Mesir Kuno: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ricky Setiawan (bicara | kontrib)
Ricky Setiawan (bicara | kontrib)
Baris 35: Baris 35:


== Peninggalan ==
== Peninggalan ==
[[File:Egypt.ZahiHawass.01.jpg|thumb|Dr. [[Zahi Hawass]] is the current Secretary General of the Supreme Council of Antiquities.]]
[[File:Egypt.ZahiHawass.01.jpg|thumb|Dr. [[Zahi Hawass]], Secretary General of the Supreme Council of Antiquities.]]
Budaya dan monumen Mesir kuno telah menjadi peninggalan sejarah yang abadi. Pemujaan terhadap dewi [[Isis]], sebagai contoh, menjadi populer di masa [[Kekaisaran Romawi]].<ref>Siliotti (1998) p. 8</ref> Orang Romawi juga mengimpor [[bahan bangunan]] dari Mesir untuk mendirikan struktur dengan gaya Mesir. Sejarawan seperti [[Herodotus]], [[Strabo]] dan [[Diodorus Siculus]] mempelajari dan menulis tentang Mesir kuno yang kemudian dipandang sebagai tempat yang penuh misteri.<ref>Siliotti (1998) p. 10</ref> Di [[Abad Pertengahan]] dan [[Renaissance]], perkembangan budaya pagan Mesir mulai menurun seiring dengan berkembangnya agama Kristen dan [[Islam]], namun ketertarikan terhadap budaya tersebut masih tersirat dalam karya-karya ilmuwan abad pertengahan seperti [[Dhul-Nun al-Misri]] dan [[al-Maqrizi]].<ref>El-Daly (2005) p. 112</ref>
Budaya dan monumen Mesir kuno telah menjadi peninggalan sejarah yang abadi. Pemujaan terhadap dewi [[Isis]], sebagai contoh, menjadi populer di masa [[Kekaisaran Romawi]].<ref>Siliotti (1998) p. 8</ref> Orang Romawi juga mengimpor [[bahan bangunan]] dari Mesir untuk mendirikan struktur dengan gaya Mesir. Sejarawan seperti [[Herodotus]], [[Strabo]] dan [[Diodorus Siculus]] mempelajari dan menulis tentang Mesir kuno yang kemudian dipandang sebagai tempat yang penuh misteri.<ref>Siliotti (1998) p. 10</ref> Di [[Abad Pertengahan]] dan [[Renaissance]], perkembangan budaya pagan Mesir mulai menurun seiring dengan berkembangnya agama Kristen dan [[Islam]], namun ketertarikan terhadap budaya tersebut masih tersirat dalam karya-karya ilmuwan abad pertengahan, misalnya karya [[Dhul-Nun al-Misri]] dan [[al-Maqrizi]].<ref>El-Daly (2005) p. 112</ref>


Pada abad ke-17 dan 18, penjelajah dan turis Eropa membawa banyak barang antik dan menulis tentang kisah perjalanan mereka di Mesir, yang kemudian memancing terjadinya gelombang ''[[Egyptomania]]'' di Eropa. Ketertarikan tersebut mengakibatkan banyaknya kolektor Eropa yang membeli, mengambil, atau menerima barang-barang antik penting dari Mesir.<ref>Siliotti (1998) p. 13</ref> Meskipun penjajahan [[kolonialisme|kolonial]] Eropa terhadap mesir mengakibatkan hancurnya benda-benda bersejarah, kehadiran bangsa Eropa juga dampak positif terhadap peninggalan Mesir kuno. [[Napoleon I dari Perancis|Napoleon]], misalnya, melakukan studi pertama mengenai [[Egyptology]] ketika ia membawa 150 ilmuwan dan seniman untuk mempelajari dan mendokmentasi sejarah alam Mesir, yang kemudian dipublikasi dalam ''[[Description de l'Égypte|Description de l'Ėgypte]]''.<ref>Siliotti (1998) p. 100</ref> Pada abad ke-20, pemerintah Mesir dan arkeolog mulai melakukan pengawasan terhadap kegiatan ekskavasi di Mesir dengan membentuk ''[[Supreme Council of Antiquities]]''.
Pada abad ke-17 dan 18, penjelajah dan turis Eropa membawa banyak barang antik dan menulis tentang kisah perjalanan mereka di Mesir, yang kemudian memancing terjadinya gelombang ''[[Egyptomania]]'' di Eropa. Ketertarikan tersebut mengakibatkan banyaknya kolektor Eropa yang membeli atau membawa barang-barang antik penting dari Mesir.<ref>Siliotti (1998) p. 13</ref> Meskipun penjajahan [[kolonialisme|kolonial]] Eropa terhadap mesir mengakibatkan hancurnya benda-benda bersejarah, kehadiran bangsa Eropa juga dampak positif terhadap peninggalan Mesir kuno. [[Napoleon I dari Perancis|Napoleon]], misalnya, melakukan studi pertama mengenai [[Egyptology]] ketika ia membawa 150 ilmuwan dan seniman untuk mempelajari dan mendokumentasi sejarah alam Mesir, yang kemudian dipublikasi dalam ''[[Description de l'Égypte|Description de l'Ėgypte]]''.<ref>Siliotti (1998) p. 100</ref> Pada abad ke-20, pemerintah Mesir dan arkeolog mulai melakukan pengawasan terhadap kegiatan ekskavasi di Mesir dengan membentuk ''[[Supreme Council of Antiquities]]''.


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==

Revisi per 21 September 2010 14.04

Piramida Khafre (dinasti keempat Mesir) dan Sphinx Agung Giza (± 2500 SM atau lebih tua).

Daftar Dinasti
pada zaman Mesir Kuno

Periode Pra-Dinasti
Periode Proto-Dinasti
Periode Dinasti Awal
ke-1 ke-2
Kerajaan Lama
ke-3 ke-4 ke-5 ke-6
Periode Menengah Pertama
ke-7 ke-8 ke-9 ke-10
ke-11 (hanya Thebes)
Kerajaan Pertengahan
ke-11 (seluruh Mesir)
ke-12 ke-13 ke-14
Periode Menengah Kedua
ke-15 ke-16 ke-17
Kerajaan Baru
ke-18 ke-19 ke-20
Periode Menengah Ketiga
ke-21 ke-22 ke-23
ke-24 ke-25
Periode Akhir
ke-26
ke-27 (Periode Persia Pertama)
ke-28 ke-29 ke-30
ke-31 (Periode Persia Kedua)
Periode Yunani-Romawi
Alexander Agung
Dinasti Ptolemaik
Mesir Romawi
Serbuan Arab

Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika. Peradaban ini terpusat sepanjang pertengahan hingga hilir Sungai Nil yang mencapai kejayaannya pada sekitar abad ke-2 SM, pada masa yang disebut sebagai periode Kerajaan Baru. Daerahnya mencakup wilayah Delta Nil di utara, hingga Jebel Barkal di Katarak Keempat Nil. Pada beberapa zaman tertentu, peradaban Mesir meluas hingga bagian selatan Levant, Gurun Timur, pesisir pantai Laut Merah, Semenajung Sinai, serta Gurun Barat (terpusat pada beberapa oasis).

Peradaban Mesir Kuno berkembang selama kurang lebih tiga setengah abad. Dimulai dengan unifikasi awal kelompok-kelompok yang ada di Lembah Nil sekitar 3150 SM, peradaban ini secara tradisional dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, sewaktu Kekaisaran Romawi awal menaklukkan dan menyerap wilayah Mesir Ptolemi sebagai bagian provinsi Romawi. Walaupun hal ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara bertahap di Lembah Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban independen Mesir.

Peradaban Mesir Kuno didasari atas kontrol keseimbangan yang baik antara sumber daya alam dan manusia, ditandai terutama oleh

  • irigasi teratur terhadap Lembah Nil;
  • eksploitasi mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;
  • perkembangan awal sistem tulisan dan literatur independen;
  • organisasi proyek kolektif;
  • perdagangan dengan wilayah Afrika timur dan tengah serta Mediterania timur; serta
  • aktivitas militer yang menunjukkan karakteristik kuat hegemoni kerajaan dan dominasi wilayah terhadap kebudayaan tetangga pada beberapa periode berbeda.

Pengelolaan kegiatan-kegiatan ini dilakukan oleh elit sosial, politik, dan ekonomi yang mencapai konsensus sosial melalui sistem yang rumit didasari kepercayaan agama di bawah sosok penguasa setengah dewa (semi-divine), yang biasanya laki-laki, melalui suatu suksesi dinasti penguasa yang dikenal oleh dunia luas sebagai kepercayaan politeisme. Lembah yang dahulunya dibanjiri Sungai Nil, maka lembah tersebut terlihat jauh lebih subur daripada gurun pasir disekitarnya.

Sejarah

Pada akhir masa Paleolitik, iklim Afrika Utara menjadi semakin panas dan kering. Akibatnya, penduduk di wilayah tersebut terpaksa berpusat di sepanjang sungai Nil. Sebelumnya, semenjak manusia pemburu-pengumpul mulai tinggal di wilayah tersebut pada akhir Pleistosen Tengah (sekitar 120 ribu tahun lalu), sungai Nil telah menjadi nadi kehidupan Mesir.[1] Dataran banjir Nil yang subur memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan pertanian dan masyarakat yang terpusat dan mutakhir, yang menjadi landasan bagi sejarah peradaban manusia.[2]

Masa pra dinasti

Pada masa pra dan awal dinasti, iklim Mesir lebih subur daripada hari ini. Sebagian wilayah Mesir ditutupi oleh sabana berhutan dan dilalui oleh ungulata yang merumput. Flora dan fauna lebih produktif dan sungai Nil menopang kehidupan unggas-unggas air. Perburuan merupakan salah satu mata pencaharian utama orang Mesir. Selain itu, pada periode ini, banyak hewan yang didomestikasi.[3]

Sekitar tahun 5500 SM, suku-suku kecil yang menetap di lembah sungai Nil telah berkembang menjadi peradaban yang menguasai pertanian dan peternakan. Peradaban mereka juga dapat dikenal melalui tembikar dan barang-barang pribadi, seperti sisir, gelang tangan, dan manik. Peradaban yang terbesar diantara peradaban-peradaban awal adalah Badari di Mesir hulu, yang dikenal akan keramik, peralatan batu, dan penggunaan perunggu.[4]

Peninggalan

Dr. Zahi Hawass, Secretary General of the Supreme Council of Antiquities.

Budaya dan monumen Mesir kuno telah menjadi peninggalan sejarah yang abadi. Pemujaan terhadap dewi Isis, sebagai contoh, menjadi populer di masa Kekaisaran Romawi.[5] Orang Romawi juga mengimpor bahan bangunan dari Mesir untuk mendirikan struktur dengan gaya Mesir. Sejarawan seperti Herodotus, Strabo dan Diodorus Siculus mempelajari dan menulis tentang Mesir kuno yang kemudian dipandang sebagai tempat yang penuh misteri.[6] Di Abad Pertengahan dan Renaissance, perkembangan budaya pagan Mesir mulai menurun seiring dengan berkembangnya agama Kristen dan Islam, namun ketertarikan terhadap budaya tersebut masih tersirat dalam karya-karya ilmuwan abad pertengahan, misalnya karya Dhul-Nun al-Misri dan al-Maqrizi.[7]

Pada abad ke-17 dan 18, penjelajah dan turis Eropa membawa banyak barang antik dan menulis tentang kisah perjalanan mereka di Mesir, yang kemudian memancing terjadinya gelombang Egyptomania di Eropa. Ketertarikan tersebut mengakibatkan banyaknya kolektor Eropa yang membeli atau membawa barang-barang antik penting dari Mesir.[8] Meskipun penjajahan kolonial Eropa terhadap mesir mengakibatkan hancurnya benda-benda bersejarah, kehadiran bangsa Eropa juga dampak positif terhadap peninggalan Mesir kuno. Napoleon, misalnya, melakukan studi pertama mengenai Egyptology ketika ia membawa 150 ilmuwan dan seniman untuk mempelajari dan mendokumentasi sejarah alam Mesir, yang kemudian dipublikasi dalam Description de l'Ėgypte.[9] Pada abad ke-20, pemerintah Mesir dan arkeolog mulai melakukan pengawasan terhadap kegiatan ekskavasi di Mesir dengan membentuk Supreme Council of Antiquities.

Lihat pula

Pranala luar

Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA

  1. ^ Shaw (2002) hal. 17
  2. ^ Shaw (2002) hal. 17, 67–69
  3. ^ Ikram, Salima (1992). Choice Cuts: Meat Production in Ancient Egypt. University of Cambridge. hlm. 5. ISBN 9789068317459. OCLC 60255819. Diakses tanggal 22 July 2009.  LCCN 1997-140867
  4. ^ Hayes (1964) hal. 220
  5. ^ Siliotti (1998) p. 8
  6. ^ Siliotti (1998) p. 10
  7. ^ El-Daly (2005) p. 112
  8. ^ Siliotti (1998) p. 13
  9. ^ Siliotti (1998) p. 100