Lompat ke isi

Artha Graha Network

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artha Graha Network
Kelompok usaha
IndustriKonglomerat
Didirikansek. 1989
PendiriTomy Winata
Yayasan Kartika Eka Paksi
Kantor pusatGedung Artha Graha Lt. 10
Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta, Indonesia
Tokoh kunci
Tomy Winata
Kiki Syahnakri
Sugianto Kusuma
ProdukKeuangan
Properti
Sumber daya alam
Telekomunikasi
Yayasan
Situs webarthagraha.net

Artha Graha Network (disingkat AG Network), atau sering juga disebut Artha Graha Group, adalah salah satu konglomerasi atau kelompok bisnis (grup) di Indonesia. Kelompok yang dirintis oleh Tomy Winata dan yayasan ABRI (dibantu juga oleh rekan Tomy, Sugianto Kusuma) ini dianggap sebagai salah satu konglomerasi besar di Indonesia, dengan lingkup bisnis melingkupi properti, keuangan, agroindustri, perhotelan, pertambangan, media & hiburan, retail, IT & telekomunikasi dan lainnya. Artha Graha Network sendiri bukanlah sebuah perusahaan induk, melainkan hanya sebuah kelompok perusahaan yang memiliki kesamaan dalam hal visi, misi dan tentu saja pengendalian. Filosofi Artha Graha Network adalah “Dimiliki Swasta, Dimanfaatkan Masyarakat” sehingga dapat menjadi agen pembangunan untuk masyarakat dan swasta, menciptakan lapangan kerja dan pembangunan ekonomi, sementara pada saat yang sama menguntungkan semua pemangku kepentingan.[1]

Sejarah

Kelompok ini bermula dari sebuah bank yang bernama Bank Artha Graha (bedakan dari Bank Artha Graha Internasional yang baru, karena bank ini dahulu bernama Bank Interpacific). Bank Artha Graha awalnya bernama Bank Propelat yang dimiliki oleh salah satu yayasan ABRI, yaitu Yayasan Siliwangi di Jawa Barat. Pada tahun 1986, Bank Propelat mengalami kesulitan keuangan dan hampir saja ditutup oleh Menkeu Radius Prawiro. Menghadapi kesulitan ini, ABRI kemudian meminta bantuan seorang pengusaha Tionghoa dari Pontianak, bernama Tomy Winata. Kebetulan, beberapa petinggi ABRI (khususnya Angkatan Darat) seperti TB Silalahi dan Edi Sudradjat mengenal pengusaha muda ini, yang awalnya hanya sebagai kontraktor dan penyuplai berbagai kebutuhan AD di Kalimantan Barat. Tomy kemudian menyetujui hal tersebut, dan pada 1989 Tomy dengan dana bantuan dari rekannya, yaitu Sugianto Kusuma (Aguan) (yang ia kenal setelah pindah ke Jakarta pada tahun 1983)[2] mengakuisisi dan menyehatkan bank ini. Tomy dan Aguan mendapatkan 60% saham, sedangkan yayasan lain yang juga di bawah ABRI, yaitu Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) mendapat 40% sisanya. Uang tersebut semuanya dari kocek Tomy sedangkan ABRI tidak mengeluarkan uang satu sen pun. Pada 16 Mei 1989, Bank Propelat kemudian berganti nama menjadi Bank Artha Graha, dan dibawah kendali Tomy, bank tersebut menjadi sehat dan mulai berekspansi ke berbagai bidang dan daerah.[3] Nama Artha Graha berarti rumah uang,[4] yang kemungkinan diambil Tomy dari nama orang tua angkatnya di Sukabumi bernama Bisri Artawinata.[5]

Sejak saat itu, bisnis Tomy-ABRI ini terus berjalan dengan baik dan berbuah manis. Tomy tidak lagi berkontak dengan prajurit AD dalam proyek ABRI, namun kemudian langsung berkongsi dengan yayasannya dalam sejumlah proyek besar. Dengan sokongan dari Edi Sudradjat dan TB Silalahi, yang keduanya merupakan petinggi ABRI-AD pada masa itu, Tomy kemudian mengembangkan bisnisnya ke bidang properti. Awalnya, bisnisnya di bidang ini bermula ketika di awal 1990-an, ketika Artha Graha terlibat dalam pengambilalihan sebuah perusahaan BUMN bernama Jakarta International Hotels & Development (JIHD) yang mengelola Hotel Borobudur Jakarta. Selanjutnya, Artha Graha berekspansi membangun penginapan mewah di Bali dan Pulau Matahari, Kepulauan Seribu. Namun, yang paling mengejutkan adalah pada Februari 1992,[6] ketika JIHD mengakuisisi sebuah perusahaan yang bernama Danayasa Arthatama yang melakukan pembangunan Sudirman Central Business District (SCBD) di Jakarta. Pada akhir 1990-an proyek tersebut berhasil mendapatkan kesuksesan dengan berhasil dibangunnya sejumlah gedung pencakar langit yang ada sampai sekarang, seperti gedung Bursa Efek Jakarta, Plaza Bapindo, Gedung Artha Graha, hotel-hotel dan apartemen mewah dan lainnya. Proyek ini memakan US$ 3,25 miliar dan dilakukan di 40 hektar lahan, dan dalam pendanaannya Tomy menggandeng Taspen dan Danareksa untuk berinvestasi di bisnis barunya.[7][8]

Bisnis Tomy, yang awalnya hanya sebatas properti dan bank, kemudian menggurita ke berbagai bidang. Di bidang asuransi, ia mengakuisisi Asuransi Tjahjana dan mengubah namanya menjadi Artha Graha General Insurance.[9] Di bidang telekomunikasi, Artha Graha punya saham di PT Danatel Pratama, PT Artha Graha Telekomindo dan Satelindo (lewat PT Bimagraha Telekomindo),[10] di bidang perikanan ada PT Tingsheen Bande Sejahtera, dan di bidang industri elektronik Artha Graha mengambil alih bisnis yang dulu pernah ditangani rekan Tomy, Aguan dalam produksi dan manufaktur terutama televisi Sony.[11] Perusahaan-perusahaan elektronika itu kemudian disatukan dalam PT Artha Graha Investama Sentral (kemudian setelah dijual ke Bhakti Investama menjadi PT Agis Tbk, lalu terakhir menjadi PT Sigmagold)[12] yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta.[13][14] Lalu, di bidang penerbangan bisnis Artha Graha terlihat pada sebuah maskapai bernama Transwisata Prima Aviation, media massa dengan menerbitkan majalah ekonomi Pilar[15] dan berbagai bidang lain seperti konstruksi.[16] Totalnya, perusahaan di bawah holding Artha Graha saat itu mencapai 40 perusahaan.[17] Tidak hanya memiliki Bank Artha Graha, Tomy kemudian juga membeli dua bank lain: pada tahun 1997 membeli Bank Arta Prima (kemudian menjadi Bank Arta Pratama, dan dimerger dengan Bank Artha Graha miliknya) dan selanjutnya mengakuisisi Bank Interpacific di tahun 2003, yang lalu berganti namanya menjadi Bank Artha Graha Internasional setelah merger dengan Bank Artha Graha yang lama melalui peleburan terbalik (reverse merger).[18][19] Selain itu, ada juga persinggungan kelompok ini dengan raksasa properti Agung Sedayu Group yang dimiliki oleh Aguan, rekan Tomy. Walaupun keduanya tidak menjadi satu grup, namun bekerjasama dalam beberapa kesempatan.

Seakan tidak terpengaruh dengan krisis ekonomi dan perubahan politik di Indonesia pasca 1998, Tomy dan kelompok Artha Grahanya terus berekspansi. Misalnya, Artha Graha pernah menjadi agen tunggal pemegang merek Kia (PT Kia Mobil Indonesia)[20] dan berencana membangun tambang marmer, jalan raya dan perkebunan kelapa sawit di Morowali, Sulawesi Tengah.[21][22] Sejak 2005, lewat sejumlah undang-undang, praktis TNI tidak boleh lagi berbisnis sehingga seluruh saham yayasan mereka kemudian dilepaskan ke Tomy, menjadikannya seperti memiliki kendali penuh atas grup bisnis ini.[23] Namun, Tomy masih memegang erat hubungan dengan sejumlah jenderal TNI yang dulu pernah berkongsi dengannya dalam grup ini, seperti mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo[24] dan Kiki Syahnakri yang menjadi pejabat penting di beberapa perusahaan Artha Graha Network, seperti menjadi Presiden Komisaris Bank Artha Graha Internasional.[25] Pada tahun 2006, Tomy dengan AG Network dikabarkan terjun dalam bisnis padi hibrida dengan menggandeng perusahaan asal Tiongkok bernama Guo Hao Seed Industry Co Ltd. untuk mengembangkan varietas padi dari negeri Tirai Bambu itu di Indonesia.[26] Tomy juga pernah berusaha berperan dalam pembangunan Jembatan Selat Sunda[27] dan reklamasi Teluk Benoa di Bali yang cukup kontroversial (walaupun kedua proyek raksasa ini tidak berhasil dimulai).[28]

Beberapa unit dan bisnis Artha Graha Network

Saat ini

Dan masih banyak lagi.

Mantan

Artha Graha Peduli

Kelompok Artha Graha juga memiliki sebuah yayasan sosial sebagai perwujudan CSR (corporate social responsibility) dari kelompok bisnis ini. Yayasan yang dikenal dengan nama Artha Graha Peduli ini bergerak dalam berbagai bidang sosial dan pelestarian lingkungan. Pilar-pilar dari yayasan ini adalah bantuan dalam penanggulangan bencana, pelestarian lingkungan, sosial, penguatan masyarakat dan keamanan. Bersama kerjasama dengan lembaga seperti BNPB, Badan Narkotika Nasional, Taman Safari Indonesia, TNI dan lembaga lainnya, [30] Tomy dan yayasannya ini banyak berperan dalam pemberian bantuan ke masyarakat, seperti meletusnya Gunung Merapi 2010, gempa bumi Yogyakarta 2006, tsunami Aceh 2004, dan berbagai bencana alam di Indonesia. Selain itu, di ujung selatan pulau Sumatra, Artha Graha Peduli berperan dalam pelestarian harimau sumatera dengan Tambling Wildlife Nature Conservation (TWMC) sejak 1997, dan berusaha melestarikan mangrove di Bali dengan menggandeng Cristiano Ronaldo, bintang sepakbola Portugal.[31][32] Pada pandemi COVID-19 yang menerjang Indonesia belakangan waktu ini, Artha Graha Peduli juga memberikan bantuan seperti dalam pendirian rumah sakit lapangan di Ancol, Jakarta Utara[33] dan melakukan pembagian sembako gratis sepanjang 2020 kepada masyarakat yang terdampak penurunan ekonomi.[34][35]

Kontroversi Artha Graha

Walaupun Tomy banyak dianggap sebagai pengusaha yang memang tekun dan ulet membangun bisnisnya sejak usia muda, namun banyak juga yang menganggap bahwa bisnis Tomy ini lebih banyak merupakan hasil kolusi dengan kekuatan militer di Indonesia. Kejayaan Tomy ini dianggap tidak jauh berbeda dengan Soeharto-Sudono Salim/Bob Hasan yang sama-sama membangun kerajaan bisnisnya dari bantuan militer.[36] Selain itu, Tomy dan kerajaan bisnisnya ini, sering ditimpa rumor tidak sedap. Pada akhir 1990-an, Tomy dikabarkan dengan sejumlah pengusaha (yang dikenal dengan nama 9 naga) berperan besar dalam bisnis haram seperti perjudian, narkoba, prostitusi dan lain-lain yang sudah mendunia. Bahkan, pada 2000, yang "menunjuk" bahwa Tomy terlibat dalam bisnis perjudian ini adalah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menuduhnya membangun pusat judi di Kepulauan Seribu.[37] Walaupun demikian, memang sampai sekarang tidak ada bukti nyata bahwa hal-hal yang dituduhkan itu 100% benar. Juga, Tomy selalu membantah rumor tersebut dan menyatakan ketidaktahuannya akan "9 naga" tersebut, misalnya ketika surat kabar Australia The Age melaporkan hal tersebut pada 2011.[38] Dalam wawancara dengan wartawan senior Karni Ilyas, Tomy menyatakan walaupun ia dituduh sebagai mafia, ia menikmati saja karena dengan hal itu berarti ia diperhitungkan di masyarakat.[39][40][41]

Selain itu, tingkah bisnis Tomy juga seringkali menimbulkan kontroversi. Misalnya, pada akhir 1990-an Tomy terlibat sengketa dengan Hartono Setyawan (yang dianggap sebagai mucikari besar). Bermula pada 1996 ketika Hartono hendak membangun resort bernama Planet Bali, namun kemudian proyek itu disita oleh pengadilan (dan diduga dibantu oleh preman-preman dan aparat militer yang dekat dengan Tomy) akibat Hartono dianggap menunggak hutangnya ke bank Tomy, Bank Artha Graha. Dalam beberapa gugatan, Hartono kemudian bisa memenangkan haknya, namun kemudian sampai sekarang tidak terdengar lagi. Lalu pada 1997, ketika Artha Graha mengakuisisi Bank Arta Prima, pemegang saham awal (dari grup Gunung Agung) dituduh telah dipaksa menyerahkan banknya tersebut kepada Bank Indonesia dan Tomy telah mendapat bantuan dana senilai Rp 1 miliar dari Bank Indonesia dan diizinkan membeli bank tersebut dengan harga murah. Lalu, ketika membangun SCBD, Tomy dituduh oleh beberapa pihak yang menuduhnya mengambil lahan tanpa kompensasi yang memadai.[42][43]

Memasuki tahun 2003, Tomy diberitakan oleh majalah Tempo bahwa ia seperti berada di belakang kebakaran Pasar Tanah Abang pada 2003, karena ia sudah mengajukan proposal renovasi pasar itu sebelum terjadinya kebakaran.[44][45] Laporan yang ditulis oleh wartawan Bambang Harymurti, Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali ini menimbulkan kontroversi dan Tomy sempat mempidanakan wartawan Tempo atas pencemaran nama baik.[46][47] Menurut aktivis George Junus Aditjondro juga, bahwa Artha Graha (dan Tomy) sebenarnya pada 2004 dibekingi oleh presiden SBY dan pada saat itu berusaha mencari untung dalam rekonstruksi pasca gempa bumi di Aceh 2004 dan gempa bumi Nias 2005.[48] Di tahun akhir 2000-an juga, ia dituduh melanggar hak masyarakat adat Papua lewat PT Kurnia Tama Sejahtera yang melakukan pembalakan liar di hutan-hutan Papua namun tidak memberi ganti rugi yang cukup.[49]

Di awal 2010-an, nama Artha Graha menjadi kontroversi kembali setelah berusaha melakukan reklamasi Teluk Benoa, Bali yang mendapat penolakan dari masyarakat Bali. Dalam proyek ini, anak perusahaan Artha Graha bernama PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) merencanakan akan membangun resor, hotel, mal dan fasilitas mewah dengan alasan bahwa pantai di Teluk Benoa sudah tidak bisa lagi menghasilkan ikan. Dalam proyek senilai Rp 30 triliun ini, pihak TWBI berjanji akan mengembalikan dan merevitalisasi kawasan ini menjadi lebih baik. Namun, proyek yang sudah mulai direncanakan sejak 2012 ini dianggap bisa merusak lingkungan Teluk Benoa, dan juga pesisir Lombok NTB yang menjadi sumber pasir bagi proyek reklamasi.[50] Tomy Winata berpendapat, sudah seharusnya proyek ini didukung karena untuk pariwisata Bali, berbasis green project dan bahkan ia menuduh ada "konspirasi" negara asing untuk menghambat kemajuan Bali.[51] Namun, pada akhirnya Tomy menyatakan ia siap jika proyek ini dimoratorium.[52] Sampai sekarang, walaupun Menteri Kelautan dan Perikanan (yang lama), Susi Pudjiastuti sudah menghentikan proyek ini, namun dari pemerintah sendiri belum ada keputusan yang tegas apakah proyek ini akan berhenti akan tidak, sehingga bisa dikatakan bahwa proyek ini mandek sampai sekarang.[53][54]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ TENTANG KAMI
  2. ^ Tomy Winata
  3. ^ Warta ekonomi: mingguan berita ekonomi & bisnis, Volume 4,Masalah 23-3
  4. ^ Yudhagama, Masalah 46
  5. ^ Sejarah Persinggungan Tommy Winata dengan Tentara
  6. ^ World Markets in
  7. ^ Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia
  8. ^ Investigasi - "Mafia Bisnis" Tommy Winata
  9. ^ Lebih Dari 20 Tahun of Dedikasi..
  10. ^ Prospektus Bimantara Citra 1995
  11. ^ Warta ekonomi: mingguan berita ekonomi & bisnis, Volume 11,Masalah 46-52
  12. ^ Dari MNC hingga Dapen BNI, Ini Jejak Pemegang Saham TMPI
  13. ^ Indonesian Capital Market Directory
  14. ^ Tempo, Volume 28,Masalah 17-18
  15. ^ Indonesian Commercial Newsletter, Volume 30,Masalah 403-410
  16. ^ Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia
  17. ^ Sejarah Persinggungan Tommy Winata dengan Tentara
  18. ^ Sebuah Bank Termurah Dunia
  19. ^ Tommy Winata Alias Oe Suat Hong, Tokoh
  20. ^ Kembar siam penguasa politik dan ekonomi Indonesia: investigasi korupsi sistemik bagi aktivis dan wartawan
  21. ^ Suara dari Poso: kerusuhan, konflik, dan resolusi
  22. ^ Menelusuri akar otoritarianisme di Indonesia
  23. ^ Yayasan Kartika Eka Paksi Jual Sahamnya di Bank Artha Graha
  24. ^ Gatot Nurmantyo: Persahabatan Saya dengan Tomy Winata Melebihi yang Lain
  25. ^ Dewan Komisaris
  26. ^ Liku-Liku Penangkaran Benih
  27. ^ Tommy Winata Alias Oe Suat Hong, Tokoh
  28. ^ Artha Graha Reklamasi Teluk Benoa Rp30 Triliun
  29. ^ ARTHA GRAHA NETWORK
  30. ^ PRofile
  31. ^ Tommy Winata Alias Oe Suat Hong, Tokoh
  32. ^ WHAT WE DO
  33. ^ Menko PMK Apresiasi Pendirian RS Lapangan Artha Graha Peduli
  34. ^ Gandeng Pengusaha Nasional, Artha Graha Peduli Tebar Sembako Gratis
  35. ^ Artha Graha Peduli Salurkan Sembako Gratis
  36. ^ Anatomi Kolusi Pengusaha-Militer
  37. ^ Warta ekonomi: mingguan berita ekonomi & bisnis, Volume 11,Masalah 46-52
  38. ^ Tomy Winata: Saya Bingung dengan Istilah 9 Naga
  39. ^ Karni Ilyas Wawancarai Tommy Winata Bahas Rumor Mafia, Bos Narkoba dan Bisnis Haram
  40. ^ Bos Grup Artha Graha
  41. ^ http://gosipnya.blogspot.com/2012/12/tommy-winata.html
  42. ^ Investigasi - "Mafia Bisnis" Tommy Winata
  43. ^ Pergulatan tanpa henti, Volume 3
  44. ^ ADA TOMY DI 'TENABANG'
  45. ^ Setengah abad pergulatan etika pers
  46. ^ Ini Dia, Saksi-Saksi Kasus Pidana Tomy Winata vs Tempo
  47. ^ Wartawan Tempo Dituntut 2 Tahun
  48. ^ Korupsi kepresidenan: reproduksi oligarki berkaki tiga : istana, tangsi, dan partai penguasa
  49. ^ Seramnya Bisnis Pembalakan Kayu Arta Graha di Teluk Wondama
  50. ^ Menguruk Benoa
  51. ^ Tomy Winata pertanyakan motif penolakan revitalisasi Benoa
  52. ^ Ini Komentar Taipan Tomy Winata Soal...
  53. ^ Reklamasi Teluk Benoa: Susi Vs Luhut & Jokowi yang Gagal Bersikap
  54. ^ Warga Kembali Demo, Sebut Teluk Benoa Belum Aman dari Ancaman Reklamasi

Pranala luar