Lompat ke isi

Sejarah Bangka: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
BP52Nurdin (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: BP2014
BP52Nurdin (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: BP2014
Baris 28: Baris 28:
'''Bangka pada masa Pleitosen'''
'''Bangka pada masa Pleitosen'''


Pleistosen adalah masa antara 1.808.000 hingga 11.600 tahun yang lalu. Disebut juga [[zaman es]] ketika temperatur global 15 drajat celcius lebih dingin dari masa sekarang (zaman kauter). saat itu pulau sumatera, kepulauan riau, jawa, kepulauan bangka belitung, dan kalimantan tergabung menjadi satu daratan.
Pleistosen adalah masa antara 1.808.000 hingga 11.600 tahun yang lalu.<ref name="Lagenda"/> Disebut juga [[zaman es]] ketika temperatur global 15° C lebih dingin dari masa sekarang (zaman kauter).<ref name="Lagenda"/> saat itu [[Pulau Sumatera]], [[Kepulauan Riau]], [[Jawa]], [[Kepulauan Bangka Belitung, dan [[Kalimantan]] tergabung menjadi satu dengan [[Asia]] daratan.<ref name="Lagenda"/> Dizaman [[Pleistosen]] terjadi dua pristiwa [[geologi]] penting yaitu [[zaman glasial]] (ditandai meluasnya lapisan es di kedua kutub bumi) dan [[zaman interglasial]] (zaman es kembali mencair).<ref name="Lagenda"/> Penjelasan geologi tersebut diperjelas dengan hasil pemetaan goemorfologi oleh Obdey pada tahun [[1954]].<ref name="Lagenda"/> Ia menyimpulkan bahwa pada zaman Sriwijaya, Bangka dan Belitung masih tersambung dengan [[Kepulauan Lingga]], [[Riau]], dan [[Semenajung Malaya]].<ref name="Lagenda"/>
Penemuan geraham [[gajah]] ''Elephas Sumatranus'' oleh F. Martin dilapisan endapan timah di Bangka pada tahun [[1804]] memperkuat pendapat bahwa Bangka masih menjadi satu dengan pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan daratan Asia pada masa Pleistosen.<ref name="Lagenda"/> Seiring waktu, daratan ini pecah menjadi pulau-pulau kecil dan selat-selat sempit yang dangkal.<ref name="Lagenda"/>


==Bangka pada awal sejarah==
==Bangka pada awal sejarah==
'''[[Prasasti Kota Kapur]]'''
Entah sejak kapan Pulau Bangka mulai dihuni manusia. Hingga saat ini, satu satunya tempat yang mempunyai bukti tertulis tertua di Pulau Bangka dan bertarikh bahwa di Bangka telah ada hunian adalah Prasasti Kota Kapur. Prasasti yang ditemukan di Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka bertanggal 28 April 686 Masehi.


Entah sejak kapan Pulau Bangka mulai dihuni manusia.<ref name="Bambang Tommy"> {{id}} {{cite web |url=http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjambi/wp-content/uploads/sites/19/2014/04/1.-Bambang-Tommy-hal-1-13-CF.pdf |title=Kementrian Pendidikan dan Budaya |publisher= Bangka Belitung dalam Lintas Niaga |accessdate= 12 Mei 2014}}</ref> Hingga saat ini, satu satunya tempat yang mempunyai bukti tertulis tertua di Pulau Bangka dan bertarikh bahwa di Bangka telah ada hunian adalah Prasasti Kota Kapur.<ref name="Bambang Tommy"/> Prasasti yang ditemukan di Desa Penagan, [[Kecamatan Mendo Barat]], [[Kabupaten Bangka]] bertanggal [[28 April]] 686 Masehi.<ref name="Bambang Tommy"/> Secara geografis Kota Kapur merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka yang bermuara juga sungai-sungai Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Sumatra.<ref name="Bambang Tommy"/> Disekelilingnya, di sebelah barat, utara, dan timur masih tertutup hutan rawa pantai.<ref name="Bambang Tommy"/> Disebelah selatan tanahnya agak berbukit-bukit.<ref name="Bambang Tommy"/> Bagian yang tertinggi disebut Bukit Besar dengan ketinggian sekitar 125 meter diatas permukaan laut.<ref name="Bambang Tommy"/> Di sebelah utara, membentang dari timur laut menuju barat mengalir Sungai Mendo yang bermuara di Selat Bangka setelah sebelumnya membelah daerah rawa-rawa.<ref name="Bambang Tommy"/>


'''[[Arca Wisnu]]'''
Setelah timah ditemukan di abad ke-17, membuat Bangka mendapatkan kekayaan dan terkenal sebagai penghasil Timah terbesar di [[Indonesia]].<ref name="trevelIndonesia"/> Sekarang meski masih ditambang namun tidak sebanyak seperti dahulu.<ref name="trevelIndonesia"/>


Di Kota Kapur selain batu prasasti persumpahan ditemukan juga empat buah arca Wisnu dari batu, runtuhan bangunan suci, dan benteng tanah.<ref name="Bambang Tommy"/> Untuk menentukan pertanggalan arca dapat dilihat dari bentuk mahkotanya.<ref name="Bambang Tommy"/> Dari penggambaran bentuk mahkota tampak dipahat dalam gaya seperti arca-arca Wisnu dari Kamboja, yaitu pada masa seni pre-Angkor.<ref name="Bambang Tommy"/> Stutterheim berpendapat bahwa arca tersebut berasal dari abad ke-7 Masehi dengan alasan karena tempat ditemukannya sama dengan Prasasti Kota Kapur yang ber-angka tahun 686 Masehi.<ref name="Stutterheim"> {{en}} Stutterheim, W.F., 1937, ''Note on a Newly Found Fragment of a Four Armed Figure from Kota Kapur (Bangka)'', dalam Indian Art and Letters Vol. XI No.2:105-111</ref> Berdasarkan bentuk mahkota dan tempat temuannya, maka arca Wisnu Kota Kapur dapat ditempatkan pada abad ke 6-7 Masehi.<ref name="Stutterheim"/>

'''[[Lingga]]'''

Selain arca Wisnu, ditemukan juga sebuah lingga yang bentuk puncak dan badannya bulat telur, dengan garis tengahnya berukuran sekitar 30 cm.<ref name="Bambang Tommy"/> Namun bagian bawah lingga sudah hilang (patah).<ref name="Bambang Tommy"/> Menurut McKinnon, bentuk lingga yang bulat telur ini diduga berasal dari sekitar abad ke 5-6 Masehi.<ref name="Bambang Tommy"/> Dugaannya itu didasarkan atas perbandingan dengan bentuk-bentuk lingga dari India.<ref name="Bambang Tommy"/>



Jauh setelah Śrīwijaya, pulau Bangka dan Belitung masih diperhitugkan kerajaan lain. Dalam sejarah kuna Indonesia, daerah Bangka, Belitung, sampai [[Kerajaan Mālayu]] didaerah Batanghari sejak tahun 1380-an termasuk wilayah [[Kerajaan Singasari]]. Informasi tentang itu, secara tersirat telah disebut dalam Prasasti Cāmundi yang dikeluarkan oleh Kĕrtanāgara, Raja dari Singasari.

==Kekayaan==
Nama Bangka disebut-sebut juga dalam berbagai catatan asing, seperti misalnya catatan [[Tionghoa]], [[Portugis]], [[Belanda]], [[Inggris]], serta dokumen-dokumen Kesultanan Palembang-Darussalam dan Kesultanan [[Banten]].<ref name="Bambang Tommy"/> Dari catatan-catatan [[sejarah]] itu, kita memperoleh suatu gambaran bahwa Pulau Bangka merupakan sebuah pulau yang cukup kaya.<ref name="Bambang Tommy"/> Dengan hasil bumi ([[lada]]) dan hasil tambang (timah).<ref name="Bambang Tommy"/> Kedua hasil ini merupakan komoditi penting pada masa Kesultanan.<ref name="Bambang Tommy"/> Selain itu letaknya cukup strategis di lintas pelayaran antara [[Jawa]], [[India]], [[Asia Tenggara]] daratan, dan [[Tiongkok]].<ref name="Bambang Tommy"/> Sebagai sebuah tempat yang memiliki sejarah yang cukup panjang, tentu banyak ditemukan peninggalan budayanya, baik yang berupa bangunan, maupun benda-benda hasil budaya.<ref name="Bambang Tommy"/>


==Referensi==
==Referensi==

Revisi per 13 Mei 2014 08.51

Sejarah Bangka, Pulau Bangka yaitu suatu pulau yang terdapat di samping timur Sumatra, Indonesia dan terhitung dalam lokasi propinsi Kepulauan Bangka Belitung.[1] Sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka pernah dihuni oleh orang-orang Hindu pada abad ke-7.[2] Pada masa Kerajaan Sriwijaya pulau Bangka termasuk pulau sebagai daerah taklukan dari kerajaan yang besar itu.[2] Demikian pula Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka.[2]

Asal-usul nama Bangka

Dalam berbagai publikasi dipertengahan abad 20, pulau ini ditulis dengan ejaan "Banka".[3] Kemudian, seorang ahli tambang senior Cornelis de Groot mengusulkan untuk menulis nama dengan ejaan "Bangka".[3] Berikut adalah penamaan pulau bangka:

Mo-Ho-Hsin

Asal-muasal nama Bangka oleh I-Tsing disebut Mo-Ho-Hsin, lokasinya di Kota Kapur, tetangga Sriwijaya.[3] Kota Kapur berada di pantai Selat Bangka, berhadapan dengan delta sungai Musi.[3] Moho berasal dari kata Sansekrta yaitu moha yang berarti "bingung" atau "lingung".[3] Berdasarkan pengertian itu Nia Kurnia (1983) menghubungkan kata bangka dengan istilah tua bangka yang berarti orang yang sudah tua dan linglung.[3]

Vanka, Wangka

Pulau Bangka berasal dari kata wangka (vanca) yang berarti "timah" dalam bahasa Sanksekerta,[3] karena wilayah ini memang kaya barang tambang timah.[4] Nama "Wangka" muncul pertama kali bersama dengan nama "Swarnabhumi" dalam buku sastra India Milindrapantha yang ditulis abad ke 1 SM.[3] Swarnabhumi diidentifikasikan sebagai pulau Sumatra, maka kuat dugaan bahwa yang disebut "Wangka" adalah pulau Bangka.[3][5] Loius-Charles Damais, dalam bukunya Epigrafi dan Sejarah Nusantara, mempertegas bahwa Bangka berasal dari kata wangka (vanca).[6]

Bangkai

Pulau Bangka dalam sejarah Dinasti Ming (1368-1643) disebut Ma-Yi-dong atau Ma-yi-Tung.[3] Ma-yi-dong konon terletak disebelah barat Pulau Gao-lan atau pulau Belitung.[3] Istilah ma-yin-dong merupakan julukan para pedagang Arab untuk pulau Bangka.[3] Kata itu berasal dari kata mayit, bahasa halus dari kata bangkai.[3] Menurut pendapat umum, "bangkai" yang dimaksud adalah bangkai kapal yang banyak kendas atau pecah karena karang yang memenuhi bagian timur pulau ini.[3]

Wangkang

Pendapat lain mengatakan nama pulau Bangka berasal dari kata waka atau wangkang yang berarti jung kapal Cina, yang banyak pecah dan tengelam disekitar pulau bangka.[3]


Asal Usul Nama Pulau Bangka memiliki beberapa versi.[7] Temuan arkeologi yang terkenal adalah prasasti kota kapur yang menggunakan huruf pallawa dalam bahasa Melayu Kuno.[7] Prasasti-prasasti kota kapur ini menunjukan pengaruh Kerajaan Sriwijaya atas pulau bangka kala itu, diperkirakan antara abad ke-6 Masehi dan abad ke-7 Masehi.[7] Prasasti itu dibuat masa pemerintahan Dapunta Hyang, penguasa kerajaan Sriwijaya.[7] Artifak ini ditemukan oleh seseorang dari Belanda bernama J.K. Van Der Meulen di tahun 1892 di daerah kabupaten Bangka, kecamatan Mendo Barat.[7] Kemudian artifak-artifak tersebut dianalisa oleh H. Kern, seorang ahli Epigrafi, dimana ia menganggap bahwa sriwijaya adalah nama seorang raja, karena sri mengindikasikan seorang "raja". Hingga akhirnya George Cœdès (1886-1969), seorang sejarahwan dan arkeolog Perancis menyatakan bahwa Sriwijaya adalah sebuah Kerajaan.[7] Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.[7] Isinya berupa low enforcement bagi orang-orang pulau Bangka, yakni semua orang yang melawan atau memberontak terhadap Sriwijaya akan dihukum dan dikutuk.[7] Di dalam salah satu prasasti tersebut tertulis "VANKA" dalam huruf pallawa, yang diartikan "TIMAH".[7]

Prasejarah

Bangka pada masa Pleitosen

Pleistosen adalah masa antara 1.808.000 hingga 11.600 tahun yang lalu.[3] Disebut juga zaman es ketika temperatur global 15° C lebih dingin dari masa sekarang (zaman kauter).[3] saat itu Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Jawa, [[Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan tergabung menjadi satu dengan Asia daratan.[3] Dizaman Pleistosen terjadi dua pristiwa geologi penting yaitu zaman glasial (ditandai meluasnya lapisan es di kedua kutub bumi) dan zaman interglasial (zaman es kembali mencair).[3] Penjelasan geologi tersebut diperjelas dengan hasil pemetaan goemorfologi oleh Obdey pada tahun 1954.[3] Ia menyimpulkan bahwa pada zaman Sriwijaya, Bangka dan Belitung masih tersambung dengan Kepulauan Lingga, Riau, dan Semenajung Malaya.[3] Penemuan geraham gajah Elephas Sumatranus oleh F. Martin dilapisan endapan timah di Bangka pada tahun 1804 memperkuat pendapat bahwa Bangka masih menjadi satu dengan pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan daratan Asia pada masa Pleistosen.[3] Seiring waktu, daratan ini pecah menjadi pulau-pulau kecil dan selat-selat sempit yang dangkal.[3]

Bangka pada awal sejarah

Prasasti Kota Kapur

Entah sejak kapan Pulau Bangka mulai dihuni manusia.[8] Hingga saat ini, satu satunya tempat yang mempunyai bukti tertulis tertua di Pulau Bangka dan bertarikh bahwa di Bangka telah ada hunian adalah Prasasti Kota Kapur.[8] Prasasti yang ditemukan di Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka bertanggal 28 April 686 Masehi.[8] Secara geografis Kota Kapur merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka yang bermuara juga sungai-sungai Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Sumatra.[8] Disekelilingnya, di sebelah barat, utara, dan timur masih tertutup hutan rawa pantai.[8] Disebelah selatan tanahnya agak berbukit-bukit.[8] Bagian yang tertinggi disebut Bukit Besar dengan ketinggian sekitar 125 meter diatas permukaan laut.[8] Di sebelah utara, membentang dari timur laut menuju barat mengalir Sungai Mendo yang bermuara di Selat Bangka setelah sebelumnya membelah daerah rawa-rawa.[8]

Arca Wisnu

Di Kota Kapur selain batu prasasti persumpahan ditemukan juga empat buah arca Wisnu dari batu, runtuhan bangunan suci, dan benteng tanah.[8] Untuk menentukan pertanggalan arca dapat dilihat dari bentuk mahkotanya.[8] Dari penggambaran bentuk mahkota tampak dipahat dalam gaya seperti arca-arca Wisnu dari Kamboja, yaitu pada masa seni pre-Angkor.[8] Stutterheim berpendapat bahwa arca tersebut berasal dari abad ke-7 Masehi dengan alasan karena tempat ditemukannya sama dengan Prasasti Kota Kapur yang ber-angka tahun 686 Masehi.[9] Berdasarkan bentuk mahkota dan tempat temuannya, maka arca Wisnu Kota Kapur dapat ditempatkan pada abad ke 6-7 Masehi.[9]

Lingga

Selain arca Wisnu, ditemukan juga sebuah lingga yang bentuk puncak dan badannya bulat telur, dengan garis tengahnya berukuran sekitar 30 cm.[8] Namun bagian bawah lingga sudah hilang (patah).[8] Menurut McKinnon, bentuk lingga yang bulat telur ini diduga berasal dari sekitar abad ke 5-6 Masehi.[8] Dugaannya itu didasarkan atas perbandingan dengan bentuk-bentuk lingga dari India.[8]


Jauh setelah Śrīwijaya, pulau Bangka dan Belitung masih diperhitugkan kerajaan lain. Dalam sejarah kuna Indonesia, daerah Bangka, Belitung, sampai Kerajaan Mālayu didaerah Batanghari sejak tahun 1380-an termasuk wilayah Kerajaan Singasari. Informasi tentang itu, secara tersirat telah disebut dalam Prasasti Cāmundi yang dikeluarkan oleh Kĕrtanāgara, Raja dari Singasari.

Kekayaan

Nama Bangka disebut-sebut juga dalam berbagai catatan asing, seperti misalnya catatan Tionghoa, Portugis, Belanda, Inggris, serta dokumen-dokumen Kesultanan Palembang-Darussalam dan Kesultanan Banten.[8] Dari catatan-catatan sejarah itu, kita memperoleh suatu gambaran bahwa Pulau Bangka merupakan sebuah pulau yang cukup kaya.[8] Dengan hasil bumi (lada) dan hasil tambang (timah).[8] Kedua hasil ini merupakan komoditi penting pada masa Kesultanan.[8] Selain itu letaknya cukup strategis di lintas pelayaran antara Jawa, India, Asia Tenggara daratan, dan Tiongkok.[8] Sebagai sebuah tempat yang memiliki sejarah yang cukup panjang, tentu banyak ditemukan peninggalan budayanya, baik yang berupa bangunan, maupun benda-benda hasil budaya.[8]

Referensi

  1. ^ (Indonesia) "Wisata Pulau Bangka". Pulau Bangka. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  2. ^ a b c (Indonesia) "Asal Mula Bangka". Sejarah Bangka. Diakses tanggal 10 Mei 2014. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w (Indonesia) SUTEDJO SUJITNO. Lagenda Dalam Sejarah Bangka (Jakarta: Cempaka Publishing, 2011) ISBN: 979166960-1.
  4. ^ (Indonesia) "Indonesia Trevel". Trevel Indonesia. Diakses tanggal 10 Mei 2014. 
  5. ^ (Indonesia) Raden Panji Soejono. Jaman Prasejarah Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
  6. ^ Loius Charles Darmis & George Coedes, Kedaulatan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Ecole Francaise d'Extreme Orient EFEO, 1995) hal.85
  7. ^ a b c d e f g h i (Indonesia) "Nama Pulau Bangka" (PDF). Asul-usul nama Pulau Bangka. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u (Indonesia) "Kementrian Pendidikan dan Budaya" (PDF). Bangka Belitung dalam Lintas Niaga. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  9. ^ a b (Inggris) Stutterheim, W.F., 1937, Note on a Newly Found Fragment of a Four Armed Figure from Kota Kapur (Bangka), dalam Indian Art and Letters Vol. XI No.2:105-111