Lompat ke isi

Negara Pasundan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Reformat 1 URL (Wayback Medic 2.5)) #IABot (v2.0.9.5) (GreenC bot
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 34: Baris 34:
|government_type =
|government_type =
|capital = [[Bandung|Bandoeng]]
|capital = [[Bandung|Bandoeng]]
|motto = Gemah ripah, pasir wukir, loh djinawi ([[bahasa Jawa]]) Kemakmuran dan kegembiraan dari lautan sampai pegunungan membuat semua orang berkembang dan berumur panjang <ref> KBBI[https://kbbi.web.id/gemah]</ref>
|motto = Kemakmuran dan kegembiraan dari lautan sampai pegunungan membuat semua orang berkembang dan berumur panjang <ref> KBBI[https://kbbi.web.id/gemah]</ref>
|era = Perang Dingin
|era = Perang Dingin
|event_start = Negara Jawa Barat didirikan
|event_start = Negara Jawa Barat didirikan

Revisi per 2 November 2023 16.10

Negara Pasundan
ᮕᮞᮥᮔ᮪ᮓᮔ᮪
Negara bagian Republik Indonesia Serikat
1948–1950
Flag of Pasundan
Panji daerah
Coat of arms of Pasundan
Coat of arms

  Negara Pasundan
  Banten[c]
Ibu kotaBandoeng
Sejarah
Pemerintahan
 • MottoKemakmuran dan kegembiraan dari lautan sampai pegunungan membuat semua orang berkembang dan berumur panjang [1]
Wali Negara 
• 1948–1950
R.A.A. Wiranatakusumah
Perdana Menteri 
• 1948–1949
Adil Puradiredja
• 1949–1950
Djumhana Wiriaatmadja
• 1950
Anwar Tjokroaminoto
LegislaturParlemen Pasundan
Era sejarahPerang Dingin
• Negara Jawa Barat didirikan
26 Februari 1948
• Berganti nama menjadi Negara Bagian Pasundan
24 April 1948
• Bergabung dengan Republik Indonesia
11 Maret 1950
• Dibubarkan
1950
Didahului oleh
Digantikan oleh
Negara Pasundan (1947)
Jawa Barat
Sekarang bagian dariIndonesia Jawa Barat, Banten, dan Jakarta, Indonesia
Presiden pertama dan terakhir dari Negara Pasundan, Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema berjabat tangan dengan seorang wanita dalam acara misi parlemen di Yogyakarta.

Negara Pasundan adalah salah satu negara bagian dari negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang didirikan oleh Belanda pada tanggal 24 April 1948. Letaknya di bagian barat Pulau Jawa (sekarang DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Banten) dan beribu kota di Bandung. Presiden pertama dan terakhirnya adalah Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema. Berdirinya Negara ini sangat tergantung akan bantuan Belanda, tampak terlihat saat Soeria Kartalegawa akan memproklamasikan pendirian negara ini di Bandung tahun 1947, Soeria Kartalegawa menunggu terlebih dahulu Pasukan Divisi Siliwangi yang hijrah ke Yogyakarta pergi.[2]

Pada konferensi ketiga pembentukan Negara Pasundan terdapat banyak peserta yang pro republik yang dipimpin oleh Raden Soejoso, eks Wedana Senen, Jakarta. Dari tiga kali hasil konferensi, sebagai wali negara, pertama dan terakhir, Wiranatakusumah. Namun ada versi lain Negara Pasundan yang berdiri 9 Mei 1947, dengan pemimpinnya Soeria Kartalegawa.

Negara Pasundan Federalis

RAA Musa Suria Kertalegawa

Saat Wakil Gubernur Jenderal Van Mook melakukan tahap-tahap awal pembentukan Indonesia Serikat, eks Bupati Garut Soeria Kartalegawa yang feodal, dan tidak bersimpatik pada pergerakan nasional, mendirikan Partai Rakyat Pasundan (PRP) di Bogor, atas ide eks Perwira KNIL, Kolonel Santoso, penasehat politik Van Mook. Pelaksanaannya dibantu oleh intel militer Belanda, NEVIS.

Namun karena reputasi Kartalegawa sangat buruk, Van der Plas bahkan menjulukinya fraudeur alias koruptor, sehingga bukan ia yang menjadi ketuanya, melainkan Raden Sadikin, pegawai pusat distribusi pangan milik Belanda di Bandung Utara. Sebagai sekretaris dan bendahara, ditunjuk dua orang yang sebelum perang menjadi sopir, dan di Era Pendudukan Jepang menjadi mandor kebun. Keanggotaan dilakukan dengan ‘paksaan halus’.

Kartalegawa berusaha mewujudkan Negara Pasundan yang merdeka dari Indonesia. Usaha ini didukung Residen Belanda di Bandung, M. Klaassen, yang menulis sebuah laporan, tertanggal 27 Desember 1946. Residen Preanger itu menulis dalam laporannya, bahwa sejak berabad-abad lamanya, terjadi persaingan etnis Sunda-Jawa, akibat perbedaan adat, tradisi, dan mentalitas. Indonesia selalu dipimpin oleh etnis Jawa, maka PRP dipandang sebagai suatu gerakan rakyat yang spontan.

Residen menyambut gembira, karena di Tatar Pasundan timbul gerakan antirepublik. Gerakan PRP semestinya didukung kendati di dalamnya terdapat orang yang tidak seluruhnya bisa dipercaya, hanya mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, dan bukan karena mencintai Tatar Pasundan. Pendapat ini disetujui Gubernur Abbenhuis, tetapi Van Mook menolaknya.

Kartalegawa menjadi nekat, melihat sikap Van Mook. Pada sebuah pertemuan, 4 Mei 1947, di Bandung, yang dihadiri oleh 5000 orang, ia memproklamasikan Negara Pasundan. Kendati dilarang oleh Van Mook, pejabat Belanda setempat tetap menyediakan truk-truk untuk mengangkut para pengikut Kartalegawa ke Bogor. Di sini mereka disambut baik oleh Kolonel Thompson dan Residen Statius Muller.

Pada masa itu, Soekarno masih didukung oleh banyak rakyat dan Kartalegawa dianggap pembelot. Tapi ini tidak mencegah Kartalegawa melancarkan gerakan di Bogor, Mei 1947, yakni menduduki kantor-kantor dan stasiun, bahkan menawan seorang residen. Kasus PRP adalah pergolakan politik yang menggambarkan situasi pasca Agresi Militer, Juli 1947, di Tatar Sunda.[3]

Negara Pasundan Republiken

Raden Aria Wiranatakusumah, Presiden Negara Pasundan.

Jika Negara Pasundan versi Kartalegawa dari golongan federalis kurang didukung oleh tokoh-tokoh Pasundan, sehingga tidak berjalan, maka berbeda dengan Negara Pasundan versi Wiranatakusumah dari golongan republiken yang cukup menggeliat, karena melibatkan tokoh-tokoh Sunda dalam konferensi.

Dua sikap politik yang terjadi terkait Negara Pasundan; federalis, yaitu sikap mendukung Indonesia Serikat. Dan republiken, yang mendukung Republik Indonesia dan menolak Indonesia Serikat. Keterlibatan para tokoh Republiken pada Negara Pasundan, lebih merupakan strategi politik agar Tatar Pasundan tidak lepas dari Republik Indonesia. Salah satu tokoh penting dalam perjuangan tersebut adalah Wiranatakusumah yang diangkat menjadi Presiden Pasundan.

Wiranatakusumah adalah figur vokal dalam memperjuangkan nasib kaum pegawai bumiputera. Dia menginginkan agar bupati, selain sebagai alat birokrasi pemerintah, juga harus berpolitik untuk kepentingan kaum pribumi. Ketika menjabat sebagai Bupati Bandung, untuk menjalin hubungan informasi dengan pejabat pemerintahan hingga ke tingkat desa, ia menerbitkan majalah Obor.

Soekarno meminta kepada para pangreh praja yang pernah menjabat pegawai pemerintahan kolonial Belanda, agar loyal kepada Republik Indonesia. Wiranatakusumah sangat mendukung perjuangan kaum nasionalis dan pemerintahan Republik Indonesia itu. Ketika diadakan konferensi pangreh praja, 2 September 1945, di Jakarta, Wiranatakusumah menjadi tokoh penting di dalamnya.

Wiranatakusumah mendesak pangreh praja agar mendekati rakyat dan komite-komite nasional, untuk menghindari anggapan campur-tangan dalam kedudukan mereka, karena situasi menuntut adanya persatuan dan kesatuan. Kedekatan dan pemikiran nasionalis ini antara lain membawa Wiranatakusumah menjabat Menteri Dalam Negeri Indonesia yang pertama.

Walaupun menjadi pejabat dalam pemerintahan pusat, Wiranatakusumah tidak melupakan perjuangan di Pasundan. Gagalnya Kartalegawa dalam mendirikan Negara Pasundan, telah menyadarkan Belanda bahwa Kartalegawa bukanlah tokoh yang berpengaruh di Pasundan. Belanda kemudian melibatkan semua lapisan masyarakat melalui konferensi, membangun Negara Bagian Pasundan.

Konferensi pertama kali dilakukan di Bandung, 12-19 Oktober 1947, diselenggarakan Recomba, dihadiri 50 orang, dari pejabat pemerintah, tokoh agama, kalangan swasta, tokoh pendidikan, dan psikolog. Pembicaraan utama dalam konferensi ini adalah perlu atau tidaknya pembentukan Negara Pasundan.

Dalam menyikapi pembicaraan tersebut, terdapat 3 pendapat. Pertama, federalis, yang menghendaki pendirian Negara Pasundan yang terpisah dari Indonesia. Kedua, republiken, yang tidak menghendaki berdirinya suatu negara yang terpisah dari Indonesia. Dan ketiga, kelompok abstain.

Konferensi pertama belum menghasilkan pembentukan Negara Pasundan, sehingga konferensi dilanjutkan berikutnya, 16-20 Desember 1947, melibatkan bangsa pribumi, pendatang Cina, pendatang Arab, dan orang Belanda, total berjumlah 159 orang.

Hingga Konferensi Jabar III dilaksanakan, tepatnya pada 23 Februari - 5 Maret 1948 di Bandung. Konferensi ini bertujuan melaksanakan keputusan-keputusan yang sudah disepakati dalam konferensi-konferensi sebelumnya, yaitu berdirinya Negara Pasundan, dan terpilihnya Wiranatakusumah sebagai presiden.

Wiranatakusumah terpilih melalui proses pemilihan. Dalam pemilihan ini ada 2 kubu yang bersaing, yaitu federalis dan republiken. Wiranatakusumah merupakan perwakilan dari kubu republiken, sedangkan wakil dari kubu federalis adalah Hilman Djajadiningrat.

Kemenangan Wiranatakusumah merupakan kemenangan kaum republiken yang tidak memiliki tujuan khusus membentuk Negara Pasundan, melainkan strategi politik belaka agar Pasundan tidak terpisah dari Indonesia.

Terpilihnya Wiranatakusumah sebagai Presiden Pasundan, mendapat restu dari Soekarno. Ketika terpilih, Wiranatakusumah masih menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Agung Indonesia dan berkedudukan di Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, karena Jakarta diduduki Belanda.

Soekarno melihat, kemenangan Wiranatakusumah merupakan kemenangan Indonesia sekaligus, mengingat Wiranatakusumah adalah tokoh Sunda republiken Pro-Indonesia.

Sikap republiken Wiranatakusumah dalam menjalankan pemerintahan Negara Pasundan sangat menonjol. Ia menunjuk tokoh republiken dari Paguyuban Pasundan, Adil Puradiredja sebagai Perdana Menteri Pasundan. Dalam Koran Siasat, Adil mengatakan bahwa Negara Pasundan bukanlah tujuan, melainkan hanyalah jalan. Pernyataan Adil ini mendapat teguran dari Belanda.

Saat terjadi Agresi Militer II, 19 Desember 1948, Adil Puradiredja mengundurkan diri, sebagai bentuk protes. Adil digantikan Tumenggung Djumhana. Program Djumhana mendapat teguran pula dari Belanda, bahkan mengancam akan membubarkan Negara Pasundan dan diganti dengan pemerintahan militer. Tekanan Belanda tersebut direspons Wiranatakusumah dengan balik mengancam ia akan meletakkan jabatannya.

Kedudukan Negara Pasundan semakin lemah setelah terjadinya Peristiwa APRA, Angkatan Perang Ratu Adil, yang dipimpin Westerling 30 Januari 1950, Presiden Pasundan menyerahkan mandatnya kepada Parlemen Pasundan.

Di kediaman Presiden, dilangsungkan serah-terima kekuasaan Negara Pasundan kepada Komisaris Republik Indonesia, Sewaka. Tanggal 8 Maret 1950, Negara Pasundan resmi bubar dan kembali berada di bawah Republik Indonesia.

Pemerintahan

Kabinet Pemerintahan

No. Nama Kabinet Awal menjabat Akhir menjabat Kepala negara Kepala pemerintahan Jumlah personel
1 Kabinet Adil
8 Mei 1948
10 Januari 1949
Wiranatakusumah
Adil Puradiredja
8
2 Kabinet Djumhana I
10 Januari 1949
31 Januari 1949
Wiranatakusumah
Djumhana Wiriaatmadja
7
3 Kabinet Djumhana II
31 Januari 1949
18 Juli 1949
Wiranatakusumah
Djumhana Wiriaatmadja
8
4 Kabinet Djumhana III
18 Juli 1949
11 Januari 1950
Wiranatakusumah
Djumhana Wiriaatmadja
9
5 Kabinet Anwar
11 Januari 1950
23 Januari 1950
Wiranatakusumah
Anwar Tjokroaminoto
11

Perdana Menteri

Catatan

  1. ^ Di bawah pemerintah federal tetapi gubernur ditunjuk oleh Wali Negara Pasundan.
  2. ^ Dari 30 Desember 1949 sampai 11 Maret 1950 sebagai Distrik Federal Jakarta.
  3. ^ Diklaim oleh Negara Pasundan tetapi tidak terkendali.

Referensi

  1. ^ KBBI[1]
  2. ^ Ensiklopedi Umum (Edisi Kedua dengan EYD), Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1977, hlm. 142, ISBN 978-979-413-522-8
  3. ^ Handayani, Maulida Sri. "Berakhirnya Negara Pasundan". tirto.id. Diakses tanggal 2022-08-24. 

Pranala luar

  • (Indonesia) [2]