Lompat ke isi

Orang Arab Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Arab-Indonesia
Daerah dengan populasi signifikan
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Bahasa
Bahasa Arab, Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah lainnya.
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
Mayoritas keturunan bangsa Arab dari Yaman, minoritas dari Timur Tengah atau Afrika Utara lainnya.

Suku Arab-Indonesia adalah penduduk Indonesia yang memiliki keturunan etnis Arab dan etnis pribumi Indonesia. Pada mulanya mereka umumnya tinggal di perkampungan Arab yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda, mereka dianggap sebagai bangsa Timur Asing bersama dengan suku Tionghoa-Indonesia dan suku India-Indonesia. Tapi seperti kaum etnis Tionghoa dan India, tidaklah sedikit kaum Arab-Indonesia yang berjuang membantu kemerdekaan Indonesia.

Sejarah kedatangan

Setelah terjadinya perpecahan besar di antara umat Islam yang menyebabkan terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, mulailah terjadi perpindahan (hijrah) besar-besaran dari kaum keturunannya ke berbagai penjuru dunia. Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut di Yaman kira-kira seribu tahun yang lalu, keturunan Ali bin Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya.

Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di Hadramaut, dan dari kota Hadramaut inilah asal-mula utama dari berbagai koloni Arab yang menetap dan bercampur menjadi warganegara di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Selain di Indonesia, warga Hadramaut ini juga banyak terdapat di Oman, India, Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, dan Singapura.

Terdapat pula warga keturunan Arab yang berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika lainnya di Indonesia, misalnya dari Mesir, Arab Saudi, Sudan atau Maroko; akan tetapi jumlahnya lebih sedikit daripada mereka yang berasal dari Hadramaut.

Perkembangan di Indonesia

Kedatangan koloni Arab dari Hadramaut ke Indonesia diperkirakan terjadi dalam 3 gelombang utama.

Lukisan tentang Ampel, kawasan Arab di Surabaya

Abad 9-11 Masehi

Catatan sejarah tertua adalah berdirinya kerajaan Perlak I (Aceh Timur) pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M).[butuh rujukan] Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja'far Shadiq hijrah ke kerajaan Perlak.[butuh rujukan] Ia kemudian menikah dengan adik kandung Raja Perlak Syahir Nuwi.[butuh rujukan] Dari pernikahan ini lahirlah Abdul Aziz Syah sebagai Sultan (Raja Islam) Perlak I.[butuh rujukan] Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah 'Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh' 10 Juli 1978 oleh (Alm) Professor Ali Hasymi.[butuh rujukan]

Abad 12-15 Masehi

Masa ini adalah masa kedatangan para datuk dari Walisongo yang dipelopori oleh keluarga besar Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, masih keturunan Syekh Muhammad Shahib Mirbath dari Hadramaut.[butuh rujukan] Ia besama putra-putra berdakwah jauh ke seluruh pelosok Asia Tenggara hingga Nusantara dengan strategi utama menyebarluaskan Islam melalui pernikahan dengan penduduk setempat utamanya dari kalangan istana-istana Hindu.[butuh rujukan]

Abad 17-19 Masehi

Seorang Arab pada masa Hindia Belanda (litografi berdasarkan gambar oleh Auguste van Pers, 1854)

Abad ini adalah gelombang terakhir ditandai dengan hijrah massalnya para Alawiyyin Hadramaut yang menyebarkan Islam sambil berdagang di Nusantara.[butuh rujukan] Kaum pendatang terakhir ini dapat ditandai keturunannya hingga sekarang karena berbeda dengan pendahulunya, tidak banyak melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi.[butuh rujukan] Selain itu dapat ditandai dengan marga yang kita kenal sekarang seperti Alatas, Assegaf, Al Jufri, Alaydrus, Syihab, Syahab, dll.[butuh rujukan] Hal ini dapat dimengerti karena marga-marga ini baru terbentuk belakangan.[butuh rujukan] Tercatat dalam sejarah Hadramaut, marga tertua adalah As Saqqaf (Assegaf) yang menjadi gelar bagi Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Mauladdawilah setelah ia wafat pada 731 H atau abad 14-15 M.[butuh rujukan] Sedangkan marga-marga lain terbentuk bahkan lebih belakangan, umumnya pada abad 16.[butuh rujukan] Biasanya nama marga diambil dari gelar seorang ulama setempat yang sangat dihormati.[butuh rujukan] Berdasarkan taksiran pada 1366 H (atau sekitar 57 tahun lalu), jumlah mereka sekarang tidak kurang dari 70 ribu jiwa.[butuh rujukan] Ini terdiri dari kurang lebih 200 marga.[butuh rujukan]

Mulai 1870 hingga setelah 1888

Pada tahun 1870 Terusan Suez mulai dibuka, sehingga kapal dari Eropa ke Timur termasuk Hindia Belanda bisa langsung melalui Suez. Kemudian pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara mulai dibangun tahun 1877 secara modern, selanjutnya KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij, sebuah perusahaan pelayaran Belanda dioperasikan tahun 1888 dengan rute Eropa - Hindia Belanda, sehingga memungkinkan orang Marga Arab Hadramaut atau Arab Mesir datang ke Hindia Belanda, dan berangsur-angsur mulai tahun 1870 hingga setelah tahun 1888 terjadi migrasi orang Arab dan Mesir ke Hindia Belanda, naik kapal api dari Suez, mereka tidak membawa keluarga sesuai tradisi Arab, bahwa wanita tidak boleh bepergian apalagi sejauh ke Hindia Belanda naik kapal berhari-hari. Keturunan pertama, tentunya dengan ibu Indonesia, yang lahir di Hindia Belanda misalnya adalah Abdurrahman Baswedan lahir Surabaya 1908 (kakek Dr. Anis Baswedan), Syech Albar lahir Surabaya 1914 (ayah Ahmad Albar).

Saat ini diperkirakan jumlah keturunan Arab Hadramaut di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah mereka yang ada di tempat leluhurnya sendiri. Penduduk Hadramaut sendiri hanya sekitar 1,8 juta jiwa. Bahkan sejumlah marga yang di Hadramaut sendiri sudah punah - seperti Basyeiban dan Haneman - di Indonesia jumlahnya masih cukup banyak. Perkampungan Arab banyak tersebar di berbagai kota di Indonesia, misalnya di Jakarta (Pekojan), Bogor (Empang), Surakarta (Pasar Kliwon), Surabaya (Ampel), Gresik (Gapura), Malang (Jagalan), Cirebon (Kauman), Tegal (Kauman), Pekalongan (Sugihwaras), Mojokerto (Kauman), Yogyakarta (Kauman), Probolinggo (Diponegoro), Bondowoso, dan Banjarmasin (Kampung Arab), serta masih banyak lagi yang tersebar di kota-kota lainnya seperti Palembang, Banda Aceh, Sigli, Medan, Lampung, Makasar, Gorontalo, Ambon, Mataram, Ampenan, Sumbawa, Dompu, Bima, Kupang, dan Papua. Keturunan Arab Hadramaut di Indonesia, seperti negara asalnya Yaman, terdiri 2 kelompok besar yaitu kelompok Alawi, dan kelompok Qabili. Di Indonesia, kadang-kadang ada yang membedakan antara kelompok Alawiyyin yang umumnya pengikut organisasi Jamiat al-Kheir, dengan kelompok Syekh atau Masyaikh yang biasa pula disebut Irsyadi atau pengikut organisasi al-Irsyad.

Tokoh dan peranan

Masjid bercorak Jawa di kawasan Arab di Semarang di sekitar tahun 1930
Lihat pula: Marga Arab Hadramaut

Di Indonesia, sejak zaman dahulu telah banyak di kaum keturunan Arab yang menjadi pejuang, alim-ulama dan dai. Di antara para penyebar agama yang menonjol ialah Walisongo, yang diduga kuat (Van Den Berg, 1886) merupakan keturunan Arab Hadramaut dan/atau merupakan murid-murid mereka. Kaum Arab Hadramaut yang datang sekitar abad 15 dan sebelumnya mempunyai perbedaan mendasar dengan mereka yang datang pada gelombang berikutnya (abad 18 dan sesudahnya). Sebagaimana disebutkan oleh Van Den Berg, kaum pendahulu ini banyak berasimilasi dengan penduduk asli, terutama dari keluarga kerajaan Hindu. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat penyebaran agama Islam, sehingga keturunan mereka sudah hampir tak bisa dikenali sebagai keturunan Arab Hadramaut.

Di antara marga-marga Hadramaut yang pertama-tama ke Indonesia adalah keluarga Basyaiban, yaitu Sayyid Abdul Rahman bin Abu Hafs Umar Basyaiban BaAlawi pada abad ke-17 Masehi.

Pada zaman kejayaan kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia, beberapa keturunan Arab dirajakan oleh masyarakat setempat, antara lain di Jawa (Demak, Cirebon, dan Banten), Sumatera (Aceh dan Siak), dan Kalimantan (Sambas, Pontianak, Kubu, dan Pasir). Selain itu, sejak lama pula banyak sekali keturunan Arab yang menjadi pedagang, dan mereka tersebar di berbagai penjuru kepulauan Indonesia.

Kaum Arab Hadramaut yang datang pada abad ke-18 dan sesudahnya, tidak banyak melakukan pernikahan dengan penduduk asli sebagaimana gelombang kedatangan yang sebelumnya. Mereka datang sudah membawa nama marga-marga yang terbentuk belakangan (sekitar abad 16-17). Keturunan kaum Arab Hadramaut yang datang belakangan ini, masih mudah dikenali melalui nama-nama khas marga mereka. Warga Arab-Indonesia sampai saat ini turut berperan aktif dalam bidang keagamaan Islam dan berbagai bidang kehidupan lainnya di Indonesia.

Kepala masyarakat Arab di Tegal, Jawa Tengah, awal abad ke-20.

Lihat pula

Referensi

Pranala luar