Lompat ke isi

Ejaan Van Ophuijsen: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Maulana.AN (bicara | kontrib)
k Penambahan referensi dan perbaikan penulisan
Maulana.AN (bicara | kontrib)
Perbaikan penulisan
Baris 5: Baris 5:
* penggunaan tanda diakritik meliputi tanda koma (,), ain (‘), dan trema (¨).
* penggunaan tanda diakritik meliputi tanda koma (,), ain (‘), dan trema (¨).


Huruf hidup yang diberi aksen trema atau [[Diaresis|dwititik]] diatasnya seperti ''ä'', ''ë'', ''ï'' dan ''ö'', menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan diftong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat ini. Kebanyakan catatan tertulis bahasa Melayu pada masa itu menggunakan [[huruf Arab]] yang dikenal sebagai tulisan [[Jawi]].Ejaan ini akhirnya digantikan oleh [[ejaan Republik]] pada 19 Maret 1947. <ref name="Van Ophuijsen" />
Huruf hidup yang diberi aksen trema atau [[Diaresis|dwititik]] diatasnya seperti ''ä'', ''ë'', ''ï'' dan ''ö'', menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan diftong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat ini. Kebanyakan catatan tertulis bahasa Melayu pada masa itu menggunakan [[huruf Arab]] yang dikenal sebagai tulisan [[Jawi]]. Ejaan ini akhirnya digantikan oleh [[ejaan Republik]] pada 19 Maret 1947. <ref name="Van Ophuijsen" />


== Sejarah singkat ==
== Sejarah singkat ==

Revisi per 7 Desember 2020 16.34

Majalah Keboedajaän dan Masjarakat (1939) menggunakan ejaan Van Ophuijsen yang masih memperlihatkan tanda trema.

Ejaan Van Ophuijsen atau Ejaan Lama adalah jenis ejaan yang pernah digunakan untuk bahasa Indonesia. Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata bahasa Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda. Ada tiga ciri penanda lingual dalam Ejaan van Ophuijsen, yaitu:[1]

  • penggunaan huruf j dibaca /y/
  • penggunaan huruf oe dibaca /u/ dan
  • penggunaan tanda diakritik meliputi tanda koma (,), ain (‘), dan trema (¨).

Huruf hidup yang diberi aksen trema atau dwititik diatasnya seperti ä, ë, ï dan ö, menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan diftong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat ini. Kebanyakan catatan tertulis bahasa Melayu pada masa itu menggunakan huruf Arab yang dikenal sebagai tulisan Jawi. Ejaan ini akhirnya digantikan oleh ejaan Republik pada 19 Maret 1947. [1]

Sejarah singkat

Pada tahun 1901 diadakan pembakuan ejaan bahasa Indonesia yang pertama kali oleh Prof. Charles van Ophuijsen dibantu oleh Nawawi Soetan Makmoer dan Moh. Taib Sultan Ibrahim. Hasil pembakuan mereka yang dikenal dengan ejaan Van Ophuijsen ditulis dalam sebuah buku berjudul Kitab Logat Melajoe.[2] Dalam kitab itu dimuat sistem ejaan Latin untuk bahasa Melayu di Indonesia.

Van Ophuijsen adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda. Ia pernah jadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatra Barat, kemudian menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Setelah menerbitkan Kitab Logat Melajoe, van Ophuijsen kemudian menerbitkan Maleische Spraakkunst (1910). Buku ini kemudian diterjemahkan oleh T.W. Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu dan menjadi panduan bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia.

Referensi

  1. ^ a b Sudaryanto, Hermanto (2018). "Pemakaian Ejaan dalam Bahasa Indonesia/Melayu pada Iklan Tempo Doeloe dan Implikasinya bagi Perkuliahan Bahasa Indonesia". Transformatika. 2 (1): 59-60. ISSN 2549-5941. 
  2. ^ Sudaryanto (2018). "Tiga Fase perkembangan Bahasa Indonesia (1928 - 2009): Kajian Linguistik Historis". Aksis. 2 (1): 3. ISSN 2580-9040. 

Pranala luar