dan [[Bandung]]. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.
Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul di era ini adalah [[Cinta dalam Sepotong Roti]] karya [[Garin Nugroho]]. Setelah itu muncul [[Mira Lesmana]] dengan [[Petualangan Sherina]] dan [[Rudi Soedjarwo]] dengan [[Ada Apa dengan Cinta?]] (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema film [[horor]] dan film [[remaja]]. Pada tahun [[2005]], hadir [[Blitzmegaplex]] di dua kota besar di Indonesia, [[Jakarta]] dan [[Bandung]]. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.


== Film Indonesia Terbaik ==
== Film Indonesia Terbaik ==
Sudah sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun perorangan yang berusaha menggolongkan film-film Indonesia sepanjang masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori tertentu. Salah satunya adalah tabloid Bintang Indonesia yang pada akhir tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan sebagai film Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 25 film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik sepanjang masa.
Sudah sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun perorangan yang berusaha menggolongkan film-film Indonesia sepanjang masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori tertentu. Salah satunya adalah tabloid [[Bintang Indonesia]] yang pada akhir tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan sebagai film Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 25 film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik sepanjang masa.


Film-film tersebut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yaitu

Ke-25 Film tersebut adalah:
{{col|2}}
{{col|2}}
# ''[[Tjoet Nja' Dhien (film)|Tjoet Nja’ Dhien]]'' (1986)
# ''[[Tjoet Nja' Dhien (film)|Tjoet Nja’ Dhien]]'' (1986)
# ''[[Naga Bonar]]'' (1986)
# ''[[Naga Bonar]]'' (1986)
# ''[[Ada Apa dengan Cinta?]]'' (2001)
# ''[[Ada Apa dengan Cinta?]]'' (2001)
# ''[[Kejarlah Daku Kau Kutangkap]]'' (1985)
# ''[[Kejarlah Daku Kau Kutangkap]]'' (1985)
# ''[[Badai Pasti Berlalu (film tahun 1977)|Badai Pasti Berlalu]]'' (1977)
# ''[[Badai Pasti Berlalu (film tahun 1977)|Badai Pasti Berlalu]]'' (1977)
# ''[[Arisan!]]'' (2003)
# ''[[Arisan!]]'' (2003)
# ''[[November 1828]]'' (1978)
# ''[[November 1828]]'' (1978)
# ''[[Gie]]'' (2005)
# ''[[Gie]]'' (2005)
Baris 91: Baris 89:
# ''[[Inem Pelayan Sexy]]'' (1977)
# ''[[Inem Pelayan Sexy]]'' (1977)
{{end-col}}
{{end-col}}

Film-film tersebut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yaitu<ref>[http://www.bintang-indonesia.com/contentd.php?pcid=1115 25 film indonesia terbaik dan terlaris sepanjang masa], [[Bintang Indonesia]], diakses [[31 Desember]] [[2007]]</ref>:
{{col|2}}
* [[Yan Widjaya]] (wartawan film senior)
* [[Ilham Bintang]] (wartawan film senior)
* [[Ipik Tanojo]] ([[Bali Post]])
* [[Eric Sasono]] (pengamat film)
* [[Arya Gunawan]] (pengamat film)
* [[Noorca M. Massardi]] (wartawan film senior)
* [[Yudhistira Massardi]] ([[Gatra]])
* [[Leila S. Chudori]] ([[Majalah Tempo|Tempo]])
* [[Frans Sartono]] ([[Kompas (surat kabar)|Kompas]])
* [[Yusuf Assidiq]] ([[Republika]])
* [[Aa Sudirman]] ([[Suara Pembaruan]])
* [[Taufiqurrahman]] ([[The Jakarta Post]])
* [[Eri Anugerah]] ([[Media Indonesia]])
* [[Sandra Kartika]] (Wakil Pemimpin Redaksi [[Tabloid Teen]])
* [[Telni Rusmitantri]] ([[Cek & Ricek]])
* [[Ekky Imanjaya]] (situs [[Layarperak.com]])
* [[Wenang Prakasa]] ([[Movie Monthly]])
* [[Orlando Jafet]] ([[Cinemags]])
* [[Poernomo Gontha Ridho]] ([[Koran Tempo]])
* [[Ekal Prasetya]] ([[Seputar Indonesia]])
{{end-col}}

<!--
<!--
Film Indonesia dengan terbanyak ditonton keseluruhan adalah:{{fact}}
Film Indonesia dengan terbanyak ditonton keseluruhan adalah:{{fact}}
Baris 117: Baris 140:


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
* {{id}} [http://movie.co.id Film Indonesia]
* {{id}} [http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/20/pustaka/1984518.htm Film Indonesia, Mati Suri Pun Tak Pernah]
* {{id}} [http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/20/pustaka/1984518.htm Film Indonesia, Mati Suri Pun Tak Pernah]



Revisi per 4 Oktober 2019 19.36

Bioskop Menteng, Jakarta (sekitar 1950-1960)

Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, Desy Ratnasari.

Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.

Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.

Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Petualangan Sherina (diperankan oleh Derbi Romero, Sherina Munaf), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata.

Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.

Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.

Sejarah

Periode 1900 - 1942

Berkas:Loetoeng kasaroeng.jpg
Poster film Loetoeng Kasaroeng tahun 1926.

Era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu.

Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.

Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya Boenga Roos dari Tcikembang (1931) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesia Malaise (1931).

Pada awal tahun 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film Pareh dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ANIF (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi membuat film Terang Boelan (1934) yang berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.

Jumlah film layar lebar yang diproduksi di Indonesia

Periode 1942 - 1949

Pada masa ini, produksi film di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik Jepang. Pemutaran film di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film -film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya, sehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya produksi film nasional.

Pada 1942 saja, Nippon Eigha Sha, perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia, hanya dapat memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan 1001 Malam.

Lenyapnya usaha swasta di bidang film dan sedikitnya produksi yang dihasilkan oleh studio yang dipimpin oleh Jepang dengan sendirinya mempersempit ruang gerak dan kesempatan hidup para artis dan karyawan film dan pembentukan bintang-bintang baru hampir tidak ada. Namun mereka yang sudah dilahirkan sebagai artis tidaklah dapat begitu saja meninggalkan profesinya. Satu-satunya jalan keluar untuk dapat terus mengembangkan dan memelihara bakat serta mempertahankan hidup adalah naik panggung sandiwara. Beberapa rombongan sandiwara profesional dari zaman itu antara lain adalah Bintang Surabaya, Pancawarna dan Cahaya Timur di Pulau Jawa. Selain itu sebuah kumpulan sandiwara amatir Maya didirikan, dimana didalamnya bernaung beberapa seniman-seniwati terpelajar dibawah pimpinan Usmar Ismail yang kelak menjadi Bapak Perfilman Nasional.

Periode 1950 - 1962

Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret karena pada tepatnya tanggal 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Hal ini disebabkana karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan Indonesia. Selain itu film ini juga merupakan film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli yang bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dimana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya.

Selain itu pada tahun 1951 diresmikan pula Metropole, bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Pada masa ini jumlah bioskop meningkat pesat dan sebagian besar dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada tahun 1955 terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).

Pada masa itu selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, yaitu Perfini dan Persari (dipimpin oleh Djamaluddin Malik.

Periode 1962 - 1965

Era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai film yang menjadi agen imperialisme Amerika Serikat, pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu Jumlah bioskop mengalami penurunan sangat drastis akibat gejolak politik. Jika pada tahun 1964 terdapat 700 bioskop, pada tahun berikutnya, yakni tahun 1965 hanya tinggal tersisa 350 bioskop.

Periode 1965 - 1970

Era ini dipengaruhi oleh gejolak politik yang diakibatkan oleh peristiwa G30S PKI yang membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu inflasi yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah mengadakan sanering pada tahun 1966 yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada akhir era ini perfilman Indonesia cukup terbantu dengan membanjirnya film impor sehingga turut memulihkan bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penonton.

Periode 1970 - 1991

Pada masa ini teknologi pembuatan film dan era perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga mengalami persaingan dengan televisi (TVRI). Pada tahun 1978 didirikan Sinepleks Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987. Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop - bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape.

Periode 1991 - 1998

Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru.

Bertepatan dengan era ini lahir pula UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang mengatur peniadaan kewajiban izin produksi yang turut menyumbang surutnya produksi film. Kewajiban yang masih harus dilakukan hanyalah pendaftaran produksi yang bahkan prosesnya bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Bahkan sejak Departemen Penerangan dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang mengurusi dan bertanggungjawab terhadap proses produksi film nasional. Dampaknya ternyata kurang menguntungkan sehingga para pembuat film tidak lagi mendaftarkan filmnya sebelum mereka berproduksi sehingga mempersulit untuk memperoleh data produksi film Indonesia - baik yang utama maupun indie - secara akurat.

Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman Indonesia yaitu 'Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia yang terbit pada tahun 1992 dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode 1991.

Periode 1998 - sekarang

Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul di era ini adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho. Setelah itu muncul Mira Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema film horor dan film remaja. Pada tahun 2005, hadir Blitzmegaplex di dua kota besar di Indonesia, Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.

Film Indonesia Terbaik

Sudah sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun perorangan yang berusaha menggolongkan film-film Indonesia sepanjang masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori tertentu. Salah satunya adalah tabloid Bintang Indonesia yang pada akhir tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan sebagai film Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 25 film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik sepanjang masa.

Film-film tersebut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yaitu[1]:


Referensi

Lihat pula

Pranala luar