Pengguna:Fazoffic/Arsip percobaan
Mulyono
Kapten Mulyono (11 November 1921 – 15 Mei 1975) adalah seorang tokoh militer anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berperan dalam penyerbuan tentara Belanda di Pulau Kalimantan. Namanya secara khusus dihormati di Kabupaten Seruyan dan sekitarnya.
Kehidupan awal
Mulyono dilahirkan di Magetan, Jawa Timur. Ia adalah anak dari mantan wedana Magetan pada saat itu. Pendidikannya dimulai dari bersekolah di Sekolah Dasar Bahasa Belanda, kemudian berlanjut ke Sekolah Teknik Ratu Emma selama tiga tahun. Setelah lulus, Mulyono bekerja sebagai asisten di sebuah Otoritas Air Propinsi di Jawa Timur dan Madura.[1] Kemudian, ia bergabung dengan Korps teknik dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dan mendapat pangkat sersan. Ia bertanggung jawab atas penjagaan para kuli yang membangun gudang senjata.[2]
Buronan tentara Jepang
Antara tahun 1942 atau 1943, Belanda menyerah kepada Kekaisaran Jepang yang menginvasi Hindia Belanda selama Perang Dunia II. Namun, Mulyono, yang diinstruksikan oleh atasannya untuk menyerahkan posnya kepada Jepang, menolak dan menembak tentara Jepang yang mendatangi posnya untuk menerima penyerahan dirinya. Hal itu menyebabkan Mulyono dinyatakan sebagai buronan di Madura, yang membuat Mulyono melarikan diri ke Pulau Sumatra hingga Jepang menyerah pada Agustus 1945.[3]
Revolusi Nasional (1945–1946)
Bergabung ke Badan Keamanan Rakyat
Setelah Jepang menyerah, Mulyono kemudian pulang ke Jombang.[3] Setelah itu, ia bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan dikirim ke Surabaya untuk mengepung tentara Jepang di sana. Meskipun tidak memiliki jabatan militer secara formal, namun Mulyono turut berperan dalam melawan tentara Inggris di Surabaya. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia kembali ke Jombang dan dan memegang komando Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Setelah itu, ia dipindahkan ke Semarang.[4]
Berangkat ke Kalimantan
Setelah Pertempuran Lima Hari di Semarang berakhir, Mulyono dan rekan-rekannya bertemu dengan Zulkifli Lubis, yang menanyakan apakah mereka besedia dikirim ke luar Pulau Jawa, tepatnya di Kalimantan. Dari sejumlah orang yang ditanya, hanya Mulyono yang menyatakan kesediaannya.[5] Mulyono kemudian mendapat tambahan pasukan sebanyak lima orang: Sukurgani putra mantan wedana Jombang, Markoni dan Alfred orang Dayak Kapuas, Jauhari orang Banjar, dan Gusti Rusli Noor, putra Gubernur Kalimantan. Pada awalnya, mereka berniat untuk berangkat pada 1 Januari 1946, namun gagal karena angin laut yang kencang. Mereka baru bisa berangkat dua minggu setelahnya, dan dibekali dengan persiapan logistik yang terbatas.[6]
Perahu mereka diduga berlabuh di Tanjung Puting. Tugas utama mereka adalah untuk mengabarkan kepada desa-desa di pedalaman Kalimantan bahwa Indonesia sudah benar-benar merdeka, serta untuk memetakan wilayah tersebut dan melakukan propaganda untuk mendukung sekaligus mempertahankan kemerdekaan.[7]
Menetap di Kuala Pembuang dan kembali ke Jawa
Mulyono dan teman-temannya kemudian menetap di Kuala Pembuang, ibukota Distrik Pambuang saat itu. Di sana, Mulyono menjalin hubungan baik dengan empat orang pelaut: H. Busra, Ipat, Ibus, dan Dilah dengan harapan mereka bisa membawanya kembali ke Jawa.[8] Sementara itu, rekan-rekan Mulyono yang lain ditugaskan ke Banjarmasin, namun tidak ada yang pernah kembali. Akhirnya, Mulyono memilih untuk kembali ke Jawa, tepatnya ke Yogyakarta, untuk melapor kepada Lubis.[9] Di Yogyakarta, Mulyono kemudian bertemu kembali dengan Sukurgani, yang ternyata berhasil kembali dari Banjarmasin dengan membawa sejumlah peta dan laporan-laporan yang juga dikirimkan kepada Lubis.[10]
Kembali ke Kalimantan
Pada Juli 1946, Mulyono kembali mendapat perintah untuk menjalankan operasi inteljen ke Kalimantan. Ia kemudian berangkat dari Tuban menggunakan Seri Bintang, perahu yang ia beli sendiri. Ia ditemani oleh empat orang pelaut Kuala Pembuang rekannya, H. Busra, Ipat, Ibus, dan Dilah. Kali ini ia dibekali dengan cukup banyak persenjataan, di antaranya pedang samurai, dua bom seberat 50 kg, tujuh bom seberat 10 kg, dua senjata laras panjang, dan satu kotak berisi 1000 peluru.[11] Lubis mengatakan bahwa bom tersebut berfungsi untuk menenggelamkan kapal Belanda yang mungkin mengepung Mulyono, namun ketika Mulyono sadar bahwa kapalnya juga akan ikut tenggelam, Mulyono kemudian membuang tujuh bom kecil dari kapalnya ketika mendekati Tanjung Puting.[12]
Segera setelah mendarat, kedatangan Mulyono dan rekan-rekannya diketahui oleh Belanda, yang kemudian memburu mereka. Hal ini membuatnya memutuskan untuk berjalan selama dua puluh hari dengan tujuan ke Tumbang Manjul.[13] Bupati ketiga Seruyan, Yulhaidir mengatakan,[13]
Kalau [menurut] cerita kakek saya, Kapten Mulyono beserta rekannya dari Tanjung Puting berjalan di tengah hutan dan rawa-rawa menuju Tumbang Manjul.
Setelah itu, Mulyono mengirim surat kepada seorang informan yang disebut sebagai "Guru Lewi," bahwa dirinya adalah perwira TRI, bukan seorang bandit atau penjahat. Mulyono juga menjelaskan bahwa dia datang untuk melatih kader dan menyatukan berbagai kelompok berbeda yang beroperasi di sana. Dukungan pertama ia dapatkan dari Markoni, kemudian Jayadi Seman, pemimpin kelompok TRI lain di sekitar Tumbang Manjul.[14]
Penyerbuan Tumbang Manjul
Pada Oktober 1946, tentara KNIL Belanda yang dipimpin oleh Hullenberg melakukan patroli ke Manjul dan berkemah di suatu pesanggrahan. Mulyono yang telah menyadap pasukan itu kemudian mengetahui bahwa mereka berencana untuk meminta pengiriman dua pasukan dari Pontianak untuk mencegah pelarian Mulyono dan teman-temannya. Setelah berdiskusi dengan kelompoknya, mereka sepakat untuk menyerang pasukan patroli Belanda tersebut.[15]
Pada jam 4 pagi, Mulyono dan rekan-rekannya, mengepung pesanggrahan pasukan Belanda. Beberapa tentara KNIL lainnya terlihat berjaga di luar pesanggrahan. Segera, salah seorang rekan Mulyono menghancurkan lampu petromaks pesanggrehan dan keadaan sekitar segera menjadi gelap.[16] Salah seorang rekan Mulyono, Markasan, secara tidak sengaja melukai sepupunya sendiri denganparang, yang akhirnya membuat sepupunya meninggal dunia. Hal ini membuat Markasan menjadi marah, dan segera mengamuk serta membantai seluruh orang Belanda yang ada di pesanggrehan itu.[17] Menurut cucu Markasan, Syahran, kejadian itu membuat Markasan menyimpan dendam terhadap pasukan KNIL, meskipun Syahran menyatakan bahwa dirinya melupakan nama sepupu Markasan yang tewas tersebut.[18] Syahran hanya menceritakan bahwa Markasan kemudian selalu diburu oleh Belanda, dan menyebabkan ia selalu bersembunyi di dalam hutan. Pada akhirnya, Markasan berhasil ditangkap oleh Belanda karena salah seorang warga berkhianat dan melaporkan tempat persembunyian Markasan. Pada akhirnya, Markasan ditangkap dan disiksa, kemudian ditembak mati dihadapan istri dan anaknya sendiri, yang merupakan nenek dan ayah Syahran.[19]
Meskipun begitu, dikabarkan bahwa tentara KNIL Belanda sempat melakukan serangan balasan. Mereka menembaki Mulyono dan kemudian melarikan diri menggunakan perahu sampan.[20] Salah satu rekan Mulyono, Rawi, kemudian melompat ke Sungai Manjul untuk menyelamatkan diri dari tembakan pasukan KNIL. Menurut penduduk Tumbang Manjul, jejak telapak kaki Rawi yang melompat dari jendela pesanggrahan diklaim masih ada hingga sekarang dan terdapat di kayu ulin yang menancap di dasar sungai.[21] Pada awalnya, Mulyono mengira Rawi tenggelam, namun kemudian Rawi muncul kembali ke permukaan sungai.[22] Sebelum melarikan diri, Mulyono melepaskan salah satu tawanan Belanda untuk membawakan atasannya sebuah surat, yang berisi pernyataan bahwa Mulyono adalah orang yang bertanggung jawab atas penyerangan ini, dan penyerangan ini tidak ada hubungannya dengan masyarakat setempat. Beberapa hari kemudian, Mulyono dan rekan-rekannya meninggalkan Kalimantan menuju Jepara.[23]
Tanggapan KNIL
KNIL Belanda dikabarkan sangat marah atas penyerangan ini. Sejak Desember 1946 sampai akhir Maret 1947, Belanda melakukan operasi pembersihan TRI secara besar-besaran di sepanjang Sungau Manjul sampai ke desa paling utara di Pambuang, meskipun operasi tersebut juga mendapatkan berbagai perlawanan dari pendukung TRI di Kalimantan.[24] Dalam operasi tersebut, tercatat ada 18 orang anggota TRI yang gugur, sementara banyak warga sipil yang ditangkap dan disiksa karena dianggap mendukung aksi TRI.[25] Pada akhirnya, jumlah anggota TRI di Kalimantan mengalami penurunan besar-besaran, dan banyak petinggi TRI di Kalimantan yang ditangkap dan dipenjara.[26]
Berangkat ke Tungkal
Mulyono melaporkan kepada Lubis bahwa kabar penyerbuan di Manjul sudah menyebar hingga ke Sampit, dan kini dirnya sudah menjadi salah satu buronan yang paling dicari oleh Belanda.[27] Lubis kemudian memberikan instruksi baru, yaitu untuk melatih kader baru di Tungkal dan Tambilahan.[27]
Mulyono berangkat ke Tungkal pada Januari 1947, dan dengan cepat berhasil mengumpulkan 200 orang Banjar di Tungkal dan Tambilahan.[28] 200 orang yang telah direkrut kemudian didaftarkan ke Tentara Nasional Indonesia (TNI).[a]
Pindah ke Singapura
Pada Januari 1948, dalam rangka keluar dari Tangkal. Mulyono bekerja sebagai pelaut pada sebuah tongkang bermotor dari Singapura. Dia bekerja di tongkang ini selama dua bulan pelayarannya di Singapura. Sampai di Singapura, Mulyono sempat kebingungan karena tidak memiliki keluarga atau teman di Singapura. Dalam kebingungan itu, Mulyono tiba-tiba bertemu dengan Jayadi Seman, rekan satu tim ketika menyerbu tentara Belanda di Tumbang Manjul.[29] Jayadi sendiri mengaku sudah menetap di Singapura, dan saat inu menjadi seorang pedagang. Jayadi mengajak Mulyono untuk tinggal di rumahnya sebelum pergi ke Sambas. Selama tinggal di rumah Jayadi, Mulyono menceritakan bahwa ia mendapat tugas baru untuk melakukan operasi inteljen di Borneo Barat. Jayadi sendiri bercerita kepada Mulyono bahwa dia yang ditugasi sebagai kepala persiapan lapangan untuk wilayah Borneo.[30]
Untuk menyeberang ke Sambas, Mulyono menumpang tongkang bermotor milik Abdurachman, mitra layadi di persiapan lapangan dan agen di Borneo Barat.[30] Hingga akhirnya ia berhasil sampai di Sambas. Namun, ketika ia sampai di Sambas, ia ditangkap oleh tentara Belanda pada 23 September 1948, yang kemudian menginterogasinya terkait penyerbuan Tumbang Manjul dan kariernya di TRI. Mulyono kemudian berhasil selamat dan kemudian pindah ke Banjar untuk berpartisipasi dalam sebuah perundingan dengan Belanda, yang bertujuan agar Borneo Selatan tidak dimasukkan dalam Negara Federal Kalimantan.[31]
Konfrontasi Malaysia
Mulyono kemudian pindah ke Puruk Cahu, sekitar tahun 1950-an.[32] Diduga, Mulyono juga membangun salah satu basis militer di Puruk Cahu, sama seperti di Tumbang Manjul. Diketahui bahwa selama menetap di Puruk Cahu, Mulyono pernah dikunjungi oleh Jenderal Ahmad Yani dan Agus Siswandi dari Jakarta. Kunjungan itu terjadi sekitar tahun 1964, setahun sebelum Jenderal Yani terbunuh pada peristiwa Gerakan 30 September.[33]
Setelah kunjungan tersebut, Mulyono mempersiapkan 162 orang pemuda yang kemudian menyerang Serawak di Malaysia. Penyerangan ini dikatakan telah menarik banyak perhatian dari kalangan internasional.[34] Presiden Indonesia, Soekarno, secara khusus menyebut penyerangan ini dalam pidatonya,[35]
Mati satu, tumbuh seribu. Mati seribu, tumbuh sepuluh ribu. Padahal gerilyawan yang ada di perbatasan Malaysia hanya ada seratus enam puluh dua orang.
Setahun kemudian, Mulyono menarik pasukannya dari Serawak, dikarenakan kondisi yang dinilai tidak kondusif, ditambah dengan adanya pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Upaya untuk merebut Serawak mulai melemah, ditambah dengan pemerintahan Soeharto yang sepakat untuk berdamai dengan Malaysia.[36]
Kematian
Pada tahun 1975, Mulyono mendapat tugas ke Kalimantan Timur. Nama daerah pastinya tidak diketahui. Dalam perjalanannya menuju Kalimantan Timur, Mulyono menaiki sebuah speedboat bersama beberapa orang penumpang lainnya.[37] Namun, speedboat tersebut kemudian mengalami kecelakaan. Badan speedboat menabrak tebing batu dan speedboat tersebut kemudian terbalik dan akhirnya pecah. Sementara itu, Mulyono terjepit di antara batu besar dan badan speedboat, namun ia tidak memedulikan dirinya sendiri dan berusaha untuk membantu penumpang lain yang terjebak di sekitarnya.[38] Hal ini berlanjut hingga ia merasakan sakit di bagian dadanya. Mulyono segera dibawa ke Rumah Sakit terdekat, kemudian dipindah ke Rumah Sakit Suaka Insani di Banjarmasin.[38]
Setelah mendapatkan perawatan di Banjarmasin, diketahui bahwa paru-paru Mulyono pecah akibat terjepit di antara speedboat dan batu besar tersebut. Mulyono akhirnya meninggal dunia pada 11 Mei 1975 di Banjarmasin.[39] Ia kemudian dimakamkan di Makam Pahlawan Banjarmasin.[40]
Warisan
Perusahaan tambang misterius
Di daerah Puruk Cahu, Mulyono mendirikan sebuah perusahaan tambang berbasis perseroan terbatas yang bernama PT Mulyono Mining Coorperation. Lokasi tambangnya adalah di Indo Muro Puruk Cahu dan sejumlah tempat lain. Perusahaan ini bekerja sama dengan sejumlah negara, seperti Australia dan Amerika Serikat. Salah satu nama yang diingat adalah Mr. Parker, seorang warga Amerika.[41]
Mulyono mempercayakan perusahaannya kepada teman-temannya, termasuk Markoni, Gatot, Tondo Widigdo, dan Hendro Sujiati. Namun mereka semua telah meninggal dunia. Anak-anak Mulyono dikabarkan ikut menandatangani kepemilikan saham perusahaan ayahnya.[42]
Meskipun begitu, hingga saat ini tidak diketahui di mana lokasi fisik perusahaan ini berada. Satu-satunya yang diketahui adalah Mulyono yang bekerjasama dengan Mr. Parker dan putranya, Mr. Robin untuk mengurus tambang di Puruk Cahu, namun sebelum hal itu terlaksana, Mulyono terlebih dahulu meninggal dunia pada tahun 1975.[43]
Bendera pusaka
Salah satu sisa-sisa dari perjuangan Mulyono dan kelompoknya adalah sebuah bendera merah putir di Tumbang Laku. Mayoritas masyarakat percaya bahwa bendera tersebut dibawa oleh kelompok TRI pimpinan Mulyono yang bertujuan untuk membuktikan bahwa Indonesia benar-benar sepenuhnya merdeka.[44] Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa bendera itu dibawa langsung oleh Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Tengah pertama untuk dikibarkan pada Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.[45] Yulhaidir, bupati ketiga Seruyan memiliki versi sendiri. Menurutnya, bendera tersebut dibawa oleh kakeknya, Jamhir bin Matnor dari Banjarmasin.[46] Jamhir sendiri membawa banyak bendera serupa untuk dibagikan ke setiap desa, menandai akhir dari kekuasaan penjajah atas Indonesia.[47] Pada akhirnya, Jamhir diburu oleh tentara Belanda, dan terpaksa mengganti namanya menjadi Ijam bin Nor.[48]
Selama masa pemerintahan Sudarsono sebagai bupati, pemerintah telah membuatkan peti kayu berukuran 40×70 cm sebagai tempat penyimpanan bendera tersebut, setelah sebelumnya bendera tersebut disimpan di dalam sebuah lemari pakaian.[49] Bendera itu sendiri hanya akan dikeluarkan pada saat Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia saja.[50]
Referensi
{{Reflist}}
Bibliografi
- Ekpres, Palangka (2019). Pertempuran Tumbang Manjul: Menelusuri jejak Kapten Mulyono di Tanah Dayak. Idea Press Yogyakarta. ISBN 978-6237085058.
Halaman lama (April–September 2022)
Artikel ini merupakan bagian dari seri |
Ali bin Abi Thalib |
---|
Ali bin Abi Thalib, menantu dan sepupu nabi Islam Muhammad, Imam Syiah pertama dan merupakan Khulafaur Rasyidin keempat setelah Abu Bakar (m. 632–634), Umar (m. 634–644), dan Utsman (m. 644–656); diakui sebagai khalifah pada tahun 656 setelah pembunuhan pendahulunya Utsman, yang dibunuh oleh pemberontak Mesir di tengah tuduhan nepotisme, ketidakadilan, dan korupsi yang tersebar luas.
Ali melakukan perubahan radikal segera setelah aksesinya di Madinah dan kebijakannya yang sangat egaliter memberinya dukungan dari kelompok-kelompok yang kurang mampu sementara mengasingkan suku Quraisy yang kuat, beberapa di antaranya memberontak melawan Ali dengan dalih balas dendam untuk Utsman di Pertempuran Jamal (656) dan Pertempuran Shiffin yang berlarut-larut (657). Pertarungan terakhir berakhir dengan arbitrase dan mengarah pada penciptaan Khawarij, sekte yang dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan Ali pada tahun 661 pada saat ia memimpin salat subuh. Bagi sebagian orang, kekhalifahan singkat Ali dicirikan oleh kejujurannya, pengabdiannya yang teguh pada Islam, perlakuannya yang setara terhadap para pendukungnya, dan kemurahan hatinya terhadap musuh-musuhnya yang dikalahkan, sementara yang lain mengkritik kebijakannya karena idealisme dan tidak adanya kebijakan politik.
Keadilan
Laura Veccia Vaglieri menggambarkan Ali sebagai orang yang sangat setia pada tujuan Islam,[51] dan pandangannya diterima oleh banyak kalangan.[52][53] Dengan demikian, kekhalifahan singkat Ali dicirikan oleh keadilannya yang ketat, seperti yang dicatat oleh Reza Shah-Kazemi,[54] Wilferd Madelung,[53] Moojan Momen,[52] Mahmoud M. Ayoub,[55] John Esposito,[56] Hassan Abbas,[57] dan banyak sejarawan modern lainnya.[58] Dalam pidato pengukuhannya, Ali menegur umat Islam karena menyimpang dari jalan yang lurus setelah Muhammad,[59] dan menambahkan bahwa mereka harus memprioritaskan kebajikan dibanding harta dan dunia.[60] Dia berjanji bahwa tanah publik yang diberikan oleh Utsman kepada para kerabatya akan diambil kembali dan dikembalikan kepada rakyat.[61]
Bermaksud memulihkan visinya tentang pemerintahan kenabian,[62][63] Ali dengan demikian melakukan kebijakan kontroversial,[60] yang digambarkan sebagai "pemerintahan revolusioner" oleh sejarawan Syiah Muhammad H. Thabathaba'i.[60] Ali segera memberhentikan hampir semua gubernur yang pernah mengabdi pada Utsman,[64] mengatakan bahwa orang-orang seperti itu tidak boleh diangkat ke jabatan mana pun.[65] Dia mengganti mereka dengan orang-orang yang dianggapnya saleh,[66][67] sebagian besar dari Anshar dan Bani Hasyim.[66] Ali juga membagikan dana perbendaharaan secara merata di antara umat Islam, mengikuti praktik Muhammad.[68] Dia dikatakan tidak mentolerir korupsi, seperti terlihat dari instruksi untuk komandannya, Malik al-Asytar,[69] dan juga dari surat peringatannya kepada pejabatnya Ziyad bin Abihi[69] dan sepupunya Ibnu Abbas.[70] Beberapa dari mereka yang terkena dampak kebijakan ini segera memberontak melawan Ali dengan dalih balas dendam untuk Utsman.[71] Di antara mereka adalah Mu'awiyah bin Abu Sufyan, gubernur petahana Suriah.[72]
Veccia Vaglieri mengkritik Ali karena "kekakuan yang berlebihan", dan mengatakan bahwa dia tidak memiliki fleksibilitas politik.[51] Wilferd Madelung juga memandang kebijakan Ali di atas sebagai indikasi kenaifan politiknya dan keengganannya untuk mengkompromikan prinsip-prinsipnya demi kemanfaatan politik.[73] Mahmoud M. Ayoub mengatakan bahwa Ali tidak naif secara politik tetapi idealis,[74] menambahkan bahwa kejujuran Ali yang tanpa kompromi dan kebijakannya yang sangat egaliter mengasingkan orang Arab dan suku Quraish yang kuat.[75] Namun, para sejarawan mengakui bahwa sifat-sifat Ali ini juga mengubahnya menjadi teladan kebajikan Islam bagi para pengikutnya.[76][75] Dalam pembelaannya, Thabathaba'i dan Ayoub mengemukakan bahwa Ali memerintah dengan kebenaran daripada fleksibilitas politik.[71][63] Namun menurut Ayoub, fleksibilitas politik tetap menjadi kualitas kepemimpinan Muhammad.[63] Pandangannya ditolak oleh Thabathaba'i yang menegaskan bahwa Islam tidak pernah mengizinkan kompromi atas alasan yang adil, dengan mengutip salah aatu ayat al-Qur'an,[77]
"Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak maka mereka bersikap lunak (pula)"
Untuk mendukung pandangannya, Thabathaba'i mencatat bahwa Muhammad berulang kali menolak seruan perdamaian dari musuh-musuhnya sebagai imbalan meninggalkan dewa-dewa mereka sendirian.[77] Shah-Kazemi juga mengatakan bahwa Muhammad mengangkat beberapa mantan musuhnya ke posisi kepemimpinan untuk memberi mereka kesempatan membuktikan pengabdian mereka untuk Islam, tanpa mengkompromikan prinsip-prinsipnya. Sebaliknya, membenarkan orang-orang yang diberhentikan Ali sama saja dengan mengabaikan korupsi mereka dan merusak landasan moral kekhalifahannya.[80] Ali Bahramian menyatakam bahwa mengganti gubernur adalah satu-satunya tindakan yang tersedia bagi Ali, baik secara prinsip maupun dalam praktik. Dia juga mencatat bahwa ketidakadilan adalah keluhan utama para pemberontak provinsi dan mereka akan berbalik melawan Ali seandainya dia mengukuhkan gubernur Utsman.[81] Hal ini disetujui oleh Shah-Kazemi, yang menambahkan bahwa pemerataan kekayaan negara oleh Ali merupakan perubahan yang diperlukan untuk mengatasi dampak sosial yang tak terelakkan dari ketidaksetaraan besar yang tercipta di bawah pemerintahan Umar dan Utsman.[82]
Otoritas agama
Ali memandang dirinya tidak hanya sebagai pemimpin sementara umat Islam, tetapi juga sebagai otoritas keagamaan yang eksklusif.[83][84] Ini terbukti dalam pidato pengukuhannya sebagai khalifah, [59] sementara Hugh N. Kennedy turut menyatakan bahwa Ali melihat penguasa sebagai sosok karismatik yang membimbing umat Islam.[85] Ali dengan demikian mengklaim otoritas agama untuk menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah,[86] dan khususnya pesan esoteris dari naskah tersebut.[87] Dia dihormati karena dia penerus Muhammad. Ath-Thabari menulis bahwa bahwa Ali mengatakan, "Kami berperang melawan mereka atas isi wahyu yang eksoterik (zahir) dan hari ini kami melawan mereka karena pesan esoterisnya (batin)".[88] Klaim Ali ini membedakannya dari para pendahulunya yang mungkin dipandang hanya sebagai pelaksana hukum Tuhan.[89]
Sebagai imbalannya, beberapa pendukung Ali benar-benar menganggapnya sebagai pemimpin yang dibimbing oleh Tuhan dan menuntut jenis kesetiaan yang sama seperti yang dilakukan Muhammad.[90] Beberapa pendukungnya juga mengaku merasakan ikatan kesetiaan spiritual yang absolut dan mencakup segalanya yang melampaui politik.[91] Keberadaan kelompok ini dibuktikan dengan riwayat Sunni dan Syiah dari Pertempuran Shiffin (657) dan beberapa karya sastra yang berasal dari Fitnah Pertama (656–661).[90] Setelah Khawarij membelot dari Ali, sekitar empat puluh ribu pendukungnya menawarkan bai'at dan berjanji untuk mendukung setiap pendukung Ali dan memusuhi musuh-musuh Ali.[92] Termasuk di antara jajaran pendukung setia Ali ini adalah kaum Anshar dan suku-suku dari Jazirah Arab selatan.[93] Para pendukung ini membenarkan kesetiaan mutlak mereka kepada Ali atas dasar jasa-jasanya dalam Islam,[94] hubungan kekerabatannya dengan Muhammad,[95] dan juga pidato terakhir Muhammad Ghadir Khum tak lama sebelum kematiannya pada tahun 632 dan ucapannya,[91]
Siapapun yang menganggapku sebagai mawla, maka Ali juga menjadi mawla untuknya
Mungkin juga banyak dari pendukung ini memandang Ali sebagai pewaris Muhammad dan penggantinya yang sah setelah kematiannya,[96] sebagaimana yang dibuktikan dari puisi-puisi yang ditulis pada masa itu.[97][98] Kata wasi (terj. har. 'pewaris') ini juga muncul dalam pidato Malik pada pelantikan Ali yang dicatat dalam buku Tarikh al-Ya'qubi karya sejarawan Islam Ya'qubi.[98] Namun, ada sebuah laporan dari ath-Thabari yang menghubungkan gagasan Ali sebagai wasi Muhammad dengan tokoh legendaris dari Abdullah bin Saba'. Dakake menolak kaitan ini dengan mengatakan bahwa istilah tersebut digunakan secara luas di kalangan pendukung Ali pada saat Pertempuran Shiffin,[97] Husain M. Jafri juga memiliki pandangan serupa.[99] Pada saat yang sama, representasi Syiah tentang Abu Bakar dan Umar sebagai perampas hak-hak Ali tidak ada dalam wacana sejarah (Sunni).[94]
Kebijakan fiskal
Ali menentang kontrol terpusat atas pendapatan provinsi.[100] Dia juga membagi rata pajak dan rampasan di antara umat Islam,[100][51] mengikuti preseden Muhammad dan Abu Bakar.[101][68] Ayoub dan Jafri menulis bahwa Ali membagikan isi perbendaharaan Kufah setiap hari Jumat.[102][103] Praktek ini mungkin menunjukkan pandangan egaliter Ali,[58] yang dengan demikian berusaha mengungkap tatanan sosial yang didirikan di bawah pendahulunya:[67] Umar mendistribusikan pendapatan negara sesuai dengan manfaat dan prioritas Islam yang dirasakan,[104] namun hal ini tetap menimbulkan perbedaan kelas dalam masyarakat Islam [105][106] dengan menempatkan orang Quraisy di atas orang Arab lainnya, dan orang Arab di atas orang non-Arab.[107] Umar kemudian menyesali sistem ini, yang ternyata malah menggantikan prinsip kesetaraan al-Qur'an di antara orang beriman.[107] Pada gilirannya, Utsman banyak dituduh melakukan nepotisme[108][104] dan korupsi.[109][110] Selama kekhalifahannya, elit suku kembali berkuasa sebagaimana tatanan umat Islam awal.[111]
Kepergian Ali dari status quo pada distribusi pendapatan secara khusus menarik para imigran akhir ke Irak.[112] Di antaranya adalah mualaf non-Arab di Kufah, Ali memperjuangkan visi universalis tentang Islam dan menawarkan hak yang setara kepada mereka.[113] Secara lebih umum, kebijakan egaliter Ali memberinya dukungan dari hampir semua kelompok kurang mampu yang dikesampingkan oleh para khalifah setelah kematian Muhammad dan kelompok yang mencari kepemimpinan Islam yang saleh.[112] Kelompok Muslim kurang mampu ini juga tertarik untuk memulihkan kembali tatanan sosial Umar dan melihat Ali sebagai harapan terbaik mereka untuk mencapainya.[113] Sebaliknya, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, keduanya adalah sahabat Muhammad yang telah mengumpulkan kekayaan yang sangat besar di bawah pemerintahan Utsman.[114] Mereka berdua memberontak melawan Ali setelah khalifah menolak memberi mereka bantuan.[115][68] Beberapa tokoh lain di kalangan Quraisy juga menentang Ali dengan alasan yang sama.[116][117] Ali dikatakan bahkan menolak permintaan dana publik dari saudaranya, Aqil,[118][119] sedangkan Mu'awiyah siap menawarkan suap kepada mereka semua.[117][120][121] Sebagai perbandingan, Ali tetap menggaji kaum Khawarij dari bagian mereka di perbendaharaan negara walaupun mereka memberontak melawannya.[122][123] Mengenai perpajakan, Ali menginstruksikan pejabatnya untuk mengumpulkan pembayaran secara sukarela dan tanpa pelecehan, serta memprioritaskan orang miskin saat mendistribusikan dana.[124] Ali juga tertarik dengan sektor pertanian,[125] dan menginstruksikan Malik al-Asytar dalam sebuah surat untuk lebih memperhatikan pengembangan tanah daripada perpajakan jangka pendek.[125][126]
Ilmu-ilmu keislaman
Thabathaba'i berpendapat bahwa ilmu-ilmu Islam sebagian besar diabaikan selama Penaklukan Muslim, dan cenderung mengumpulkan kekayaan materi dari negeri yang mereka taklukan.[127] Dia menambahkan bahwa penulisan hadis pada masa itu juga sangat minim terutama setelah Muhammad melarang para sahabatnya untuk menulis perkataannya,[128][129] Sebaliknya, Ali menggunakan pemerintahannya untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu Islam,[130] perintis tata bahasa Arab dan metafisika Islam.[130][52] Shah-Kazemi menyatakan bahwa dalam khotbah publik yang dikaitkan dengan Ali di Nahj al-balagha, Ali mengatakan bahwa ilmu pengetahuan lebih diperlukan sebagai pedoman etika dan dasar agama komunitas Muslim.[131] Untuk menunjukkan dedikasi Ali terhadap ilmu, Shah-Kazemi menyoroti jawabannya selama Pertempuran Unta (656) atas pertanyaan tentang keesaan Tuhan, "Yang tidak memiliki detik (Tuhan) tidak masuk ke dalam kategori angka".[132] Ali juga mengajari murid-muridnya, yang kelak akan menjadi para ulama pertama di bidang fikih, teologi, tafsir dan tajwid al-Qur'an. Di antara murid-murid itu adalah Uwais al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Maitsam al-Tammar, Rusyaid al-Hajari,[130] Hasan al-Bashri, dan ar-Rabi' bin Khutsaim.[133]
Aturan perang
Ali dianggap sebagai otoritas aturan perang intra-Muslim dalam yurisprudensi Islam.[134] Dia melarang pejuang Muslim untuk melakukan penjarahan[135][136] dan sebagai gantinya, ia membagi pajak secara merata sebagai gaji di antara para prajurit. Keputusan ini mungkin menjadi subyek perselisihan antara Ali dan beberapa pendukungnya yang kemudian mengarah ke pembentukan Khawarij.[135] Sebelum Pertempuran Unta (656), Ali juga melarang mengejar para buronan, membunuh para tahanan, dan mengirim tabib kepada para pejuang yang terluka.[137] Dengan keputusan tersebut, Ali tetap mengakui hak para pemberontak sebagai Muslim,[136][138] meskipun mereka mungkin dianggap sebagai ancaman terhadap ketertiban negara.[139] Ali juga memaafkan para pemberontak setelah kemenangannya,[136][138] dan praktek ini telah diabadikan dalam hukum awal Islam,[136] misalnya dalam keputusan tokoh Sunni Muhammad asy-Syaibani tentang pemberontakan.[137] Di luar langkah-langkah ini, Ali sering dikenal karena kemurahan hatinya kepada musuh-musuh yang telah dikalahkan olehnya.[140][52][53] Dia juga menasihati Malik al-Asytar untuk tidak menolak seruan perdamaian dan tidak melanggar kesepakatan apapun.[141] Ali juga memperingatkannya agar tidak melakukan pertumpahan darah kecuali kepada orang-orang yang melanggar hukum.[142] Dia melarang komandannya untuk mengganggu warga sipil kecuali saat tersesat atau sangat membutuhkan makanan.[143] Dia juga mendesak al-Asytar untuk menggunakan perang hanya apabila negosiasi gagal.[144] Ali juga memerintahkan al-Asytar untuk menghindari dimulainya permusuhan,[144] dan hal ini juga dicontohkan oleh Ali dalam Pertempuran Jamal dan Pertempuran Nahrawan.[145][146] Ali melarang pasukannya membunuh orang-orang yang terluka dan melarikan diri, memutilasi musuh yang telah mati, memasuki rumah tanpa izin, menjarah, dan melukai para wanita.[147] Veccia Vaglieri menambahkan bahwa Ali mencegah perbudakan wanita dan anak-anak dalam kemenangan, meski ada yang memprotes.[51] Sebelum peperangan utama terjadi pada Pertempuran Siffin, Ali tetap membiarkan musuhnya mengakses air minum ketika dia menguasai sumber air.[148][149] Menurut Kelsay, dalam kebijakannya, Ali melihat bahwa perdamaian adalah tujuan utamanya untuk mengakhiri perang saudara Muslim.[150][151]
Kesederhanaan
Ali menjalani kehidupan yang sederhana,[130][152] dan secara ketat memisahkan pengeluaran publik dan pribadinya.[152] Beberapa sejarawan menulis bahwa Ali menjalani diet sederhana dan memperbaiki barang-barangnya sendiri.[153] Ali menegur Utsman bin Hunaif, gubernur Basra, karena menerima undangan perjamuan. Ali menanyakan bagaimana dia bisa pergi tidur dengan perut kenyang sementara orang-orang di sekitarnya kelaparan.[154] Ali juga mengatakan, "Tuhan telah mewajibkan para pemimpin sejati untuk membuat diri mereka sepadan dengan orang-orang terlemah yang mereka kuasai, sehingga kemiskinan tidak menimbulkan ketamakan."[152] Ketika dia pindah ke Kufah sebagai ibu kota de-facto yang baru,[155][156][157] Ali menolak untuk tinggal di kastil gubernur dan menyebutnya qasr al-khabal (terj. har. 'kastil korupsi'). Sebaliknya, dia tinggal bersama keponakannya Ja'da bin Hubairah di sebuah rumah kecil di samping masjid.[158][159] Menurut al-Ya'qubi, "Ali tidak pernah mengenakan pakaian baru, tidak pernah menaruh hatinya pada kekayaan, dan menggunakan hartanya untuk memberi sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan.”[160] Seluruh ulama Muslim sepakat bahwa Ali menghormati hak milik pribadi tetapi tidak mengizinkan orang-orang kaya menambah kekayaan mereka dengan menindas orang-orang miskin.[161]
Toleransi
Shah-Kazemi percaya bahwa Ali menjunjung tinggi kebebasan berbicara dalam toleransinya terhadap kaum Khawarij selama konflik antara pihaknya dengan pihak Khawarij. Ketika beberapa orang mendesaknya untuk segera menghukum kaum Khawarij, Ali berkata bahwa dia akan membela diri dengan kata-katanya selama mereka hanya menyerangnya dengan kata-kata, ia akan membela dirinya dengan tangannya jika mereka telah menyerangnya dengan tangan mereka, dan ia baru akan membela dirinya dengan pedang jika mereka telah menyerangnya dengan pedang.[162] Laporan serupa diberikan oleh asy-Syaibani,[163] yang juga menambahkan laporan lainnya:[164]
Sawwar al-Manquri dibawa ke persidangan Ali karena secara terbuka mengutuk dan mengancam akan membunuh Ali, namun Ali memutuskan untuk melepaskannya. Ketika orang-orang tampaknya keberatan dengan hal ini, Ali mengatakan, "Haruskah saya membunuhnya? Padahal selama ini dia bahkan belum pernah [sempat] membunuh saya". Salah seorang pendukung Ali kemudian menjawab bahwa Sawwar telah mengutuk khalifah, namun Ali menjawab bahwa balasan yang paling tepat adalah dengan mengutuk balik Sawwar atau meninggalkannya sendirian.
Menurut mayoritas sejarawan, laporan-laporan ini memuat berbagai perintah dalam hukum Islam yang digunakan oleh Ali sebagai tanggapan terhadap tuduhan dari pihak oposisi. Khalifah harus menahan diri dari penggunaan kekerasan, kecuali apabila pihak pemberontak benar-benar melakukan kekerasan. Bahkan tidak cukup demgan hanya mengetahui bahwa para pemberontak berniat menyerang.[165] Ada indikasi bahwa Ali menganggap agama minoritas (ahlul dzimma) secara hukum sama dengan non-Muslim. Ali dikatakan telah menetapkan tebusan darah akibat pembunuhan dengan nominal yang sama untuk semua warga negara, terlepas dari keyakinan yang mereka anut.[166] Untuk pajak jizyah yang diwajibkan atas mereka, Ali melarang pejabatnya untuk menekan para ahlul dzimma saat memungut pajak.[160]
Kesejahteraan sosial
Ali mengambil beberapa langkah awal untuk merealisasikan kekhalifahan sebagai negara kesejahteraan. Dalam suratnya kepada Malik al-Asytar, Ali mendesaknya untuk memprioritaskan orang-orang yang membutuhkan, orang-orang tua, dan orang-orang yang cacat. Ali juga menugaskan seorang wakil untuk mengawasi kebutuhan mereka, dan mengurus mereka secara pribadi.[167] Shah-Kazemi menuliskan sebuah kisah yang menceritakan pertemuan antara Ali dan seorang pekerja yang sudah tua dan lemah. Dia memberikan pekerja itu tunjangan ḍuʿafa tetap dari perbendaharaan negara dan menegur orang-orang di lingkungan itu dengan mengatakan, "Kalian telah membuat orang tua dan lemah ini bekerja, sedangkan kalian memberikan bantuan apapun kepadanya".[168]
Warisan
Cendekiawan Sunni Ahmad bin Hanbal memuji habis-habisan Ali dengan mengatakan bahwa Ali adalah perhiasan kekhalifahan.[169] Linda Jones dan John Esposito memandang kekhalifahan Ali sebagai model sosial-politik dan kebenaran agama yang menentang korupsi duniawi dan ketidakadilan sosial.[170][56] Moojan Momen, Laura Veccia Vaglieri dan Wilferd Madelung menulis bahwa kekhalifahan Ali dicirikan oleh kejujurannya, pengabdiannya yang tak tergoyahkan kepada Islam, perlakuannya yang setara terhadap para pendukungnya, dan kemurahan hatinya terhadap musuh-musuh yang telah dikalahkan olehnya.[53][52][51]
Sumber-sumber awal menyatakan bahwa Ali menganggap peperangannya melawan orang-orang Muslim yang dia anggap salah sebagai kewajiban demi menegakkan keadilan Islam.[51] Shah-Kazemi mengatakan bahwa Ali berjuang untuk keadilan dan kasih sayang untuk semua orang, terlepas dari agama mereka.[171] Sumber-sumber awal juga sepakat bahwa Ali dengan setia mengabdi untuk Islam dan berusaha untuk menetapkan kebijakan yang adil sesuai dengan al-Quran dan Sunnah.[58] Sejarawan modern cenderung memandang masa pemerintahan Ali sebagai model pemerintahan Islam yang adil, di mana keadilan dan belas kasihan ditunjukkan kepada manusia terlepas dari kelas, keyakinan dan warna kulit. Ali berpandangan bahwa kemiskinan bukanlah sebuah stigma atau diskualifikasi dan keadilan tidak dapat dicampuradukkan dengan nepotisme, favoritisme, atau politik.[172][173][174]
Referensi
{{Reflist}}
Sumber
- Watt, Montgomery William (1961). Muhammad: Prophet and Statesman. London: Oxford University Press. ISBN 9780198810780.
- Thabathaba'i, Sayyid Mohammad Hosayn (1975). Shi'ite Islam. Translated by Seyyed Hossein Nasr. State University of New York Press. ISBN 0-87395-390-8.
- Shaban, Muḥammad ʻAbd al-Ḥayy (1971). Islamic History. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-29131-6.
- Momen, Moojan (1985). An Introduction to Shi'i Islam. Yale University Press. ISBN 9780853982005.
- Veccia Vaglieri, L. (2021a). "Ali b. Abi Talib". Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Second). Brill Reference Online.
- Madelung, Wilferd (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge University Press. ISBN 0-521-64696-0.
- Ayoub, Mahmoud M. (2014). The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early Islam. Oneworld Publications. ISBN 9781780746746.
- Shah-Kazemi, Reza (2022). Imam 'Ali: Concise History, Timeless Mystery. I.B. Tauris. ISBN 9781784539368.
- Esposito, John L., ed. (2003). The Oxford Dictionary of Islam. Oxford University Press. ISBN 978-0195125597.
- Abbas, Hassan (2021). The Prophet's Heir: The Life of Ali ibn Abi Talib. Yale University Press. ISBN 9780300252057.
- McHugo, John (2018). A Concise History of Sunnis and Shi'is. Georgetown University Press. ISBN 9781626165885.
- Donner, Fred M. (2010). Muhammad and the Believers: At the Origins of Islam. Harvard University Press. ISBN 9780674064140.
- Nasr, S.H.; Dagli, C.K.; Dakake, M.M.; Lumbard, J.E.B.; Rustom, M., ed. (2015). The Study Quran: A New Translation and Commentary. Harper Collins. ISBN 9780062227621.
- Bahramian, Ali (2015). "ʿAlī b. Abī Ṭālib 3. Caliphate". Dalam Daftary, Farhad. Encyclopaedia Islamica.
- Kennedy, Hugh (2015). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century. Routledge.
- Dakake, Maria Massi (2012). The Charismatic Community: Shi'ite Identity in Early Islam. State University of New York Press. ISBN 9780791480342.
- Haider, Najam (2014). Shi'i Islam: An Introduction. Cambridge University Press. ISBN 9781107031432.
- Jafri, S.H.M (1979). Origins and Early Development of Shia Islam. London: Longman.
- Lapidus, Ira (2002). A History of Islamic Societies (edisi ke-2nd). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-77933-3.
- Rubin, Uri (2009). "ʿAqīl b. Abī Ṭālib". Dalam Fleet, Kate; Krämer, Gudrun; Matringe, Denis; Nawas, John; Rowson, Everett. Encyclopaedia of Islam, Three. doi:10.1163/1573-3912_ei3_COM_23073.
- Kelsay, Jhon (1993). Islam and War: A Study in Comparative Ethics. Westminster John Knox Press. ISBN 0-664-25302-4.
- Lambton, Ann K. S. (1991). Landlord and Peasant in Persia. I.B.Tauris. ISBN 978-1-85043-293-7.
- Jones, Linda G. (2009). "Ali ibn Abi Talib". Dalam Campo, Juan Eduardo. Encyclopedia of Islam. Infobase Publishing. hlm. 33. ISBN 9781438126968.
- Morgan, Kenneth W. (1987). Islam, the Straight Path: Islam Interpreted by Muslims. Motilal Banarsidass Pub. ISBN 978-8120804036.
- Al-Buraey, Muhammad (1986). Administrative Development. Routledge. ISBN 978-0710300591.
- Heck, Paul L. (2004). "Politics and the Quran". Dalam McAuliffe, Jane Dammen. Encyclopaedia of the Qur'ān. hlm. 125–51. ISBN 978-90-04-12355-7.
- Poonawala, Ismail (1985). "ʿAlī b. Abī Ṭāleb". Encyclopædia Iranica. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 29, 2011.
- Veccia Vaglieri, Laura (1970). "The Patriarchal and Umayyad Caliphates". Dalam Holt, Peter M.; Lambton, Ann K.S.; Lewis, Bernard. The Cambridge History of Islam. 1. Cambridge University Press. hlm. 57–103.
- Daftary, Farhad (2014). A History of Shi'i Islam. Bloomsbury Academic. ISBN 9781780768410.
- Mavani, Hamid (2013). Religious Authority and Political Thought in Twelver Shi'ism: From Ali to Post-Khomeini. Routledge. ISBN 9780415624404.
{{DEFAULTSORT:Ali As Caliph}} Kategori:Ali bin Abi Thalib Kategori:Konflik abad ke-7 Kategori:Kekhalifahan Rasyidin
MiawAug | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Informasi pribadi | |||||||||||||
Lahir | Reggie Prabowo 13 Agustus 1988 | ||||||||||||
Pekerjaan | YouTuber Gamer | ||||||||||||
Informasi YouTube | |||||||||||||
Kanal | |||||||||||||
Tahun aktif | 2014–sekarang | ||||||||||||
Pelanggan | 19.700.000[175] (29 April 2023) | ||||||||||||
Total tayang | 5.918.000.000[175] (29 April 2023) | ||||||||||||
| |||||||||||||
Diperbarui: 29 April 2023 |
Reggie Prabowo Wongkar ({{lahirmati}}) atau yang dikenal sebagai MiawAug adalah seorang Youtuber dan konten kreator asal Indonesia. Dia terutama dikenal karena konten permainan video yang dibuatnya.
Sejumlah sumber menyebut Reggie sebagai gamer Indonesia yang paling "ramah" karena ia jarang berkata kasar seperti yang dilakukan gamer lainnya.[176][177] Ia juga dikenal terutama karena sering membagikan saran dalam bermain game kepada para penggemarnya.[176]
Kehidupan pribadi
Reggie dilahirkan di kota Manado, Sulawesi Utara. Ia menganut agama Kristen.[178] Ia memiliki seorang kekasih yang bernama Olivia Devina, yang juga seorang Youtuber.[179]
Menurut sebuah laporan, berdasarkan jumlah pelanggannya saat ini, estimasi pendapatan bulanan Reggie berkisar mulai dari US$15.200 sampai dengan US$243.400. Sementara pendapatan tahunannya diperkirakan mencapai US$182.600 hingga US$2,9 juta.[180][181]
Karier
Reggie telah menggemari permainan video sejak kecil. Ia merupakan lulusan Universitas Bina Nusantara dan pernah bekerja sebagai marketing dan admisi. Menurut sebuah laporan, Reggie juga pernah bekerja sebagai model, namun kemudian memutuskan berhenti dari pekerjaannya karena menyukai pekerjaan barunya sebagai Youtuber.[182]
Karier YouTube
Reggie memulai karier YouTubenya pada 2014. Disebutkan bahwa nama "MiawAug" diambil dari gabungan suara kucing dan anjing yang merupakan hewan kesukaan Reggie.[183] Reggie merencanakan bahwa saluran ini akan membahas mengenai teknik mengingat Reggie sendiri mengambil jurusan kuliah IT. Namun, kemudian ia lebih berfokus pada konten permainan video.[184]
Pafa awalnya, Reggie membuat video untuk salurannya dengan menggunakan peralatan kantor tempat ia bekerja. Pada 2016, ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya untuk lebih fokus pada saluran YouTubenya.[183]
Pada 2017, saluran Reggie menjadi terkenal setelah ia menjadi Youtuber Indonesia pertama yang memainkan Clash of Clans dan Clash Royale. Pada tahun ini juga ia memiliki lebih dari 1.000.000 pelanggan dan mendapatkan penghargaan Gold Play Button.[185][183] Pada awal 2020, Reggie mencapai 10.000.000 pelanggan dan mendapatkan Diamond Play Button.[186]
Kontroversi
Dalam sebuah acara podcast oleh Deddy Corbuzier di saluran YouTubenya,[187] Reggie mengaku pernah menggunakan kata-kata kasar dalam kontennya dan mendapat kritikan dari orang tua pelanggannya. Hal ini membuatnya memutuskan untuk tidak lagi menggunakan kata-kata kasar di setiap kontennya.[188]
Dalam podcast lain yang juga diadakan oleh Deddy Corbuzier, di mana Reggie diundang bersama gamer lain, Windah Basudara. Reggie mengkritik beberapa oknum Vtuber yang justru menonjolkan aspek vulgar dari karakter yang dibawakan oleh beberapa Vtuber, serta menampilkan konten berbau seksual yang menurutnya hanya untuk mendapatkan atensi yang lebih besar dari penonton. Reggie menyebutnya sebagai "sisi gelap Vtuber", meskipun Reggie juga menyatakan bahwa Vtuber dapat menjadi suatu bentuk hiburan baru yang memiliki banyak nilai postif.[189][190]
Referensi
{{Reflist}}
Masjid Darul Awwabin | |
---|---|
Daar al-Awwabin Darul awabin Masjid awabin | |
Agama | |
Afiliasi | Islam |
Distrik | Seruyan |
Provinsi | Kalimantan Tengah |
Lokasi | |
Lokasi | jl. Budi Utomo, Kuala Pembuang II, Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Indonesia |
Munisipalitas | Kuala Pembuang |
Negara | Indonesia |
Arsitektur | |
Tipe | Masjid |
Gaya arsitektur | Masjid Vernakular |
Dibangun oleh | Akhmad Zainudin |
Didirikan | 2000 |
Masjid Darul Awwabin adalah sebuah masjid dan pusat pendidikan keagamaan Islam yang terletak di Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia.[191][192][193]
Masjid Darul Awwabin dibangun pada pertengahan 2000. Masjid ini adalah salah satu dari beberapa pusat dakwah islam lainnya di Kuala Pembuang.
Lokasi
Lokasi masjid ini terletak di kelurahan Kuala Pembuang II, Kuala Pembuang.[194] Di belakang masjid ini terdapat sebuah sekolah dasar islam, SDIT An Najiyah.[195]
Arsitektur
Masjid Awwabin menggunakan gaya arsitektur vernakular sederhana yang umumnya juga terdapat pada masjid lain di Kuala Pembuang. Masjid ini memiliki atap berwarna kemerahan dan plafon kayu berwarna coklat. Di sekitar masjid ini, terdapat sabat (istilah banjar untuk menyebut daerah hutan dan semak-semak) yang masih lebat.[b] Bagian dalam masjid ini berwarna putih dengan keramik berwarna krem, memiliki 4 lembar sajadah berwarna merah tua yang digelar di keramik tersebut.[c]
Pembangunan
Masjid Darul Awwabin dibangun oleh Akhmad Zainudin pada pertengahan tahun 2000 dan hingga kini masih dalam tahap pembangunan. Keterbatasan dana membuat pembangunan masjid ini tidak terselesaikan.[197]
Halaman masjid ini awalnya adalah sebuah lapangan kecil yang ditumbuhi rerumputan. Namun sekitar 2017, halaman ini dibangun dengan paving blok.
Pada akhir 2019, sebuah pagar beton dibangun di sekitar masjid.
Kegiatan
Seperti kebanyakan masjid pada umumnya, salat wajib dilakukan setiap 5 waktu. Begitu pula dengan Salat Jumat yang digelar setiap siang Jumat.
Masjid Awabin, adalah salah satu pusat peribadatan Islam Sunni, khususnya Salafiyah di Kuala Pembuang. Masjid ini sering kedatangan para ustadz dan da'i untuk mengajarkan agama.[198]
Di belakang masjid ini, terdapat sebuah sekolah dasar islam SDIT An Najiyah yang dibangun pada 2015.[199]
Lihat pula
- Masjid
- Kuala Pembuang
- Daftar masjid di Kalimantan Tengah
- Masjid Agung Nurul Yaqin
- Masjid Qurrata Ayun
- Masjid Al Azhar
- Masjid Al Jihad
Referensi
{{Reflist}}
catatan
{{notelist}}
Halaman Lama User:Zaar Dinn
Pengguna ini beragama Islam. |
@Fazoffic: Bagaimana kalau begini.
Pengguna ini beragama Islam. |
Ada cerita dari Ust Nouman Ali Khan. Dia kenal seorang. Orang itu, ketika sekolahnya dulu, ada di buku teks filsafatnya, pengenalan agama-agama, tertulis singkat bahwa Islam adalah agama yang menyembah bulan dan bintang. Setelah sekian tahun, dia mempelajari tentang Islam dan tahu kebenarannya, dia masuk Islam. Menurut saya, bulan dan bintang adalah simbol yang salah kaprah dikaitkan dengan Islam.
Dan, kalau mau warna yang netral, tidak hijau begitu, mungkin pakai abu-abu saja atau putih ... Mohamadhzanhari (bicara) 24 Juli 2022 04.10 (UTC)
Ref.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 1.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 1–2.
- ^ a b Ekpres 2019, hlm. 2.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 3–4.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 3.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 4.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 5.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 7.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 8.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 8–9.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 9.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 9–10.
- ^ a b Ekpres 2019, hlm. 10.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 10–11.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 11.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 12.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 57.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 58.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 57, 59.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 95.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 96.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 97–98.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 13–14.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 19.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 19–20.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 20.
- ^ a b Ekpres 2019, hlm. 21.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 22.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 24.
- ^ a b Ekpres 2019, hlm. 25.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 26–27.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 33.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 35.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 35–36.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 37.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 37–38.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 114.
- ^ a b Ekpres 2019, hlm. 115.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 115–116.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 116.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 107.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 108–109.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 110, 111.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 69–71.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 72.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 73.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 74.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 75–77.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 70.
- ^ Ekpres 2019, hlm. 70–71.
- ^ a b c d e f Veccia Vaglieri 2021a.
- ^ a b c d e Momen 1985, hlm. 25.
- ^ a b c d Madelung 1997, hlm. 309-10.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 88.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 143.
- ^ a b Esposito 2003, hlm. 15.
- ^ Abbas 2021, hlm. 157.
- ^ a b c Poonawala 1985.
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 150.
- ^ a b c Thabathaba'i 1975, hlm. 43.
- ^ Abbas 2021, hlm. 131.
- ^ McHugo 2018, hlm. 53.
- ^ a b c Ayoub 2014, hlm. 91.
- ^ Donner 2010, hlm. 158.
- ^ Madelung 1997, hlm. 148.
- ^ a b Donner 2010, hlm. 159-60.
- ^ a b Ayoub 2014, hlm. 83.
- ^ a b c Thabathaba'i 1975, hlm. 45.
- ^ a b Shah-Kazemi 2022, hlm. 105.
- ^ Madelung 1997, hlm. 272.
- ^ a b Thabathaba'i 1975, hlm. 44.
- ^ Daftary 2014, hlm. 30.
- ^ Madelung 1997, hlm. 149-50.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 85.
- ^ a b Ayoub 2014, hlm. 134.
- ^ Madelung 1997, hlm. 310.
- ^ a b Thabathaba'i 1975, hlm. 46.
- ^ Nasr et al. 2015, hlm. 3203.
- ^ Thabathaba'i 1975, hlm. 64.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 89.
- ^ Bahramian 2015.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 89-90.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 77.
- ^ Shaban 1971, hlm. 73.
- ^ Kennedy 2015, hlm. 66-7.
- ^ Shaban 1971, hlm. 72-3.
- ^ Mavani 2013, hlm. 67-8.
- ^ Mavani 2013, hlm. 67-8, 98n2.
- ^ Thabathaba'i 1975, hlm. 12.
- ^ a b Dakake 2012, hlm. 57.
- ^ a b Haider 2014, hlm. 34.
- ^ Dakake 2012, hlm. 60.
- ^ Dakake 2012, hlm. 57-8.
- ^ a b Dakake 2012, hlm. 59.
- ^ Jafri 1979, hlm. 71.
- ^ Dakake 2012, hlm. 58-9.
- ^ a b Dakake 2012, hlm. 262n30.
- ^ a b Jafri 1979, hlm. 67.
- ^ Jafri 1979, hlm. 68.
- ^ a b Lapidus 2002, hlm. 56.
- ^ Abbas 2021, hlm. 133.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 141.
- ^ Jafri 1979, hlm. 106.
- ^ a b Shah-Kazemi 2022, hlm. 90.
- ^ Thabathaba'i 1975, hlm. 40.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 32.
- ^ a b Ayoub 2014, hlm. 33.
- ^ Madelung 1997, hlm. 87.
- ^ Veccia Vaglieri 1970, hlm. 67.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 84.
- ^ Haider 2014, hlm. 32-3.
- ^ a b Shaban 1971, hlm. 72.
- ^ a b Haider 2014, hlm. 33.
- ^ Jafri 1979, hlm. 55-6.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 94.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 95.
- ^ a b McHugo 2018, hlm. 64.
- ^ Madelung 1997, hlm. 264.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 105-6.
- ^ Rubin 2009.
- ^ Madelung 1997, hlm. 276.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 110.
- ^ Madelung 1997, hlm. 250.
- ^ Abbas 2021, hlm. 153.
- ^ a b Lambton 1991, hlm. xix, xx.
- ^ Abbas 2021, hlm. 156.
- ^ Thabathaba'i 1975, hlm. 42.
- ^ Thabathaba'i 1975, hlm. 39, 41-2.
- ^ Thabathaba'i 1975, hlm. 62n28, 62n37.
- ^ a b c d Thabathaba'i 1975, hlm. 47.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 125-6.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 91-2.
- ^ Momen 1985, hlm. 25-6.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 114.
- ^ a b Heck 2004.
- ^ a b c d Shah-Kazemi 2022, hlm. 94.
- ^ a b Kelsay 1993, hlm. 67, 82.
- ^ a b Ayoub 2014, hlm. 84.
- ^ Kelsay 1993, hlm. 68.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 92.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 115.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 116.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 108.
- ^ a b Ayoub 2014, hlm. 109.
- ^ Madelung 1997, hlm. 170, 260.
- ^ Kelsay 1993, hlm. 67.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 109-10.
- ^ Madelung 1997, hlm. 227.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 111-2.
- ^ Kelsay 1993, hlm. 86.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 104.
- ^ a b c Shah-Kazemi 2022, hlm. 106.
- ^ Abbas 2021, hlm. 15.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 109.
- ^ Madelung 1997, hlm. 182.
- ^ Donner 2010, hlm. 159.
- ^ McHugo 2018, §2.II.
- ^ Abbas 2021, hlm. 141.
- ^ Madelung 1997, hlm. 183.
- ^ a b Abbas 2021, hlm. 154.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 107-8.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 110-1.
- ^ Kelsay 1993, hlm. 131n12.
- ^ Kelsay 1993, hlm. 84-5.
- ^ Kelsay 1993, hlm. 85-6.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 113.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 111–112.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 111.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 72.
- ^ Jones 2009.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 103.
- ^ Morgan 1987, hlm. 196.
- ^ Al-Buraey 1986, hlm. 267.
- ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 102.
- ^ a b "About @MiawAug". YouTube.
- ^ a b "Profil dan Biodata MiawAug, YouTuber Gaming Terkenal Tidak Pernah Berkata Kasar". www.pikiranrakyat.com. 9 November 2022. Diakses tanggal 2023-04-29.
- ^ "9 YouTuber Gaming Paling Ngetop di Indonesia". www.hitekno.com. 28 April 2023. Diakses tanggal 2023-04-29.
- ^ Novanto, Okta (13 Februari 2023). "Biodata dan Agama Miawaug, Pionir YouTuber gaming yang tidak Toxic". Diakses tanggal 2023-04-29.
- ^ Ram Ghani, Zihan Berliana (28 Juli 2022). "10 Fakta MiawAug, YouTuber Gaming Paling Ramah!". idntimes.com. Diakses tanggal 2023-04-28.
- ^ Isna KH, Tanayastri Dini (9 September 2022). "Daftar Youtuber Terkaya di Indonesia". www.fortuneidn.com. Diakses tanggal 2023-04-28.
- ^ Nursidik, M. (15 Juli 2022). "Kaya Raya YouTuber MiawAug, Raup Rp4,97 Miliar Per Bulan". Diakses tanggal 2023-04-27.
- ^ Utami, Lintang Siltya (21 September 2022). "Profil dan Biodata Miawaug, YouTuber Gaming Kece dan Kaya Raya di Indonesia". Diakses tanggal 2023-04-27.
- ^ a b c "Profil MiawAug, Youtuber Gaming dengan 16,6 juta Subscriber dan Tak Pernah Berkata Kasar". www.suaramerdeka.com. 12 Januari 2022. Diakses tanggal 2023-04-26.
- ^ Yassa, Kemal (23 September 2022). "Profil dan Biodata Miawaug, YouTuber Gaming Terkenal dari Indonesia". inews.id. Diakses tanggal 2023-04-28.
- ^ "Profil dan Biodata MiawAug, Youtuber Gaming Sopan dan Tidak Toxic". 8 Desember 2021. Diakses tanggal 2023-04-27.
- ^ "9 Youtuber Indonesia yang Sudah Raih Diamond Play Button, Channel Keluarga Halilintar Kuasai Daftar". diadona.id. 1 Juni 2020. Diakses tanggal 2023-04-30.
- ^ Firmansyah, Haris (17 Mei 2023). "Para Gamer ini Diundang ke Podcast Deddy Corbuzier, Ada yang Takut Ditangkap Polisi". Diakses tanggal 2023-04-27.
- ^ Tamara, Dita (19 Desember 2022). "Profil dan Biodata Miawaug YouTuber Gaming Indonesia: Agama, Pasangan hingga Sederet Faktanya". sonora.id. Diakses tanggal 2023-04-28.
- ^ Heraldi. "Miawaug Soroti Fenomena Vtuber, Kutuk 'Oknum' yang Rusak Komunitas". Diakses tanggal 2023-04-28.
- ^ Kurniawan, Ade (28 September 2022). "Regi Miawaug Sindir Oknum Vtuber Konten Vulgar, Tegaskan Bisa Merusak Komunitas dan Citra Vtuber". jurnalmedan.pikiran-rakyat.com. hlm. 2. Diakses tanggal 2023-04-27.
- ^ "Masjid Darul Awwabin , Central Kalimantan , Indonesia". mapsus.net (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-09-09.
- ^ admin. "Jum'at Keliling, Polisi Seruyan Ajak Masyarakat Gelorakan Cuci Tangan – Kobar News". Diakses tanggal 2022-09-10.
- ^ "Polres Seruyan Bekuk Dua Pelaku Curanmor". Lintas10.com adalah portal berita yang memberikan informasi secara akurat, berkualitas, dan cepat, kepada masyarakat luas. 2017-07-10. Diakses tanggal 2022-09-10.
- ^ "Masjid Darul Awwabin (Mosque) - Kabupaten Seruyan, Central Kalimantan". www.helpmecovid.com. Diakses tanggal 2022-09-10.
- ^ admin. "Jum'at Keliling Sat Binmas Membagikan Masker di Kab.Seruyan. – Kobar News". Diakses tanggal 2022-09-09.
- ^ Dzuhur Berjamaah di Masjid Darul Awwabin - SDIT An Najiyah, diakses tanggal 2022-09-10
- ^ Susanti (2021-10-19). "Bupati Seruyan Serahkan Bantuan Hibah Untuk Rumah Ibadah dan Keagamaan di Empat Kecamatan". Mata Kalteng. Diakses tanggal 2022-09-10.
- ^ "Tabligh Akbar: Indonesiaku Ku Jaga Kamu – Seruyan". Markaz Dakwah untuk Bimbingan dan Taklim (dalam bahasa Inggris). 2017-08-02. Diakses tanggal 2022-09-10.
- ^ Subli, Subli (2021-11-10). "Manajemen kurikulum keagamaan sekolah dasar islam terpadu an najiah Seruyan" (dalam bahasa Inggris). IAIN Palangka Raya.
{{efn}}
- ^ Ekpres
- ^ Dapat juga disebut sebagai Rawa-rawa karena sabat yang berada di sekitar masjid ini basah dan lembab
- ^ Gaya arsitektur ini adalah gaya arsitektur vernakular sederhana yang tercipta dikarenakan pembangunan yang belum rampung dan kurangnya dana keuangan. Lihat arsitektur pada bagian dalam masjid ini[196]