Lompat ke isi

Kekerasan sektarian di Irak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 10 September 2024 20.19 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Add 1 book for Wikipedia:Pemastian (20240909)) #IABot (v2.0.9.5) (GreenC bot)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Kekerasan sektarian di Irak merujuk pada kekerasan yang berkembang sebagai akibat dari meningkatnya ketegangan sektarian antara berbagai kelompok agama dan etnis di Irak, terutama konflik antara mayoritas Muslim Syiah dan minoritas Muslim Sunni di negara tersebut. Dengan terciptanya negara-bangsa modern, ketegangan sektarian perlahan muncul dan akhirnya berkembang menjadi konflik kekerasan baru-baru ini seperti Perang di Irak (2013–2017) dan perang saudara Irak (2006–2008).

Menurut sebagian besar sumber, termasuk World Factbook CIA, mayoritas orang Irak adalah Muslim Arab Syiah yang berjumlah sekitar 64% hingga 69% dari populasi, sedangkan Muslim Sunni mewakili antara 32% dan 37% dari populasi.[1] Selain itu, kaum Sunni terpecah secara etnis antara Arab, Kurdi, dan Turkmenistan.

Latar belakang sejarah

Sebelum pembentukan negara modern Irak, wilayah Irak milik Kesultanan Utsmaniyah dan dibagi menjadi tiga vilayet (provinsi): Baghdad Vilayet (1869 - 1918), Basrah Vilayet (1884 - 1918) dan Mosul Vilayet (1878 - 1918). Bersama-sama, ketiga vilayet ini adalah rumah bagi berbagai kelompok etnis dan agama yang berbeda yang semuanya hidup dalam toleransi yang relatif di bawah pemerintahan Ottoman, meskipun komunitas Syiah sering kali tidak diikutsertakan di posisi administratif dan tentara.[2] Setelah Perang Dunia Pertama, populasi ketiga vilayet disatukan menjadi satu negara-bangsa di bawah Mandat Inggris. Sejalan dengan "Solusi Syarif", Inggris menunjuk seorang Sunni sebagai raja: Faisal I dari Irak. Meskipun Sunni adalah minoritas di Irak, menetapkan mereka sebagai pemimpin membuat kelompok agama dan etnis lain seperti Syiah, Kurdi, dan agama minoritas lainnya merasa terpinggirkan.[3]

Dengan kemerdekaan negara Irak pada tahun 1932, perjuangan untuk menciptakan identitas nasional Irak menjadi lebih jelas. Meskipun Faisal I berulang kali mencoba menyatukan nilai-nilai dan praktik budaya Syiah, Sunni, dan populasi lainnya dalam konteks Pan-Arabisme, hasilnya adalah perbedaan yang lebih terlihat antara kelompok etnis dan agama di Irak.[4] Banyak Syiah menentang Pan-Arabisme karena ketakutan mereka akan marjinalisasi sementara banyak orang Kurdi menentang Pan-Arabisme karena keinginan untuk membuat negara Kurdi yang merdeka.[5] Jadi di satu sisi, Syiah, Kurdi, dan sekte lainnya menolak untuk melepaskan nilai dan praktik budaya mereka. Sementara di sisi lain, kaum Sunni yang berkuasa mencoba menghapuskan nilai-nilai dan praktik-praktik tersebut dengan mengkohesikan mereka dalam Pan-Arabisme. Akhirnya, hal ini mengarah pada konsolidasi yang lebih jelas dari berbagai komunitas yang menghasilkan peningkatan perpecahan di antara penduduk Irak.[6] Selain itu, kemerdekaan Irak dan perjuangan untuk menciptakan identitas nasional mengakibatkan berbagai pemberontakan dan bentrokan suku yang gagal pada tahun 1930-an. Namun, pemerintah berkali-kali berhasil meredam kerusuhan dan mempertahankan hegemoninya.[7]

Upaya pertama untuk menguraikan frustrasi sektarian setelah pembentukan negara Irak terdokumentasi resmi di dokumen Piagam Najaf pada tahun 1935. Dalam 12 poin manifesto ini, sekelompok pengacara Syiah menyatakan ketidakpuasan mereka tentang diskriminasi sektarian terhadap mayoritas penduduk Syiah dan menyerukan proyek pembangunan seluruh negeri terutama di selatan serta penunjukan hakim dan pengadilan Syiah di wilayah yang didominasi Syiah. Meskipun manifesto ini adalah upaya pertama untuk menampilkan frustrasi, aspirasi, dan tuntutan politik elit sektarian, seruan mereka tetap tidak didengar.[7]

Setelah 1932, pemerintah Irak terus memperluas birokrasinya dengan meningkatkan kontrol Sunni atas sistem kenegaraan. Meskipun sentralisasi pemerintahan membuat menurunnya tingkat pemberontakan dan kerusuhan, tetapi ketegangan sektarian di antara penduduk Irak terus meningkat.[8] Ketegangan sektarian ini ditambah dengan distribusi kekayaan yang sangat tidak seimbang antara elite perkotaan dengan penduduk pedesaan.[5] Ketegangan ini akhirnya menghasilkan Revolusi 14 Juli 1958 di mana monarki Hasyimiyah digulingkan oleh sekelompok perwira militer di bawah pimpinan Jenderal Abdul Karim Qasim yang kemudian mendirikan Republik Irak. Memiliki latar belakang campuran Sunni-Syiah, Jenderal Abdul Karim Qasim menghapus praktik pembatasan Syiah dan orang-orang dengan latar belakang etnis lain ke dalam militer. Meskipun tindakan ini membuatnya menjadi disukai, ketegangan sektarian dengan penduduk Kurdi di Irak berkembang menjadi konflik kekerasan yang dimulai pada tahun 1961 setelah Qasim tidak dapat memenuhi janjinya tentang hak-hak nasional Kurdi.[5] Selain itu, penerapan reformasi tanah dan reformasi hukum keluarga yang dilakukannya dapat menggerogoti kekuasaan para pemuka agama dan tuan tanah, sehingga meningkatkan ketegangan antara rezim Qasim dengan pemuka agama.[9]

Ketegangan ini, bersamaan dengan ketidaksepakatan di dalam pemerintahan untuk memprioritaskan agenda nasionalis Irak atau memilih agenda Pan-Arabisme, akhirnya mengakibatkan penggulingan rezim Qasim pada Februari 1963 yang juga dikenal sebagai Revolusi Ramadan.[10] Setelah berbagai pertempuran berdarah antara kelas pekerja yang beraliran Syiah dengan milisi Ba'athis, berbagai perwira tentara Nasionalis Arab, terutama perwira yang berafiliasi dengan Sunni langsung mengambil alih kekuasaan.[10] Dari kubu Pan-Arabisme, Abdul Salam Arif menjadi presiden. Namun, kekuasaannya terus-menerus ditentang oleh anggota kabinetnya yang memilih jalur yang lebih sektarian dan kekerasan. Para anggota kabinet Arif kemudian bergabung menjadi anggota Partai Ba'ath. Untuk menenangkan elemen-elemen ini, loyalitas komunalisme dan sektarianisme dipulihkan di bawah kepresidenan Arif, serta kekuatan politik nasionalis Arab Sunni. Dengan demikian, kebijakan sektarian tetap ada dan semakin meningkatkan ketegangan sektarian dan antar-komunal.[7] Dalam suasana tegang tersebut, berbagai perwira dan kelompok merencanakan kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan Arif dan merebut kekuasaan.[10] Akhirnya, dalam kudeta tak berdarah pada tahun 1968, Partai Ba'ath merebut kekuasaan untuk kedua kalinya dalam satu dekade.[11]

Upaya anti-sektarian di bawah kekuasaan Ba'ath

Partai Ba'ath sepanjang tahun 1970-an dan 80-an memiliki dua strategi dalam membangun negara Irak. Strategi pertama adalah meningkatkan integrasi sosial melalui keberhasilan program pembangunan yang disponsori negara, yang dimungkinkan oleh pertumbuhan ekonomi Irak. [12] Pada tahun 1970-an, pemerintah menasionalisasi industri minyak Irak dan, dengan pendapatan dari ekspor minyak ini, Irak memulai proyek modernisasi dan pembangunan bangsa.[13] Selain investasi infrastruktur dan industri, pemerintah Irak juga meluncurkan program investasi barang-barang kebutuhan pokok seperti sekolah, universitas, dan rumah sakit. [8] Dengan melakukan ini, Irak berkembang menjadi negara kesejahteraan. Hal itu memnbuat warga negara di seluruh negeri mendapat manfaat dari kemajuan ekonomi, peningkatan pendapatan dan mobilitas sosial, terlepas dari latar belakang etnis, suku, atau agama mereka.[14]

Strategi kedua adalah dengan tidak menekankan identitas sektarian.[12] Ideologi Ba'ath dapat dikategorikan sebagai ideologi Pan-Arab dengan komponen sosialis yang jelas.[15] Sejalan dengan ideologi ini, Partai Ba'ath Irak menganjurkan fokus pada identitas nasionalis Irak tanpa ruang untuk afiliasi sektarian. Akibatnya, partai tersebut meremehkan afiliasi agama apa pun dan malah mengejar Irak yang sekuler dan nasionalis.[14] Belakangan, di bawah kepemimpinan Saddam Hussein, nasionalisme Irak akan didasarkan pada sejarah masa lalu Mesopotamia untuk membuat populasi Syiah dan Kurdi berasimilasi ke dalam proyek pembangunan negara yang nasionalis.[16]

Kekerasan sektarian pada awal pemerintahan Ba'ath

Sejalan dengan sifat nasionalisnya, partai Ba'ath berhasil memasukkan kelompok etnis dan agama yang berbeda dalam sistem pemerintahannya setelah tahun 1968. Meskipun orang-orang Syiah dan Kurdi tidak mencapai tingkat kekuasaan politik tertinggi, mereka masih berhasil mencapai tingkat pengaruh yang tinggi di dalam rezim.[12] Namun, dengan meningkatnya pengaruh Saddam Hussein selama tahun 1970-an, dia menunjuk kepala suku dan pemerintah regional yang menjadi sekutunya ke posisi paling berpengaruh dalam pemerintahan.[15][17] Meski partai Ba'ath mencoba untuk menekankan identitas nasional bersama dengan menghilangkan identitas sektarian komunal, kebijakan membangun perkumpulan kecil yang terdiri atas sekutu terpercaya dari Ahmed Hassan al-Bakr dan Saddam Hussein, menyebabkan keretakan antara penekanan nasional partai Ba'ath dan kepentingan komunal mereka sendiri.[18]

Sejak tahun 1970-an dan seterusnya, ketegangan sektarian muncul di bawah permukaan dan oposisi serta kekerasan sektarian mulai terjadi. [19] Kekerasan tersebut muncul utamanya dari sebagian besar kaum Syi'ah yang tidak puas dengan pengucilan mereka oleh pemerintah. Meskipun Ba'ath mempropagandakan penghapusan ideologi sektarian dan penyertaan berbagai sekte dalam militer dan institusi pemerintahan lainnya, pada tahun 1977 hanya tokoh Sunni yang dekat dengan Hussein yang bisa masuk ke dalam posisi Dewan Komando Revolusi.[20] Selain itu, penduduk Kurdi juga merasa terpinggirkan oleh Ba'ath. Menjelang akhir 1960-an, Partai Ba'ath memulai kampanye Arabisasi di Irak Utara untuk mengamankan loyalitas utara. Hal ini membuat banyak keluarga Kurdi di Irak Utara akan terusir dan tergantikan oleh keluarga Arab.[21] Contoh oposisi sektarian yang jelas terhadap kebijakan semacam itu adalah Perang Irak-Kurdi Kedua yang terjadi pada tahun 1974 dan 1975, ketika berbagai kelompok pemberontak Kurdi mencoba memulai kerusuhan untuk memperoleh kemerdekaan di Irak Utara.[22] Selama periode yang sama, Partai Dakwah yang beraliran Syiah memperoleh popularitas di Irak. Setelah didirikan pada tahun 1970, para aktivis partai memprakarsai berbagai kerusuhan, terutama kerusuhan pada tahun 1974 dan 1977.[19]

Karena supremasi dan sumber daya militernya, rezim Ba'ath dapat dengan cepat menindak kerusuhan.[23] Sejak awal, rezim Ba'ath telah menetapkan kontrol ketat atas penduduk Irak. Semua yang dianggap tidak loyal akan disingkirkan, dan sekutu dekat yang sering kali dipilih atas dasar sektarian akan dibawa masuk.[15][24] Meski partai Ba'ath menyebarkan identitas nasional dan memasukkan berbagai kelompok etnis dan agama dalam pemerintahan, partai tersebut juga membangun ketegangan karena tidak membuka ruang untuk gerakan oposisi. Di bawah rezim Ba'ath, kekerasan sektarian pada umumnya dapat dihancurkan dengan cepat.

Kekerasan sektarian di bawah Saddam Hussein

Pada tahun 1979, Saddam Hussein resmi menjadi presiden Irak setelah Ahmed Hassan al-Bakr mengundurkan diri karena masalah kesehatan.[25][26] Di bawah pemerintahan Hussein, sistem pemantauan warga negara, organisasi, dan partai semakin diintensifkan untuk mencegah hilangnya dominasi politik atas Irak.[27] Hussein memastikan loyalitas warganya melalui pemantauan ekstensif dan dengan menyingkirkan lawan politik potensial. Hanya enam hari setelah ia menjabat, Hussein menangkap 66 anggota partai Ba'ath dan beberapa dari mereka dibunuh dalam peristiwa Pembersihan Khuld karena Hussein meragukan kesetiaan mereka.[28] Peristiwa ini mengatur panggung politik untuk dekade berikutnya di mana tokoh-tokoh yang dicurigai tidak setia kepadanya bisa menghadapi hukuman penjara bertahun-tahun.[29][30] Karena banyak dari mereka yang dianggap musuh atau tidak loyal memiliki latar belakang sektarian lain, ketegangan sektarian juga meningkat. Misalnya, warga Kurdi, Syiah, dan Iran dideportasi dari Irak dengan tuduhan menjadi mata-mata, sehingga tindakan deportasi tersebut pada saat itu sering disebut sebagai tindakan pembersihan sektarian.[31]

Ketegangan sektarian muncul kembali ketika terjadinya Revolusi Iran dan pecahnya Perang Iran-Irak pada tahun 1980. Pada tahun 1979 Revolusi Iran terjadi di bawah kepemimpinan Imam Besar Syiah Ayatullah Ruhollah Khomeini ketika dia menggulingkan Shah dan membuka jalan bagi berdirinya Republik Islam Iran. Khomeini memulai kampanye propaganda yang ditujukan kepada Syiah di Irak mendorong mereka untuk mengikuti ideologi Revolusi Iran dan memberontak melawan rezim Hussein yang didominasi Sunni untuk menggulingkannya.[32] Pada tahun 1980, Hussein menyatakan perang terhadap Iran dan mencoba mencaplok provinsi Khuzestan Iran yang kaya minyak. Alasan berperang termasuk keyakinan Hussein bahwa Iran telah melanggar Perjanjian Aljazair 1975 tentang jalur air dan mencampuri politik Irak.[33] Namun terlepas dari motivasi politik dan ekonomi untuk berperang, perang juga dilakukan atas dasar agama.[34] Meski Khomeini percaya bahwa penduduk Syiah di Irak Selatan akan mengikutinya, tetapi mereka tidak melakukannya dan tetap setia kepada Irak sehingga para penduduk Syiah tersebut justru melawan Iran.[35]

Untuk mencegah Syiah bergabung dengan Iran, Hussein lebih menekankan karakter Arab di Irak untuk membandingkannya dengan karakter Persia di Iran.[33] Selain itu, ia mencoba mendapatkan dukungan dari warga dengan berbagai latar belakang etnis dengan memberikan bantuan kepada komunitas mereka. Contohnya, rezim Hussein memberikan dukungan keuangan untuk wakaf Syiah dan pemugaran makam Imam Ali.[36] Terlepas dari upaya luas untuk mendapatkan dukungan di antara berbagai sekte, ketegangan sektarian terus meningkat, terutama karena Perang Iran-Irak. Perkiraan menunjukkan bahwa sekitar 250.000 warga Irak tewas selama perang.[37] Korban di pihak Sunni dan Syiah ini semakin meningkatkan persaingan di antara kelompok etnis dan agama yang berbeda.[38] Selain itu, banyak tentara, perwira, dan warga Syiah melarikan diri dari negara itu dan mencari perlindungan di tempat lain, terutama di Iran dan Suriah.[31]

Di utara, pengungsian orang Kurdi sebagai bagian dari kampanye Arabisasi berlanjut sepanjang tahun 1980-an.[21] Meskipun mayoritas orang dengan latar belakang Kurdi tidak menjadi korban selama perang, Hussein melihat aktivitas dari kelompok politik Kurdi sebagai pengkhianatan terhadap rezimnya dan menuduh mereka melakukan kerja sama militer dan intelijen lintas negara dengan Iran.[39] Rezim Ba'ath menghukum kelompok-kelompok aktivis ini di Irak utara dengan menggunakan kekerasan ekstensif dalam Kampanye Al-Anfal pada akhir 1980-an. Penggunaan kekerasan ekstrim ini menyebabkan tingginya jumlah korban yang diperkirakan sekitar 150.000 hingga 200.000 kematian dan bergema lebih jauh ke komunitas Kurdi, berkontribusi pada sentimen yang lebih kuat dari perpecahan sektarian.[40]

Setelah Perang Iran-Irak, ketidakpercayaan sektarian meledak dan menjadi lebih kentara selama Perang Teluk Pertama, yang diprakarsai oleh Hussein ketika Irak menginvasi Kuwait pada Agustus 1990. Pasukan koalisi menanggapi serangan Hussein dengan membom Irak, terutama di wilayah selatan Irak. Serangan balik yang dilakukan oleh pasukan koalisi mempengaruhi warga Syiah karena menimbulkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur.[41] Setelah mundur dari Kuwait pada tahun 1991, pemberontakan meletus di 14 provinsi dari 18 provinsi di Irak.[31] Para pemberontak sebagian besar adalah Syiah dan Kurdi yang menyerang kekuatan politik karena pengucilan mereka di bawah kekuasaan Ba'ath. Pemberontakan sebagian besar bersifat sektarian dengan para pengunjuk rasa menunjukkan foto-foto pemimpin agama Syiah, seperti Khomeini, dan simbol-simbol agama.[31] Seperti yang dijelaskan oleh peneliti dan jurnalis Khalil Osman tentang pemberontakan tersebut:[42]

Pemberontakan di Irak selatan ditandai dengan penegasan identitas Syiah yang kuat, menampilkan simbolisme dan retorika Syiah yang terang-terangan.… Tetapi penegasan identitas Syiah yang bersemangat dan lantang vis-à-vis negara Ba'athis yang tiran menimbulkan ketakutan dan perasaan dikucilkan di kalangan Sunni, yang mengakibatkan hilangnya simpati terhadap pemberontakan tersebut.

Pemberontakan akhirnya ditekan dengan penggunaan kekuatan brutal dan kekerasan ekstensif oleh rezim seperti eksekusi massal pemberontak.[31][43] Di utara, banyak warga Kurdi merasa terpaksa mengungsi karena takut akan pembalasan oleh rezim Hussein. Karena kondisi kehidupan yang buruk di pegunungan, lebih dari 20.000 pengungsi ini meninggal selama bulan-bulan berikutnya.[43]

Meski pemulihan kendali dan keamanan negara terbukti menjadi rintangan bagi rezim Ba'ath, mereka berhasil memulihkan ketertiban.[44] Dalam dekade berikutnya, Hussein lebih mengandalkan sekutu keluarga dan sukunya sendiri serta mereka yang setia kepadanya.[45] Namun, terlepas dari pembaruan fokus sektarian Hussein sendiri, ekspresi identitas sektarian lainnya ditekan dengan keras oleh rezim selama tahun 1990-an.[46][47] Selain berbagai pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik dan agama yang berpengaruh, kekerasan sektarian yang meluas di Irak baru meletus lagi setelah pencopotan Hussein dari jabatannya pada tahun 2003 setelah invasi pimpinan AS.

Kekerasan sektarian setelah invasi AS

Menyusul invasi yang dipimpinan AS ke Irak dan penggulingan Saddam Hussein, negara Irak perlahan-lahan jatuh ke dalam perang saudara sektarian. Meningkatnya ketegangan sektarian pada masa ini merupakan hasil dari banyak faktor. Pertama-tama, Pemerintahan Koalisi Sementara (CPA), di bawah kepemimpinan Paul Bremer, memulai kampanye de-Ba'athifikasi dan membubarkan militer Irak. Kedua tindakan ini menyebabkan pengangguran besar, terutama di kalangan penduduk Sunni di negara tersebut.[48] Selain itu, pembubaran pasukan keamanan menyebabkan tingkat kriminalitas yang tinggi. Untuk melindungi diri mereka sendiri, banyak warga sipil Irak bergabung atau membayar milisi yang kebanyakan memiliki karakter sektarian.[49]

Pada saat itu, komunitas Sunni yang mendominasi negara di bawah Saddam Hussein disingkirkan dari kekuasaan sedangkan Syiah dan Kurdi naik ke tampuk kekuasaan. Dewan Pemerintahan Irak (ICG) yang baru dibuat berdasarkan demografi negara: 13 Syiah, 5 Arab Sunni, 5 Kurdi, 1 Kristen, dan 1 Turkman.[50] Dalam dewan ini, komunitas Sunni memiliki banyak masalah ketika mewakilkan diri mereka sendiri dan menyampaikan tuntutan mereka. Karena banyak pemimpin lama masyarakat sebagian besar berafiliasi dengan Ba'ath, mereka ditangkap atau dilarang berpartisipasi dalam ICG. Selain itu, tidak ada partai politik Sunni yang terorganisasi karena semua bentuk politik representasi Sunni selain Ba'ath telah ditindas dengan keras di bawah Hussein.[51] Dalam penolakan mereka terhadap tatanan politik baru, sebagian besar Sunni memutuskan untuk tidak memberikan suara dalam pemilihan parlemen Januari 2005 yang mengakibatkan pencabutan hak mereka dalam pemerintahan yang baru dibentuk.[52] Sebaliknya, Aliansi Irak Bersatu, yang terdiri dari dua partai Syiah yaitu Dewan Tertinggi Revolusi Islam di Irak (SCIRI) dan Dakwah, memperoleh kemenangan besar.[53]

Karena tidak puas dengan Pendudukan Irak oleh Pasukan Multi-Nasional, pemberontakan kemudian muncul sejak musim panas 2003 dan seterusnya.[52] Pemberontakan ini paling intens terjadi di provinsi Sunni karena komunitas Sunni merasa terpinggirkan baik oleh Pasukan Koalisi maupun pemerintah baru yang didominasi Syiah.[54] Karena banyak Sunni yang merasa terpinggirkan dari kekuasaan sebagai akibat dari naiknya orang-orang Syiah ke pemerintahan, pemberontakan ini akhirnya memiliki motif sektarian. Apalagi dengan munculnya Al-Qaeda di Irak, serangan terhadap tempat-tempat dan orang-orang Syiah menjadi lebih umum. Kelompok sektarian terkemuka lainnya di pihak Sunni adalah Tentara Islam di Irak dan Brigade Revolusi 1920.[55]

Hingga awal tahun 2005, serangan sektarian ini hampir tidak ditanggapi oleh penduduk Syiah. Hanya Organisasi Badar yang dituduh melakukan serangan balasan terhadap mantan pejabat rezim dan anggota Ba'ath terkemuka.[56] Namun, dengan pemilu Januari 2005, anggota Korps Badr menyusup ke pasukan keamanan dan memulai tindakan pembalasan terhadap penduduk Sunni.[56] Pada saat inilah Tentara Mahdi, di bawah kepemimpinan Muqtada al-Sadr, juga terlibat dalam pembersihan sektarian.[57] Serangan balasan ini menyebabkan siklus kekerasan yang membanjiri negara itu pada tahun 2006 dan 2007.[58]

Dengan pengeboman masjid al-Askari Februari 2006 di Samarra, kekerasan meningkat menjadi perang saudara yang berlangsung dari tahun 2006 hingga awal tahun 2008.[59] Dalam perang ini, milisi sektarian terlibat dalam kegiatan pembersihan sektarian.[60] Meskipun jumlah pasti korban tidak pasti, diperkirakan lebih dari 20.000 warga sipil tewas pada tahun 2006 saja.[61] Pada awal tahun 2008, puluhan ribu warga sipil Irak telah tewas dengan sekitar 4 juta orang mengungsi.[62] Ibu kota Bagdad sangat terpukul karena kota itu ditata ulang secara sektarian. Bekas lingkungan campuran kemudian diperintah oleh milisi sektarian yang mengusir semua orang yang berafiliasi dengan sekte selain mereka.[63] Selain pembunuhan sekte-sekte tertentu oleh regu pembunuh, kekerasan juga termasuk penculikan untuk pembayaran uang tebusan dan penyiksaan di pusat penahanan rahasia yang dijalankan oleh milisi.[64]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ "The World Factbook". cia.gov. 20 October 2021. 
  2. ^ Marr, Phebe (2012). The Modern History of Iraq (edisi ke-3rd). Boulder: Westview Press. hlm. 23, 36–37. ISBN 9780813344430. 
  3. ^ Preston, Zoë (2000). The Crystallisation of the Iraqi State: Geopolitical Function and Form (PDF). London: School of Oriental and African Studies, University of London. hlm. 25. 
  4. ^ Masahla, N. (1991). "Faisal's Pan-Arabism, 1921-33". Middle Eastern Studies. 27 (4): 679–693. doi:10.1080/00263209108700885. JSTOR 4283470. 
  5. ^ a b c Cleveland, William L.; Bunton, Martin (2013). A History of the Modern Middle East (edisi ke-5th). Boulder: Westview Press. hlm. 304–307. ISBN 9780813348339. 
  6. ^ Preston, Zoë (2000). The Crystallisation of the Iraqi State: Geopolitical Function and Form (PDF). London: School of Oriental and African Studies, University of London. hlm. 235–242. 
  7. ^ a b c Osman, Khalil (2014). Sectarianism in Iraq: The Making of State and Nation Since 1920. London: Routledge. hlm. 72–73. ISBN 9781315771267. 
  8. ^ a b Blaydes, Lisa (2018). State of Repression: Iraq under Saddam Hussein. Princeton: Princeton University Press. hlm. 62–65. ISBN 9781400890323. 
  9. ^ Sassoon, Joseph (2012). Saddam Hussein's Ba'th Party: Inside an Authoritarian Regime. Washington: Cambridge University Press. hlm. 20–25. ISBN 9780521149150. 
  10. ^ a b c Marozzi, Justin (2015). Baghdad: City of Peace, City of Blood. London: Penguin Books. hlm. 334–336. ISBN 9780141047102. 
  11. ^ Osman, Khalil (2014). Sectarianism in Iraq: The Making of State and Nation Since 1920. London: Routledge. hlm. 76–80. ISBN 9781315771267. 
  12. ^ a b c Blaydes, Lisa (2018). State of Repression: Iraq under Saddam Hussein. Princeton: Princeton University Press. hlm. 69–70. ISBN 9781400890323. 
  13. ^ Blaydes, Lisa (2018). State of Repression: Iraq under Saddam Hussein. Princeton: Princeton University Press. hlm. 62. ISBN 9781400890323. 
  14. ^ a b Baram, Amatzia (1991). Culture, History & Ideology in the Formation of Ba'thist Iraq, 1968-89. London: Palgrave Macmillan. hlm. 20. ISBN 9781349212453. 
  15. ^ a b c Charrad, Mounira M. (July 2011). "Central and Local Patrimonialism: State-Building in Kin-Based Societies". The Annals of the American Academy of Political and Social Science. 636 (1): 62. doi:10.1177/0002716211401825. 
  16. ^ Abdi, Kamyar (2008). "From Pan-Arabism to Saddam Hussein's cult of personality: Ancient Mesopotamia and Iraqi national ideology". Journal of Social Archaeology. 8 (1): 3–36. doi:10.1177/1469605307086076. 
  17. ^ Tripp, Charles (2007). A History of Iraq, 3rd ed. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 260. ISBN 9780521702478. 
  18. ^ Dawisha, Adeed (Autumn 1999). ""Identity" and Political Survival in Saddam's Iraq". Middle East Journal. 53 (4): 555–556. JSTOR 4329390. 
  19. ^ a b Blaydes, Lisa (2018). State of Repression : Iraq under Saddam Hussein. Princeton: Princeton University Press. hlm. 70–74. ISBN 9781400890323. 
  20. ^ Hashim, Ahmed (Winter 2003). "Saddam Husayn and Civil-Military Relations in Iraq: The Quest for Legitimacy and Power". Middle East Journal. 57 (1): 25. JSTOR 4329849. 
  21. ^ a b Sassoon, Joseph (2011). Saddam Hussein's Ba'th Party: Inside an Authoritarian Regime. Washington: Cambridge University Press. hlm. 83–84. ISBN 9781139042949. 
  22. ^ Cleveland, William L.; Bunton, Martin (2013). A History of the Modern Middle East (edisi ke-5th). Boulder: Westview Press. hlm. 427. ISBN 9780813348339. 
  23. ^ Bengio, Ofra (1998). Saddam's Word: The Political Discourse in Iraq. New York: Oxford University Press. hlm. 24. ISBN 9780195114393. 
  24. ^ Devlin, John F. (December 1991). "The Baath Party: Rise and Metamorphosis". The American Historical Review. 96 (5): 1405. doi:10.2307/2165277. JSTOR 2165277. 
  25. ^ Marozzi, Justin (2015). Baghdad: City of Peace, City of Blood. London: Penguin Books. hlm. 338. ISBN 9780141047102. 
  26. ^ Tripp, Charles (2007). A History of Iraq (edisi ke-3rd). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 214. ISBN 9780521702478. 
  27. ^ Sassoon, Joseph (2012). Saddam Hussein's Ba'th Party: Inside an Authoritarian Regime. Washington: Cambridge University Press. hlm. 195. ISBN 9781139042949. 
  28. ^ "Saddam Hussein's Very Public Purge". YouTube. 2 November 2015. Archived from the original on 2023-03-21. Diakses tanggal 26 March 2021. 
  29. ^ Tripp, Charles (2007). A History of Iraq (edisi ke-3rd). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 190–200. ISBN 9780521702478. 
  30. ^ Marozzi, Justin (2015). Baghdad: City of Peace, City of Blood. London: Penguin Books. hlm. 338–340. ISBN 9780141047102. 
  31. ^ a b c d e Alkifaey, Hamid (2018). The Failure of Democracy in Iraq: Religion, Ideology and Sectarianism. London: Routledge. hlm. 126. ISBN 9780429442155. OCLC 1057243408. 
  32. ^ El Azhary, M.S. (2012). The Iran-Iraq War: Historical, Economic, and Political Analysis. Abingdon: Routledge. hlm. 1. ISBN 9781136841767. OCLC 802047333. 
  33. ^ a b Dawisha, Adeed (Autumn 1999). ""Identity" and Political Survival in Saddam's Iraq". Middle East Journal. 53 (4): 557–558. JSTOR 4329390. 
  34. ^ Cleveland, William L.; Bunton, Martin (2013). A History of the Modern Middle East (edisi ke-5th). Boulder: Westview Press. hlm. 432. ISBN 9780813348339. 
  35. ^ Piro, George L. (8 February 2004). "Interview session 2" (PDF). The National Security Archive. Archived from the original on 2023-05-06. Diakses tanggal 11 May 2020. 
  36. ^ Bulloch, John; Morris, Harvey (1991). The Gulf War : its origins, history, and consequencesPerlu mendaftar (gratis). London: Methuen. hlm. 75–76. ISBN 0413613704. OCLC 26096939. 
  37. ^ Tripp, Charles (2007). A History of Iraq (edisi ke-3rd). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 239. ISBN 9780521702478. 
  38. ^ Blaydes, Lisa (2018). State of Repression: Iraq under Saddam Hussein. Princeton: Princeton University Press. hlm. 84–88. ISBN 9781400890323. 
  39. ^ Tripp, Charles (2007). A History of Iraq (edisi ke-3rd). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 236. ISBN 9780521702478. 
  40. ^ Blaydes, Lisa (2018). State of Repression: Iraq under Saddam Hussein. Princeton: Princeton University Press. hlm. 81. ISBN 9781400890323. 
  41. ^ Blaydes, Lisa (2018). State of Repression: Iraq under Saddam Hussein. Princeton: Princeton University Press. hlm. 87. ISBN 978-1-4008-9032-3. 
  42. ^ Osman, Khalil (2014). Sectarianism in Iraq: The Making of State and Nation Since 1920. London: Routledge. hlm. 84. ISBN 9781315771267. 
  43. ^ a b Cleveland, William L.; Bunton, Martin (2013). A History of the Modern Middle East (edisi ke-5th). Boulder: Westview Press. hlm. 452–453. ISBN 9780813348339. 
  44. ^ Blaydes, Lisa (2018). State of Repression: Iraq under Saddam Hussein. Princeton: Princeton University Press. hlm. 91–93. ISBN 9781400890323. 
  45. ^ Ahram, Ariel I. (2015). War-Making, State-Making and Non-State Power in Iraq. Yale Program on Governance and Local Development. hlm. 16. SSRN 3630081alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |ssrn= (bantuan). 
  46. ^ Dawisha, Adeed (Autumn 1999). ""Identity" and Political Survival in Saddam's Iraq". Middle East Journal. 53 (4): 563. JSTOR 4329390. 
  47. ^ Marozzi, Justin (2014). Baghdad: City of Peace, City of Blood. London: Penguin Books. hlm. 358–359. ISBN 9780141047102. 
  48. ^ Tripp, Charles (2007). A History of Iraq (edisi ke-3rd). Cambrdige: Cambridge University Press. hlm. 282, 289. ISBN 9780521702478. 
  49. ^ International Crisis Group (2008). Iraq's civil war, the Sadrists and the surge. Brussels: International Crisis Group. OCLC 213413500. 
  50. ^ Haddad, Fanar (2014). Sectarianism in Iraq: Antagonistic Visions of Unity. Oxford: Oxford University Press. hlm. 150. ISBN 9780199327386. 
  51. ^ Hashim, Ahmed S. (2006). Insurgency and Counter-Insurgency in Iraq. New York: Cornell University Press. hlm. 20–21. ISBN 9780801444524. 
  52. ^ a b Tripp, Charles (2007). A History of Iraq (edisi ke-3rd). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 296–298. ISBN 9780521702478. 
  53. ^ Isakhan, Benjamin, ed. (2015). The Legacy of Iraq: From the 2003 War to the 'Islamic State'. Edinburgh: Edinburgh University Press. hlm. 67–69. ISBN 9780748696161. 
  54. ^ Ahmed, Hashim (2006). Insurgency and Counter-Insurgency in Iraq. New York: Cornell University Press. hlm. 80. ISBN 9780801444524. 
  55. ^ Amnesty International (2005). Iraq: In cold blood - abuses by armed groups (PDF). London: Amnesty International. hlm. 14. 
  56. ^ a b International Crisis Group (2006). The Next Iraqi War? Sectarianism and Civil Conflict (PDF). International Crisis Group. hlm. 2–3. 
  57. ^ International Crisis Group (2008). Iraq's civil war, the Sadrists and the surge. Brussels: International Crisis Group. hlm. 9. OCLC 213413500. 
  58. ^ Tripp, Charles (2007). A History of Iraq (edisi ke-3rd). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 287. ISBN 9780521702478. 
  59. ^ Isakhan, Benjamin, ed. (2015). The Legacy of Iraq: From the 2003 War to the 'Islamic State'. Edinburgh: Edinburgh University Press. hlm. 171. ISBN 9780748696161. 
  60. ^ Pirnie, Bruce; O'Connell, Edward (2008). Counterinsurgency in Iraq (2003-2006). Santa Monica, CA: Rand. hlm. 21–28. ISBN 9780833042972. OCLC 234317859. 
  61. ^ "Iraqi deaths from violence 2003-2011". Iraq Body Count. 2 January 2012. Diakses tanggal 3 May 2021. 
  62. ^ Amnesty International (2008). Carnage and Despair: Iraq Five Years On (PDF). London: Amnesty International. hlm. 1. 
  63. ^ Marozzi, Justin (2014). Baghdad: City of Peace, City of Blood. London: Penguin Books. hlm. 373–375. ISBN 9780141047102. 
  64. ^ International Crisis Group (2006). The Next Iraqi War? Sectarianism and Civil Conflict (PDF). International Crisis Group. hlm. 19.