Husain bin Ali
Artikel ini merupakan bagian dari seri Syiah |
Syiah Dua Belas Imam |
---|
Husain bin ‘Alī bin Abī Thālib (Bahasa Arab: حسين بن علي بن أﺑﻲ طالب) (626 – 680) adalah anak kedua dari sepupu Muhammad saw, Ali bin Abi Thalib yang menikah dengan anak Muhammad saw, Fatimah az-Zahra. Husain merupakan Imam ketiga bagi kebanyakan sekte Syi'ah, dan Imam kedua bagi yang lain. Ia dihormati oleh Sunni karena ia merupakan Ahlul Bait. Beliau juga sangat dihormati kaum Sufi karena menjadi Waliy Mursyid yang ke 2 setelah ayahanda beliau terutama bagi tarekat Qadiriyyah di seluruh dunia dan tarekat Alawiyyah di Hadramaut.
Ia terbunuh sebagai syahid pada Pertempuran Karbala tahun 680 Masehi. Perayaan kesyahidannya disebut sebagai Hari Asyura dan pada hari itu kaum Muslim Syi'ah bersedih.
Kelahiran dan Kehidupan Keluarga
Kelahiran
Husain dilahirkan tiga tahun setelah Hijrah ke Madinah (626 M), orang tuanya adalah Ali, sepupu Muhammad dan orang kepercayaannya, dan Fatimah, putri Muhammad. Husain adalah cucu kedua Muhammad.
Genealogi:
Abdul-Muththalib (lahir 497) | Fatimah | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Aminah | Abdullah (lahir 545) | Abu Thalib | Fatimah | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
MUHAMMAD saw (lahir 570) | Khadijah | Ali (lahir 599) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Fatimah | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Hasan (lahir 625) | Husain (lahir 626) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kekhalifahan Ali dan klaim keturunan Ahlul Bait
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Sejak sejarah mula ditulis, telah wujud persaingan antara Bangsa Parsi dan Bangsa Arab dari sudut kebudayaan, tamadun, kepercayaan agama dan sebagainya. Persaingan ini sering kali bertukar menjadi peperangan dengan kemenangan selalunya berada di pihak Parsi.
Zaman kegemilangan Parsi berakhir apabila pada zaman pemerintahan Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anh, negara Parsi telah diambil alih oleh pemerintahan Islam. Empayar Sasanid dan sistem Istana yang menjadi kaedah beragama turun temurun bangsa Parsi diruntuhkan.
Ini merupakan satu tragedi yang amat buruk bagi bangsa Parsi. Sebahagian mereka ada yang memeluk Islam dengan ikhlas. Namun sebahagian lagi, khasnya mereka yang memiliki semangat kebangsaan yang amat kuat serta kesetiaan yang tinggi kepada dinasti kesultanan, pura-pura memeluk Islam dengan objektif ingin membalas dendam dari jalan dalam.
Kejayaan mereka yang pertama ialah menggerakkan operasi membunuh Umar bin al-Khaththab. Seterusnya mereka dengan kerja sama ‘Abd Allah bin Saba’ menggerakkan operasi menabur benih-benih kedengkian yang akhirnya berjaya menghasilkan pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan.
Setelah terbunuhnya ‘Utsman, ‘Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah umat Islam. Ketika itu para sahabat berbeza pendapat untuk menghukum para pembunuh ‘Utsman. ‘Ali bin Abi Thalib mewakili kelompok pertama yang berpendapat yang utama ialah menyatukan semula umat Islam dan meredakan kekecohan yang wujud pada saat itu, kemudian barulah dijatuhkan hukuman kepada para pembunuh ‘Utsman. Kelompok kedua pula berpendapat yang utama ialah menjatuhkan hukuman kerana hanya ini akan dapat menyatukan semula umat Islam dan meredakan kekecohan.
Perbezaan pendapat ini dimanfaatkan sepenuhnya oleh bangsa Parsi dengan mencetuskan fitnah bahawa kelompok pertama dan kedua sedang bersiap sedia untuk saling memerangi antara satu sama lain. Akhirnya berlakulah Perang Jamal dan Perang Siffin di kalangan para sahabat.
Setelah berpuas hati dengan peristiwa Perang Jamal dan Perang Siffin, mereka beralih mengangkat Ali Bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang diiktiraf. Sebabnya, Husain bin ‘Ali telah berkahwin dengan Syahr Banu, puteri Raja Yazdajird bin Syah Rayar bin Kisra daripada Empayar Sasanid Parsi. Puteri Syahr Banu telah melahirkan ‘Ali bin Husain maka dengan itu mereka mengangkat beliau sebagai khalifah yang baru kerana memiliki darah kesultanan Parsi.
Kepimpinan yang baru ini mereka gelar “Imam” agar lebih sesuai dengan imej Islam. Akan tetapi diterapkan beberapa ciri yang tidak berasal daripada Islam seperti penetapan waris tahta (konsep dinasti), suci (sifat maksum – terpelihara dari dosa dan kesilapan) dan memiliki kekuasaan dalam penentuan syari‘at agama (dijadikan sumber syari‘at). Mengikut sebahagian pengkaji, 3 ciri ini adalah sesuatu yang berasal daripada tradisi Empayar Sasanid.
Demi membenarkan kedudukan “Imam” mereka yang baru ini, mereka mencipta teori bahawa al-Qur’an dan al-Sunnah telah menetap dan mewasiatkan jawatan khalifah kepada ‘Ali dan keturunannya, menetapkan kesucian mereka dan mengangkat mereka sebagai penentu syari‘at agama.
Akan tetapi penetapan dan pewasiatan ini mereka hadkan hanya kepada keturunan ‘Ali bin Husain bin ‘Ali yang dilahirkan oleh Puteri Syahr Banu. ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dimasukkan sama semata-mata untuk melengkapkan teori ini. Keturunan-keturunan lain daripada para isteri Hasan dan Husain tidak mereka masukkan dalam “penetapan dan pewasiatan” ini kerana mereka tidak memiliki darah Parsi.
Pertempuran Karbala
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Karbala dimata Syi`ah memiliki kesucian dan nilai sakral yang teramat dan tak tertandingi.Karbala adalah bumi yang disucikan bahkan katanya Karbala lebih utama dari Makkah, Masjidil Haram dan Ka`bah yang mulia.
Mungkin karena ada kuburan Husain radhiyallhu `anhu kali. Padahal kota Madinah yang disana tersimpan jasad Nabi yang mulia Muhammad shalallhu alaih wasallam tidak mendapatkan penghormatan dan pemuliaan seperti ini dari kalangan Syi`ah.Allahu a`lam.
Lantas Syi`ah selalu merayakan hari asyuro. Pada hari itu mereka saling menerima ta`ziyah (ucapan bela sungkawa) dalam rangka mengenang terbunuhnya Husain di padang karbala, mereka memakai pakaian serba hitam, mengiringi dengan isak tangis dan ratapan, meyobek serta menarik narik baju dan menampari pipi.Mereka turun kejalan2 dalam sebuah pawai yang disebut Manakib Husainiyah, seraya meyakini arak2an tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah.Kemudian berteriak histeris dengan dengan suara melengking:"Ya Husain...Ya Husain..'" sambil menggotong Kubah Husain yang terbuat dari kayu.Mereka menarik kuda2an yang dihiasi memeragakan kondisi Husain di Karbala. Sedangkan disela2 acara ritual ini mereka memaki2 Khulaf`ur rasyidin dan para sahabat.
Duh...betapa anehnya yang kita rasakan, deraian air mata yang seakan tidak pernah kering itu, yang ditumpahkan untuk Husain, tidak satu setespun bisa keluar untuk mengenang saudaranya, Abu Bakar,Umar,Ustman, putera Husain sendiri, lantas Abu Bakar puteranya Hasan radhiallahu `anhuma yang kesemuanya itu terbunuh bersamanya di karbala. (lihat kitab Jal` Al-Uyun, Tarikh Al-Ya`qufi,Kasyful Ghummah. Semua referensi ulama Syi`ah ini tdk diragukan lagi menetapkan bahwa mereka semua terbunuh di Karbala) Mengapa? Apakah karena mereka yang terbunuh itu membawa nama2 yang mereka tidak suka untuk mempromosikannya
Hendaklah setiap simpatisan Syiah itu bertanya,"Mengapa semua fakta yang terang yang tergantung di dahi sejarah itu tetap ditutup-tutupi"
Hendaklah pula bertanya:"Mengapa cucuran air mata atas terbunuhnya Husain itu tidak satu tetespun keluar untuk mengenang kematian Nabi shalallhu `alaihi wasallam dan Tragedi terbunuhnya Ali radiallahu`anhu ???
Syi`ah membiasakan anak-anaknya untuk menangis pada ratapan sepuluh Syura` ini, agar nantinya mereka bisa menangis dengan sendirinya, tangis mereka adalah keinginan mereka akan tetapi kesedihan mereka hanyalah sandiwara, dibuat-buat, sampai sebagian mereka memukulkan rantai besi kepada tubuhnya,dan memukulkan pedang diatas kepala hingga berdarah dan luka menganga. Semua itu yang paling banyak adalah di Karbala sekitar kuburan Husain Radhiallahu `anhu.
Dimanakah posisi mereka jika dibandingkan firman Allah: 'Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar ,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji`un, mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk" (Albaqoroh 155-157).
Tempat Penguburan
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Imam dan Waliy Mursyid
Selain menjadi Imam yang ke 3 dari 12 Imam bagi mayoritas Syiah, Husayn bin Ali juga menjadi Waliy Mursyid yang ke 2 bagi kaum Sufi terutama tarekat Qadiriyyah. Syekh Abdul Qadir Jailani sendiri ayahanda beliau adalah Hasani sedangkan ibunda beliau Husayni. Tapi garis tarekat ini jelas mengikuti keturunan Ali dari Husayn hingga Ali Ridha, kemudian pindah ke luar ahlul-bait. Tapi mulai dari Syekh Abdul Qadir Jilani, jabatan Waliy Mursyid berikutnya hingga saat ini yang telah mencapai generasi ke 40 (di banyak cabang tarekat) umumnya dipegang kembali oleh keturunan Ahlul Bait baik Hasani maupun Husayni.
Keluarga dan keturunan
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Referensi