Kaharingan
Bagian dari seri |
Agama Hindu |
---|
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Agama asli Nusantara |
---|
Sumatra |
Ugamo Malim • Pemena • Arat Sabulungan • Fanömba adu • Melayu |
Jawa |
Sunda Wiwitan (Madraisme & Buhun) • Kapitayan • Kejawen • Hindu Jawa • Saminisme |
Nusa Tenggara |
Hindu Bali • Halaika • Wetu Telu • Marapu • Jingi Tiu • Koda Kirin |
Kalimantan |
Kaharingan • Momolianisme • Bungan |
Sulawesi |
Aluk Todolo • Tolotang • Tonaas Walian • Adat Musi • Masade • Hindu Sulawesi |
Maluku dan Papua |
Naurus • Wor • Asmat |
Organisasi |
Portal «Agama» |
Kaharingan adalah kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan, ketika agama lain belum memasuki Kalimantan.[1] [2] Istilah Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan),[3] maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying Hatalla Langit), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu, kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980,[4], mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying Hatalla Langit.
Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.
Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawur (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Hingga kini penganut Kaharingan masih memperjuangkan hak, yaitu Kaharingan yang merupakan kepercayaan nenek moyang secara turun-temurun agar diakui sebagai agama di Indonesia. Belum diakuinya Kaharingan sebagai agama menyulitkan masyarakat adat Meratus. Ketika membuat E-KTP masyarakat adat Dayak Meratus harus mengosongkan kolom agama.[5][6] Berdasarkan catatan Kedamangan Dayak Meratus, komunitas tersebut hingga 2003 mempunyai 60.000 orang anggota, sekitar dua persen dari penduduk Kalsel yang sekarang berjumlah 3,6 juta jiwa.[5]
Di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun justerunya juga masyarakat Dayak di Malaysia tidak mengakui agama Hindu. Kebanyakan Dayak di Malaysia beragama Kristen.[butuh rujukan]
Pada tanggal 20 April 1980 Kaharingan dimasukan ke dalam agama Hindu Kaharingan.[7]
Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang pusatnya di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Galeri
-
Sandung Dayak Pesaguan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Perhatikan arca naga di bagian atas.
-
Sandung Dayak Pebihingan di Kabupaten Ketapang, bersisian dengan dua makam.
-
Mapui, prosesi puncak dari ritual kematian Ijambe bagi penganut Kaharingan di Paju Epat, Barito Timur.
Catatan kaki
- ^ (Inggris) Susanto, A. Budi (2003). Politik dan postkolonialitas di Indonesia. Kanisius. ISBN 9789792108507. ISBN 979-21-0850-5
- ^ (Indonesia) Fr. Wahono Nitiprawiro, Moh. Sholeh Isre, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), Teologi pembebasan: sejarah, metode, praksis, dan isinya, PT LKiS Pelangi Aksara, 2000 ISBN 979-8966-85-6, 9789798966859
- ^ (Indonesia) Fridolin Ukur, Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835, BPK Gunung Mulia, 2000 ISBN 979-9290-58-9, 9789799290588
- ^ (Indonesia) A. Budi Susanto, Masihkah Indonesia, Kanisius, 2007 ISBN 979-21-1657-5, 9789792116571
- ^ a b Dayak Meratus Tuntut DPRD Dukung Pengakuan Kaharingan Sebagai Agama humabetang.net. diakses 14 September 2014
- ^ Dayak Tuntut Pengakuan Kaharingan kalsel.antaranews. diakses 14 September 2014
- ^ (Indonesia)Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. ISBN 9792116575.ISBN 978-979-21-1657-1