Dua dimensi manusia: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 1: | Baris 1: | ||
[[Berkas:Jaflong Sylhet.jpg|al=|jmpl|280x280px|Sebagai makhluk Tuhan, manusia memiliki dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan, baik keberadaan dan fungsinnya |
[[Berkas:Jaflong Sylhet.jpg|al=|jmpl|280x280px|Sebagai makhluk Tuhan, manusia memiliki dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan, baik keberadaan dan fungsinnya.]] |
||
[[Tubuh]] adalah ''markab'' (kendaraan), ''rakib'' (roh pengendaranya), dan [[akhirat]] adalah tempat akhir perjalanan. Tubuh menciptakan kedekatan dengan roh melalui ibadah dan kepada [[Tuhan]]. Hal ini merupakan tahap pertama dari [[kebahagiaan]] umat manusia dan pemenuhan hikmah penciptaan. Sebagai makhluk Tuhan, manusia memiliki dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan, baik keberadaan dan fungsinnya. Dimensi pertama adalah [[fisik]] yang dapat diraba dan dirasakan [[Indra (fisiologi)|indra]], sedangkan dimensi kedua adalah [[metafisika]] ([[jiwa]], [[roh]], dan [[akal]]). Keterkaitan jiwa dalam tubuh terkait [[Keberadaan|eksistensi]] dan ''tasyakhhus'' ([[individuasi]]) bersifat sementara, bukan urutan subsistem. Pada tahapan perwujudan awalnya – berkaitan dengan asal-usul temporal – jiwa tergantung kepada materi dan dalam urutan selanjutnya melampaui semua ketergantungan tersebut. |
[[Tubuh]] adalah ''markab'' (kendaraan), ''rakib'' (roh pengendaranya), dan [[akhirat]] adalah tempat akhir perjalanan. Tubuh menciptakan kedekatan dengan roh melalui ibadah dan kepada [[Tuhan]]. Hal ini merupakan tahap pertama dari [[kebahagiaan]] umat manusia dan pemenuhan hikmah penciptaan. Sebagai makhluk Tuhan, manusia memiliki dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan, baik keberadaan dan fungsinnya. Dimensi pertama adalah [[fisik]] yang dapat diraba dan dirasakan [[Indra (fisiologi)|indra]], sedangkan dimensi kedua adalah [[metafisika]] ([[jiwa]], [[roh]], dan [[akal]]). Keterkaitan jiwa dalam tubuh terkait [[Keberadaan|eksistensi]] dan ''tasyakhhus'' ([[individuasi]]) bersifat sementara, bukan urutan subsistem. Pada tahapan perwujudan awalnya – berkaitan dengan asal-usul temporal – jiwa tergantung kepada materi dan dalam urutan selanjutnya melampaui semua ketergantungan tersebut. |
||
Baris 7: | Baris 7: | ||
––––– [[Ibnu Arabi]]|}} |
––––– [[Ibnu Arabi]]|}} |
||
[[Berkas:Faith (23281741082).jpg|al=|jmpl|280x280px|Roh manusia senantiasa mengendalikan ilmu pengetahuan. Roh manusia pula yang memberikan hakikat kepekaan, cinta, benci, dan penghormatan |
[[Berkas:Faith (23281741082).jpg|al=|jmpl|280x280px|Roh manusia senantiasa mengendalikan ilmu pengetahuan. Roh manusia pula yang memberikan hakikat kepekaan, cinta, benci, dan penghormatan.]] |
||
Pada awalnya, jiwa kosong dari setiap kesempurnaan dan bentuk. Ia mencapai suatu titik yang bisa melepaskan setiap bentuk – partikultural maupun universal – dari materi dan mempersepsikannya atau melihat dalam dirinya sendiri. Selanjutnya, jiwa pada permulaannya merupakan suatu wujud potensial, kosong dari kesempurnaan – suatu nonentitas halus yang menanggung kesamaan penting dengan tubuh. Dalam wadah lain, ia adalah tahap ragawi terakhir dan [[spiritual]] awal, yang di titik itu bukanlah tubuh murni maupun roh murni. Alih-alih, merupakan kesempurnaan ragawi dan potensialitas spiritual. Pada tahap akhir, ia sampai dalam ''tajarrud al-mahd'' (keterlepasan murni) dari materi dan kebebasan dari tubuh. Setiap perbuatan ragawi, seperti atau mendengar, sesungguhnya merupakan perbuatan jiwa. Agen sebenarnya dari perbuatan tersebut adalah jiwa. Jiwah yang sesungguhnya menjadi pendengar dan pelihat (juga wujud yang berbeda dari itu) yang menggunakan persepsi.<ref name=":1">{{Cite book|last=Nurcholish|first=Ahmad|last2=Dja'far|first2=Alamsyah Muhammad|year=2015|title=Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama|location=Jakarta|publisher=Elex Media Komputindo|isbn=978-602-0265-30-8|page=|pages=91–94|ref={{sfnref|Nurcholish|Dja'far|2015}}|url-status=live}}</ref> |
Pada awalnya, jiwa kosong dari setiap kesempurnaan dan bentuk. Ia mencapai suatu titik yang bisa melepaskan setiap bentuk – partikultural maupun universal – dari materi dan mempersepsikannya atau melihat dalam dirinya sendiri. Selanjutnya, jiwa pada permulaannya merupakan suatu wujud potensial, kosong dari kesempurnaan – suatu nonentitas halus yang menanggung kesamaan penting dengan tubuh. Dalam wadah lain, ia adalah tahap ragawi terakhir dan [[spiritual]] awal, yang di titik itu bukanlah tubuh murni maupun roh murni. Alih-alih, merupakan kesempurnaan ragawi dan potensialitas spiritual. Pada tahap akhir, ia sampai dalam ''tajarrud al-mahd'' (keterlepasan murni) dari materi dan kebebasan dari tubuh. Setiap perbuatan ragawi, seperti atau mendengar, sesungguhnya merupakan perbuatan jiwa. Agen sebenarnya dari perbuatan tersebut adalah jiwa. Jiwah yang sesungguhnya menjadi pendengar dan pelihat (juga wujud yang berbeda dari itu) yang menggunakan persepsi.<ref name=":1">{{Cite book|last=Nurcholish|first=Ahmad|last2=Dja'far|first2=Alamsyah Muhammad|year=2015|title=Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama|location=Jakarta|publisher=Elex Media Komputindo|isbn=978-602-0265-30-8|page=|pages=91–94|ref={{sfnref|Nurcholish|Dja'far|2015}}|url-status=live}}</ref> |
||
Baris 16: | Baris 16: | ||
Menurut Al-Buthi, roh manusia senantiasa mengendalikan ilmu pengetahuan. Roh manusia pula yang memberikan hakikat kepekaan, cinta, benci, dan penghormatan. Jika tidak ada roh, tidak ada pula yang tersisa dari diri manusia, kecuali [[daging]], [[darah]], dan [[tulang]]. Akal lahir dari hakikat yang bersifat materi, perasaan lahir dari kebutuhan materi yang yang terakumulasi dalam diri manusia, dan kepekaan tidak lain hanyalah anugerah [[kehidupan]]. Sementara itu, kehidupan lahir dari gerakan dan kehangatan, dari berbagai unsur seperti [[karbon]], [[ozon]], dan [[oksigen]].<ref name=":1" /> |
Menurut Al-Buthi, roh manusia senantiasa mengendalikan ilmu pengetahuan. Roh manusia pula yang memberikan hakikat kepekaan, cinta, benci, dan penghormatan. Jika tidak ada roh, tidak ada pula yang tersisa dari diri manusia, kecuali [[daging]], [[darah]], dan [[tulang]]. Akal lahir dari hakikat yang bersifat materi, perasaan lahir dari kebutuhan materi yang yang terakumulasi dalam diri manusia, dan kepekaan tidak lain hanyalah anugerah [[kehidupan]]. Sementara itu, kehidupan lahir dari gerakan dan kehangatan, dari berbagai unsur seperti [[karbon]], [[ozon]], dan [[oksigen]].<ref name=":1" /> |
||
[[Berkas:Dedico a dios esta danza.jpg|al=|jmpl|280x280px|Jiwa adalah medan bagi penumbuhan roh |
[[Berkas:Dedico a dios esta danza.jpg|al=|jmpl|280x280px|Jiwa adalah medan bagi penumbuhan roh.]] |
||
Kata "roh" disebutkan dalam [[Al-Qur'an|Al-Qur’an]] [[Surah Al-Hijr|Surah Al Hijr]] ayat ke-29, yaitu “''Dan Aku tiupkan ke dalamnya roh-Ku''”. Hal ini menunjukkan bahwa derajat jiwa lebih tinggi dari tubuh, tetapi lebih rendah daripada intelek. Jiwa adalah medan bagi penumbuhan roh. Benih yang Tuhan tanam – dengan sarana roh – di jiwa bersemi lebih dari (sekadar) imajinasi-imajinasi, hasrat-hasrat, dan hal-hal lainnya. Dengan demikian, semua [[ilmu]], [[pikiran]], dan perbuatan dicapai melalui bibit yang ditanam dan ditumbuhkan Tuhan melalui roh ke dalam jiwa dan tubuh. Inilah cara jiwa mempunyai suatu aspek yang naik menuju alam yang lebih tinggi dan suatu aspek yang turun menuju alam yang lebih rendah.<ref name=":1" /> |
Kata "roh" disebutkan dalam [[Al-Qur'an|Al-Qur’an]] [[Surah Al-Hijr|Surah Al Hijr]] ayat ke-29, yaitu “''Dan Aku tiupkan ke dalamnya roh-Ku''”. Hal ini menunjukkan bahwa derajat jiwa lebih tinggi dari tubuh, tetapi lebih rendah daripada intelek. Jiwa adalah medan bagi penumbuhan roh. Benih yang Tuhan tanam – dengan sarana roh – di jiwa bersemi lebih dari (sekadar) imajinasi-imajinasi, hasrat-hasrat, dan hal-hal lainnya. Dengan demikian, semua [[ilmu]], [[pikiran]], dan perbuatan dicapai melalui bibit yang ditanam dan ditumbuhkan Tuhan melalui roh ke dalam jiwa dan tubuh. Inilah cara jiwa mempunyai suatu aspek yang naik menuju alam yang lebih tinggi dan suatu aspek yang turun menuju alam yang lebih rendah.<ref name=":1" /> |
||
Revisi per 11 Juli 2021 06.10
Tubuh adalah markab (kendaraan), rakib (roh pengendaranya), dan akhirat adalah tempat akhir perjalanan. Tubuh menciptakan kedekatan dengan roh melalui ibadah dan kepada Tuhan. Hal ini merupakan tahap pertama dari kebahagiaan umat manusia dan pemenuhan hikmah penciptaan. Sebagai makhluk Tuhan, manusia memiliki dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan, baik keberadaan dan fungsinnya. Dimensi pertama adalah fisik yang dapat diraba dan dirasakan indra, sedangkan dimensi kedua adalah metafisika (jiwa, roh, dan akal). Keterkaitan jiwa dalam tubuh terkait eksistensi dan tasyakhhus (individuasi) bersifat sementara, bukan urutan subsistem. Pada tahapan perwujudan awalnya – berkaitan dengan asal-usul temporal – jiwa tergantung kepada materi dan dalam urutan selanjutnya melampaui semua ketergantungan tersebut.
Kesatuan
Tubuh memiliki suatu kedekatan dengan jiwa, karena merupakan tempat yang ke dalamnya roh dan intelek ditiupkan; dan intelek adalah wujud pertama yang diciptakan oleh Yang Nyata ––––– Ibnu Arabi
Pada awalnya, jiwa kosong dari setiap kesempurnaan dan bentuk. Ia mencapai suatu titik yang bisa melepaskan setiap bentuk – partikultural maupun universal – dari materi dan mempersepsikannya atau melihat dalam dirinya sendiri. Selanjutnya, jiwa pada permulaannya merupakan suatu wujud potensial, kosong dari kesempurnaan – suatu nonentitas halus yang menanggung kesamaan penting dengan tubuh. Dalam wadah lain, ia adalah tahap ragawi terakhir dan spiritual awal, yang di titik itu bukanlah tubuh murni maupun roh murni. Alih-alih, merupakan kesempurnaan ragawi dan potensialitas spiritual. Pada tahap akhir, ia sampai dalam tajarrud al-mahd (keterlepasan murni) dari materi dan kebebasan dari tubuh. Setiap perbuatan ragawi, seperti atau mendengar, sesungguhnya merupakan perbuatan jiwa. Agen sebenarnya dari perbuatan tersebut adalah jiwa. Jiwah yang sesungguhnya menjadi pendengar dan pelihat (juga wujud yang berbeda dari itu) yang menggunakan persepsi.[1]
Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dengan bahasa yang berbeda menjelakan bahwa manusia merupakan kesatuan eksistensi fisik dan nonfisik. Jika dipisahkan akan terdiri dari dua hal, yaitu akal yang dapat mengetahui sesuatu dan perasaan, yang merupakan tempat bersemayamnya rasa cinta atau benci terhadap sesuatu. Konsensus para pakar menyatakan bahwa akal manusia yang dapat mengetahui sesuatu itu berada di otak, sedangkan perasaannya ada dalam hati.[1]
Segala hal yang terkait dengan kepekaan, pengetahuan, dan perasaan berada dalam roh.[2] Sebagian telah diketahui sebagai salah satu rahasia Tuhan.[3] Roh masuk dan mengalir ke sela-sela tubuh memunculkan kepekaan, masuk dan mengalir ke otak memunculkan pengetahuan, serta masuk dan mengalir ke hati memunculkan perasaan yang dapat memberikan motivasi, penolakan, dan pengagungan, yaitu cinta, kebencian, dan kekaguman.[1]
Menurut Al-Buthi, roh manusia senantiasa mengendalikan ilmu pengetahuan. Roh manusia pula yang memberikan hakikat kepekaan, cinta, benci, dan penghormatan. Jika tidak ada roh, tidak ada pula yang tersisa dari diri manusia, kecuali daging, darah, dan tulang. Akal lahir dari hakikat yang bersifat materi, perasaan lahir dari kebutuhan materi yang yang terakumulasi dalam diri manusia, dan kepekaan tidak lain hanyalah anugerah kehidupan. Sementara itu, kehidupan lahir dari gerakan dan kehangatan, dari berbagai unsur seperti karbon, ozon, dan oksigen.[1]
Kata "roh" disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al Hijr ayat ke-29, yaitu “Dan Aku tiupkan ke dalamnya roh-Ku”. Hal ini menunjukkan bahwa derajat jiwa lebih tinggi dari tubuh, tetapi lebih rendah daripada intelek. Jiwa adalah medan bagi penumbuhan roh. Benih yang Tuhan tanam – dengan sarana roh – di jiwa bersemi lebih dari (sekadar) imajinasi-imajinasi, hasrat-hasrat, dan hal-hal lainnya. Dengan demikian, semua ilmu, pikiran, dan perbuatan dicapai melalui bibit yang ditanam dan ditumbuhkan Tuhan melalui roh ke dalam jiwa dan tubuh. Inilah cara jiwa mempunyai suatu aspek yang naik menuju alam yang lebih tinggi dan suatu aspek yang turun menuju alam yang lebih rendah.[1]
Perbuatan terbaik roh adalah menyatu dengan Yang Hakiki dan melepaskan diri dari selain-Nya.[4] Dampak dari sikap memelihara perilaku menyatu dengan Yang Hakiki, roh akan berada dalam suatu tahapan keterbatasan dan keterlepasan dari ikatan-ikatan (material) – cahaya wilayah gaib muncul saat itu. Roh pulalah yang menembus bagian-bagian tubuh dan syaraf-syaraf otak. Ia latif (lembut) keberadaannya, fi’liyyat (dekat aktualisasinya), infi’al (jauh dari kepasifan), dan dipengaruhi oleh elemen-elemen eksternal. Sebaliknya, ia katsif (lebih kuat) dan quwwah (lebih dekat kepada potensi).[1]
Hal itu pula yang menyebabkan roh bersifat bukhari (instingtif) atau lebih rendah tingkatannya dari jiwa dan lebih tinggi dari tubuh. Ia menjadi penghubung tubuh dan jiwa. Secara jelas, mediator-mediator lain di antara keduanya sangatlah penting, seperti barzakh al-mitsali (alam mitsal) yang merupakan mediator antara nafs an-natiqah (jiwa rasional) dan roh al-haywani (roh binatang), atau seperti sebagian dari bagian-bagian tubuh yang terhubung kepada roh yang menguap melalui bagian tubuh yang dominan.[1]
Dengan demikian, jika dipisahkan dari fisiknya, manusia memiliki susunan ganda, yaitu akal yang dapat mengetahui dan perasaan yang dapat mencintai maupun membenci. Hanya saja, jika ingin mengungkapkannya dengan detail, dapat dikatakan bahwa sifat kemanusiaan yang tersembunyi di balik fisiknya tidak lain adalah roh yang mengalir dalam selurh tubuhnya.[1]
Lihat pula
Rujukan
- ^ a b c d e f g h Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 91–94. ISBN 978-602-0265-30-8.
- ^ Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 26–27. ISBN 978-979-9075-69-7.
- ^ Davies, Paul (2012). Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 390–392. ISBN 978-979-9483-87-4.
- ^ Fromm, Erich (2011). Manusia Menjadi Tuhan: Pergumulan Tuhan Sejarah dan Tuhan Alam. Yogyakarta: Jalasutra. hlm. 83. ISBN 978-602-8252-70-6.