Lompat ke isi

Kesunanan Surakarta Hadiningrat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesunanan Surakarta Hadiningrat

ꦑꦱꦸꦤꦤ꧀ꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀
Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat
1745–sekarang
Bendera Kesunanan Surakarta
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Wilayah Surakarta pada 1830 (warna merah tua)
Wilayah Surakarta pada 1830 (warna merah tua)
Ibu kotaSurakarta
Bahasa yang umum digunakanJawa
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Susuhunan 
• 1745–1749
Pakubuwana II
• 1823–1830
Pakubuwana VI
• 1893–1939
Pakubuwana X
• 1945–2004
(1946 status diturunkan)
Pakubuwana XII
• 2004–petahana
Pakubuwana XIII
Patih Dalem (Mantrimuka) 
• 1742–1755 (pertama)
KRA. Pringgalaya
• 1945–1946 (terakhir)
KRMT. Yudhanagara
Sejarah 
• Adeging Nagari
20 Februari 1745
19 Agustus 1945 sekarang
• Pengundangan Penetapan Pemerintah No. 16/SD tahun 1946 (pembekuan DIS)
16 Juni 1946
Didahului oleh
Digantikan oleh
Kasultanan Mataram
Kadipaten Mangkunagaran
Daerah Istimewa Surakarta
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesunanan Surakarta Hadiningrat (bahasa Jawa: ꦟꦒꦫꦶ​ꦑꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀; Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat) adalah sebuah kerajaan di Pulau Jawa bagian tengah yang berdiri pada tahun 1745. Selanjutnya, sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti[1] yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, disepakati bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.[2]

Berlakunya Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Jatisari[3] sejak tahun 1755 menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Sunan Pakubuwana III; sedangkan Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Adanya Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 turut memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Adipati Mangkunegara I).[4]

Kasunanan Surakarta dianggap sebagai pengganti dan penerus Kesultanan Mataram bersama dengan Kesultanan Yogyakarta, karena raja-rajanya merupakan keturunan raja-raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta bergelar susuhunan atau sunan, sedangkan raja Kesultanan Yogyakarta bergelar sultan.

Latar belakang

Kesultanan Mataram yang porak-poranda akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677[5] ibu kotanya oleh Sunan Amangkurat II dipindahkan di Kartasura.[6] Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Keraton Kartasura mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC di tahun 1742. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari sebuah konflik panjang yang dikenal sebagai Geger Pecinan. Kesultanan Mataram yang berpusat di Kartasura itu akhirnya mengalami keruntuhannya. Kota dan Keraton Kartasura kemudian berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, seorang penguasa Bangkalan yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, akhirnya memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Kerajaan Mataram yang baru.

Pemindahan keraton dari Kartasura ke Sala

Alasan pemindahan

Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur kemudian dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa (bernama kecil Jaka Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota dan keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru di lokasi yang berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, sebuah desa yang terletak di tepi Bengawan Solo (bahasa Jawa: Bengawan Sala). Untuk pembangunan keraton ini, Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas[7] yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Di tengah pembangunan keraton, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.[8][9]

Pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, menurut ahli nujum Raden Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu menjadi baik, ramai, makmur. Walaupun kekuasaan raja tidak seberapa luas, kekuasaan itu dapat berlangsung lama. Kedua, Desa Sala terletak di dekat tempuran, artinya tempat bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan Bengawan Solo. Menurut mistik Jawa tempuran mempunyai arti magis dan tempat-tempat di dekatnya dianggap keramat. Ketiga, letak Desa Sala dekat dengan Bengawan Solo, sebuah sungai terbesar di Jawa yang sejak zaman dahulu mempunyai arti penting sebagai penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Fungsi sebagai penghubung ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer. Sampai abad ke-19, bepergian lewat sungai ternyata lebih aman daripada melewati jalur darat. Keempat, karena Sala telah menjadi desa sehingga untuk mendirikan keraton tidak diperlukan tenaga untuk pembabat hutan yang didatangkan dari tempat lain. Selain Semanggi, di dekat Sala juga terdapat desa-desa penting yang telah ada sejak zaman Kartasura, yaitu Baturana dan Gabudan. Keduanya ditempati oleh abdidalem pembuat babud (permadani). Kelima, supaya kebijakan VOC yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan dengan mudah, agar pusat kota Mataram yang baru itu mudah dicapai dari Semarang dan harus dijaga sehingga pemerintah mudah mengirim bala bantuannya karena Semarang dikenal sebagai jalan masuk menuju Mataram. Keenam, orang Jawa percaya bahwa keadaan tanah akan berpengaruh pada penghuni rumah kediaman yang didirikan di atas tanah itu. Tanah di Desa Sala dianggap layak sehingga dibangun keraton di wilayah ini.[10]

Proses pemindahan

Keraton Surakarta, istana dan pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II.

Atas kehendak Susuhunan Pakubuwana II, Tumenggung Secayudha dan Kyai Ageng Derpayudha diperintahkan supaya merencanakan serta menentukan urut-urutan perjalanan perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta.[10] Setelah upacara tradisional selesai, pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura/Muharam tahun Je 1670 Jawa Windu Sancaya atau tanggal 20 Februari 1745, Susuhunan pindah dari Kartasura ke keraton yang baru.[8][11] Dalam Babad Giyanti I, prosesi perpindahan Keraton Kartasura ke Keraton Surakarta dituliskan bertepatan pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura dengan candra sengkala Kumbuling Budaya Kapyarsi ing Nala, Susuhunan berangkat dari Kartasura pindah ke Sala.[10] Selanjutnya, oleh Pakubuwana II nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kata sura dalam bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur"; dengan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat di mana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa.[8]

Perkembangan

Naskah Perjanjian Giyanti, yang membagi wilayah Mataram menjadi dua.
Pendopo Dalem Kepatihan Kasunanan Surakarta pada tahun 1890.

Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibu kota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi, adik Susuhunan Pakubuwana II, pada tahun 1746 meninggalkan keraton dan menggabungkan diri dengan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit pada tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC yang dianggap berhak melantik raja-raja Dinasti Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta; setelah VOC bubar pada tahun 1799, kewenangan tersebut dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berakhir pada masa Pendudukan Jepang di tahun 1942.

Pakubuwana III

Pada awal tahun 1755, pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Adanya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Jatisari (15 Februari 1755) yang ditandatangani oleh Susuhunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi mengakibatkan terbentuknya dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.[12] Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta melestarikan gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.

Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang karena Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757, menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran miji alias pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus Kadipaten yang secara tradisional masih berada di bawah Kasunanan, yang disebut dengan nama Kadipaten Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara I. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi usai berakhirnya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah Mancanagara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.

Pakubuwana IV

Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC, penerus takhta Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788–1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yang berpaham politik Islam dan dekat dengan kaum santri menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang merasa disingkirkan kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana IV. VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 aliansi tersebut mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasehat politik dan rohaninya. Pakubuwana IV akhirnya terpaksa mengalah pada tanggal 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasehatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV inilah terjadi perundingan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, serta Kadipaten Mangkunegaran memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.

Pakubuwana V dan Pakubuwana VI

Sri Susuhunan Pakubuwana VI, raja Kasunanan Surakarta tahun 18231830, salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830[13] dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.

Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.

Pakubuwana VII

Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan Sastra Jawa di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya berakhir saat wafatnya, dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik takhta pada usia 69 tahun.

Pakubuwana VIII dan Pakubuwana IX

Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X.

Pakubuwana X

Sri Susuhunan Pakubuwana X, raja terbesar Kasunanan Surakarta dan salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia, bersama permaisuri GKR. Hemas dan putri, GKR. Pembayun.

Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Infrastruktur modern kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gedhe Harjanagara, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Taman Sriwedari, Taman Satwataru Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa, dan berbagai infrastruktur serta fasilitas publik lainnya. Dia meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.

Pakubuwana XI

Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia II. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak pemerintah Pendudukan Jepang menyebut Kasunanan Surakarta dengan nama Solo-Kōchi, dan Pakubuwana XI diakui serta diberi kedudukan sebagai Solo-Kō. Ia kemudian digantikan oleh putra termudanya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XII.

Masa perjuangan kemerdekaan

Pakubuwana XII

Sri Susuhunan Pakubuwana XII dalam sebuah kesempatan di Sasana Handrawina, Keraton Surakarta, sekitar tahun 1945-1955.
Berkas:Piagamistimewa.jpg
Baliho Piagam Maklumat Keistimewaan Negeri Surakarta oleh Sri Susuhunan Pakubuwana XII dipajang di Siti Hinggil Lor, Keraton Surakarta.

Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Di awal masa kemerdekaan (1945–1946), Kasunanan Surakarta (dan Kadipaten Mangkunegaran) sempat menjadi daerah istimewa, yaitu Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Akan tetapi, karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Keresidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[14] Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden Sukarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945.[15]

Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Sukarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, di mana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden Sukarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi, masing-masing sebagai kepala daerah istimewa.[16]

Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba dan Persatuan Perjuangan.[17] Barisan Banteng juga berhasil menguasai Surakarta, sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah untuk mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS serta penurunan status kedudukan Susuhunan dan Mangkunegara, termasuk perampasan tanah-tanah pertanian milik pemerintah Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis-komunis.

Tanggal 17 Oktober 1945, pepatihdalem (perdana menteri) Kasunanan yang juga seorang mantan anggota BPUPKI, KRMH. Sasradiningrat V, diculik oleh gerombolan anti swapraja (ia kemudian berhasil bebas dan wafat pada tahun 1967).[18] Aksi ini diikuti pencopotan bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan anti swapraja. Bulan Maret 1946, pepatihdalem yang baru, KRMT. Yudhanagara, juga diculik. Dan pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.

Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, untuk sementara waktu pemerintah Republik Indonesia membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran serta daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai keresidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegaran menjadi pemangku adat dan simbol pemersatu di tengah masyarakat Jawa dan warga negara Republik Indonesia, serta Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran kemudian lebih berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan budaya Jawa.

Era Indonesia

Setelah pembekuan Daerah Istimewa Surakarta

Sri Susuhunan Pakubuwana XII menjenguk tentara yang terluka di tahun 1949.
Kedatangan Sri Susuhunan Pakubuwana XII, Adipati Mangkunegara VIII dan Perdana Menteri Mohammad Hatta di Belanda dalam rangka mengikuti Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.

Terdapat pendapat yang menilai[siapa?] bahwa pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Pakubuwana XII saat itu dianggap kurang berdaya dalam menghadapi kelompok anti daerah istimewa yang gencar bermanuver dalam perpolitikan dan menyebarkan rumor bahwa para bangsawan Surakarta merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga sebagian rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kasunanan.[19] Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution menulis bahwa raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948–1949. Bahkan pihak TNI sudah menyiapkan Kolonel Jatikusuma (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangkunegara yang baru. Namun sebagian rakyat dan tentara semakin ingin menghapuskan monarki sama sekali. Akhirnya Mayor Achmadi, penguasa militer kota Surakarta, hanya diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja diminta untuk secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.[20]

Kenyataannya, selama masa Revolusi Nasional, Pakubuwana XII tetap memihak pemerintah Republik Indonesia. Ia bahkan memperoleh pangkat militer letnan jenderal tituler, dan pada tahun 19451948 beberapa kali turut mendampingi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengunjungi berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, baik dalam rangka konsolidasi pemerintahan maupun meninjau garis depan pertempuran.[21] Sebelum dan hingga peristiwa Serangan Umum Surakarta pada 7–10 Agustus 1948, Pakubuwana XII juga mengizinkan sepasukan TNI di bawah pimpinan Letkol. Slamet Riyadi untuk menggunakan Pesanggrahan Pracimaharja di Boyolali sebagai markas, sebelum akhirnya pesanggrahan peninggalan Pakubuwana VI tersebut dibakar untuk membendung manuver tentara Belanda yang hendak menduduki wilayah Surakarta.[21] Selain itu, Pakubuwana XII juga menjadi salah satu anggota delegasi yang diberi kedudukan setingkat menteri negara dalam rombongan delegasi Republik Indonesia pimpinan Mohammad Hatta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949.[22] Pada 17 Desember 1949, staf urusan sipil Komando Tentara dan Teritorial Kota Surakarta, mewakili pemerintah Republik Indonesia, bahkan memberikan surat tanda penghargaan dan terima kasih kepada Jawatan Pusat Karti Praja, sebuah badan pekerjaan umum yang dibentuk Pakubuwana XII dalam rangka membuka lapangan kerja bagi masyarakat karena telah ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia selama Agresi Militer Belanda II.[21] Meski demikian, kedudukan Daerah Istimewa Surakarta saat itu tetap belum dapat dipertahankan, karena ketidakstabilan politik dan pemerintahan di Surakarta yang berlangsung berlarut-larut sejak tahun 1945 sampai 1949.

Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Presiden Abdurrahman Wahid, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.[23] Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang paling lama di antara para raja-raja Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945 hingga 2004.

Pakubuwana XIII

Sri Susuhunan Pakubuwana XIII dan KGPH. Panembahan Agung Tejawulan bersama keluarga serta beberapa pejabat penting, termasuk F.X. Hadi Rudyatmo (wali kota Surakarta), Ganjar Pranowo (gubernur Jawa Tengah), Subagyo Hadi Siswoyo (anggota Dewan Pertimbangan Presiden), dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam Upacara Tingalandalem Jumenengan ke-13 tahun 2017.

Sepeninggal Susuhunan Pakubuwana XII, sempat terjadi perebutan takhta antara KGPH. Hangabehi dangan KGPH. Tejawulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII; keduanya mengklaim sebagai pemangku takhta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Sri Susuhunan Pakubuwana XIII.

Pada tahun 2012, konflik Raja Kembar telah usai setelah Pangeran Tejawulan melepaskan klaim takhta dan gelar Pakubuwana kepada kakaknya, yakni Pangeran Hangabehi, dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejawulan sendiri dilantik menjadi mahamenteri dengan gelar KGPHPA (Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung).[24]

Rekonsiliasi damai antara Pakubuwana XIII dan Tejawulan awalnya sempat ditentang oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta yang dipimpin oleh GKR. Wandansari.[25] Sejak tahun 2013, Pakubuwana XIII bahkan tidak dapat memasuki kawasan inti Keraton Surakarta dan memimpin beberapa upacara adat karena adanya penutupan beberapa akses dari kediaman Susuhunan menuju kawasan inti keraton.[26] Setelah TNI dan Kepolisian turun tangan serta adanya mediasi antara pihak Pakubuwana XIII dan Lembaga Dewan Adat,[27][28] pada bulan April 2017 Pakubuwana XIII bisa kembali masuk ke dalam keraton dan menyelenggarakan upacara peringatan kenaikan takhta (tingalandalem jumenengan) yang dihadiri oleh keluarga, abdidalem, perwakilan masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan.[29]

Wilayah kekuasaan

Pada awal berdirinya

Pembagian wilayah Mancanagara Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta (termasuk wilayah Kadipaten Mangkunegaran) pada tahun 1757.

Seperti di masa Kesultanan Mataram, pada awal berdirinya (semasa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II dan Susuhunan Pakubuwana III) wilayah Kasunanan Surakarta dibagi menjadi daerah Kuthagara atau Kuthanagara, Nagara Agung, Mancanagara, dan Pasisiran.[30] Daerah Kuthagara adalah ibu kota dan pusat pemerintahan kerajaan, yang juga menjadi tempat tinggal raja beserta keluarganya termasuk para pejabat dan pegawai pemerintahan. Daerah Kuthagara juga sering disebut sebagai Siti Narawita, yang secara harfiah berarti daerah tempat orang-orang mengabdi. Daerah Nagara Agung adalah wilayah yang berada di sekitar Kuthagara, yang merupakan daerah apanase atau tanah lungguh dari para keluarga raja dan abdidalem, termasuk pula daerah Siti Narawita milik raja. Sedangkan daerah Mancanagara dan Pasisiran merupakan wilayah di luar kawasan Nagara Agung; di daerah ini tidak terdapat tanah lungguh, namun pada saat perayaan grebeg dan tiap-tiap waktu tertentu harus menyerahkan pajak ke keraton. Secara keseluruhan, wilayah Kasunanan Surakarta ketika itu memiliki luas 352.382 karya.[30]

Perkembangan selanjutnya

Wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta selanjutnya semakin berkurang pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, termasuk setelah adanya Perjanjian Giyanti tahun 1755 dan Perjanjian Salatiga tahun 1757, yang mengakibatkan Kasunanan Surakarta harus menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, serta menyerahkan wilayah Pasisiran kepada VOC. Usai Perang Jawa pada tahun 1830, seluruh wilayah Mancanagara dirampas oleh pemerintah Hindia Belanda, menyisakan wilayah Nagara Agung dan Kuthagara.[30] Wilayah yang tersisa tersebut, kemudian dibagi lagi menjadi beberapa kabupaten dan kawedanan.

Pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X, wilayah Kasunanan Surakarta meliputi kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, serta beberapa enklave (daerah kantong) yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk di dalam wilayah Yogyakarta (Kotagede dan Imogiri). Untuk daerah bagian utara kota Surakarta serta Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Wonogiri (termasuk enklave Ngawen dan Semin) diperintah oleh Kadipaten Mangkunegaran. Wilayah dan pembagian administratif tersebut tidak banyak mengalami perubahan hingga masa Pendudukan Jepang dan era pemerintahan Republik Indonesia.[17] Setelahnya, di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XII wilayah Kasunanan Surakarta mendapat kedudukan sebagai sebuah daerah istimewa dan menjadi Daerah Istimewa Surakarta, yang bertahan selama beberapa bulan pada tahun 19451946. Usai pembekuan Daerah Istimewa Surakarta dan sejak dibentuknya Karesidenan Surakarta hingga penggabungan karesidenan tersebut ke dalam Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1950, saat ini wilayah Kasunanan Surakarta secara administratif telah menyatu dengan Provinsi Jawa Tengah.[17]

Daftar Sunan Surakarta

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Prasadana, Muhammad Anggie Farizqi; Gunawan, Hendri (2019-06-17). "KERUNTUHAN BIROKRASI TRADISIONAL DI KASUNANAN SURAKARTA". Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya. 2 (2): 187–200. doi:10.33652/handep.v2i2.36. ISSN 2684-7256. 
  2. ^ "Perjanjian Giyanti Membelah Mataram". 
  3. ^ KERATON SOLO Temukan Situs Perjanjian Jatisari, Bukti Keraton Solo Bukan Antek Belanda
  4. ^ Eko Punto Hendro. "Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran Sambernyowo" (PDF). Endogami:Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi: 42–54. 
  5. ^ "Trunojoyo Melawan Mataram dan Dihukum Mati". 
  6. ^ Siswanta (2019). "Sejarah Perkembangan Mataram Islam Kraton Plered" (PDF). Karmawibangga:Historical Studies Journal. 1: 33–42. 
  7. ^ Resume Singkat Blusukan Ndalem Pangeran Diarsipkan 2015-01-05 di Wayback Machine.. Blusukan Solo. Diakses 5 Januari 2015.
  8. ^ a b c "Kompleks Bangunan Keraton Surakarta". 
  9. ^ KGPH. Puger: Kyai Sala dan Ki Gede Sala adalah Dua Tokoh Berbeda Youtube.com
  10. ^ a b c Sarmino, Husain Haikal (2001). "Segi Kultural relijius Perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta". Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. Program Pasca Sarjana, Universitas Negeri Yogyakarta. 3 (4): 115-116. ISSN 2685-7111. 
  11. ^ "Hari Jadi Kota Solo Disebut Bukan 17 Februari 1745, Kok Bisa?".  Solopos.com
  12. ^ Perjanjian Jatisari 15 Februari 1755, Awal Mula Beda Budaya Surakarta dan Yogyakarta Kompas.com
  13. ^ "Peran Ganda Raja Surakarta Berujung Petaka". 
  14. ^ "Seperti Surakarta, Status Daerah Istimewa Dapat Dicabut". 
  15. ^ Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dalam rapat PPKI diputuskan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi atas sembilan provinsi dan dua daerah istimewa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendapat tersebut bertentangan dengan Putusan PPKI sebagaimana terdapat dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang diterbitkan oleh sekretariat negara baik edisi II (1993) maupun III (1995)
  16. ^ sebagai Kepala Daerah Istimewa Surakarta yang setingkat jabatan Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah Pemerintah Pusat. Pendapat tersebut bertentangan dengan UU 22/1948 mengenai pemerintahan daerah dan fakta-fakta sejarah di mana R.P. Suroso ditempatkan sebagai Komisaris Tinggi Indonesia untuk Kasunanan dan Mangkunegaran. Lihat buku A.H. Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia dan Sudarisman Purwokusumo Daerah Istimewa Yogyakarta
  17. ^ a b c Ranika Rosiana, Belda (2013). "Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta tahun 1945-1950" (PDF). Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 
  18. ^ Silakan lihat buku: Julinar Said, M.P.B. Manus, P. Suryo Haryomo, Sumardi, dkk. (1997) Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
  19. ^ Putri Musaparsih, Cahya (2005). "Strategi Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) dalam mengambil alih Swapraja, 1945-1946" (PDF). Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 
  20. ^ Silakan lihat buku: Nasution, Abdul Haris. (1996) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: perang gerilya semesta ii. Jilid 10 Cet 8. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa; dan Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984) Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  21. ^ a b c Silakan lihat buku: Bram Setiadi, D.S. Trihandayani, Qomarul Hadi (2001) Raja di Alam Republik: Keraton Kasunanan Surakarta dan Paku Buwono XII. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
  22. ^ I Gede Putu Wiranegara: PAKU BUWONO XII - Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi
  23. ^ Abdurrahman Wahid: Keraton dan Perjalanan Budayanya. Diarsipkan 2020-07-14 di Wayback Machine. Dari situs Santri Gus Dur - Komunitas Pemikiran Gusdur.
  24. ^ Akhirnya, Keraton Surakarta Rekonsiliasi. Kompas.com
  25. ^ Prosesi Jumenengan di Tengah Konflik Panjang Keraton Kasunanan Solo. Diarsipkan 2014-09-08 di Wayback Machine. Jpnn.com
  26. ^ Dilema Lembaga Dewan Adat Solopos.com
  27. ^ Brimob dan TNI Amankan Keraton Solo Tribun Solo
  28. ^ Sekat Seng Keraton Dibongkar Media Indonesia
  29. ^ Peringatan Naik Takhta Raja Solo CNN Indonesia
  30. ^ a b c d e f g Silakan lihat buku: Dwi Ratna Nurhajarini, Restu Gunawan, Tugas Triwahyono (1999) Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Pranala luar


Didahului oleh:
Kasultanan Mataram
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
1742–1755
Diteruskan oleh:
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Didahului oleh:
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
1755–1757
Diteruskan oleh:
Kadipaten Mangkunagaran
Didahului oleh:
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
1757–1945
Diteruskan oleh:
Daerah Istimewa Surakarta