Gempa bumi dan tsunami Jawa Timur 1994
Berkas:Tsunamibwi1994.jpg | |
Waktu UTC | ?? |
---|---|
ISC | |
USGS-ANSS | |
Tanggal * | 3 Juni 1994 |
Tanggal setempat | |
Waktu setempat | |
Kekuatan | 7.8 Mw |
Kedalaman | 18 km |
Episentrum | 10°28′37″S 112°50′06″E / 10.477°S 112.835°E |
Wilayah bencana | Indonesia |
Korban | 215 meninggal |
* Usang | Lihat dokumentasi. |
Gempa bumi dan tsunami Jawa Timur 1994 adalah bencana gelombang tsunami yang terjadi di pantai selatan Jawa Timur bagian timur pada 3 Juni 1994[1] Kejadian ini menyusul setalah terjadi gempa tektonik di Samudra Hindia. Tsunami ini mengakibatkan kerusakan total di pemukiman pesisir. Daerah-daerah pesisir selatan di Kabupaten Banyuwangi seperti Pantai Plengkung, Pantai Pancer dan Pantai Rajegwesi rata dengan tanah. Korban meninggal diperkiraan mencapai 215 jiwa.[1]Korban jiwa sangat banyak dikarenakan peristiwa terjadi pada dini hari dimana banyak warga yang masih tertidur lelap.
Dampak tsunami juga terjadi pada para peselancar yang tinggal di bibir Pantai Plengkung. Seorang peselancar bernama John Philbin berada di Plengkung pada malam terjadinya tsunami. Dia menggambarkan tsunami tersebut sebagai ombak yang sangat besar.
- "Saat gemuruh makin keras, saya masih duduk di dalam kamar saya, dan tiba-tiba air datang menghantam gubukku."
Peselancar lain bernama Richie Lovett menggambarkan pengalaman itu seperti "ditabrak kereta api dengan kecepatan penuh". Seorang lainnya bernama Richard Marsh awalnya mengira harimau telah menyerang mereka, tapi kemudian ia menyadari itu adalah gelombang besar. Marsh dan Lovett tersapu ratusan meter ke dalam hutan oleh gelombang.
- "Aku benar-benar panik. Aku hanya berusaha menggapai sesuatu yang terapung untuk bertahan hidup dan menghindari puing-puing jatuh di kepala saya serta berusaha untuk bisa bernapas."
Lovett akhirnya harus kembali ke Australia untuk perawatan medis.
- "Pondok telah menghilang dan aku terjebak oleh kayu dan potongan bambu. Ketika air mulai mereda. Aku terjebak dan kakiku terjepit tumpukan kayu dan sampah."
Menanggapi hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk tidak mendirikan pemukiman di jarak 1 km di garis pantai. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi kerusakan jika bencana seperti ini terulang kembali. Selain itu di dekat Pantai Rajegwesi dibangun perumahan warga yang disebut Perumahan Tsunami.