Lompat ke isi

Kemarahan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 17 Februari 2019 06.43 oleh Miftahul khair nasim (bicara | kontrib) (Perbaikan pemilihan kata)
Contoh ekspresi kemarahan.

Kemarahan, berasal dari kata marah (bahasa Inggris: wrath, anger; bahasa Latin: ira), adalah suatu emosi yang secara fisik mengakibatkan antara lain peningkatan denyut jantung, tekanan darah, serta tingkat adrenalin dan noradrenalin [1]. Rasa marah menjadi suatu perasaan yang dominan secara perilaku, kognitif, maupun fisiologi saat seseorang membuat pilihan sadar untuk mengambil tindakan untuk menghentikan secara langsung ancaman dari pihak luar [2].

Ekspresi luar dari kemarahan dapat ditemukan dalam bentuk raut muka, bahasa tubuh, respons psikologis, dan kadang-kadang tindakan agresi publik [3]. Manusia dan hewan lain sebagai contoh dapat mengeluarkan suara keras, upaya untuk tampak lebih besar secara fisik, memamerkan gigi mereka, atau melotot [4]. Marah adalah suatu pola perilaku yang dirancang untuk memperingatkan pengganggu untuk menghentikan perilaku mengancam mereka. Kontak fisik jarang terjadi tanpa ekspresi kemarahan paling tidak oleh salah seorang partisipan [4]. Meskipun sebagian besar pelaku menjelaskan bahwa rasa marah timbul karena "apa yang telah terjadi pada mereka," ahli psikologi menunjukkan bahwa orang yang marah sangat mungkin melakukan kesalahan karena kemarahan menyebabkan kehilangan kemampuan pengendalian diri dan penilaian objektif [5].

Para ahli psikologi modern memandang kemarahan sebagai suatu emosi primer, alami, dan matang yang dialami oleh semua manusia pada suatu waktu, dan merupakan sesuatu yang memiliki nilai fungsional untuk kelangsungan hidup. Kemarahan dapat memobilisasi kemampuan psikologis untuk tindakan korektif. Namun, kemarahan yang tak terkendali dapat berdampak negatif terhadap kualitas hidup pribadi dan sosial [5][6].

Meskipun banyak filsuf dan penulis telah memperingatkan terhadap kemarahan yang spontan dan tak terkendali, terdapat ketidaksepakatan tentang nilai intrinsik dari kemarahan. Penanganan kemarahan telah menjadi bahan tulisan sejak para filsuf awal hingga saat ini. Ahli psikologi modern, berlawanan dengan para penulis awal, juga telah menunjukkan dampak buruk karena menekan rasa marah [7]. Penunjukan kemarahan juga telah digunakan sebagai strategi manipulasi untuk pengaruh sosial [8][9].

Dampak

Marah dan Hubungan Pernikahan

Marah berlebihan sering terjadi di antara pasangan karena sebab yang tidak jelas maupun hal sepele. Lazimnya hal ini terjadi pada mereka yang sudah menikah dibandingkan dengan yang belum terikat komitmen secara resmi. Masih belum banyak dilakukan penelitian, terutama di Indonesia, atas apa penyebab atau mengapa seseorang menjadi lebih cepat marah pada pasangan yang punya hubungan 'lebih' dibanding lainnya. Hal ini mungkin telah membuat 50% hubungan pernikahan rusak dengan sendirinya. Kemarahan terhadap pasangan perlu disikapi secara cerdas sebelum pernikahan jatuh ke jurang perceraian.[butuh rujukan]

Pandangan Agama

Ira (Kemarahan) dalam "Tujuh Dosa Mematikan dan Empat Hal Terakhir", karya Hieronymus Bosch.

Katolik

Katekismus Gereja Katolik (KGK) #1866 memasukkan "kemarahan" dalam tujuh dosa pokok, suatu penggolongan menurut kebiasaan buruk yang adalah lawan dari kebajikan (virtues) pokok.[10] Kemarahan yang dimaksud di sini adalah suatu kemurkaan berupa keinginan untuk membalas dendam dengan mengharapkan yang jahat. Kemurkaan yang besar sehingga orang ingin membunuh sesama, atau ingin melukainya, adalah kesalahan besar melawan cinta kasih --sehingga merupakan dosa berat (Lihat: Bobot Dosa); selaras dengan pernyataan Tuhan bahwa setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum (Matius 5:22).[11]

Santo Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kemarahan secara umum adalah suatu gairah dari nafsu yang peka, suatu keinginan pembalasan dengan maksud baik ataupun buruk. Menurut St Thomas, kemarahan dengan suatu alasan yang benar adalah terpuji; katanya:[12]

"Tidaklah diperkenankan menginginkan pembalasan dendam, dengan suatu maksud jahat, kepada orang yang harus dihukum; tetapi sungguh terpuji jika menginginkan pembalasan dendam berupa suatu perbaikan atas kebiasaan buruk dan untuk mempertahankan keadilan."

Pastor Henri Nouwen, seorang penulis terkenal yang mana buku-bukunya diterjemahkan ke berbagai bahasa, menuliskan dalam bukunya mengenai keuntungan-keuntungan jika seseorang mengungkapkan kemarahan atau kebenciannya kepada Tuhan (bukan berarti marah atau benci kepada Tuhan) sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam Kitab Suci. Katanya, dalam Kitab Suci ditemukan bahwa seseorang dapat memperoleh kebebasan dan mengetahui kepenuhan cinta Tuhan hanya dengan mengungkapkan kemarahan dan kebenciannya secara langsung kepada Tuhan saja.[13]

Referensi

  1. ^ "Anger definition". Medicine.net. Diakses tanggal 2008-04-05. 
  2. ^ Raymond DiGiuseppe, Raymond Chip Tafrate, Understanding Anger Disorders, Oxford University Press, 2006, pp.133-159.
  3. ^ Michael Kent, Anger, The Oxford Dictionary of Sports Science & Medicine, Oxford University Press, ISBN 0-19-262845-3
  4. ^ a b Primate Ethology, 1967, Desmond Morris (Ed.). Weidenfeld & Nicolson Publishers: London, p.55
  5. ^ a b Raymond W. Novaco, Anger, Encyclopedia of Psychology, Oxford University Press, 2000
  6. ^ John W. Fiero, Anger, Ethics, Revised Edition, Vol 1
  7. ^ Simon Kemp, K.T. Strongman, Anger theory and management: A historical analysis, The American Journal of Psychology, Vol. 108, No. 3. (Autumn, 1995), pp. 397-417
  8. ^ Sutton, R. I. Maintaining norms about expressed emotions: The case of bill collectors, Administrative Science Quarterly, 1991, 36:245-268
  9. ^ Hochschild, AR, The managed heart: Commercialization of human feeling, University of California Press, 1983
  10. ^ "Catechism of the Catholic Church - Sin". Holy See. 
  11. ^ "Catechism of the Catholic Church - The Fifth Commandment". Holy See. 
  12. ^ Thomas Aquinas. "The Summa Theologica II-II.Q158 (Anger)" (edisi ke-1920, Second and Revised Edition). New Advent. 
  13. ^ Henri J. M. Nouwen, “Forward” in May I Hate God? Pierre Wolff, 2 (Paulist Press, 1979).