Lompat ke isi

Prabu Siliwangi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Gunkarta (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Gunkarta (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 13: Baris 13:
Sebuah teori kebahasaan menyebutkan bahwa nama Siliwangi berasal dari istilah dalam [[Bahasa Sunda]] ''Silih Wangi'', yang berarti pengganti atau penerus Raja Wangi. Raja Wangi sendiri berarti seorang raja yang memiliki nama yang harum (wangi).
Sebuah teori kebahasaan menyebutkan bahwa nama Siliwangi berasal dari istilah dalam [[Bahasa Sunda]] ''Silih Wangi'', yang berarti pengganti atau penerus Raja Wangi. Raja Wangi sendiri berarti seorang raja yang memiliki nama yang harum (wangi).


Menurut [[Kidung Sunda]] dan [[Carita Parahyangan]], Raja Wangi diidentifikasi sebagai Maharaja [[Linggabuana]], seorang raja Sunda yang gugur di [[Majapahit]] pada 1357 dalam peristiwa [[Perang Bubat]]. Dikisahkan Raja [[Hayam Wuruk]], raja Majapahit, berniat mempersunting [[Dyah Pitaloka Citraresmi]], putri raja Lingga Buana. Keluarga kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi, [[Gajah Mada]], mahapatih Majapahit, melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menuntut takluknya kerajaan Sunda di bawah Majapahit. Dia menuntut bahwa sang putri tidak akan dijadikan sebagai permaisuri Majapahit, melainkan hanya akan diperlakukan sebagai selir, sebagai tanda persembahan taklukknya kerajaan Sunda sebagai kerajaan bawahan dari Majapahit.
Menurut [[Kidung Sunda]] dan [[Carita Parahyangan]], Raja Wangi diidentifikasi sebagai Maharaja [[Linggabuana]], seorang raja Sunda yang gugur di [[Majapahit]] pada 1357 dalam peristiwa [[Perang Bubat]]. Dikisahkan Raja [[Hayam Wuruk]], raja Majapahit, berniat mempersunting [[Dyah Pitaloka Citraresmi]], putri raja Sunda. Keluarga kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi, [[Gajah Mada]], mahapatih Majapahit, melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menuntut takluknya kerajaan Sunda di bawah Majapahit. Dia menuntut bahwa sang putri tidak akan dijadikan sebagai permaisuri Majapahit, melainkan hanya akan diperlakukan sebagai selir, sebagai tanda persembahan taklukknya kerajaan Sunda sebagai kerajaan bawahan dari Majapahit.


Murka akibat penghinaan Gajah Mada ini, keluarga kerajaan Sunda berjuang melawan balatentara Majapahit sampai mati demi membela kehormatan mereka.Setelah kematiannya, Raja Lingga Buana diberikan gelar ''Wangi'' (raja yang harum namanya) karena aksi keberanian dan kepahlawanannya dalam mempertahankan kehormatan kerajaan.
Murka akibat penghinaan Gajah Mada ini, keluarga kerajaan Sunda berjuang melawan balatentara Majapahit sampai mati demi membela kehormatan mereka.Setelah kematiannya, Raja Lingga Buana diberikan gelar ''Wangi'' (raja yang harum namanya) karena aksi keberanian dan kepahlawanannya dalam mempertahankan kehormatan kerajaan.

Revisi per 12 Mei 2023 14.46

Lukisan perwujudan Prabu Siliwangi di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Prabu Siliwangi atau Raja Siliwangi (Sunda: ᮕᮢᮘᮥ ᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤ) adalah tokoh semi-legendaris yang digambarkan sebagai raja agung Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu sebelum berkembangnya Islam di Jawa Barat.[1]:415

Dia adalah tokoh populer dalam tradisi lisan pantun Sunda, sastra Sunda, dongeng, cerita rakyat, sandiwara, dan legenda yang menggambarkan masa pemerintahannya sebagai masa keemasan masyarakat Sunda. Tradisi menyebutkan bahwa beliau berhasil membawa rakyat dan kerajaannya menuju era kejayaan dan kemakmuran.

Tokoh Prabu Siliwangi adalah tokoh semi-mitologi karena tradisi lisan Sunda hanya menyebutkan raja agung Sunda sebagai "Prabu Siliwangi" tanpa memperhatikan era atau kurun waktu sejarahnya. Sulit untuk memastikan dan mengidentifikasi siapakah tokoh sejarah yang dimaksudkan sebagai Prabu Siliwangi yang legendaris ini. Akibatnya kisah mengenai raja legendaris ini membentang dari era mitologi yang terkait kisah dewa-dewi Sunda kuno, hingga ke zaman kemudian saat datangnya ajaran Islam ke Tatar Sunda menjelang keruntuhan kerajaan Sunda Pajajaran.

Beberapa pihak telah mengajukan pendapat mengenai siapa tokoh sejarah nyata yang menginspirasi kisah Prabu Siliwangi ini. Penafsiran paling populer mengaitkan Prabu Siliwangi dengan tokoh sejarah raja Sunda bernama Sri Baduga Maharaja[2][3] yang disebutkan bertakhta di Pajajaran pada kurun 1482–1521. Sementara ada pihak lain yang berpendapat bahwa legenda Prabu Siliwangi mungkin terinspirasi oleh tokoh sejarah raja Sunda sebelumnya yang bernama Niskala Wastu Kancana, yang disebutkan memerintah selama 104 tahun dari kurun 1371–1475.[1]:415

Etimologi

Sebuah teori kebahasaan menyebutkan bahwa nama Siliwangi berasal dari istilah dalam Bahasa Sunda Silih Wangi, yang berarti pengganti atau penerus Raja Wangi. Raja Wangi sendiri berarti seorang raja yang memiliki nama yang harum (wangi).

Menurut Kidung Sunda dan Carita Parahyangan, Raja Wangi diidentifikasi sebagai Maharaja Linggabuana, seorang raja Sunda yang gugur di Majapahit pada 1357 dalam peristiwa Perang Bubat. Dikisahkan Raja Hayam Wuruk, raja Majapahit, berniat mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi, putri raja Sunda. Keluarga kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi, Gajah Mada, mahapatih Majapahit, melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menuntut takluknya kerajaan Sunda di bawah Majapahit. Dia menuntut bahwa sang putri tidak akan dijadikan sebagai permaisuri Majapahit, melainkan hanya akan diperlakukan sebagai selir, sebagai tanda persembahan taklukknya kerajaan Sunda sebagai kerajaan bawahan dari Majapahit.

Murka akibat penghinaan Gajah Mada ini, keluarga kerajaan Sunda berjuang melawan balatentara Majapahit sampai mati demi membela kehormatan mereka.Setelah kematiannya, Raja Lingga Buana diberikan gelar Wangi (raja yang harum namanya) karena aksi keberanian dan kepahlawanannya dalam mempertahankan kehormatan kerajaan.

Keturunannya yang memiliki keagungan yang setara disebut dengan gelar Silihwangi (penerus Raja Wangi). Setelah mangkatnya Raja Wangi (Prebu Maharaja), terdapat tujuh raja pewarisnya, yang secara teknis semuanya dianggap pewaris Raja Wangi (Silihwangi).

Sementara sejarahwan lain berpendapat bahwa nama Siliwangi berasal dari istilah Sunda Asilih Wewangi, yang berarti berganti gelar.[4]

Lihat juga

Catatan

  1. ^ a b Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno. Balai Pustaka. ISBN 978-9794074084. OCLC 318053182. Diakses tanggal 17 June 2018. 
  2. ^ Moh. Amir Sutaarga. "Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharadja Ratu Hadji di Pakwan Padjadjaran, 1474-1513". Smithsonian Institution (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-06-21. 
  3. ^ "Sri Baduga Sangat Melegenda Dalam Kerajaan Sunda". Pikiran Rakyat. 1 November 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 June 2018. Diakses tanggal 19 June 2018. 
  4. ^ Kompasiana.com. "Napak Tilas Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi oleh Diella Dachlan - Kompasiana.com". www.kompasiana.com. Diakses tanggal 2018-06-19. 

Referensi

  • Atja (1968), Tjarita Parahijangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad Ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  • Berg, C.C., (1938), "Javaansche Geschiedschrijving" dalam F.W. Stapel (ed.,) Geschiedenis van Nederlandsch Indie. Jilid II:7-48. Amsterdam. Diterjemahkan oleh S.Gunawan (1974), Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta: Bhratara.
  • Brandes, J.L.A., (1911) "Babad Tjerbon" Uitvoerige inhouds-opgave en Noten door Wijlen Dr.J.L.A.Brandes met inleiding en tekst, uitgegeven door Dr.DA.Rinkes. VBG. LIX. Tweede Druk. Albrecht & Co. -'sGravenhage.
  • Djoko Soekiman (1982), Keris Sejarah dan Funsinya. Depdikbud-BP3K Yogyakarta. Proyek Javanologi.
  • Girardet, Nikolaus et al. (1983),Descriptive Catalogue of the Javanese Manuscripts. Wiesbaden: Franz Steiner Verlag.
  • Graaf, H.J. (1953), Over het Onstaant de Javaanse Rijkskroniek. Leiden.
  • Olthof, W.L. ed., (1941), Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Adam Doemoegi ing Taoen 1647. 'Gravenhage.
  • Padmasusastra, Ki (1902), Sajarah Karaton Surakarta-Ngayogyak arta. Semarang-Surabaya: Van Dorp.
  • Pigeaud, Th. G.Th., (1967–1980), Literature of Java, 4 Jilid. The Hague: Martinus Nijhoff.
  • Pradjasujitna, R.Ng., (1956), Tjatatan Ringkas Karaton Surakarta. Cetakan Ketiga. Sala: Tigalima.
  • Ricklefts, M.C dan p. Voorhoeve (1977), Indonesian Manuscripts in Great Britain, Oxford university Press.
  • Sartono Kartodirdjo et al., (1975), Sejarah Nasional Indonesia II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. PN Balai Pustaka.
  • Sumodiningrat Mr.B.P.H., (1983), Pamor Keris. depdiknud BP3K. Yogyakarta: Proyek Javanologi.