Lompat ke isi

Warak ngendhog

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 18 September 2020 10.18 oleh 114.142.171.61 (bicara)
Berkas:Patung Warak Ngendog Semarang.jpg
Tugu Warak Ngendog

Warak ngendhog (bahasa Indonesia: badak bertelur) (bahasa Jawa: ꦮꦫꦏ꧀ꦔꦼꦤ꧀ꦝꦺꦴꦒ꧀, translit. Warak ngendhog) adalah mainan yang selalu dikaitkan dengan perayaan Dugderan, suatu festival rakyat di Kota Semarang, Jawa Tengah yang diadakan di awal bulan Ramadan untuk menyambut, memeriahkan, sekaligus sebagai upaya dakwah.

Filosofi

Berkas:Warag Ngendog.jpg
Karnaval Warak ngendok

Kata "warak" sendiri berasal dari bahasa Jawa yang bermakna 'badak'. Namun demikian, pendapat lain mengatakan "warak" berasal dari bahasa Arab yang bermakna 'suci'. Dan ngendhog (bertelur) disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci. Warak Ngendog adalah mainan anak-anak yang dulu sangat populer di kota Semarang dan sekitarnya, dan biasa dijual saat Festival Dugderan, suatu festival rakyat di Semarang yang diadakan untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Secara harfiah, warak ngendhog dapat diartikan: siapa saja yang menjaga kesucian di bulan Ramadan, kelak di akhir bulan akan menerima pahala pada hari lebaran.

Perayaan Dugderan sendiri merupakan pasar rakyat yang diadakan di Pasar Johar setiap bulan Sya’ban dalam penanggalan Islam. Perayaan ini diadakan setahun sekali untuk menyambut kedatangan Bulan Suci Ramadhan. Perayaan Dugderan akan diisi oleh kegiatan pasar rakyat di jantung Kota Semarang, tepatnya di Pasar Johar. Dugderan biasanya berlangsung selama seminggu sebelum memasuki Bulan Ramadhan. Puncak dari Dugderan sendiri adalah street festival dimana Warak Ngendog diarak di sepanjang area kota Semarang. Sehari sebelum Ramadhan tiba, puncak Perayaan Dugderan akan digelar. Akan diadakan kirab yang diikuti oleh pasukan merah putih, drumband, warak ngendhog, warga yang memakai pakaian adat, meriam, dan berbagai kesenian lain dari Semarang.

Dua buku hasil karya sejarahwan Semarang Nio Joe Lan, dalam karya klasiknya “Riwajat Semarang” (1936), dan Amen Budiman dalam serialnya “Semarang Sepanjang Jalan Kenangan” (1976), tidak pernah menyebut siapa pencipta warak dan waktu penciptaannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Amen Budiman, diperkirakan binatang rekaan yang menjadi maskot acara itu mulai dikenal masyarakat pada akhir abad ke-19. Asumsinya ini dilihat dari kemunculan mainan warak ngendog dalam setiap perayaan megengan atau dugderan. Tepatnya pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati Semarang periode 1881-1897, Ario Purboningrat.

Asal Usul

Warak ngendhog aslinya memang hanya berupa mainan anak-anak dengan wujud hewan. Jika dibandingkan dengan bentuk warak ngendhog yang ada sekarang ini, warak ngendhog yang asli terbuat dari gabus tanaman mangrove, dan bentuk sudutnya lurus.

Tak ada penjelasan pasti mengenai kapan mulai keluarnya Warak Ngendog ini, dan diperkirakan merupakan sebuah tradisi yang sudah berusia ratusan tahun, jauh sebelum kota Semarang berdiri. Bahkan, saat Ki Ageng Pandan Arang mendirikan Kota Semarang dan menjadi Bupati pertama kali, pun hewan mitologi ini pun sudah hadir di tengah masyarakat.

Ki Ageng Pandan Arang sendiri adalah putra dari Bupati Pertama Semarang Harya Madya Pandan. yang menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Bupati Kedua Semarang dengan gelar Ki Ageng Pandanaran setelah ayahnya meninggal dunia. Berdasar keputusan hasil perundingan antara Sutan Hadiwijaya (penasehat Istana Demak) dengan Sunan Kalijaga, Ia diangkat menjadi kepala pemerintahan Semarang pada tanggal 2 Mei 1547 M.

Sebagai kepala pemerintahan, Ki Ageng Pandanaran melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh sang ayah. dan ia juga giat mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan untuk membina warga Semarang. Kegiatan tersebut antara lain adalah mengadakan pengajian secara rutin, menyampaikan ceramah-ceramah melalui khotbah Jumat, mengembangkan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah, juga memperkenalkan Warak Ngendok ini pertama kali kepada warga Semarang kuno kala itu. Dan sejak saat itu, Warak Ngendok terus dijadikan salah satu maskot Kota Semarang.

Warak berasal dari bahasa Arab “waro’a” yang berarti manusia harus menjaga diri dari hawa nafsu dan perbuatan yang tidak baik, salah satunya perbuatan bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari hari melalui amalan puasa. Karena kalau tindakan ini kita lakukan maka akan bermanfaat bagi diri kita maupun masyarakat pada umumnya dan kita akan menerima pahalanya. Pahala dari perbuatan baik kita ini disimbolkan dengan telur atau bertelur dalam bahasa Jawa “Ngendog” maka jadilah Warak Ngendog.

Bentuk fisik Warak Ngendog sendiri memiliki berbagai intepretasi; ada yang digambarkan seperti kambing, kuda, kerbau, ataupun barongsai. Sementara kepalanya terkadang menyerupai kepala naga jawa, naga cina, kambing, atau kuda. Dengan bulu yang acak-acakan atau keriting dan terkadang lurus dalam aneka warna.

Budaya

Mainan ini berwujud makhluk rekaan yang merupakan akulturasi/ persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang yaitu etnis Cina, etnis Arab dan etnis Jawa. ialah:

  • Kepalanya menyerupai kepala naga khas kebudayaan dari etnis Cina
  • Tubuhnya berbentuk layaknya unta khas kebudayaan dari etnis Arab
  • Keempat kakinya menyerupai kaki kambing khas kebudayaan dari etnis jawa

Ciri

Konon ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendhog ini mengandung arti filosofis mendalam dengan penjabaran sebagai berikut

  1. Bentuk fisik Warak yang lurus menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka, lurus, dan berbicara apa adanya. Tak ada perbedaan antara ungkapan hati dan ungkapan lisan.
  2. Bagian tubuh yang berbeda, dimana kepala dari hewan kambing atau naga, dengan tubuh lurus yang terkadang dituliskan dalam berbagai sumber merupakan interpretasi buraq, dan empat kaki yang seperti kambing merupakan gambaran bahwa Warak Ngendog merupakan perwujudan dari asimilasi yang harmonis antar budaya dan keragaman etnis yang tinggal di Semarang.
  3. Telur merupakan lambang kehidupan baru, dimana Warak yang baru saja Ngendog (bertelur), selalu siap menjaga telurnya yang akan menetas menjadi kehidupan baru di Semarang.

Daftar Referensi