Lompat ke isi

HIV/AIDS di Afrika

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 27 Desember 2023 18.01 oleh Wagino Bot (bicara | kontrib) (top: Bot: Merapikan artikel, removed orphan tag)
Seorang guru sedang memberikan pelajaran tentang AIDS di depan kelas di Uganda.

HIV/AIDS di Afrika adalah epidemik virus HIV/AIDS yang meluas di negara-negara yang berada di benua Afrika yang penyebarannya bervariasi satu sama lainnya.

Walaupun penyebaran penyakit ini tidak hanya di Afrika, tetapi nyatanya Afrika adalah daerah yang paling terpengaruh dari penyebaran virus ini. Benua Afrika didiami oleh 10% dari jumlah populasi dunia namun pada saat yang sama 60% dari jumlah populasinya mengidap AIDS.

Wilayah Prevalensi pengidap
HIV dewasa
(umur 15-49)
Total kasus
HIV (0-49)
Kematian
akibat AIDS
tahun 2004
Sub-Sahara Afrika 7,4% 25.000.000 2.300.000
Amerika Utara 0,6% 1.000.000 16.000
Eropa Barat 0,3% 570.000 16.000
Perbandingan HIV antar wilayah (Sumber: UNAIDS Diarsipkan 2008-05-16 di Wayback Machine.)

Tinjauan Umum

Banyak yang menanggap bahwa prevalensi penyakit HIV stabil di kebanyakan tempat di Afrika Sub-Sahara, tetapi banyak laporan yang menyatakan bahwa jumlah pengidap HIV masih meningkat di negara-negara Afrika bagian selatan (walaupun ada beberapa wilayah negara yang jumlahnya stabil). Uganda memiliki kecepatan tanggap tingkat nasional yang paling berhasil, mengurangi prevalensi HIV dari 11% hingga sekitar 6% saat ini. Walau ada juga laporan yang menyatakan bahwa prevalensi HIV di Uganda sedang meningkat kembali; tetapi pada awalnya, Uganda memang telah berhasil mengurangi prevalensi HIV pada tingkat nasional sejak awal 1990an (untuk statistik pendukung, lihat halaman web UNAIDS). Akan tetapi, beberapa agensi mengingatkan agar masyarakat jangan melihat tingkat infeksi yang mulai stabil sebagai awal dari berakhirnya pandemik di Afrika.

Hal ini sering disebabkan karena meningkatnya tingkat kematian akibat AIDS, yang dapat menyembunyikan jumlah infeksi baru.

Walau prevalensi HIV menurun, seperti yang terjadi di Uganda, tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah infeksi baru tetap tinggi. Statistik prevalensi nasional dapat menyamarkan tingginya tingkat infeksi di tempat-tempat tertentu atau di antara kelompok-kelompok dengan risiko tinggi. Selain itu, beberapa negara memiliki angka migrasi yang tinggi karena kondisi dalam negeri yang buruk (misalnya: Zimbabwe).

Hal ini menyebabkan nilai prevalensi menjadi tidak akurat (contohnya: di beberapa wilayah di Botswana, penduduk yang diuji tidak ditanya dari negara mana mereka berasal. Oleh karena itu, penduduk asing secara salah diikutsertakan pula dalam statistik nasional).

Ada beberapa laporan kontroversial baru-baru ini mengenai tingkat prevalensi yang tinggi di negara-negara Afrika bagian selatan yang kaya (misalnya Afrika Selatan atau Botswana). Laporan ini menyimpulkan bahwa perawatan kesehatan yang baik yang tersedia bagi orang-orang dengan HIV memperbolehkan mereka tampak sehat. Dan stigma yang melekat pada infeksi HIV serta keenganan untuk menggunakan kondom, beberapa pengidap HIV memilih untuk terus melakukan hubungan sex tanpa perlindungan, hingga akhirnya menularkan HIV kepada pasangannya.

Selanjutnya, masih banyak yang membantah bahwa HIV menyebabkan AIDS, terutama di beberapa negara Afrika bagian selatan. Thabo Mbeki dan Robert Mugabe mengemukakan sebuah teori bahwa AIDS sesungguhnya berakar pada kemiskinan dan bukan karena infeksi HIV (Walau hal ini tidak sepenuhnya salah, argumen yang digunakan dirasa sangat kontroversial, karena mereka mengesampingkan pertalian medis antara HIV dan AIDS). Selain itu, masih banyak mitos seputar penggunaan kondom. Beberapa di antaranya mengatakan bahwa kondom digunakan untuk menghambat pertumbuhan penduduk Afrika; mitos lainnya adalah bahwa memakan ayam itu sangat berbahaya karena besar kemungkinan ayam tersebut pernah memakan kondom bervirus; atau bahwa kondom mengekang tradisi kekuasaan pria di dalam komunitasnya.

Perubahan angka harapan hidup di beberapa negara di Afrika.
  Botswana
  Zimbabwe
  Kenya
  Afrika Selatan
  Uganda

Di 35 negara Afrika dengan prevalensi tertinggi, rata-rata angka harapan hidup adalah 48.3 tahun—6.5 tahun di bawah angka harapan hidup normal (tanpa adanya infeksi/penyakit HIV/AIDS). Bagi negara-negara dengan jangkauan prevalensi di atas 13%, angka harapan hidup adalah 47.7 tahun—11.0 tahun di bawah angka harapan hidup yang diperkirakan dapat dicapai tanpa HIV/AIDS.

UNAIDS telah memperkirakan kemungkinan yang dapat terjadi di wilayah ini hingga tahun 2025.Perkiraan ini mencakup kemungkinan tercapainya fase stabil (plateau) dan kemudian penurunan angka kematian sekitar tahun 2012; atau kemungkinan terjadinya peningkatan besar-besaran pada angka kematian dengan perkiraan terjadinya 90 juta kasus infeksi.

Sepanjang sejarah, pengeluaran untuk kesehatan dari negara-negara Afrika dapat dikatakan sangat minim. Hal ini mewariskan sistem pelayanan kesehatan yang sangat buruk. Keadaan ini diperburuk oleh alokasi prioritas pengeluaran yang kurang baik oleh rezim militer di benua itu, terutama setelah kemerdekaan dari kolonialisme. Sistem kesehatan yang diwariskan oleh penguasa kolonial lebih mengutamakan pengobatan penyakit, dan bukan pada pencegahan penyakit. Program pencegahan yang baik adalah dasar yang penting untuk menjalankan program penanggulangan. Tetai, untuk melakukan perubahan sesuai tuntutan ini, sangatlah sulit.

Tanpa gizi, pelayanan kesehatan, dan obat-obatan (misalnya obat anti-retroviral) seperti yang tersedia di negara-negara maju, banyak orang di Afrika yang akhirnya mengidap AIDS. Mereka tidak dapat bekerja dan membutuhkan perawatan yang lebih intensif. Banyak yang meramalkan bahwa keadaan ini akan menyebabkan keruntuhan ekonomi dan rusaknya sistem masyarakat di wilayah ini. Di negara-negara yang paling parah, banyak anak-anak yang menjadi yatim piatu, yang kemudian dirawat oleh sanak saudara atau terpaksa tinggal di panti asuhan atau bahkan menggelandang. UNAIDS, WHO dan UNDP mencatat semakin berkurangnya angka harapan hidup dan penurunan produk nasional bruto (PNB, GNP) di berbagai negara di Afrika yang memiliki prevalensi HIV sebesar 10% atau lebih.

Banyak pemerintah di negara-negara Afrika Sub-Sahara yang selama bertahun-tahun membantah adanya masalah ini. Dan walaupun mereka sekarang ini lebih bersedia untuk mencari pemecahan masalah ini, ada beberapa hal yang menghambat pengurangan penyebaran penyakit ini. Beberapa di antara mereka menyatakan bahwa masalah ini berakar pada kurangnya dana. Pada kenyataannya ada banyak sekali bantuan yang disalurkan kepada negara-negara berkembang dengan tingkat HIV/AIDS yang tinggi. Sesungguhnya akar dari masalah ini adalah: sistem desentralisasi yang baru, kurangnya infrastruktur (terutama klinik atau balai kesehatan), korupsi di segala tingkat (baik itu di dalam organisasi pemberi bantuan maupun dalam pemerintahan), pertanggungjawaban yang berorientasi pada donor asing dan bukan kepada kelompok masyarakat yang terkait, serta penempatan sumber daya yang tidak terkoordinasi dengan baik. Tentunya, setiap negara memiliki masalah yang berbeda satu dengan lainnya, terutama sehubungan dengan pendistribusian sumber daya, tetapi masalah-masalah yang disebutkan di atas terjadi hampir di semua daerah.

Sekelompok kecil peneliti menyatakan bahwa dari seluruh kasus infeksi HIV pada penduduk Afrika usia dewasa, 40% di antaranya disebabkan oleh penggunaan jarum suntik yang tidak aman. Akan tetapi teori ini ditolak oleh kebanyakan ahli, termasuk ahli dari WHO. Menurut mereka, sebagian besar infeksi HIV terjadi karena hubungan heteroseksual.

Mengukur Epidemi

Perlu diingat bahwa "tingkat prevalensi nasional' adalah sebuah gambaran epidemik yang tertunda, karena menyajikan data mengenai infeksi HIV dari beberapa tahun yang sudah lampau. Dengan kata lain, perhitungan prevalensi mengikutsertakan semua orang di suatu negara yang mengidap HIV/AIDS. Sebaliknya, perhitungan per "insiden" mencatat jumlah infeksi baru dan biasanya perhitungan dilakukan per satu tahun periode. Sayangnya, tidak ada cara yang baik dan tepercaya untuk menguji frekuensi insiden infeksi HIV di Afrika Sub-Sahara. Perkiraan terbaik didapat dari angka prevalensi pada wanita yang sedang mengandung yang mengunjungi klinik antenatal. Metode penilaian seperti ini dikenal dengan sebutan serosurvei.

Banyak yang meragukan pelaporan kasus HIV oleh unit-unit kesehatan, karena unit tersebut jarang beroperasi di komunitas daerah terpencil dan sering tidak memperhitungkan penduduk yang memutuskan untuk meinggal di rumah atau yang mencari pengobatan alternatif. Survei-survei baru seperti survei populasi nasional atau survei rumah tangga semakin sering digunakan untuk mengisi kekurangan serosurvei. Survei ini mengukur dan mengumpulkan data dari kedua jenis kelamin, dari wanita yang tidak sedang megandung, serta mampu memperoleh data dari daerah-daerah yang terpencil. Gabungan survei-survei ini mampu memberikan penyesuaian pada catatan tingkat prevalensi nasional yang sudah ada, yang dimiliki oleh beberapa negara di Afrika dan di benua lainnya.

Serosurvei dan survei nasional tentu memiliki beberapa kekurangan. Banyak penduduk yang mungkin tidak berpartisipasi dalam survei rumah tangga karena mereka takut mengetahui apakah mereka memang benar-benar positif mengidap HIV, atau karena mereka sedang tidak berada di rumah (tetapi tidak termasuk pekerja yang sering berpindah / nomaden, yang termasuk dalam kategori penduduk berisiko tinggi). Ekstrapolasi data juga memerlukan beberapa kriteria pengandaian, yang mungkin tidak sesuai untuk digunakan di seluruh wilayah atau untuk menghitung epidemik pada tingkat penetrasi yang berlainan.

Kadang kala, pemerhati HIV/AIDS akan mengatakan bahwa di beberapa negara, misalnya di Uganda, ada kemungkinan perbedaan yang cukup signifikan antara angka resmi yang diterbitkan pemerintah dengan prevalensi HIV yang sebenarnya terjadi di lapangan. Pemerintah Uganda dengan tegas menyatakan ahwa angka yang dilaporkan adalah angka yang sebenarnya dan akurat.

Mendapatkan perawatan

Secara teknis prawatan dapat diberikan di mana saja di dunia ini. Bahkan, kekurangan infrastruktur bukan suatu alasan—Saya tidak tahu satu tempat pun di mana infrastruktur kesehatan yang kelebihan beban, sehingga tidak mampu memberikan perawatan yang baik dijadikan sebagai alasan utama tidak adanya perawatan itu. Ketahuilah bahwa [kurangnya] pengetahuan bukanlah halangan, tetapi ketidak adaannya kemauan politiklah [yang menjadikan] halangan itu.

Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS

Obat anti-retroviral (ARV) yang baru dapat memperlambat atau bahkan membalikkan perkembangan infeksi HIV, menunda serangan AIDS selama dua puluh tahun atau lebih. Namun, karena biaya yang harus dikeluarkan relatif tinggi, maka hanya 7% dari 6 juta orang di negara berkembang yang memerlukan perawatan menggunakan ARV yang mampu menggunakannya. Tetapi akses untuk mendapatkan terapi ARV meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak akhir tahun 2003, dan kini terhitung 810,000 pasien yang mendapatkan perawatan.

Kemudahan untuk mendapatkan obat-obatan yang sesuai semakin dilihat sebagai komponen penting dalam setiap strategi penanggulangan HIV/AIDS yang baik. ARV memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah sekaligus mengobati. Dipercaya bahwa semakin banyak orang yang bersedia untuk menjalani tes, apabila ada harapan bagi mereka untuk mendapatkan perawatan yang baik. Hal ini juga dapat mendorong mereka untuk berperilaku positif dengan berusaha untuk menghindari penularan virus kepada orang lain. Memperlambat serangan AIDS memungkinkan penduduk untuk terus hidup secara normal, sehingga dapat mendukung kehidupan sosial dan ekonomi di negara mereka.

ARV harus digunakan secara terus-menerus, untuk mencegah strain virus HIV yang kebal semakin menyebar. Di daerah di mana biaya terapi ARV sangat tinggi, strain kebal seperti ini banyak dijumpai pada pengidap yang pernah menghentikan terapi untuk beberapa waktu karena kekurangan biaya. Pasien yang mulai menjalani perawatan HIV biasanya harus mengonsumsi obat secara terus menerus sepanjang hidupnya, walaupun banyak di antara mereka yang melewati beberapa waktu tanpa mengonsumsi obat ARV. Jangka waktu ini biasanya disebut sebagai cuti obat" (drug holidays). UNAIDS telah melaporkan pecahnya wabah tuberkulosis yang sangat kebal di daerah KwaZulu-Natal, yang pertama kali dicatat pada awal September. Ada pula penyakit kombinasi antara HIV dan TBC di Afrika Selatan, di mana sekitar 60% pasien pengidap TBC juga telah terinfeksi HIV.

Dalam komunitas negara-negara Barat, terapi ARV masih sangat mahal, memakan biaya antara $10,000 hingga $15,000 per orang per tahun. Biaya ini termasuk biaya yang dibayarkan kepada pemegang paten, yang memungkinkan perusahaan peneliti obat-obatan untuk mengembalikan modal yang digunakan untuk penelitian, sehingga mereka dapat mengembangkan obat-obat baru yang lebih baik. Akan tetapi, beberapa organisasai internasional seperti VSO, Oxfam dan Medecins Sans Frontieres sering mempertanyakan apakah uang yang didapat oleh perusahaan ini sebanding dengan uang yang sebenarnya dikeluarkan untuk penelitian.

Sebagai perbandingan, di beberapa negara di Afrika, terapi ARV tersedia dengan biaya di bawah $140 per orang per tahun. Obat-obatan yang ada didapat dari India, Afrika Selatan, Brasil, Thailand, dan Cina, negara-negara yang memproduksi obat generik, duplikat dari obat-obat yang telah dipatenkan tersebut. Karena tidak perlu membayar bea kepada para pemegang hak paten, obat-obatan tersebut dapat kemudian diberikan kepada pasien yang membutuhkan dengan harga dapat diterima oleh pemerintah dan masyarakat di negara-negara berkembang. Pengurangan biaya ini diperoleh dari gabungan antara penggunaan obat generik dan diberikannya "potongan harga", yaitu sumbangan suka rela dari perusahaan produsen obat. Kini para pemegang paten sudah mulai menurunkan harga jual obat-obatan mereka untuk menghadapi kompetisi dari industri obat generik.

Selain biaya obat-obatan, biaya terapi HIV juga mencakup perlunya mengadakan pemeriksaan berkala atau pengujian angka viral load (jumlah virus HIV dalam setiap mililiter darah) dan hitungan sel CD4 untuk mengawasi dan mencegah pembentukan kekebalan pada virus. Pengujian semacam ini tentunya membuthkan peralatan laboratorium yang mahal dan logistik yang memadai. Di Afrika, biaya per pasien untuk pengadaan laboratorium seperti ini jauh lebih tinggi dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk membeli ARV. Total biaya yang biasanya harus dikeluarkan untuk terapi sesuai dengan ketentuan standar negara-negara Barat adalah sekitar $800.[1]

Oleh karena itu, terapi ARV masih tergolong mahal untuk sebagian besar penduduk Afrika; dan bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan sekitar $2 per hari, terapi ini tidak terjangkau, sehingga mereka harus bergantung ada pelayanan kesehatan gratis.

Inisiatif 3 by 5 yang dicanangkan oleh WHO dimaksudkan untuk memberikan terapi ARV kepada 3 juta orang hingga pada akhir tahun 2005. Organisasi kemanusiaan internasional melakukan berbagai usaha pendekatan untuk mendorong pengembangan produksi obat generik di negara-negara berkembang—secepatnya untuk jangka pendek dan secara perlahan tetapi berkelanjutan untuk jangka panjang—dengan menggunakan dana dari inisiatif 3-by-5 ini.

Inisiatif AIDS dari Amerika Serikat, PEPFAR,[2] memusatkan dua per tiga dari keseluruhan sumber dayanya untuk AIDS di Afrika. Mulai dari tahun 2004, pengeluarannya untuk proyek di seluruh dunia naik dari $2.3 juta menjadi $3.3 juta pada tahun 2006. Tingkat pemberian bantuan sebesar $4 juta sedang dipermohonkan untuk tahun 2007.[3]

Proyek DREAM, yang dimotori oleh Community of Sant'Egidio telah terbukti menjadi salah satu cara pemberian akses perawatan gratis menggunakan obat generik HAART bagi kalangan tidak mampu dalam jumlah banyak: Sejauh ini, 5,000 orang telah menerima perawatan, terutama di Mozambique; tetapi program ini juga sedang disosialisasikan di berbagai negara: Malawi, Guinea, Tanzania dan lain-lain. Walaupun gratis, program ini mempunyai tujuan untuk memberikan perawatan yang terbaik, memberikan pilihan obat yang lengkap (HAART) dan tes darah secara berkala sesuai dengan standar Eropa. Program ini juga dihubungkan dengan program perbaikan gizi serta memberikan penyuluhan dan bimbingan pemeliharaan kebersihan lingkungan (sanitasi). Penyuluhan dan pembimbingan ini dilakukan oleh para relawan (dan juga mereka yang mengidap HIV yang hendak membantu). Program ini berhasil mendorong pasien-pasien baru untuk mengikuti dan datang pada hari-hari yang ditentukan. Angka keikutsertaan program ini sangat tinggi (94%).

Analisis Regional

Afrika Tengah/Timur

Dalam hal ini Afrika timur dan tengah terdiri atas: Uganda, Kenya, Tanzania, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Gabon, Guinea Khatulistiwa, Republik Afrika Tengah, Rwanda, Burundi, Ethiopia dan Eritrea. Pada tahun 1982, Uganda adalah negara pertama di wilayah ini yang menyatakan adanya kasus HIV. Setelah itu Kenya pada tahun 1984 dan Tanzania pada tahun 1985.

Negara Prevalensi (Dewasa) Total HIV Kematian (2003)
Tanzania 8.8% 1,500,000 160,000
Kenya 6.7% 1,100,000 150,000
Republik Kongo 4.9% 80,000 9,700
Ethiopia 4.4%* 1,400,000 120,000
Republik Demokratik Kongo 4.2% 1,000,000 100,000
Uganda 4.1% 450,000 78,000
Eritrea 2.7% 55,000 6,300
HIV di Afrika Tengah/Timur (Sumber: UNAIDS Diarsipkan 2008-05-16 di Wayback Machine.)

*Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2005 oleh Agensi Statistik Pusat Ethiopia menunjukkan bahwa prevalensi pada populasi dewasa (usia 15-49) adalah 1.4% dan prevalensi pada populasi wanita adalah 1.9% dan di antara populasi pria adalah 0.9%.[4]

Beberapa tempat di Afrika Timur mulai menunjukkan adanya penurunan yang signifikan dalam prevalensi infeksi HIV. Di awal tahun 1990an, 13% dari seluruh penduduk Uganda dinyatakan positif HIV. Angka ini sudah berkurang menjadi 4.1% pada tahun 2003. Bukti-bukti yang ada juga menunjukkan kemungkinan bahwa keadaan sudah mulai membaik di Kenya: angka pervalensi HIV turun dari 13.6% pada tahun 1998 menjadi 9.4% pada tahun 2002. Data dari Ethiopia dan Burundi juga menunjukkan perbaikan keadaan. Akan tetapi, secara keseluruhan, angka prevalensi masih tetap tinggi. Masih terlalu dini untuk menyatakan bahwa epidemik di negara-negara ini sudah teratasi secara permanen.

Sekitar pertengahan tahun 1980an, hampir semua negara di daerah ini telah membentuk program pendidikan mengenai AIDS, bersama dengan WHO dan Organisasi Non Pemerintah interasional. Program tersebut biasanya mengajarkan ABC pencegahan HIV: kombinasi antara (A) Abstience (tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah), (B) Be Faithful (jika sudah menikah, hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja), dan (C) menggunakan kondom. Usaha dari kampanye ini sepertinya sudah membuahkan hasil. Di Uganda, tingkat kesadaran AIDS adalah 99% dan lebih dari 3 di antara setiap 5 penduduk Uganda dapat menyebutkan dua atau lebih cara-cara pencegahan AIDS. Penduduk usia muda juga tampak menunda kali pertama mereka melakukan hubungan seks.

Tidak ada vektor bukan manusia dalam penyebaran infeksi HIV. Penyebaran epidemik ini terkait dengan migrasi pekerja dari daerah pedesaan ke pusat-pusat kota, yang biasanya memiliki angka prevalensi HIV yang lebih tinggi. Pekerja-pekerja ini biasanya akan mendapatkan virus HIV dari daerah kota, kemudian menyebarkannya ke desa ketika mereka kembali pulang. Bukti empiris menunjukkan adanya korelasi positif yang besar antara adanya jaringan transportasi darat (seperti rel kereta api dan jalan raya) dengan penyebaran HIV. Pengemudi kendaraan berat (truk) jarak jauh juga dikelompokkan ke dalam kategori dengan risiko tinggi karena besar kemungkinannya mereka akan mempergunakan jasa prostitusi, dan menyebarkan infeksi sepanjang rute perdagangan di daerah ini. Di Uganda, Kenya dan Tanzania angka infeksi HIV yang tercatat dalam kelompok ini mencapai 33%.

Afrika Barat

Untuk keperluan diskusi, wilayah Afrika barat akan mencakup negara-negara pantai seperti Mauritania, Senegal, Gambia, Tanjung Verde, Guinea Bissau, Guinea, Sierra Leone, Liberia, Pantai Gading, Ghana, Togo, Benin, Nigeria, dan negara terkurung daratan (tidak memiliki pantai), seperti Mali, Burkina Faso, dan Niger.

Daerah ini memiliki angka infeksi HIV-1 dan HIV-2 yang tergolong tinggi. Epidemik HIV di Afrika Barat mulai dicatat pada tahun 1985 dengan dilaporkannya kasus-kasus HIV di Pantai Gading, Benin dan Mali. Pada tahun 1986, dilaporkan kasus-kasus HIV di Burkina Faso, Ghana, Kamerun, Senegal, dan Liberia; Sierra Leone, Togo dan Niger pada tahun 1987; Mauritania pada tahun 1988, Gambia, Guinea-Bisaau dan Guinea pada tahun 1989; dan akhirnya Tanjung Verde pada tahun 1990.

Angka prevalensi terendah di Afrika Barat terdapat di Chad, Niger, Mali dan Mauritania; sedangkan negara-negara yang memiliki angka prevalensi tertinggi di Afrika Barat adalah: Brukina Faso, Pantai Gading, dan Nigeria. Nigeria dicatat sebagai negara dengan angka prevalensi tertinggi kedua setelah Afrika Selatan. Akan tetapi angka infeksi (yaitu jumlah pasien dibandingkan dengan jumlah populasi secara keseluruhan) jauh lebih rendah daripada Afrika Selatan yaitu sekitar 7% (dibandingkan dengan angka prevalensi Afrika Selatan yang hampir mendekati angka 30%).

Pendorong utama penyebaran infeksi di daerah ini adalah prostitusi. Di Accra, ibu kota Ghana, 80% infeksi HIV pada populasi pria muda disebabkan oleh hubungan yang dilakukan dengan wanita-wanita pekerja seks. Di Niger, prevalensi HIV tingkat nasional pada populasi dewasa adalah 1% pada tahun 2003, akan tetapi survei yang dilakukan pada pekerja seks di berbagai daerah menunjukkan adanya angka infeksi HIV antara 9 dan 38%.

Afrika Bagian Selatan

Pada pertengahan tahun 1980an, HIV dan AIDS hampir tidak ada di daerah ini. Kini daerah ini adalah salah satu daerah yang paling parah angka infeksinya. Tidak ada tanda-tanda penurunan angka infeksi di wilayah ini. Ada sebelas negara di wilayah ini: Angola, Namibia, Zambia, Zimbabwe, Botswana, Malawi, Mozambik, Afrika Selatan, Lesotho dan Eswatini, serta kepulauan Madagaskar. Dalam laporan yang dibuat pada bulan Desember 2005, UNAIDS melaporkan bahwa ada penurunan angka infeksi di Zimbabwe. Akan tetapi banyak pemerhati independen menyatakan bahwa angka yang diberikan oleh Robert Mugabe tidak dapat dipercaya, terutama karena angka infeksi di negara-negara lain di Afrika bagian selatan terus meningkat (terkecuali sedikit penurunan di Botswana). Hampir 30% dari seluruh populasi orang dengan HIV di seluruh dunia tinggal di wilayah ini, padahal di wilayah ini hanya bermukim 2% dari seluruh penduduk dunia.

Hampir semua negara di wilayah ini memiliki tingkat prevalensi setidaknya 10%. Pengecualian dari nilai ini adalah Angola dengan nilai prevalensi kurang dari 5%. Hal ini tidak disebabkan oleh berhasilnya program penanggulangan, tetapi karena perang saudara yang berkelanjutan.

Kebanyakan infeksi HIV di wilayah ini adalah jenis HIV-1, jenis yang paling banyak ditemukan di dunia, yangi paling sering ditemukan di wilayah-wilayah dunia dengan populasi penduduk dengan HIV. Pengecualian adalah Afrika bagian barat, di mana infeksi HIV-2 lebih sering ditemukan.

Di wilayah Afrika bagian selatan, kasus pertama HIV dilaporkan dari Zimbabwe pada tahun 1985.

Pengaruh dari Epidemik AIDS

Epidemik HIV/AIDS di Afrika memengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan politik di benua itu.

Pengaruh AIDS terhadap perekonomian adalah: melambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak seimbangnya jumlah pengeluaran penduduk, semakin besarnya aliran dana bantuan internasional, dan perubahan struktur demografis populasi negara tersebut. Perubahan pada angka harapan hidup jangka panjang dapat mengubah cara pengambilan keputusan bidang ekonomi, menurunkan jumlah simpanan/tabungan dan angka investasi. Akan tetapi, banyak dari pengamatan ini yang sifatnya teoretis, dan bukan karena pengamatan empiris di lapangan. Para ahli ekonomi di Afrika Selatan telah mengembangkan model untuk menguji pengaruh AIDS terhadap tatanan sosial. Nicoli Nattrass dalam "The Moral Economy of AIDS in South Afrika" memperkirakan bahwa pemerintah Afrika Selatan sebenarnya sangat mungkin untuk memberikan akses untuk mendapatkan obat anti-retroviral tanpa harus terlalu membebani anggaran nasional. AIDS juga telah bersimpangan dengan kekeringan, pengangguran dan masih banyak masalah lainnya sehingga menimbulkan apa yang dikatakan oleh Alan Whiteside dan Alex de Waal sebagai "paceklik baru", karena rumah tangga miskin dengan AIDS tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan pada saat adanya krisis makanan.

Pengaruh AIDS terhadap kehidupan sosial yang paling mencolok adalah meningkatnya jumlah anak yatim piatu di benua itu. Ada sekitar 12 juta anak di Afrika Sub-Sahara yang menjadi yatim piatu karena AIDS. Seringkali, anak-anak ini diasuh dengan sangat baik oleh kerabat mereka. Akan tetapi kemampuan kerabat untuk mengasuh anak-anak ini semakin lama semakin berat, dan sudah mulai melemah. UNICEF dan beberapa agensi internasional lainnya menatakan bahwa krisis yatim piatu di Afrika adalah sebuah prioritas kemanusiaan. Para praktisi dan ahli kebajikan tetap berusaha untuk tidak mengelompokkan anak-anak yatim piatu ini dari anak-anak lain yang membutuhkan atau terancam. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberian stigma kepada kelompok anak yatim piatu karena AIDS. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan sosial dan program yang baik dan efektif untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada seluruh yatim piatu dan anak-anak yang terancam.

Hingga kini, tidak banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh AIDS terhadap keadaan politik suatu negara. Banyak pihak yang khawatir bahwa tingkat HIV yang tinggi di antara para prajurit dan politikus dapat mengakibatkan "pengosongan" dan, akhirnya, rusaknya struktur politis suatu negara. Hal ini dapat mendorong pecahnya sebuah konflik di negara tersebut. Laurie Garrett dari Council on Foreign Affairs adalah sosok pengamat yang paling sering dikaitkan dengan pandangan ini. Akan tetapi, epidemik ini juga terjadi bersamaan dengan dikukuhkannya demokrasi di berbagai negara di Afrika, dan bahwa pemerintahan dan angkatan bersenjata di benua ini belajar untuk semakin dapat mengatasi epidemik ini.

Catatan kaki

  1. ^ Perkiraan biaya Program DREAM (Drug Resources Enhancement against Aids and Malnutrition) ini adalah per orang per tahun. Sumber: IPS News. "A Church Group Makes Strides in Supplying ARVs Diarsipkan 2006-02-10 di Wayback Machine."
  2. ^ "US State Dept: About PEPFAR". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-02. Diakses tanggal 2007-10-10. 
  3. ^ "PEPFAR: Making a Difference: Funding (June 2006)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-06-07. Diakses tanggal 2006-06-07. 
  4. ^ "HIV/AIDS Data from the 2005 Ethiopia Demographic and Health Survey" (PDF). United Nations Childrens Fund (UNICEF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2008-02-27. Diakses tanggal 2006-06-21. 

Daftar pustaka

Pranala luar