Wanita di peradaban Maya
Part of a series on |
Women in society |
---|
|
Wanita peradaban Maya klasik merujuk pada catatan atau informasi mengenai aktivitas dan peran wanita pada periode Maya klasik (200-900 Masehi) di wilayah Mesoamerika. Sumber rujukan mengenai peran wanita dalam peradaban Maya klasik dapat berupa simbol-simbol atau hieroglif, lukisan, ritual-ritual, dan lain-lain.
Pada peradaban Maya klasik, wanita telah mendapatkan peran yang cukup beragam dalam masyarakat, bahkan di era ini telah ditemukan beberapa wanita yang menjabat sebagai pemimpin kota dalam wilayah kekuasaan Bangsa Maya. Kajian lebih lanjut terhadap peran wanita Maya pada periode ini ditujukan untuk mendapatkan informasi spesifik mengenai aktivitas, peran, dan persepektif masyarakat Maya saat itu terhadap seorang wanita.
Deskripsi singkat peradaban Maya klasik
Bangsa Maya dikenal luas sebagai pembangun dari berbagai kota-kota kuno megah di wilayah Mesoamerika. Bangsa ini berkuasa di wilayah Mesoamerika antara kurun tahun 200-900 Masehi, dan kemudian mengalami kemunduran. Peradaban Maya terbentuk di wilayah yang saat ini dikenal dengan nama semenanjung Yukatan, tetapi peradaban ini tidak pernah bersatu membentuk suatu negara atau kerajaan utuh. Alih-alih, peradaban ini tersusun atas kota-kota dengan otonominya tersendiri, seperti halnya pada masyarakat Yunani klasik. Kota-kota ini diperintah oleh keluarga-keluarga bangsawan yang terkadang dapat memerintah dalam beberapa generasi, dan mereka juga dapat berperang satu sama lain untuk memperebutkan kekuasaan tanpa henti. Keluarga-keluarga bangsawan ini terdiri dari kalangan aristokrat Maya, dimana kalangan pendeta juga berasal dari kalangan ini. Kalangan warga biasa termasuk didalamnya, pekerja seni, petani, pedagang dan budak.
Kebanyakan kota-kota pada peradaban Maya klasik secara penataan dapat dikatakan homogen. "Pusat" setiap kota memiliki struktur elegan dan megah berupa piramid-piramid berteras, perumahan, dan berbagai jenis kuil peribadatan. Warga dalam jumlah besar dapat berkumpul di suatu lapangan di dalam kota tersebut yang dikelilingi oleh piramid-piramid dan kuil-kuil. Piramid dibuat untuk meniru gunung dan digunakan sebagai suatu podium sakral untuk melakukan kegiatan politik ataupun ritual-ritual keagamaan.
Warga di setiap kota pun dapat berkumpul di suatu lapangan yang digunakan sebagai arena olahraga untuk menyaksikan pertandingan bola tradisional. Berbagai piramid, kuil, dan lapangan olahraga ini diletakan sedemikian rupa sehingga penataannya membentuk suatu bujur sangkar sesuai tradisi mereka. Umumnya, bangunan-bangunan kebudayaan Maya klasik dihiasi oleh ratusan patung batu yang merepresentasikan dewa-dewa, sosok manusia, ular yang meliak-liuk, dan juga simbol-simbol astronomis.
Peradaban maya klasik telah ada dari abad ke-3 hingga abad ke-9 Masehi. Namun, kebanyakan peninggalan-peninggalan yang berhubungan dengan wanita diyakini berasal dari periode akhir peradaban ini, atau sering disebut sebagai Periode Klasik Akhir (800-900 Masehi).
Citra ideal wanita pada peradaban Maya klasik
Wanita ideal dalam persepektif kebudayaan Maya dapat ditelusuri melalui mitologi-mitologi yang tertulis di naskah kuno Bangsa Maya yaitu Popul Vuh. Pada naskah itu tertulis, dua orang saudara kembar secara ajaib membuat sebuah kebun dengan bantuan nenek mereka, Xmucane. Untuk memenuhi kebun tersebut dengan manusia, "sosok manusia yang memiliki tubuh", Xmucane kemudian menanam jagung dan kemudian tepung dari olahan jagung tersebut dicampur air. Mitologi ini kemudian menggambarkan bahwa proses pengolahan makanan merupakan inti dari identitas ideal seorang wanita. Sehingga menurut pandangan Bangsa Maya, suatu peradaban manusa berasal dari pengolahan makanan yang dilakukan oleh wanita. Peradaban Maya klasik biasana menempatkan wanita pada posisi yang tinggi di bidang keagamaan, pada beberapa kasus, posisi wanita bahkan dapat menyamai posisi yang dapat diraih oleh seorang pria. Faktanya, kebudayaan Maya menggambarkan salah satu unsur dewa terpenting dalam keyakinan mereka yaitu dewa leluhur Totilmeiletic, sebagai sosok berkelamin ganda. Penggambaran ini mungkin dapat memberi kesimpulan bahwa dalam kepercayaan Maya, terdapat saling kebergantungan antara pria dan wanita.
Bukti-bukti menunjukan bahwa kalangan aristokrat Bangsa maya melakukan rekonstruksi fisik yang rumit untuk mencapai suatu model ideal yang diterima masyarakat. Tidak seperti kebudayaan mengikat kaki pada wanita di Tiongkok, rekonstruksi yang mereka lakukan terhadap fisik mereka tidak mengganggu pergerakan mereka, dan banyak dari perubahan fisik tersebut juga dilakukan oleh laki-laki. Sebagai contoh, para bangsawan memandang dahi yang miring dan bentuk mata yang menyilang sebagai parameter kecantikan dalam kebudayaan mereka, sehingga bayi yang baru lahir biasanya diikatkan papan pada dahi mereka untuk meratakan bentuknya, dan pada poni mereka juga digantungkan beban kecil supaya bentuk mata mereka menyilang. Bangsawan wanita mentato tubuh mereka sendiri, mereka mencat badan mereka dengan warna merah, dan kemudian secara hati-hati menata rambut mereka untuk membentuk poni disekeliling dahi mereka yang rata. Mereka juga menghiasi rambut mereka dengan hiasan-hiasan yang menyerupai tunas tanaman. Selain itu pada periode ini wanita dari kalangan bangsawan Maya telah menggunakan perhiasan leher dan telinga yang terbuat dari batu giok, kulit kerang, atau permata. Beberapa dari mereka juga mengganti gigi mereka dengan material-material yang dianggap berharga seperti besi, emasi, batu obsidian, batu giok, ataupun kulit kerang. Fakta bahwa hampir semua perubahan fisik ini dilakukan juga oleh para pria mengindikasikan kesetaraan pandangan masyarakat Maya terhadap penampilan wanita dan pria yang jarang ditemukan pada peradaban lainnya di periode waktu ini.
Pertumbuhan dan perkembangan
Dari lahir hingga dewasa, tradisi kebudayaan Maya membentuk suatu tahapan-tahapan apa saja yang akan dilalui oleh wanita Maya secara umum. Ilmu arkeologi kemudian dapat membantu untuk menganalisis kehidupan wanita baik dari kalangan warga biasa maupun kalangan bangsawan.
Masa kecil
Situs-situs pemakaman kuno mengindikasikan bahwa anak perempuan dalam masyarakat Maya umumnya mendapatkan makanan dengan nutrisi yang lebih sedikit dibandingkan dengan anak laki-laki, ini terlihat dari kerangka wanita yang jauh lebih pendek dari pada pria. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, kedua jenis kelamin, baik anak laki-laki maupun anak-perempuan dipandang memiliki nilai yang setara, terlihat dari ritual-ritual yang menunjukan kesetaraan posisi ini. Sebagai contoh, ritual hetzmek dalam kebudayaan Maya dilakukan ketika seorang anak perempuan telah beruisa tiga bulan. Selama ritual ini, keluarga anak tersebut menunjukan miniatur mesin tenun dan penggiling jagung sebagai alat kerja anak ini di masa depan. Pada umur 12 tahun, anak tersebut akan berpartisipasi dalam suatu ritual khusus yang menandakan bahwa ia telah memasuki masa remaja. Wanita yang berumur lebih tua yang ditunjuk juga sebagai nenek sang anak akan terlibat dalam ritual tersebut untuk membantu mengeluarkan ruh jahat dari tubuh mereka sehingga anak tersebut dapat beranjak sebagai wanita dewasa.
Menikah
Pernikahan merupakan bagian penting dari kehidupan wanita dan pria dalam kebudayaan Maya, yang kemudian memungkinkan keduanya untuk terlibat secara penuh dalam kehidupan sosial masyarakat Maya secara umum. Kebanyakan pernikahan merupakan hasil perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua mempelai, dan biasanya pernikahan dilangsungkan ketika mempelai pria berusia 17-18 tahun dan 14-15 tahun untuk mempelai wanita.[1][2] Kedua mempelai tetap membawa nama keluarga masing-masing setelah menikah. Setelah hidup biasanya kedua mempelai tinggal di rumah keluarga dari pengantin wanita. Perceraian merupakan suatu hal yang biasa dalam kebudayaan Maya, dan wanita memperoleh kebebasan untuk menceraikan suaminya. Bahkan setelah perceraian ini, wanita tetap dapat mengklaim hak milik dari suatu asetnya. Kalangan warga biasa dalam masyarakat Maya umumnya berumahtangga secara monogami. Namun, pada kalangan bangsawan adalah hal yang umum jika ditemukan praktik-praktik poligami.
Wanita sebagai seroang ibu
Kebudayaan Maya klasik mendefinisikan masa-masa menjadi seorang ibu sebagai suatu proses reproduksi biologis, dan kehamilan serta penderitaan saat melahirkan dari seorang wanita Maya dipandang sebagai suatu pengorbanan yang suci. Bahkan, masyarakat Maya klasik menggambarkan proses kelahiran sebagai pertempuran dimana seorang bayi dapat membunuh ibunya. Dalam masa-masa penderitaan tersebut, suatu benda yang melambangkan sosok Ix Chel, dewi kelahiran dalam kepercayaan Maya, ditempatkan di bawah tempat tidur dari ibu yang melahirkan. Ix Chel digambarkan sebagai seorang dukun bayi tua yang membantu sang ibu bayi yang tengah berjuang dalam pertempuran antara hidup dan mati. "Penderitaan luar biasa dalam pertempuran" yang dialami ibu bayi dibuktikan oleh bukti-bukti arkeologis, banyak bukti-bukti dari hasil penggalian menunjukan bahwa angka harapan hidup wanita Maya pada periode ini lebih pendek dari laki-laki yaitu hanya 35 tahun jika dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki angka harapan hidup 45 tahun. Hal ini terjadi kemungkinan akibat usia pernikahan dan melahirkan yang relatif sangat muda. Kelahiran seorang anak kemudian dipandang membawa perubahan besar bagi keluarga mereka untuk berbagai alasan. Anak dipandang sebagai kekayaan dan nasib baik untuk ibu dan keluarganya.
Pekerjaan
A Maya woman’s economic position seems to have been much stronger
than that of her peers in other cultures. Daughters could inherit property
from their families, though sons were favored as inheritors, and the textile
work of a Maya woman gave her an important place in her society and her
city-state. Home was a common Maya woman’s domain and the typical
setting for her work—though she would occasionally work in the fields,
and her husband might occasionally work in the home. Common women
carried out three main activities in the home besides child bearing and
rearing: producing cloth, tending small gardens, and processing food.
The work of elite women held an unusual degree of importance in
Maya society. As in the civilizations of the ancient Mediterranean and
Tang and Song China, they were recognized for their textile work. Among
the Maya, however, some aristocratic women became matchmakers, artists, craftspeople, or scribes (keepers of the books); two examples are
Noble Lady Scribe Sky of Yaxchilan and Lady Jaguar. Such women were
often highly trained and educated. Indeed, elite female matchmakers had
to painstakingly consult historical and tribute rolls, so they had to be proficient in reading.7 Few other civilizations we have examined offered even
elite women the rich education evidenced by the Maya female scribes and
matchmakers
Produksi tekstil
TEXTILE PRODUCTION Weaving was women’s central occupation and
even featured prominently in the sacred Maya cosmology, in a manner
analogous to Tang and Song China. The Maya weaving goddess carried
spindles in her hair ornaments in much the same way that the Chinese
weaving goddess wore a loom headdress. When women wove, they were
following the lead of the Moon Goddess, the inventor of weaving and the
special patron of women.
Commoner women most often wove their cloth from a fibrous plant
called maguey, which involved extremely time-consuming work. In fact,
the creation of maguey cloth was so demanding that community-wide
workshops developed to process it. First the women’s teams softened the
plants’ leaves with heat, and then they scraped and beat the leaves to separate fibers and flesh. Some cloth was famous for being made of maguey
with spines intact, but other cloth was made from single maguey spines.
Women met in a processing and weaving building, or outdoors, weather
permitting. They worked in public spaces that were also associated with
community festivals and celebrations.
Cotton cloth was made and worn only by aristocrats and was important for Maya social, religious, and political life. Use of cotton in ritual
activity ranged from its employment in ceremonial costumes, to providing offerings to gods, to wrapping sacred objects. Cotton textiles were also
important as gifts of tribute to other city-states or for exporting in trade,
thus forming an essential component of the government’s economic wellbeing. Evidence for this comes from Maya vases, which regularly show
stacked heaps of cloth for use in political transactions.
Wealthier Maya women worked with elevated materials, such as
feathers, pearls or beads, and expensive dyes—cochineal from tiny red
insects living in the prickly pear, purple dyes from snails, or blue from
indigo. High-ranking females may have supervised and controlled highquality textile production similarly to elite Tang Chinese women’s oversight of silk works.
Pekerjaan lainnya
OTHER WORK: FOOD PROCESSING AND PREPARATION, FARMING, AND
CERAMICS The centrality of common women’s role in food provision for
Maya communities was probably a major reason for their strong position
in their civilization. They were associated with the production of flour, the
tending of small gardens, and the raising of deer for venison. Processing
dried corn into maize flour required persistence and patience on the part
of Maya commoner women, who had gnarled knees, calcified toe bones,
and powerful arms from years of kneeling to grind maize. Indeed, one
of a Maya common girl’s first possessions as a child was probably her
stone-pounding kit of mano (tubular hand stone) and metate (flat grinding
stone). Every day, women first soaked and boiled maize kernels in lime to
remove the hulls and release the nutrition in the plant; then, after straining the maize, they knelt in front of a grinding stone on the ground and
ground the kernels with their manos on metates.
Maya women also tended small gardens, where they grew a variety
of vegetables and fruits: beans, squash, cotton, sweet potatoes, tomatoes,
chili peppers, avocados, papayas, cacao, and other medicinal plants. For
meat, women raised many animals, but perhaps the most significant
were deer. Women tamed wild fawns and brought them into the household compounds to be raised, and venison in some cities accounted for 90
percent of all animal meat consumed. According to the Maya text Popul
Vuh, deer were the first creations of the Divine Mother, before jaguars and
humans. In Maya communities, half the women were buried with deer
bones, showing the important association of deer farming with women.
Maya women’s participation in farming changed after 700 CE when
agricultural intensification occurred in some regions. In the earlier Maya
communities, making tools and preparing food was done in the same
outside space. Women cooked in large open bowls preparing soups and
gruels, which were not very time-consuming meals. Men, women, and
children participated collaboratively in many aspects of farming.8 After
700 CE, terracing began and agricultural productivity intensified, and
eventually women invented new kinds of food processing, including making tortillas, which demanded more time than corn gruels of earlier centuries.9 Other occupations of Late Classical Maya common women included
helping men to produce pottery and clay products, sculpting stucco, and
creating latticework on rooftops.
Wanita Maya dan politik
Beberapa pemimpin wanita pada peradaban Maya
Putri Tikal
Putri Yohl Ik'nal
Muwaan Mat
Putri Enam Langit
Ik' Skull
Wanita dalam ritual dan kepercayaan Maya
Rituals performed only by women, the essential role of goddesses, and
the sacred power of women’s fertility gave female spirituality a high place
in the Classic Maya world. Furthermore, in elite Maya households, as in
Chinese households, ancestor worship—which included deified men and
women—was also a signifi cant component of religious life.
In the Classic Maya civilization, many goddesses existed, and they
were referred to as either “mother” or “grandmother,” which shows
the sacred reverence Maya had for the power of female fertility and the
wisdom of aged women. Two in particular stand out: the moon weaver
goddesses, O (Ix Chel or sometimes Chak Chel) and the young goddess
I (Ix Tab). The Maya revered the moon and credited it with governing
women’s menstrual cycles and the planting of maize, and thus these two
deities held considerable powers. Although the elder O was affiliated
with the waning moon, and the younger the waxing moon, the goddesses
were sometimes blended in Maya thinking and practice. In fact, the physical trinity of earth, moon, and maize was known as “Our Mother.” The
Maya, in this way, associated conception with sowing. Maya goddesses
not only embodied a loving life force that could offer guidance when
needed, but also personified chaos and dangerous heralds of death.
CROSS-DRESSING ROYALTY AND FEMALE RITUALS In their rituals, Maya
kings and queens impersonated gods and goddesses in a way that combined male and female powers of the cosmos. The way in which kings
impersonated the most important god, the Maize God, in special rituals to commemorate his birth, sacrifice, death, burial, and resurrection
show how important was female power in Maya civilization. The Maize
God was androgynous: He was the first father, but he also wore a net
skirt, albeit not in the style typical for Maya women. On his cheek the
hieroglyph “Il” was written, a variant of “Ix” (which meant “goddess”).
He also wore a fertility seashell in the center of a Xoc monster belt. (This
monster refers to the Maize God’s rebirth underwater.13) The Maya perhaps understood the anatomy of maize itself—that the plant possesses
both male tassels and female ears and silk and is thus able to fertilize and
give birth in the same body. In Copan, King Eighteen Rabbit wore skirts
for his bloodletting rituals to combine male and female power. Shedding
blood from the penis imitated the menstrual cycle, and he appropriated
such female fertility symbols to strengthen his power. Female rulers also
impersonated male deities. In Palenque, Queen Zac K’uk sometimes
wore a male haircut and a loincloth when impersonating the Moon Goddess. Mixing gender meant that the rulers, especially female, could break
from the normal domains of common Maya and become deities to wield
extraordinary power.14
Many city-state occasions required rituals and ceremonies in which
women participated. We have already discussed the bloodletting of the
Maya political scene. On some occasions women were charged with special religious duties. For instance, some women were thought to be able
to bring rain in a time of drought. Carvings and vases suggest that Maya
women participated in other rituals in many ways. Festivities included
paying respect to the gods, praying, and burning copal. Women assisted
men engaged in consuming mind-altering substances, such as peyote, or
consumed such substances themselves. Women gave intoxicating enemas to men. Ceremonies often required sexual abstinence and purification techniques before rituals. Following rituals, women danced, feasted,
and drank balche (an alcoholic beverage). In these ways women played a
prominent public spiritual role in the Classic Maya city-states.
Wanita di akhir periode klasik peradaban Maya
The Maya world view placed women in a high position for their reproductive powers. Women were respected for their blood sacrifice and resulting children and thus had a strong position in their families, although
common women were nutritionally deprived. Maya women contributed
to the economies of their families and city-states in many ways, such as
weaving cloth and preserving and processing food. Royal consorts played
critical roles in the political scene, whether through religious bloodletting
rituals, forming political alliances, or as outright leaders. Female goddesses with multifaceted power were important to Maya society for their
fertility and wisdom.15 Not only did the Maya cosmology require mutual
dependency between men and women in marriage and society, but
kings also needed access to female spirituality in various ways to wield
power. Although Maya women had many more paths open to them compared with women in other civilizations, some evidence suggests that
even their status was gradually declining compared with earlier MesoAmerican civilizations. For example, Maya women had been prominent
players in the ancient Meso-American ball game, but they ceased playing
by the eighth century. The farming techniques of common women had
become more time-consuming by this time too. Regardless of this trajectory, by the end of the tenth century, the Maya civilization faded rapidly
and somewhat mysteriously, although the increasingly destructive inter
city-state warfare probably played a role.
Baca juga
Referensi
Daftar pustaka
Buku
- Ardren, Traci (2002). Ancient Maya Women (dalam bahasa Inggris). Rowman Altamira. ISBN 9780759100107.
- Clay, Catherine; Senecal, Christine; Paul, Chandrika (2008-01-22). Envisioning Women in World History: Prehistory to 1500 (dalam bahasa English) (edisi ke-1 edition). Boston: McGraw-Hill Humanities/Social Sciences/Languages. ISBN 9780073513225.
Jurnal
Jejaring
Pranala luar
- ^ "Marriage - The Maya Empire for Kids". mayas.mrdonn.org. Diakses tanggal 2017-12-14.
- ^ "Maya Marriage | Yucatan Today". yucatantoday.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-14.