Lompat ke isi

Aceh Merdeka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 28 Desember 2020 22.25 oleh Pulorawa (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '{{Infobox Political Party | name = Aceh Merdeka<br/>Atjèh Meurdéhka | native_name = Acheh Sumatra National Liberation Front | abbreviation =...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Aceh Merdeka
Atjèh Meurdéhka
Acheh Sumatra National Liberation Front
Ketua umumHasan di Tiro[1]
Ketua Presidium[2]Ariffadhillah
Wakil Presidium[2]Yusuf Daud
Ketua SekretariatMadinatul Fajar
Wakil SeketariatAsnawi Ali
Biro Penerangan[3]Nasir Usman
Dibentuk4 Desember 1976; 47 tahun lalu (1976-12-04) (GAM)
8 April 2012; 12 tahun lalu (2012-04-08) (ASNLF/AM)[4]
Kantor pusatEisenach, Germany
IdeologiNasionalisme Aceh
Posisi politikAktivis Digital dan Pegiat
Afiliasi internasionalUNPO,
Human Rights,
May Day,
International Relations,
United Nations
WarnaMerah, Hitam, Putih
Situs web
http://asnlf.org/
Aceh Merdeka
Atjèh Meurdéhka
Acheh Sumatra National Liberation Front
MotifMendirikan negara Aceh di ujung utara Pulau Sumatra dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
Wilayah operasi Aceh
IdeologiNasionalisme Aceh
StatusMenentukan nasib sendiri dinyatakan sebagai tindakan separatis di Indonesia

Organisasi Bangsa dan Rakyat yang Tidak Terwakili (UNPO)
Bendera Organisasi Bangsa dan Rakyat yang Tidak Terwakili (UNPO)
Bendera
Logo Organisasi Bangsa dan Rakyat yang Tidak Terwakili (UNPO)
Logo
Peta menunjukkan keanggotaan UNPO di seluruh dunia (klik untuk memperbesar dan untuk mejelajah).
Peta menunjukkan keanggotaan UNPO di seluruh dunia (klik untuk memperbesar dan untuk mejelajah).
Markas besarBrussels, Belgium
KeanggotaanAceh, 28 Juni 2014
Pemimpin
• Sekretaris Jendral[5]
Marino Busdachin
(sejak 2003)
• Presiden[5]
Nasser Boladai
• Wakil Presiden[5]
Dolkun Isa
Abdirahman Mahdi
Pendirian11 February 1991
Situs web resmi
http://www.unpo.org/
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Organisasi Aceh Merdeka (disingkat AM), bahasa Aceh: Atjèh Meurdéhka (disingkat AM) dan bahasa Inggris: Acheh Sumatra National Liberation Front (disingkat ASNLF) adalah organisasi yang didirikan pada tanggal 4 Desember 1976 oleh Hasan di Tiro sebagai upaya untuk pembebasan Aceh dan mendeklarasikan kembali negara Aceh di ujung utara Pulau Sumatra yang merdeka dan berdaulat serta tidak menyatu dengan Indonesia. Organisasi ini merupakan pengganti Gerakan Aceh Merdeka dibawah pimpinan Malik Mahmud semasa menjabat (2002 - 2005) yang telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Marti Ahtisaari sebagai ketua LSM Crisis Management Initiative (CMI) berperan sebagai fasilitator.[6]

Sejarah

Setelah penandatangan MoU Helsinki, semua aktifitas perjuangan dan pembebasan Aceh telah dihentikan oleh GAM. Para petinggi GAM yang bermukim diluar maupun yang didalam negeri telah meninggalkan ideologi untuk memerdekan Aceh dari Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka secara resmi membubarkan sayap militernya Teuntra Neugara Aceh (TNA) pada tanggal 27 Desember 2005 ditandatangani oleh Panglima TNA, Muzakkir Manaf dikantor GAM, gampong Lamdingin, Kuta Alam, Banda Aceh.[7] Pada proses perdamaian di Helsinki, Finlandia, pada tahun 2005, GAM telah tergelincir ke dalam otonomi (self-government) Indonesia dan gagal menjalankan misi organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.[8]

Melalui musyawarah dan mufakat masyarakat Aceh Ban Sigom Dônja (Selingkup Dunia) pada tanggal 6-8 April 2012 di Bønderslev, Denmark. Masyarakat Aceh sepakat organisasi Aceh Merdeka kembali diaktifkan untuk mencapai misinya yang belum tercapai target. Dengan menggunakan nama organisasi Acheh Sumatra National Liberation Front / Aceh Merdeka (ASNLF/AM), kembali memperjuangkan misi dan hak penentuan nasib sendiri (self-determination) rakyat Aceh serta dibenarkan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Aceh dan hukum internasional. Sebagaimana telah ditetapkan saat pertama didirikan di gunung Halimon oleh Dr. Hasan M. di Tiro (25 September 1925 - 03 Juni 2010), salah satunya adalah untuk mengembalikan kedaulatan Negara Aceh seperti semula sebelum terjadinya penjajahan.[9] [10]

Dalam musyawarah masyarakat Aceh selingkup dunia juga merumuskan konstitusi Aceh Merdeka sebagai garis penurus perjuangan untuk membebaskan rakyat Aceh dari segala bentuk penjajahan.[11] Badan pelaksana organisasi Aceh Merdeka adalah Presidium yang terpilih secara demokratis melalui Rapat Majelis Umum (RMU), yaitu keputusan tertinggi dalam organisasi Aceh Merdeka (ASNF/AM).[12]

Latar Belakang

Proses perdamaian Helsinki telah berhasil menghentikan konflik senjata berkepanjangan yang terjadi selama lebih dari dari tiga dekade, belum mampu menciptakan keamanan yang stabil bagi kondisi Aceh pasca konflik. Kekacauan yang terjadi selama Pilkada Gubernur Indonesia di Aceh pada tahun 2012, justru menambah suram masa depan perdamaian yang dimaksud. Ketidak pastian akan penyelesaian pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang terjadi dimasa konflik maupun sesudahnya, dan ditambah pula dengan isu-isu keamanan yang semakin tidak menentu, telah menempatkan Perdamaian Helsinki diujung tanduk. Terlebih lagi, Uni Eropa (EU) dan Crisis Management Initiative (CMI) mengakhiri misi perdamaian di Aceh pada tahun 2012. Tidak diragukan, masa depan Aceh menuju perdamaian abadi-pun kembali dipertanyakan.

Sejak bencana alam gempa dan tsunami melanda Aceh pada tahun 2004, keadaan politik Aceh terus-menerus dibayangi oleh bantuan kemanusian intensif dari dunia internasional dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Situasi kacau yang menyusul kehancuran massal mengakibatkan rakyat Aceh lengah dan tidak berhati-hati dalam mengawal perundingan damai Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia yang diadakan dibawah naungan CMI. Dengan keterlibatan masyarakat sipil yang sangat terbatas dan tanpa adanya kesempatan untuk memilih, rakyat Aceh yang sedang dalam keadaan trauma akibat bencana tersebut telah dipaksa untuk menerima Nota Kesepakatan Helsinki (MoU) yang ditandatangi di Helsinki, Finlandia, pada tanggal 15 Agustus 2005.

Dibalik harapan yang besar dari masyarakat Aceh dan komunitas internasional akan keberhasilan proses damai Helsinki, sangat disayangkan bahwa perkembangan terkini MoU justru mengungkapkan banyaknya kasus elit politik yang menyalahgunakan MoU untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pilkada Gubernur pada tahun 2012 adalah salah satu contoh gambaran paling jelas dari permasalahan yang dimaksud, dimana banyak calon yang mencoba untuk menyesatkan para pemilih dengan janji-janji basi bahwa Aceh akan sejahtera dengan penerapan MoU. Salah satu kandidat -yang menjabat sebagai Wakil Gubernur terpilih (2012 - 2017), Muzakkir Manaf- malah terang-terangan mengatakan dalam siaran langsung Debat Calon Gubernur di Metro TV bahwa pasangannya percaya jika Aceh dapat menjalankan MoU dengan sepenuhnya, maka Aceh akan mampu untuk berdiri dengan kaki sendiri. Pernyataan tersebut tentunya mengandung unsur menyesatkan dan tidak jujur, karena penerapan MoU sangat tergantung pada kemauan Jakarta dan MoU itu sendiri tidak memiliki kekuatan hukum yang mampu menekan Jakarta untuk memenuhi poin-poin yang telah disepakati.

MoU juga telah dimanfaatkan secara pribadi oleh mantan petingi GAM, Malik Mahmud, dalam memenuhi ambisinya untuk menduduki kursi jabatan Wali Nanggroe dengan secara langsung menunjuk dirinya sebagai pewaris Tengku Hasan Tiro melalui draft Qanun Wali Nanggroe. Gunnar Stange dan Antje Missbach menyatakan pada sebuah artikel yang berjudul “A Supreme ruler for Aceh?”,maksudnya “(Penguasa Tertinggi bagi Aceh?)" bahwa draft qanun Wali Nanggroë tidak memuat cara-cara pemilihan Wali Nanggroë. Sebaliknya, menetapkan bahwa Wali Nanggroë akan diangkat selama seumur hidup dan akan diwariskan langsung kepada Malik Mahmud setelah Hasan Tiro meninggal. Selain tidak demokratis dan tidak konstitusional, draf asal-asalan ini tentunya telah menjatuhkan martabat mulia jabatan Wali Nanggroë dan mencemarkan kewibaaan pemimpin terkemuka Aceh, Almarhum Tengku Hasan Muhammad Ditiro.[13]

Penyalahgunaan MoU tidak hanya terjadi di dalam batasan Pemda Aceh, tetapi juga meluas kedalam pemerintahan Indonesia. Kesepakatan damai Helsinki tentunya telah mempengaruhi politik Indonesia secara nasional. Oleh karena itu, iapun dimanfaatkan oleh elit politik Indonesia dalam diplomasi kotor mereka terutama dalam agenda pribadi menuju tahta presiden. International Crisis Group (ICG), dalam laporan tentang Indonesia yang judulnya Averting Election Violence in Aceh (Mencegah Kekerasan Pemilu di Aceh) mengatakan bahwa ...ada satu kenyataan politik yang sangat penting bahwa setiap orang di Jakarta dan Banda Aceh sangat menyadari: Partai Aceh pada tahun 2009 memberikan lebih dari 90 persen suara di Aceh untuk presiden. Tidak ada keraguan bahwa partai politik Indonesia akan berlomba-lomba memancing dan menguasai pemerintah daerah yang baru terpilih dengan harapan untuk mendapatkan dukungan penuh dalam pemilihan presiden berikutnya sebagai balasan kebaikan mereka.[14]

MoU juga digunakan sebagai alat untuk menutupi pelanggaran berat hak asasi manusia selama dan sesudah konflik. Setiap 3 Mei, orang Aceh memperingati tragedi Simpang KKA untuk mengenang rakyat Aceh yang telah dibunuh dan yang telah dilukai secara brutal oleh militer Indonesia menyusul pertemuan massal warga sipil pada 3 Mei 1999. Data dari Koalisi LSM Aceh, terdapat 46 warga sipil tewas, 156 terluka parah, 10 lainnya hilang. Tragedi ini dan beberapa tragedi serupa lainnya yang terjadi selama konflik jelas-jelas belum terselesaikan dan justru makin lama makin terlupakan.

Kegagalan kesepakatan Helsinki untuk membawa keadilan bagi Aceh jelas tercermin dalam stagnasi ekonomi Aceh ketika dana bantuan pasca Tsunami mengering. Meskipun Aceh menikmati periode pertumbuhan ekonomi yang cepat selama tahun-tahun setelah Tsunami, Bank Dunia malah menyatakan, ...kebanyakan pertumbuhan dan pekerjaan yang terciptakan di Aceh sangat berkaitan dengan ketersediaan dana rekonstruksi. Ketika dana terhenti, ekonomi Aceh pun anjlok turun hampir kembali ke keadaan aslinya dimasa konflik.[15]

Bank Dunia menyatakan kendala yang paling mengikat untuk investasi dan pertumbuhan di Aceh adalah pemerasan ilegal dan masalah keamanan para investor yang potensial. Meskipun lebih mudah untuk menyalahkan orang Aceh dan/atau mantan kombatan sebagai penyebab dari masalah keamanan, untuk mengungkap kebenaran bahwa sistem peradilan Indonesia yang rusak memang tidak mampu untuk melaksanakan tugasnya dalam memberikan keadilan bagi rakyatnya sendiri, apalagi bagi rakyat Aceh.

Perjanjian damai Helsinki telah gagal dalam melakukan rekonsiliasi yang bermartabat bagi konflik Aceh. Hanya mampu mengamankan perdamaian Aceh ke dalam telapak tangan pemimpin lokal baru di bawah kuasa Indonesia. Ini bukan taktik yang asing untuk mengendalikan Aceh dalam penindasan secara terus menerus, tapi sebenarnya justru cara yang sama persis dengan ...mengadopsi strategi budidaya elit bangsawan lokal atau Ulee Balang sebagai cara terbaik untuk membawa Aceh di bawah kendali seperti dijelaskan oleh Rodd McGibbon dalam makalah berbahasa Inggrisnya dengan judul yang bermakna "Kepemimpinan Lokal dan Konflik Aceh"; sebagai strategi yang diusulkan oleh Snouck Hurgronje untuk pemerintah Belanda untuk menguasai Kesultanan Aceh.

Pemerintah daerah Aceh, terlepas dari proses pemilihannya yang independen ataupun melalui ancaman dan intimidasi, hanyalah bentuk lain dari penindasan secara tidak langsung yang dilakukan oleh Indonesia atas Aceh. Seiring dengan keterikatannya kepada birokrasi Indonesia yang korup, pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan dalam menegakkan manajemen yang kredibel dan kepemimpinan yang dapat dipercaya. Alih-alih memfasilitasi Aceh menuju pemerintahan sendiri, pemerintah daerah yang baru hanya bisa menjerumuskan diri lebih dalam ke dalam sistem ketidakadilan Indonesia dan justru terlibat dalam administrasi yang korup.

Praktek Impunitas terhadap pelanggaran HAM di Aceh dimasa lalu yang dilakukan oleh aparat keamanan secara terus-menerus telah menghambat penerapan keadilan yang merupakan persyaratan mendasar dalam menciptakan keamanan dan stabilitas menuju perdamaian abadi bagi Aceh. Praktek tersebut bersama dengan sistem peradilan yang korup telah berakar dalam sistem Indonesia, sehingga tidak ada jalan keluar lain kecuali melalui proses penentuan nasib sendiri bagi rakyat Aceh, yang berarti menolak setiap kepatuhan terhadap sistem Indonesia secara menyeluruh.[16]

Proklamator Aceh Merdeka

Dr. Tengku Hasan M. di Tiro

Hari umum

Pendukung

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Sosok Pendiri GAM". BBC Indonesia. 2010-06-03. Diakses tanggal 16 Juli 2018. 
  2. ^ a b "Struktur Organisasi ASNLF". ASNLF Malaya. 2016-04-10. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  3. ^ "ASNLF Tidak Terlibat Deklarasi Nanggroe Aceh Darussalam". Acehsatu.com. 2020-12-24. Diakses tanggal 2020-12-27. 
  4. ^ "Atjèh Meurdéhka Kateudong Keulaji (diaktifkan)". ASNLF. 2012-04-10. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  5. ^ a b c "UNPO Organizational Structure". UNPO. Diakses tanggal 30 January 2015. 
  6. ^ "Crisis Management Initiative". Wikipedia. 2011-12-10. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  7. ^ "Sayap Militer GAM Resmi Dibubarkan". Tempo. 2005-12-27. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  8. ^ "Jawaban Koordinator ASNLF Tentang Aceh Merdeka". Google Plus. 2014-12-27. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  9. ^ "Utusan ASNLF Ikut Pawai Self Determination Di Brussel". ASNLF Malaya. 2014-04-03. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  10. ^ "Jawaban Koordinator ASNLF Tentang Aceh Merdeka". Google Plus. 2014-12-27. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  11. ^ "Konstitusi Atjèh Meurdéhka" (PDF). 2012. Diakses tanggal 18 Juli 2018. 
  12. ^ "Atjèh Meurdéhka Kateudong Keulaji". ASNLF. 2012-04-10. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  13. ^ "A supreme ruler for Aceh?". Inside Indonesia. 2011-12-10. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  14. ^ "Indonesia: Averting Election Violence in Aceh". International Crisis Group. 2012-02-29. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  15. ^ "The World Bank, Aceh Growth Diagnostic". The World Bank. 2009-07-10. Diakses tanggal 2018-07-18. 
  16. ^ "Damai Tanpa Keadilan dan Kendala Pertumbuhan Acheh". Siaran Pers ASNLF/AM. 2012-06-23. Diakses tanggal 2018-07-16. 

Pranala luar