Masjid Laweyan
Masjid Laweyan | |
---|---|
Agama | |
Afiliasi | Islam |
Lokasi | |
Lokasi | Jalan Liris I, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta |
Negara | Indonesia |
Masjid Laweyan adalah salah satu masjid bersejarah yang ada di Kota Surakarta. Masjid ini sudah ada sebelum Masjid Agung Surakarta.[1] Masjid ini dibangun pada tahun 1546 pada masa Sultan Hadiwijaya, salah satu sultan Kesultanan Pajang, yang merupakan cikal bakal dari Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.[2]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Masjid ini menurut sejarah lisan berdiri pada tahun 1546 dan dianggap sebagai masjid tertua di Surakarta. Sebelum menjadi masjid bangunan ini adalah sebuah panggung tempat persembahyangan agama Hindu Jawa di bawah pengaruh Ki Ageng Beluk. Konon, pada waktu itu terjadilah pertemuan Ki Beluk dengan tokoh lain, yaitu Ki Ageng Henis. Nama yang disebut terakhir dikenal sebagai tokoh Islam. Tempat pemujaan itu kemudian diserahkan Ki Beluk kepada Ki Ageng Henis yang lantas dirubah fungsinya menjadi masjid. Versi lain mengatakan bahwa Ki Ageng Beluk telah masuk Islam sebelum menyerahkan tempat itu kepada Ki Ageng Henis.[3]
Karakteristik bangunan
[sunting | sunting sumber]Bentuk bangunan masjid yang mirip seperti kelenteng jawa, menjadi ciri khas Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk masjid pada umumnya. Ciri arsitektur jawa ditemukan pula pada bentuk atap masjid, bentuk atap menggunakan tajuk atau bersusun. Atap Masjid Laweyan terdiri atas dua bagian yang bersusun. Dinding masjid Laweyan terbuat dari susunan batu bata dan semen. Penggunaan batu bata sebagai bahan dinding, baru digunakan masyarakat sekitar tahun 1800. Sebelum dibangun seperti sekarang, bahan-bahan bangunan masjid, sebagian menggunakan kayu. Bukti bahwa dinding awal Masjid Laweyan adalah kayu, ditunjukkan dengan adanya rumah pelindung makam kuno terbuat dari kayu.[1]
Tata ruang Masjid Laweyan sendiri mengikuti tata ruang masjid jawa pada umumnya. Ruang masjid dibagi menjadi tiga bagian, yakni ruang induk (utama), serambi kanan (untuk kaum perempuan) dan serambi kiri (bagian perluasan masjid untuk tempat shalat berjamaah). Terdapat tiga buah lorong di bagian depan masjid sebagai jalur masuk ke dalam Masjid Laweyan. Tiga lorong itu merupakan simbol atau perlambang tiga jalan dalam upaya menuju tata kehidupan yang bijak yakni Islam, Iman dan Ihsan. Kekhasan lain yang terkait dengan Masjid Laweyan adalah sebuah mata air sumur yang berada di kompleks masjid. Konon, mata air ini muncul dari injakan kaki Sunan Kalijaga. Air sumur ini tidak pernah kering meskipun sedang dalam musim kemarau panjang.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Sejarah Masjid Laweyan di Solo[pranala nonaktif permanen]
- ^ a b Menelisik Sejarah Masjid Laweyan di Surakarta[pranala nonaktif permanen]
- ^ Putro, Zaenal Abidin Eko (2015-04-30). "DINAMIKA SANTRI-ABANGAN DI BALIK EKSISTENSI MASJID LAWEYAN, SURAKARTA". Harmoni. 14 (1): 80–95. ISSN 2502-8472.