Lompat ke isi

Nuh dalam Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Nuh
alaihissalām (عليه السلام)
Nuh alaihissalam.
Nama lainNûḥ bin Lamik bin Mutawasylah
Tahun aktif950 tahun
Dikenal atasBahtera Nuh
AnakSam
Ham
Yafith
Kan'an
Orang tuaLamik

Nabi Nuh atau Nuh (bahasa Arab: نُوح Nūḥ) adalah seorang nabi dan rasul yang diutus oleh Allah kepada umat manusia sebelum terjadinya sebuah malapetaka dahsyat yang hampir memunahkan kehidupan di bumi. Nuh dikenal sebagai pendiri serta penghuni bahtera sewaktu kejadian banjir bah melanda seisi bumi. Nuh termasuk dalam golongan Ulul Azmi.

Nama Nuh disebut sebanyak 43 kali dalam Al-Qur'an serta diabadikan sebagai nama sebuah surah.

Genealogi

Dalam periwayatan agama Islam, Nuh merupakan nabi ketiga sesudah Adam, dan Idris. Ia termasuk dalam generasi kesepuluh umat manusia atau keturunan kesembilan dari Adam melalui nabi Syits. Nuh adalah putra Lamik bin Mutawasylah bin Idris bin Yarid bin Mahlail bin Qainan bin Ainusyi bin Syits bin Adam.

Dakwah

Sebelum mendapat tugas kerasulan, Nuh merupakan seorang yang tekun, gemar bersyukur,[1] dan beriman kepada Allah.[2] Sementara itu, sebagian besar umat manusia di zamannya merupakan orang-orang kafir yang menganggap kedudukan sang nabi tidak lebih terhormat dibanding diri mereka. Kaum kafir tersebut tidak mau memandang Nuh sebagai sosok nabi oleh sebab mereka mempunyai lebih banyak harta maupun anak-anak,[3] Menghadapi tantangan semacam ini, Nuh tetap bertekun menyampaikan risalah Allah supaya kaumnya beriman kepada Allah serta supaya kaumnya meninggalkan penyembahan dewa-dewa, selain itu Nuh memperingatkan adanya ancaman dari Allah bahwa akan ada malapetaka dahsyat apabila kaum tersebut tidak mau meninggalkan kebiasaan keji yang diwarisi dari para leluhur.[4][5]

Kaum yang dihadapi Nuh merupakan salah satu generasi manusia yang diberi umur panjang serta dilimpahi kemakmuran juga dianugerahi perawakan tubuh yang jauh lebih perkasa daripada generasi manusia pada zaman sekarang.[6] Kemakmuran duniawi di generasi Nuh menimbulkan sikap angkuh serta sikap sewenang-wenang memandang diri sebagai golongan terkuat dan berkuasa,[7] yang kemudian berujung pada keengganan serta kecongkakan untuk mengakui Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa maupun Yang lebih berwenang atas hidup mereka.[8] Allah menyebut kaum Nuh sebagai kaum paling rusak di muka bumi.[9]

Nuh sangat bertekun untuk mendakwahkan risalah Allah ke berbagai tempat di muka bumi. Baik siang dan malam, Nuh berkeliling sambil berdakwah kepada agar kaumnya bersedia menuruti ajaran Allah yang disampaikan melalui dirinya. Tetapi kaum itu tidak menerima risalah-risalah tersebut, bahkan kaum itu menuduh Nuh sebagai seorang pendusta.[10] Hal ini membuat sang nabi berupaya dengan cara sembunyi-sembunyi untuk mengajak banyak orang menuruti risalah Allah.[11] Walaupun demikian, kaum Nuh justru menuduh ia merasa iri terhadap kemewahan dan kekayaan mereka sehingga Nuh dianggap membutuhkan harta benda mereka; akan tetapi Nuh menegaskan bahwa ia sama sekali tidak menghendaki uang mereka sebagai upah sebab upahnya berasal dari Allah.[12] Kaum kafir itu tetap berkeras melakukan tindakan keji, meski ada nabi yang berdakwah di tengah-tengah mereka.[13]

Penolakan kaum Nuh

Perjuangan Nuh dalam menyampaikan risalah-risalah tidak disambut oleh kaumnya, akibat kaum itu hanya memperhitungkan derajat nabi namun tidak sedikitpun mau memperhatikan risalah-risalahnya. Kaum itu menilai Nuh sebagai seorang yang menyimpang terhadap tradisi leluhur sehingga mereka menyebut ia sebagai orang sesat. Nuh membantah hal ini dengan pernyataan bahwa Allah yang telah mengutus ia sebagai seorang rasul supaya menyampaikan amanat-amanatNya sebagai nasihat-nasihat untuk mereka, bahwa Nuh mengetahui ajaran Allah yang tidak diketahui oleh kaumnya.[14][15] Akan tetapi, kaum Nuh merasa ragu dan heran bahwa ada seorang pemberi peringatan tentang ajaran Allah dari kalangan mereka sendiri,[16] oleh sebab mereka telah menganggap sosok Nuh setara dengan manusia biasa.[17] Kaum itu mempertanyakan pula mengapakah bukan sesosok malaikat, melainkan seorang manusia yang Allah utus kepada umat manusia;[18] orang-orang kafir menganggap Nuh hanya sebagai orang biasa yang hendak menduduki kedudukan paling dihormati dalam masyarakat,[19] lalu mereka enggan mengakui kenabiannya bahkan menuduh Nuh membuat-buat risalahnya. Sewaktu mendengar tuduhan bahwa ajarannya adalah hasil karangan,[20] Nuh menyatakan apabila ia yang mengarang sendiri risalah-risalah tersebut; tentulah ia akan membiarkan kaumnya berbuat sesuka hati dan ia takkan berupaya keras sampai siang dan malam untuk mengajak mereka ke Jalan yang dikehendaki Allah.[21]

Sekalipun telah menegaskan bahwa ia adalah orang yang diperintah oleh Allah, kaum Nuh mencari dalih untuk menentang risalah-risalah tersebut. Kaum itu menilai para pengikut Nuh merupakan orang-orang bodoh yang didoktrin oleh ajakan Nuh, serta menuduh para pengikut sang nabi merupakan orang-orang lemah, miskin dan bukan dari kalangan terpandang di kaumnya. Golongan kaya raya di kaum Nuh menuduh bahwa tiada seorangpun yang mengikuti ajaran Nuh selain orang-orang tak berwibawa yang lekas terbujuk. Nuh membela para pengikutnya dengan menyatakan bahwa Allah tidak memandang kedudukan manusia, sebab Allah sendiri yang menentukan kadar karunia untuk seluruh manusia. Nuh tidak mengetahui mengapa para pengikutnya bukan berasal dari kalangan kaya ataupun kalangan terhormat, sebab hal ini merupakan perkara ghaib yang berada pada sisi Allah.[22] Oleh karena merasa tidak sederajat dalam hal kedudukan duniawi, kaum Nuh menuntut sang nabi supaya mengusir orang-orang rendahan dari kalangan pengikutnya.[23] Hal ini ditolak oleh Nuh sebab orang-orang tersebut bersedia ikut kepada dirinya karena memiliki keimanan kepada ajaran yang berasal dari Allah, sedangkan tindakan mengusir orang-orang yang beriman merupakan tindakan berdosa yang bertentangan dengan kewajiban seorang nabi, yakni mengabarkan risalah serta mengajak siapapun supaya menerima seruan Allah.

Risalah yang disampaikan Nuh tidak lain merupakan Kehendak Allah sebagai bukti rahmat Allah, Yang Maha Pengasih untuk umat manusia; supaya umat manusia tidak ditimpa Malapetaka melainkan diselamatkan apabila bersedia untuk berserah diri kepada Kehendak Allah, sehingga Allah melindungi segala yang berserah dalam kuasa KehendakNya. Sebaliknya, jika manusia tersebut mengabaikan, meremehkan, bahkan sewenang-wenang melawan Kehendak Allah; maka Yang Maha Kuasa berhak menyingkirkan ataupun melenyapkan makhluk yang tidak pantas hidup di langit maupun bumiNya. Sikap penolakan kaum Nuh serupa keadaan Iblis yang diusir dari surga akibat Iblis secara terang-terangan berani melawan Kehendak Allah sewaktu Iblis diperintah bersujud terhadap Adam.[24]

Nuh berjuang keras mengajak kaumnya bertobat serta beriman kepada Allah supaya Allah mengampuni dosa-dosa mereka, melimpahkan rahmat dan menghindarkan mereka menghadapi Malapetaka dahsyat.[25] Namun orang-orang kafir tersebut mempertanyakan bahwa ajaran-ajaran yang disampaikan Nuh tidak pernah ada dari leluhur mereka, sehingga mereka menuduh ajaran Nuh adalah sesat. Kaum Nuh menantangnya untuk seketika mendatangkan azab yang telah ia sebut-sebut; Nuh menjawab bahwa Allah yang berhak menimpakan azab, bukan dirinya; sebab seorang nabi diperintah menyampaikan risalah beserta peringatan. Kegigihan Nuh dalam berdakwah tidak berhenti meski telah didustakan berulang-ulang. Bahkan Nuh dituduh sebagai orang gila yang pergi kesana-kemari untuk mengajak orang lain turut menjadi gila.[26][27] Kemudian kaumnya menyerukan ancaman rajam apabila ia tidak mau menghentikan dakwah tersebut. Nuh tidak lekas takut terhadap ancaman ini, dengan berbalik menantang mereka melaksanakan ancaman itu terhadap dirinya.[28] Pada akhirnya kaumnya memutuskan berpaling terhadap Nuh.[29]

Selama bertahun-tahun berdakwah di berbagai tempat untuk mengabarkan berbagai risalah, Nuh mendapati sebagian besar umat manusia pada zaman itu merupakan orang-orang yang berkeras diri dalam kekafiran. Mereka berusaha lari menghindar walaupun Nuh tetap mengejar sambil menyampaikan berbagai risalah, tatkala orang-orang itu telah mengingkar dan muak, mereka menutup kedua telinga dengan ujung jari agar tidak mendengar ajakan Nuh.[30] Orang-orang kafir tersebut lebih memilih mempercayai ajaran dari kalangan terpandang menurut mereka daripada mempercayai risalah Allah melalui seorang nabi.[31] Berbagai penentangan ini membuktikan keangkuhan serta keengganan kaum Nuh untuk merendah diri serta menerima pengajaran Allah; akibat kaum itu berlaku angkuh dan bersikap meninggikan diri supaya tidak disebut sederajat dengan orang-orang rendahan di mata mereka ataupun supaya tidak menjadi bawahan Nuh, seorang yang tidak lebih terhormat menurut kaum itu. Namun kaum Nuh secara tak sadar telah melawan Kehendak Allah, kaum itu juga tidak menghargai kedudukan Allah yang mengirimkan risalah melalui Nuh, bahkan kaum itu secara berani merendahkan kedudukan hamba Allah yakni Nuh, yang pada akhirnya membuktikan bahwa kaum Nuh menolak diselamatkan oleh Allah. Penentangan ini serupa dengan Iblis sewaktu menolak kehendak Allah supaya bersujud terhadap Adam, dengan alasan bahwa Adam lebih rendah kedudukannya menurut Iblis.[32]

Berbagai penolakan kaum kafir yang sewenang-wenang menentang risalahnya membuat Nuh memikirkan cara lain, yakni berdakwah kepada generasi penerus dari kaum kafir tersebut. Walaupun demikian, terdapat tindakan keji diperbuat oleh generasi pada zamannya yakni mengadakan sumpah larangan menyembah kepada selain dewa-dewa mereka; larangan ini yang diwariskan secara turun-temurun sehingga kaum Nuh melarang seluruh keturunan mereka untuk menyembah Allah sampai selama-lamanya.[33] Tindakan keji ini mengakibatkan dari generasi ke generasi pada zaman Nuh menolak mengakui Allah, yang berakibat banyak generasi hidup sesuka hati di muka bumi tanpa aturan dari Allah. Keadaan ini mengecewakan Allah, sebab kehidupan di muka bumi telah rusak dan perilaku umat manusia menjadi tanpa kendali. Kesedihan juga dirasakan pula oleh Nuh, sebab hal ini menjadikan perjuangan dakwahnya selama ini seakan berakhir sia-sia.

Pengaduan Nuh

Nuh mengalami duka cita mendalam terhadap kekafiran maupun sikap keras kepala kaumnya yang berlangsung turun-temurun meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga selama bertahun-tahun untuk membimbing kaum itu supaya bertobat dan berserah diri kepada Allah. Nuh meratapi nasib kaumnya kemudian ia mengadu kepada Allah:

Nuh berseru, "Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah menuruti orang-orang yang harta maupun anak-anaknya tidak menambah apapun melainkan kejahatan belaka, dan mereka melakukan tipu daya yang keterlaluan. dan mereka telah berpesan, "Jangan pernah sekalipun kamu meninggalkan (penyembahan) dewa-dewa kamu dan jangan pernah pula kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaguts, Ya'uq dan Nasr." dan sesudahnya mereka telah menyesatkan banyak (manusia), dan janganlah Engkau tambahkan terhadap orang-orang yang lalim itu selain kesesatan. disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke Neraka, maka tiada penolong untuk mereka selain dari Allah."

Dalam kepedihan kalbu, Nuh memohon kepada Allah supaya tidak meluputkan seorang pun dari generasi-generasi kafir itu bertahan hidup di muka bumi, melainkan melenyapkan seluruh orang kafir itu; sebab orang-orang kafir itu telah berani menantang azab Ilahi yang diancamkan kepada mereka.[34] bahkan generasi-generasi tersebut akan seterusnya menjadi makhluk-makhluk yang rusak di muka bumi;[35] sehingga Allah Yang Maha Kuasa dapat mengganti umat tak berkenan bagiNya dengan umat yang lebih baik.[36] Nuh juga memohonkan pengampunan kepada Allah untuk dirinya beserta orang tuanya maupun orang-orang yang beriman,[37] kemudian Allah mengabulkan pengaduan ini.[38]

Bahtera Nuh

Allah memerintahkan Nuh mendirikan sebuah bahtera sebagai tempat perlindungan menghadapi air bah yang akan menenggelamkan seisi bumi serta melenyapkan segala makhluk di muka bumi. Nuh juga diperintahkan supaya berhenti meratapi perilaku keji kaumnya.[39] Sewaktu Nuh bersama para pengikutnya sedang mendirikan bahtera, terdapat orang-orang dari kaum kafir yang mencela; namun Nuh menyatakan bahwa kelak kaum kafir akan terhina.[40]

Setelah pembangunan bahtera terselesaikan, Allah mewahyukan kepada Nuh supaya menempatkan berbagai jenis hewan secara berpasang-pasang ke dalam bahtera tersebut supaya menyelamatkan keberlangsungan hewan-hewan tersebut di bumi. Selain itu, seluruh penghuni bahtera diperintah supaya memuja seraya berdoa kepada Allah selama berada dalam tempat tersebut.[41] Orang-orang yang turut dalam bahtera, hanyalah Nuh dan para pengikutnya yang berjumlah sedikit,[42] namun mereka inilah para leluhur ras manusia sebagai golongan pewaris kuasa,[43] yang kemudian menjadi berbangsa-bangsa di bumi.[44]

Bencana banjir bah

Badai yang sangat lebat disertai luapan air dari dalam tanah selama berhari-hari menyebabkan permukaan bumi hilang tersapu air dan melenyapkan segala makhluk hidup terkecuali para penghuni dalam bahtera Nuh. Air bah bahkan menutupi seluruh permukaan bumi; baik bukit maupun pegunungan tidak luput tenggelam terhadap terjangan ombak yang menjulang tinggi. Ketika air hampir menenggelamkan seluruh permukaan bumi, Nuh mendapati salah satu putranya, Kan'an, sedang mencari perlindungan terhadap air bah dengan berlindung ke sebuah puncak gunung. Kan'an sejak semula tidak percaya terhadap ajaran sang ayah, dan Kan'an justru memilih ikut dengan generasi-generasi pembangkang yang dibinasakan. Didasari rasa sayang terhadap sang anak, Nuh memanggil-manggil anak itu supaya masuk kedalam bahtera, namun anak itu justru berlari menghindar lalu anak itu turut bersama-sama kaum kafir tersebut.[45] Nuh hendak meminta pengampunan untuk anaknya, namun Allah menegur supaya nabi tidak melakukan hal ini.[46]

Setelah air bah surut, Allah menempatkan bahtera Nuh berlabuh di bukit Judi,[47] kemudian Nuh beserta seisi makhluk hidup penghuni bahtera diselamatkan supaya meneruskan keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi.[48][49] Allah juga memberkahi Nuh beserta keturunan dari orang-orang yang menghuni bahtera tersebut.[50] Allah menjadikan kejadian ini sebagai pelajaran untuk seluruh umat manusia,[51] sebab umat manusia mengalami hal serupa, sebagian besar manusia memandang diri mereka dan agama mereka sendiri sebagai kebenaran sejati, sehingga sulit menerima cara pandang dan kebenaran menurut Allah; maka sebagian besar manusia akan berada dalam kesesatan kemudian tenggelam dalam neraka, sementara itu hanya orang-orang tertentu yang sanggup memandang sebagaimana cara pandang Allah sehingga mengorbankan pandangan diri sendiri supaya berkenan untuk Allah dan layak sebagai penghuni surga.[52]

Setelah kejadian banjir bah, Nuh masih hidup selama 300 tahun bahkan masih sempat mendidik Ibrahim serta mewariskan risalah Allah kepadanya.[53][54]

Referensi

  1. ^ Surah Al-Isra: 59
  2. ^ Surah As-Saffat: 81
  3. ^ Surah Hud: 27
  4. ^ Surah Al-A'raf: 59
  5. ^ Surah Hud: 26
  6. ^ Surah Al-Furqan: 18
  7. ^ Surah Hud: 116
  8. ^ Surah Al-Qasas: 78
  9. ^ Surah An-Najm: 52
  10. ^ Surah Al-A'raf: 60
  11. ^ Surah Nuh: 8-9
  12. ^ Surah Asy-Syu'ara: 109
  13. ^ Surah Al-Ankabut: 14
  14. ^ Surah Al-A'raf: 61-62
  15. ^ Surah Hud:25
  16. ^ Surah Al-A'raf:63
  17. ^ Surah Hud: 27
  18. ^ Surah Al-Mu'minun: 24
  19. ^ Surah Al-Mu'minun: 24
  20. ^ Surah Hud: 35
  21. ^ Surah Nuh: 5
  22. ^ Surah Hud: 31
  23. ^ Surah Hud: 30
  24. ^ Surah Al-A'raf: 11-19
  25. ^ Surah Nuh: 10-13
  26. ^ Surah Al-Qamar: 9
  27. ^ Surah Az-Zariyat: 52
  28. ^ Surah Yunus: 71
  29. ^ Surah Yunus: 72
  30. ^ Surah Nuh: 6-7
  31. ^ Surah Nuh: 21
  32. ^ Surah Shaad: 71-85
  33. ^ Surah Nuh: 22-25
  34. ^ Surah Hud: 32
  35. ^ Surah Nuh: 26-27
  36. ^ Surah An-Nisa: 133, Al-An'am: 133, Ibrahim: 19, Fatir: 16, Al-Mu'minun: 28-31
  37. ^ Surah Nuh : 26-28
  38. ^ Surah Al-Anbiya: 76, As-Saffat: 75, Hud: 38
  39. ^ Surah Hud: 37
  40. ^ Surah Hud: 38
  41. ^ Surah Al-Mu'minun: 28-30, Hud: 41
  42. ^ Surah Hud: 40
  43. ^ Surah Yunus: 73
  44. ^ Surah As-Saffat: 77
  45. ^ Surah Hud: 42-43
  46. ^ Surah Hud: 45-47
  47. ^ Surah Hud: 44
  48. ^ Surah Yusuf: 110
  49. ^ Surah Asy-Syuara: 119
  50. ^ Surah Hud: 48-49
  51. ^ Surah Al-Ankabut: 15
  52. ^ Surah Al-An'am: 116, Al-A'raf: 179, Yasin: 41-46
  53. ^ Ginzberg, Louis (1913). The Legends of the Jews (Translated by Henrietta Szold) Philadelphia: Jewish Publication Society.
  54. ^ Surah As-Saffat: 79-83