Angulimala

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Aṅgulimāla
Angulimala memergoki Buddha Gautama
Nama lainAhiṃsaka, Gagga Mantānīputta
Informasi pribadi
Lahir
AgamaAgama Buddha
KebangsaanIndia
PendidikanTaxila
Kedudukan senior
GuruBuddha
Terjemahan dari
Aṅgulimāla
Inggrisartinya 'kalung jari' ('ia yang mengenakan jari sebagai kalung')
PaliAṅgulimāla
SanskritAṅgulimāliya, Aṅgulimālya[1]
Tionghoa央掘魔羅
(PinyinYāngjuémóluó)
Myanmarအင်္ဂုလိမာလ
(MLCTS: ʔɪ̀ɴɡṵlḭmàla̰)
Thaiองคุลิมาล, องคุลีมาล
(RTGS: Ongkhuliman)
Khmerអង្គុលីមាល៍
(Ankulimea)
Sinhalaඅංගුලිමාල
Daftar Istilah Buddhis

Aṅgulimāla (Bahasa Pāli; artinya 'kalung jari')[1][2] adalah sebuah figur penting dalam agama Buddha, terutama dalam tradisi Theravāda. Digambarkan sebagai perampok ulung yang sepenuhnya berubah setelah masuk agama Buddha, ia dipandang sebagai contoh dari kekuatan penebusan dari ajaran Buddha dan kemampuan Buddha sebagai guru. Aṅgulimāla dipandang oleh umat Buddha sebagai "pelindung suci" dari kelahiran anak dan diasosiasikan dengan kesuburan di Asia Selatan dan Tenggara.

Cerita Aṅgulimāla dapat ditemukan di sejumlah sumber dalam bahasa Pāli, Sanskerta, Tibetan dan Tionghoa. Aṅgulimāla lahir dengan nama Ahiṃsaka. Ia dibesarkan sebagai pemuda cerdik di Sawati, dan di sekolah, ia menjadi murid kesayangan dari gurunya. Namun, karena iri, para teman sekelasnya membuatnya memusuhi gurunya. Dalam upaya untuk menjahili Aṅgūlimāla, gurunya mengirimnya pada misi mematikan untuk menemukan seribu jari manusia untuk menyelesaikan sekolahnya. Berniat untuk menjalankan misi tersebut, Aṅgulimāla menjadi perampok ulung, membunuh banyak orang dan menyebabkan seluruh warga desa berpindah. Kemudian, peristiwa tersebut menyebabkan sang raja untuk mengirim tentara untuk menangkap pembunuh tersebut. Sementara itu, ibu Aṅgulimāla berniat untuk turun tangan, hampir menyebabkannya juga dibunuh oleh putranya. Namun, sang Buddha memutuskan untuk menghindarkannya dan memakai kekuatan dan ajarannya untuk membawa Aṅgulimāla ke jalan yang benar. Aṅgulimāla menjadi pengikut Buddha, dan mengejutkan sang raja dan orang-orang lainnya, menjadi seorang biksu di bawah bimbingannya. Para penduduk desa masih marah dengan Aṅgulimāla, namun rasa marah tersebut terhapuskan saat Aṅgulimāla menolong seorang ibu saat melahirkan anak melalui sebuah tindak kebenaran.

Para cendekiawan berteori bahwa Aṅgulimāla adalah bagian dari kultus kekerasan sebelum ia bertobat. Indologis Richard Gombrich menyatakan bahwa ia adalah pengikut aliran awal dari Tantra, namun klaim tersebut diragukan. Umat Buddha menganggap Aṅgulimāla sebagai lambang transformasi spiritual, dan ceritanya adalah sebuah pelajaran yang dapat mengubah kehidupan setiap orang menjadi lebih baik, bahkan setidaknya pada orang-orang yang seperti itu. Ini menginspirasi badan penjara Buddha resmi di Inggris untuk menamakan organisasi mereka dengan namanya. Selain itu, cerita Aṅgulimāla menjadi bahan diskusi keadilan dan rehabilitasi di kalangan cendekiawan, dan dipandang oleh teolog John Thompson sebagai contoh yang baik untuk ditiru dengan luka moral dan etika kepedulian. Aṅgulimāla menjadi subyek film dan sastra, dengan sebuah film Thai bernama sama dipilih untuk mengisahkannya berdasarkan pada sumber-sumber terawal, dan buku The Buddha and the Terrorist karya Satish Kumar mengadaptasi cerita tersebut sebagai tanggapan non-kekerasan terhadap Perang melawan terorisme.

Sumber tekstual dan temuan epigrafi

Buddhaghoṣa (komentator dari abad ke-5 M; digambarkan di bagian kanan)

Cerita Aṅgulimāla sangat dikenal dalam tradisi Theravāda.[3] Dua teks dalam sumber-sumber awal dalam bahasa Pali mengisahkan tentang pertemuan awal Aṅgulimāla dengan sang Buddha dan pertobatannya, dan diyakini menjabarkan versi tertua dari cerita tersebut.[4][5][note 1] Karya pertama adalah Theragathā, yang mungkin merupakan karya tertua di antara keduanya,[3] dan karya kedua adalah Sutta Aṅgulimāla dalam Majjhima Nikāya.[7] Kedua karya tersebut memberikan deskripsi pendek dari pertemuan Aṅgulimāla dengan sang Buddha, dan tak menyebut banyak informasi latar belakang yang kemudian dicantumkan dalam cerita tersebut (seperti Aṅgulimāla menyatakan sumpah kepada guru).[8][3] Selain dari teks-teks Pāli, kehidupan Aṅgulimāla juga disebutkan dalam teks Tibetan dan Tionghoa yang bermula dari Sanskerta.[8][5] Kumpulan cerita Sanskerta berjudul Saṃyuktāgama dari aliran Mūlasārwastiwāda awal, telah diterjemahkan dalam dua teks Tionghoa (pada abad ke-4 sampai ke-5 Masehi) dari aliran Sarwāstiwāda dan Kāśyapīya awal dan juga berisi versi-versi dari cerita tersebut.[9][5][10] Sebuah teks yang diterjemahkan dari Sanskerta ke Tionghoa Ekottara Agāma oleh aliran Mahāsaṃghika juga diketahui. Selain itu, tiga teks Tionghoa lainnya yang berkisah tentang Aṅgulimāla juga ditemukan, yang tak diketahui asal usulnya namun berbeda dari tiga teks Tionghoa pertama.[11]

Selain tiga teks awal, terdapat juga pengisahan pada masa berikutnya, yang muncul dalam komentar kepada Majjhima Nikāya yang diatributkan kepada Buddhaghosa (abad ke-5 M) dan komentar Theragathā yang diatributkan kepada Dhammapāla (abad ke-6 M).[8] Dua komentar tersebut tak muncul secara independen satu sama lain: Dhammapāla nampaknya telah menyalin atau sangat meniru Buddhaghosa, meskipun menambahkan penjelasan dari beberapa ketidakkonsistenan.[4][5] Catatan terawal dari kehidupan Aṅgulimāla menyebut kekerasan tanpa rasa takut dari Aṅgulimāla dan, sebaliknya, sikap damai sang Buddha. Catatan-catatan pada masa berikutnya berniat untuk mencantumkan penjelasan lain dan mengklarifikasi hal apapun yang tak sejalan dengan ajaran Buddha.[12] Contohnya, suatu masalah yang nampak menimbulkan pertanyaan adalah transformasi mendadak dari seorang pembunuh menjadi murid tercerahkan—catatan-catatan pada masa berikutnya berniat untuk menjelaskannya.[13] Namun, catatan-catatan pada masa berikutnya juga mencantumkan mukjizat-mukjizat lainnya dan bersama dengan beberapa penjelasan naratif menjelaskan poin-poin utama dari cerita tersebut.[14] Sumber-sumber Pāli awal (bahasa Pali: sutta) tak menyebut motif apapun untuk tindakan Aṅgulimāla, selain kekejaman ulung.[15] Teks-teks pada masa berikutnya mewakili upaya dari para komentator pada masa berikutnya untuk "merehabilitasi" karakter Aṅgulimāla, menjadikannya nampak sebagai manusia baik secara fundamental yang terjebak oleh keadaan, ketimbang sebagai pembunuh tulen.[16][17] Selain sumber-sumber dan ayat-ayat tersebut, terdapat juga kisah-kisah Jātaka, Milindapañhā, dan bagian-bagian dari disiplin monastik yang berkaitan dengan Aṅgulimāla, serta kronik Mahāwaṃsa pada masa berikutnya.[18]

Teks-teks pada masa berikutnya dari bahasa-bahasa lainnya yang berkaitan dengan kehidupan Aṅgulimāla meliputi teks Awadāna berjudul Sataka,[19] serta kumpulan cerita pada masa berikutnya yang berjudul Kisah tentang Kebijaksanaan dan Lelucon, yang ada dalam bahasa Tibetan dan Tionghoa.[20] Terdapat juga catatan perjalanan para peziarah Tionghoa yang menyebut Aṅgulimāla secara singkat.[21] Selain deskripsi kehidupan Aṅgulimāla, terdapat sumber Mahāyāna berjudul Sūtra Aṅgulimālīya, yang berisi ceramah-ceramah Buddha Gautama kepada Aṅgulimāla. Ini adalah salah satu Sūtra Tathāgatagarbha, sekelompok sumber yang menjelaskan tentang Alam Buddha.[1][22] Terdapat sūtra lainnya dengan nama yang sama, yang merujuk ke teks-teks Tionghoa, yang dipakai untuk membela pendirian umat Buddha melawan minuman beralkohol. Namun, teks tersebut tak ditemukan.[23] Selain bukti tekstual, bukti epigrafi awal juga ditemukan. Salah satu relief terawal yang menggambarkan Aṅgulimāla berasal dari sekitar abad ke-3 SM.[24]

Cerita

Inkarnasi sebelumnya

Teks-teks tersebut mengisahkan inkarnasi masa lampau sebelum Aṅgulimāla bertemu Buddha Gautama. Pada kehidupan sebelumnya, ia lahir sebagai raja pemakan manusia yang berubah menjadi yaksha (bahasa Pali: yakkha, sebuah perwujudan iblis; Sanskerta: yakṣa),[25][26] yang dalam beberapa teks disebut Saudāsa.[27] Saudāsa mengembangkan minat dalam menyantap daging manusia saat ia disajikan daging bayi mati. Saat ia meminta lagi, orang-orang di sekitarnya mulai mengkhawatirkan keselamatan anak mereka dan ia dikeluarkan dari kerajaannya sendiri.[28][note 2] Berubah menjadi monster, Saudāsa bertemu seorang dewa yang berjanji dapat memulihkan status Saudāsa sebagai raja jika ia mengurbankan seratus raja lainnya.[26] Membunuh 99 raja, seorang raja bernama Sutasoma mengubah pikiran Saudāsa dan menjadikannya pria relijius, dan memberikannya semua kekerasan. Sutasoma diidentifiksikan sebagai inkarnasi sebelumnya dari sang Buddha,[26][27] dan Saudāsa sebagai inkarnasi sebelumnya dari Aṅgulimāla.[29]

Namun, menurut Ekottara Agāma, inkarnasi sebelumnya dari Aṅgulimāla adalah seorang putra mahkota, yang bersifat baik dan bijak yang membuat iri para musuhnya. Saat musuh-musuhnya membunuhnya, ia bersumpah bahwa sebelum ia meninggal, ia akan membalas kematiannya, dan memasuki Nirwana di kehidupan mendatang di bawah panduan seorang master. Versi tersebut nampak menyatakan bahwa pembunuhan Aṅgulimāla dibenarkan.[30]

Catatan

  1. ^ Sebagai perbandingan, hingga 1994, para cendekiawan menanggalkan kehidupan sang Buddha antara abad ke-5 dan ke-4 SM.[6]
  2. ^ Kisah tentang penyantapan bayi mati hanya dapati ditemukan dalam satu versi Tionghoa dari cerita tersebut, dan ditambahkan untuk mengkritik praktek semacam itu di Tiongkok pada abad ke-5.[28]

Referensi

  1. ^ a b c Buswell, Robert E. Jr.; Lopez, Donald S. Jr. (2013). "Aṅgulimāla". Princeton Dictionary of Buddhism (PDF). Princeton University Press. ISBN 978-0-691-15786-3. 
  2. ^ Gombrich 2006, hlm. 135 n.1.
  3. ^ a b c Thompson 2015, hlm. 161.
  4. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 137.
  5. ^ a b c d Thompson 2015, hlm. 162.
  6. ^ Norman, K.R. (1994). A Philological Approach to Buddhism: The Bukkyō Dendō Kyōkai Lectures (PDF). School of Oriental and African Studies, University of London. hlm. 39. 
  7. ^ Wilson 2016, hlm. 285.
  8. ^ a b c Wilson 2016, hlm. 288.
  9. ^ Zin 2005, hlm. 707.
  10. ^ Analayo 2008, hlm. 135.
  11. ^ Bareau 1986, hlm. 655.
  12. ^ Thompson 2017, hlm. 176.
  13. ^ Bareau 1986, hlm. 654.
  14. ^ Analayo 2008, hlm. 147.
  15. ^ Gombrich 2006, hlm. 136.
  16. ^ Gombrich 2006, hlm. 141.
  17. ^ Kosuta 2017, hlm. 36.
  18. ^ Thompson 2015, hlm. 161–2.
  19. ^ Malalasekera 1960.
  20. ^ Analayo 2008, hlm. 140.
  21. ^ Brancaccio 1999, hlm. 105.
  22. ^ Thompson 2015, hlm. 164.
  23. ^ Wang-Toutain, Françoise (1999). "Pas de boissons alcoolisées, pas de viande : une particularité du bouddhisme chinois vue à travers les manuscrits de Dunhuang" [No alcoholic beverages, no meat: one particular characteristic of Chinese Buddhism, seen through the manuscripts of Dunhuang]. Cahiers d'Extrême-Asie (dalam bahasa Prancis). 11 (1): 101–2, 105, 112–5. doi:10.3406/asie.1999.1151. 
  24. ^ Zin 2005, hlm. 709.
  25. ^ Wilson 2016, hlm. 286.
  26. ^ a b c Barrett 2004, hlm. 180.
  27. ^ a b Zin 2005, hlm. 706.
  28. ^ a b Barrett 2004, hlm. 181.
  29. ^ Wilkens, Jens (2004). "Studien Zur Alttürkischen Daśakarmapathāvadānamālā (2): Die Legende Vom Menschenfresser Kalmāṣapāda" [Studies of the Old Turkish Daśakarmapathāvadānamālā (2): The Legend of the Man-eater Kalmāṣapāda]. Acta Orientalia Academiae Scientiarum Hungaricae (dalam bahasa Jerman). 57 (2): 169. JSTOR 23658630. 
  30. ^ Bareau 1986, hlm. 656–7.

Daftar pustaka

Pranala luar