Lompat ke isi

Bahasa Jawa Banyumasan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).

Bahasa Banyumasan
Basa mBanyumasan
Dituturkan diWilayah Banyumasan (Jawa, Indonesia)
WilayahBanyumasan
Penutur
12 - 15 juta
Lihat sumber templat}}
Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman ini
Klasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
Posisi bahasa Jawa Banyumasan dalam harap diisi Sunting klasifikasi ini 

Catatan:

Simbol "" menandai bahwa bahasa tersebut telah atau diperkirakan telah punah
Status resmi
Bahasa resmi di
-
Diatur oleh-
Kode bahasa
ISO 639-1-
ISO 639-2-
ISO 639-3
Glottologbany1247[1]
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.

Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.

Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).

Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.

Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.

Sejarah

Peta lokasi penutur Dialek Banyumasan.

Menurut para pakar bahasa, sebagai bagian dari bahasa Jawa maka dari waktu ke waktu, bahasa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:

  • Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno
  • Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan
  • Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru
  • Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern.

(Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal) Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan. Itulah sebabnya pada tahap perkembangan di era bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhekan untuk merepresentasikan gaya bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur).

Menurut M. Koderi (salah seorang pakar budaya & bahasa Banyumasan), kata bandhek secara morfologis berasal dari kata gandhek yang berarti pesuruh (orang suruhan/yang diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan. Para pesuruh ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta / Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Banyumasan.

Rumpun Bahasa Jawa Bagian Barat

Berkas:Banyumasan.JPG
Peta lokasi berdasarkan wilayah di Jawa.

Terdapat 4 sub-dialek utama dalam Bahasa Banyumasan, yaitu Wilayah Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon - Indramayu (Cirebonan) dan Banten Utara.

Wilayah Utara

Dialek Tegalan dituturkan di wilayah utara, antara lain Tanjung, Ketanggungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, Pemalang, Surodadi dan Tegal.

Wilayah Selatan

Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Purwareja, Kebumen serta Gombong.

Cirebon - Indramayu

Dialek ini dituturkan di sekitar Cirebon, Jatibarang dan Indramayu. Secara administratif, wilayah ini termasuk dalam propinsi Jawa Barat.

Banten Utara

Dialek ini dituturkan di wilayah Banten utara yang secara administratif termasuk dalam propinsi Banten.

Selain itu terdapat beberapa sub-sub dialek dalam bahasa Banyumasan, antara lain sub dialek Bumiayu dan lain-lain.

Kosakata

Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik.

Banten Utara Cirebonan Banyumasan & Tegalan Jawa Standar Indonesia
sire sira koen/rika kowe kamu
pisan pisan banget tenan sangat
keprimen kepriben/kepriwe keprimen/kepriben/kepriwe piye/kepriye/kepripun bagaimana

Kosakata lainnya

  • Inyong ==> aku (bandingkan dengan bahasa Jawa Kuna ingwang dan Jawa Pertengahan ingong)
  • Gandhul ==> pepaya
  • Rika ==> kamu

Tendensi kepunahan

Bagi penutur sehari-hari bahasa Banyumasan, sub judul di atas terkesan berlebihan, tetapi bagi para pakar Banyumasan kakhawatiran tersebut sangat beralasan. Budayawan M. Koderi, Fadjar P. dan Ahmad Tohari bersedia sibuk-sibuk menyusun Kamus Banyumasan adalah bukti kekhawatiran tersebut selain karena kecintaan mereka kepada budaya Banyumasan. Untuk sub dialek Cirebonan, budayawan TD Sudjana harus bersitegang mempertahankan agar mata pelajaran bahasa daerah Cirebonan tidak dihapus dari muatan lokal kurikulum pendidikan nasional.

Baca kegundahan Ahmad Tohari berikut ini:

dalam kenyataan sehari-hari keberadaan basa banyumasan termasuk dialek lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa banyumasan sesungguhnya wong penginyongan boleh dikata akan terhapus dari peta etnik bangsa ini. Kekhawatiran belau lainnya: mana bacaan teks-teks lama Banyumasan seperti babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek Jawa wetanan. Jadi sebuah teks yang cukup mewakili budaya dan semangat wong penginyongan harus segera disediakan.


Sebuah fakta empiris bahwa penutur asli bahasa Banyumasan (Satria) akan mengalah bila berbicara dengan penutur bahasa wetanan (Satrio). Alasannya, Satria tidak ingin dicap sebagai orang rendahan karena menggunakan bahasa berlogat kasar.

salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan melestarikan dialek Banyumasan adalah dengan menggunakan bahasa tersebut di dalam pergaulan baik waktu orang banyumas berada di daerahnya maupun berada di luar daerah. Selauin itu salah satu usaha yang lain adalah dengan dimasukkannya bahasa Banyumasan ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal.


Bacaan lebih lanjut

  • E. M. Uhlenbeck, 1964,A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura, The Hague: Martinus Nijhoff.

Pranala luar

  • (Indonesia) hanacaraka.fateback.com - Dialek Banyumas (logat Banyumas) dapat dilihat keterangannya secara gamblang pada kamus Dialek Banyumas-Indonesia
  1. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Bahasa Banyumasan". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.