Presiden Amerika Serikat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 7 Agustus 2022 08.52 oleh Esa Fadjri (bicara | kontrib) (menambahkan subbab Pemimpin Tertinggi pada bab Kewenangan Eksekutif)
Presiden Amerika Serikat
bahasa Inggris: President of the United States
Petahana
Joe Biden

sejak 20 Januari 2021
Pemerintah Federal Amerika Serikat
Kantor Staf Kepresidenan Amerikat Serikat
GelarMister President
(tidak resmi)[1][2]
The Honorable
(resmi)[3]
His Excellency[4][5]
(diplomatik, di luar AS)
JenisKepala Negara dan Kepala Pemerintahan
AnggotaKabinet

Dewan Kebijakan Domestik
Dewan Ekonomi Nasional

Dewan Keamanan Nasional
KediamanGedung Putih
Washington, D.C.
Ditunjuk oleh1. Dewan Elektoral,
2. Suksesi dari Wakil Presiden
Masa jabatan4 tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali
DibentukKonstitusi Amerika Serikat
4 Maret 1789
Pejabat pertamaGeorge Washington
Gaji$400,000
Situs webwww.whitehouse.gov
Amerika Serikat

Artikel ini adalah bagian dari seri:
Politik dan Ketatanegaraan
Amerika Serikat



Negara lain · Atlas
 Portal Pemerintah Amerika Serikat

Presiden Amerika Serikat (bahasa Inggris: President of the United States, disingkat POTUS) adalah kepala negara dan kepala pemerintahan dari negara Amerika Serikat. Seorang Presiden Amerika Serikat hanya boleh menjabat selama masa bakti yang masing-masing mempunyai lama sepanjang seharian. Pada mulanya, pelantikan diadakan setiap empat tahun pada tanggal 4 Maret dan diberhentikan saat itu juga.

Kekuasaan Presiden meningkat secara substansial[6] sejak dibentuk pada tahun 1789. Presiden memainkan peran yang kuat dalam kehidupan berpolitik di Amerika Serikat sejak abad ke 20 dengan meluasnya peran Presiden sejak era Franklin D. Roosevelt. Di zaman sekarang ini jabatan presiden juga dilihat sebagai figur paling berkuasa karena dipandang sebagai pemimpin negara superpower global yang tersisa[7][8][9][10]. Sebagai pemimpin negara dengan angka GDP terbesar, presiden memiliki kekuasaan dalam negeri dan luar negeri yang signifikan.

Bab II Konstitusi membentuk cabang eksekutif dari pemerintahan federal dan menempatkan kekuasaan eksekutif pada presiden. Kekuasaan yang diberikan berupa pelaksanaan hukum tingkat federal dan tanggung jawab untuk mengangkat menteri, kepala badan, duta besar dan pejabat-pejabat yang mengurusi hukum dan regulasi. Berdasarkan atas kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi, presiden juga dapat melakukan perjanjian dengan negara lain dan perjanjian tersebut diratifikasi oleh Kongres. Selain itu jabatan presiden di era modern ini bertanggung jawab atas kebijakan luar negeri AS dan bidang militer AS, terlebih AS merupakan negara dengan anggaran militer paling besar dan mempunyai gudang senjata nuklir terbesar kedua di dunia.

Presiden juga memainkan perang penting dalam bidang legislatif tingkat federal dan pembuatan kebijakan dalam negeri. Sebagai bagian dari sistem checks and balances dalam Bab I Pasal 7 Konstitusi memberikan presiden kewenangan untuk menandatangani atau mem-veto undang-undang. Karena Presiden AS dimasa modern ini juga dipandang sebagai pemimpin partai politik, banyak pembuatan kebijakan negara yang secara signifikan dibentuk dari hasil kampanye pemilunya dengan presiden mengambil peran aktif dalam mengenalkan kebijakan prioritas mereka kehadapan para anggota Kongres yang sering bergantung secara elektoral pada presiden[11]. Dalam beberapa dekade terakhir, presiden juga telah meningkatkan penggunaan perintah eksekutif, peraturan agensi, dan penunjukan yudisial untuk membentuk kebijakan domestik.

Setelah ratifikasi Amendemen Ke-22 pada Konstitusi Amerika Serikat mengubah masa bakti Presiden dan Wakil Presiden sehingga dimulai pada tengah hari tanggal 20 Januari, dimulai dengan masa bakti kedua Franklin Roosevelt pada tahun 1937 sampai sekarang.

Saat ini Joe Biden merupakan Presiden Amerika Serikat ke 46 dan mulai menjabat sejak tanggal 20 Januari 2021

Latar Belakang

Sejarah Pembentukan

Pada tahun 1776, 13 koloni yang tergabung dalam Kongres Kontinental ke-2, menyatakan kemerdekaan politik dari Inggris pada saat berlangsung Revolusi Amerika[12]. Negara baru yang akan dibentuk ini, terdiri dari koloni-koloni tersebut yang independen satu sama lain sebagai sebuah bangsa dan negara,[13] mengakui diperlukannya koordinasi yang erat dalam upaya mereka melawan Inggris,[14] berkeinginan jauh untuk menghindari apa pun yang menyerupai monarki.

Menyadari akan perlunya koordinasi yang dekat sebagai upaya untuk melawan Inggris[15], Kongres Kontinental memulai pembuatan konstitusi yang bersifat mengikat bersama negara-negara bagian tersebut. Banyak terjadi perdebatan panjang selama pembahasannya, termasuk masalah bagaimana rakyat diwakili dalam negara, tata cara pelaksanaan pemilihan umum dan bagaimana metode pemberian kekuasaan kepada pemerintah pusat[16]. Kongres akhirnya menyelesaikan pembuatan konsttitusi Konfederasi untuk membentuk sebuah negara perserikatan antara semua negara bagian pada bulan November 1777 dan mengirimkan draf konstitusi kepada setiap negara bagian untuk dirafitikasi[12].

Dibawah Konstitusi tersebut yang berlaku efektif sejak 1 Maret 1781, Kongres Konfederasi adalah otoritas politik pusat tanpa diberikan kewenagan dalam bidang legislatif. Kongres Kontinental dapat membuat resolusi, keputusan dan regulasi tetapi tidak dapat membuat undang-undang serta tidak dapat mengenakan pajak apa pun atau memberlakukan peraturan komersial lokal kepada warganya. Perancangan institusi ini terefleksi dari bagaimana para warga Amerika percaya bahwa sistem kerajaan dan sistem perwakilan Inggris seharusnya berfungsi dengan mendapatkan hormat dari para negara persemakmuran yang ada di Inggris. Negara-negara bagian berada di luar monarki mana pun dan menetapkan beberapa hak prerogatif kerajaan sebelumnya (misalnya, berperang, menerima duta besar, dll.) kepada Kongres; hak prerogatif yang tersisa diajukan ke dalam pemerintah negara bagian mereka masing-masing. Para anggota Kongres memilih seorang presiden Amerika Serikat di Majelis Kongres untuk memimpin pembahasannya sebagai moderator diskusi netral. Tidak berhubungan dengan dan sangat berbeda dari jabatan presiden Amerika Serikat saat ini, jabatan presiden pada masa itu adalah posisi seremonial sebagian besar tanpa banyak pengaruh[17].

Pada tahun 1783, Perjanjian Paris dibuat untuk menjamin kemerdekaan dari setiap bekas negara koloni. Dengan perdamaian di tangan mereka, masing-masing negara bagian beralih ke urusan internal mereka sendiri. Di tahun 1786 Amerika mengetahui bahwa batas negara mereka telah dikepung dan terjadi krisis ekonomi karena negara-negara tetangga mengagitasi persaingan perdagangan satu sama lain. Mereka menyaksikan mata uang keras mereka mengalir ke pasar luar negeri untuk membayar impor, perdagangan Mediterania mereka dimangsa oleh bajak laut Afrika Utara, dan utang Perang Revolusi yang dibiayai asing yang belum dibayar dan bunga yang bertambah ditambah lagi dengan bayang-bayang akan terjadinya kerusuhan sipil dan politik.

Setelah resolusi yang mengatur penyelesaian perselisihan dagang dan perikanan antara Negara Bagian Virginia dan Maryland yang ditandatangani pada Konferensi Mount Vernon tahun 1785. Virginia memanggil semua negara bagian untuk ikut dalam konferensi perdagangan yang dilaksanakan pada bulan September 1786 di Annapolis, Maryland. Konferensi tersebut bertujuan untuk menyelesaikan antagonisme perdagangan antar negara bagian yang lebih jauh. Konferensi tersebut pada akhirnya gagal akibat sedikit perwakilan negara bagian yang hadir karena adanya kecurigaan antara negara-negara bagian. Akibatnya Alexander Hamilton memimpin para delegasi Maryland untuk mengadakan sebuah Konvensi untuk menawarkan revisi dari Konstitusi Kontinental yang akan diadakan pada musim semi berikutnya di Philadelphia. Prospek dari konvensi ini masih tidak jelas sampai James Madison dan Edmund Randolph berhasil memastikan kehadiran George Washington ke Philadelphia sebagai delegasi untuk Virginia[18].

Ketika Konvensi Konstitusi bersidang pada bulan Mei 1787, 12 delegasi negara hadir (Negara Bagian Rhode Island tidak mengirimkan delegasinya) membawa serta akumulasi pengalaman atas serangkaian pengaturan kelembagaan yang beragam antara cabang legislatif dan eksekutif dari dalam pemerintah negara bagian masing-masing. Sebagian besar negara bagian mempertahankan eksekutif yang lemah tanpa hak veto atau penunjukan, dipilih setiap tahun oleh legislatif untuk satu periode saja, berbagi kekuasaan dengan dewan eksekutif, dan dilawan oleh legislatif yang kuat. New York menawarkan pengecualian terbesar, memiliki gubernur kesatuan yang kuat dengan hak veto dan kekuasaan penunjukan yang dipilih untuk masa jabatan tiga tahun, dan memenuhi syarat untuk pemilihan kembali untuk jumlah masa jabatan yang tidak terbatas sesudahnya. Melalui negosiasi tertutup di Philadelphia, kepresidenan yang dibingkai dalam Konstitusi AS muncul.

Perkembangan

George Washington,Presiden Pertama AS

Sebagai Presiden Amerika Serikat yang pertama, George Washington membentuk banyak aturan yang akan menjadi patokan utama dalam jabatan presiden[19]. Keputusannya untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah menjabat selama dua periode membantu mengatasi rasa takut akan berubahnya bentuk negara menjadi kerajaan[20], dan menyebabkan timbulnya sebuah preseden masa jabatan presiden dua periode untuk orang yang sama yang berlangsung sampai tahun 1940 dan kemudian diratifikasi dalam amandemen kedua puluh lima. Dengan berakhirnya masa jabatan Washington banyak partai politik didirikan[21], ditandai dengan John Adams mengalahkan Thomas Jefferson pada tahun 1796 yang diakui sebagai pilpres pertama yang sebenarnya[22]. Setelah Jefferson mengalahkan Adams di tahun 1800 dan presiden seterusnya yang berasal dari Virginia James Madison dan James Monroe tetap menjabat selama dua periode yang akhirnya mendominasi politik bangsa selama Era Perasaan Baik sampai putra Adams, John Quincy Adams memenangkan pemilihan pada tahun 1824 setelah Partai Demokrat-Republik terpecah.

Pemilihan Andrew Jackson pada tahun 1828 merupakan sebuah tonggak baru karena Jackson bukan merupakan elit politik dari Virginia dan Massachusetts yang menjabat sebagai presiden setelah 40 tahun Amerika Serikat dibentuk[23]. Demokrasi Jacksonian terlihat menguatkan kepresidenan atas biaya dari Kongres, sambil memperluas partisipasi publik saat negara Amerika Serikat berkembang pesat ke arah bagian barat amerika. Bagaimanapun penerusnya Martin Van Buren menjadi tidak disukai masyarakat setelah kasus Kepanikan Tahun 1837[24] dan kematian dari William Henry Harrison dan kurang harmonisnya hubungan antara Kongres dengan Presiden John Tyler menyebabkan melemahnya jabatan presiden[25]. Termasuk Van Buren, dalam 24 tahun antara 1837 dan 1861, enam masa jabatan presiden akan diisi oleh delapan orang yang berbeda, tanpa ada yang memenangkan pemilihan ulang. Senat memainkan peran penting selama periode ini, dengan Triumvirat Hebat Henry Clay, Daniel Webster, dan John C. Calhoun memainkan peran kunci dalam membentuk kebijakan nasional pada tahun 1830-an dan 1840-an sampai perdebatan tentang perbudakan mulai memisahkan negara pada tahun 1850-an.[26][27].

Abraham Lincoln, yang diyakini para sejarawan sebagai salah satu Presiden Terhebat Amerika Serikat

Kepemimpinan Abraham Lincoln selama Perang Saudara Amerika membuat para sejarawan mengatakan bahwa ia adalah salah satu dari Presiden Terhebat Bangsa Amerika Serikat[A]. Keadaan Negara yang sedang dalam berperang dan Kongres yang didominasi oleh para politikus dari Partai Republik menjadikan jabatan presiden sangat berkuasa[28][29] dan terpilihnya Lincoln pada tahun 1864 merupakan kejadian terpilihnya pertama kali seorang presiden petahana sejak terakhir kali terjadi pada waktu terpilihnya Jackson di tahun 1832. Setelah Lincoln dibunuh pada tahun 1965, penerusnya Andrew Johnson kehilangan semua dukungan politiknya[30] dan hampir dimakzulkan dari jabatannya[31] dengan Kongres masih berkuasa selama masa kepresidenan Jenderal Perang Saudara Ulysses S. Grant. Setelah akhir dari masa-masa Rekonstruksi, Grover Cleveland menjadi politikus Partai Demokrat pertama yang terpilih sejak Perang Saudara, mencalonkan diri pada tiga pilpres (1884,1888, 1892) dan menang dua kali. Pada tahun 1900 William Mckinley menjadi presiden petahana yang terpilih kembali sejak terakhir kalinya dipegang oleh Grant pada tahun 1872.

Setelah terbunuhnya McKinley, Theodore Roosevelt menjadi figur dominan dalam perpolitikan Amerika Serikat[32]. Para sejarawan percaya Theodore Roosevelt mengubah sistem politik dengan menguatkan jabatan presiden[33], dengan beberapa pencapaian kunci termasuk memecah kepercayaan, konservasionisme, reformasi tenaga kerja, menjadikan karakter pribadi sama pentingnya dengan masalah, dan memilih penggantinya, William Howard Taft. Dekade berikutnya, Woodrow Wilson memimpin negara menuju kemenangan selama Perang Dunia I, meskipun proposal Wilson untuk Liga Bangsa-Bangsa ditolak oleh Senat. Warren Harding, yang disukai oleh rakyat, akan melihat warisannya ternoda oleh skandal, terutama Kubah Teko, dan Herbert Hoover dengan cepat menjadi sangat tidak disukai setelah gagal meringankan Depresi Hebat[34].

Era Kepresidenan Imperial

Franklin Delano Roosevelt, satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang terpilih selama 4 Periode masa jabatan

Terpilihnya Franklin D. Roosevelt dalam pilpres tahun 1932 menjadi titik tonggak dengan apa yang dinamakan oleh para sejarawan sebagai Kepresidenan Imperial[35]. Didukung dengan Kongres yang dikuasai oleh mayoritas Partai Demokrat dan dukungan masyarakat untuk melakukan perubahan, kebijakan Kesepakatan Baru yang dibuat Roosevelt semakin menjangkau ranah pemerintahan federal termasuk badan-badan yang ada dibawahnya[36]. Staf Kepresidenan yang sebelumnya hanya berjumlah sedikit pada era Roosevelt ditambah jumlah anggotanya tanpa perlu adanya konfirmasi dari Senat[36]. Terpilihnya Roosevelt untuk masa jabatan periode ketiga dan keempat yang belum pernah terjadi sebelumnya ditambah dengan kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II serta pertumbuhan ekonomi negara yang meningkat pesar menjadi salah satu faktor amerika menjadi tonggak kepemimpinan dunia[36]. Presiden penerusnya, Harry Truman dan Dwight Eisenhower yang menjabat selama dua periode berturut-turut dimasa Perang Dingin menjadikan jabatan presiden sebagai pemimpin dunia bebas, sedangkan terpilihnya John F. Kennedy yang masih muda dan disukai masyarakat dengan mengambil keuntungan dari bangkitnya dunia pertelevisian di tahun 1960-an[37][38]

Setelah kalahnya Lyndon B. Johnson akibat Perang Vietnam dan mundurnya Richard Nixon karena Skandal Watergate, Kongres AS memberlakukan sejumlah agenda reformasi yang bertujuan untuk mempertegas kembali posisi Kongres[39][40]. Agenda Reformasi tersebut termasuk Resolusi Kewenangan Perang dan Undang-undang Kontrol Penahanan dan Anggaran Kongres pada tahun 1974 yang terliihat menguatkan kekuasaan fiskal Kongres[41]. Pada tahun 1976 Presiden Gerald Ford mengakui bahwa "bandul sejarah" telah berayun kepada Kongres yang mungkin bisa menyebabkan terjadinya sebuah erosi yang menganggu kemampuannya untuk memerintah[42]. Ford dan Jimmy Carter akhirnya gagal untuk terpilih kembali menjadi Presiden. Ronald Reagan yang sebelumnya merupakan seorang aktor sebelum terjun ke dunia politik, menggunakan kemampuannya sebagai seorang komunikator untuk membentuk ulang kebijakan Agenda Amerika Serikat yang berbeda jauh dengan konsep kebijakan Kesepakatan Baru yang cenderung mengarah kepada ideologi konservatif[43][44]. Sementara itu Wakil Presidennya George H. W. Bush menjadi wakil presiden pertama yang terpilih menjadi presiden sejak terakhir kali terjadi pada tahun 1836[45].

Dengan berakhirnya Perang Dingin dan Amerika Serikat menjadi global power tunggal[46], Bill Clinton, George W. Bush, and Barack Obama menjadi presiden yang menjabat selama dua masa jabatan berturut-turut. Sementara Kongres dan Bangsa Amerika Serikat menjadi lebih terpolarisasi dalam berpolitik, terlebih pada pemilu sela tahun 1994 partai Republik berhasil mengambil alih mayoritas di DPR untuk pertama kalinya setelah 40 tahun dan bangkitnya filibuster dalam Senat beberapa dekade terakhir ini[47]. Maka dari itu presiden dengan demikian semakin fokus pada perintah eksekutif, peraturan lembaga, dan penunjukan yudisial untuk menerapkan kebijakan-kebijakan utama, dengan mengorbankan undang-undang dan kekuasaan kongres[48]. Pemilihan presiden di abad ke-21 telah mencerminkan polarisasi yang terus berlanjut ini, dengan tidak ada calon presiden kecuali Obama pada tahun 2008 yang memenangkan lebih dari lima persen suara populer dan dua presiden— George W. Bush dan Donald Trump — menang di Dewan Elektoral tetapi kalah dalam suara populer[B]. Clinton dan Trump menghadapi upaya pemakzulan dari Kongres yang dipimpin oleh oposisi, tetapi upaya pemakzulan tersebut tidak memiliki efek jangka panjang pada posisi politik mereka[49][50].

Kritikan-kritikan Akibat Evolusi Jabatan Presiden

Para Pendiri Bangsa mengharapkan Kongres untuk menjadi cabang pemerintah federal yang lebih dominan; mereka tidak mengharapkan bidang eksekutif yang dominan[51]. Bagaimanapun kekuasaan presiden bergant-ganti seiring waktu yang menghasilkan klaim bahwa kepresidenan di era modern telah menjadi terlalu kuat[52][53], tidak terkendali, tidak seimbang[54], dan sifatnya "monarkis"[55]. Pada tahun 2008 Profesor Dana D. Nelson menyatakan keyakinannya bahwa presiden selama tiga puluh tahun sebelumnya bekerja menuju "kontrol presiden yang tidak terbagi atas cabang eksekutif dan badan-badannya"[56]. Ia mengkritik para pendukung teori eksekutif Kesatuan karena memperluas "banyak kekuasaan eksekutif yang tidak dapat dikendalikan—seperti perintah eksekutif, dekrit, memorandum, proklamasi, arahan keamanan nasional, dan pernyataan penandatanganan legislatif—yang telah memungkinkan presiden untuk memberlakukan banyak kebijakan asing dan domestik. kebijakan tanpa perlu bantuan, campur tangan atau persetujuan dari Kongres"[56]. Bill Wilson, anggota dewan American for Limited Government, berpendapat bahwa perluasan kewenangan kepresidenan adalah "ancaman terbesar yang pernah ada terhadap kebebasan individu dan pemerintahan demokratis"[57].

Kewenangan Eksekutif

Presiden merupakan kepala cabang eksekutif pemerintahan federal dan secara hukum telah diikat untuk memperhatikan dan mengawasi bagaimana undang-undang yang telah ada secara implementasi telah dilaksanakan[58]. Cabang eksekutif mempunyai lebih dari empat juta pegawai termasuk para tentara angkatan bersenjata amerika serikat.[59]

Urusan Administratif Dalam Negeri

Presiden bisa membuat aturan-aturan tingkat federal. Para duta besar, menteri-menteri dan pejabat-pejabat federal lainnya semuanya diangkat oleh presiden dengan persetujuan dari Senat. Ketika pada saat akan dilakukan pengangkatan pejabat federal ternyata Senat sedang dalam masa reses, maka presiden akan melakukan "pengangkatan reses"[60]. Pengangkatan reses seorang pejabat bersifat sementara dan akan berakhir pada saat masa sidang Senat yang akan datang.

Kekuasaan presiden untuk memberhentikan para pejabat telah lama menjadi isu kontroversial. Pada umumnya seorang presiden mungkin dapat memberhentikan para pejabatnya atas keinginannya sendiri[61]. Tetapi Kongres dapat membatasi hal tersebut dan membatasi kewenangan presiden dalam memberhentikan para pejabat tinggi maupun pejabat eksekutif rendah tertentu melalui undang-undang[62].

Untuk mengatur pertumbuhan biro federal, presiden secara bertahap akan mengelilingi dirinya dengan berbagai lapisan staf yang ada dalam Kantor Staf Kepresidenan Amerika Serikat.

Presiden juga memiliki kewenangan untuk mengatur proses berjalannya pemerintahan federal dengan mengeluarkan berbagai proklamasi presiden dan perintah eksekutif. Ketika presiden secara sah menjalankan salah satu tanggung jawab presiden yang diberikan secara konstitusional, ruang lingkup kewenangan ini bersifat luas[63]. Meski begitu, arahan ini tunduk pada tinjauan yudisial oleh pengadilan federal AS, yang dapat menemukan bahwa mereka tidak konstitusional. Selain itu, Kongres dapat membatalkan perintah eksekutif melalui undang-undang (misalnya, Undang-Undang Tinjauan Kongres).

Urusan Luar Negeri

Presiden John F. Kennedy bersama para Duta Besar di tahun 1961

Bab II Pasal 3 Ayat 4 Konstitusi menyatakan bahwa presiden menerima duta-duta besar negara sahabat. Hal ini dikenal dengan nama Klause Resepsi telah diinterpretasikan sebagai sebuah makna tersirat bahwa presiden memiliki kekuasaan yang luas atas masalah kebijakan luar negeri[64] Konstitusi juga memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengangkat para duta besar dan mengajukan atau bernegosiasi untuk mengadakan perjanjian dengan negara lain. Perjanjian tersebut, setelah menerima saran dan persetujuan dari Senat AS (dengan suara mayoritas dua pertiga), menjadi mengikat dengan kekuatan hukum federal.

Urusan luar negeri selalu menjadi elemen penting dalam tanggung jawab presiden terlebih dengan adanya kemajuan teknologi sejak adopsi Konstitusi telah meningkatkan kekuasaan presiden. Di mana sebelumnya para duta besar diberi kekuasaan yang signifikan untuk bernegosiasi secara independen atas nama Amerika Serikat, presiden sekarang secara rutin bertemu langsung dengan para pemimpin negara asing.

Pemimpin Tertinggi Angkatan Bersenjata

Abraham Lincoln, sukses mempertahankan Amerika Serikat dalam Perang Saudara

Kewenangan eksekutif yang paling penting adalah sebagai Pemimpin Tertinggi Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Kewenangan mendeklarasikan perang secara konstitusi berada pada Kongres, tetapi presiden memiliki tanggung jawab penuh untuk mengatur dan menempatkan para tentaranya. Tingkat kewenangan yang tepat bahwa Konstitusi memberikan kekuasaan tertinggi kepada presiden sebagai pemimpin tertinggi telah menjadi subjek perdebatan sepanjang sejarah dengan Kongres beberapa kali memberikan presiden kewenangan yang besar atas hal tersebut, dan banyak terjadi upaya untuk membatasi kewenangan tersebut[65].

Dalam Era Modern sesuai dengan Resolusi Kewenangan Perang, Kongres harus mengesahkan penempatan tentara yang jangka waktunya lebih dari 60 hari, meskipun proses itu bergantung pada mekanisme pemicu yang belum pernah digunakan, menjadikannya tidak efektif[66] Sebagai tambahan Kongres akan mengecek penggunaan kewenangan militer presiden melalui kontrol atas pengeluaran belanja militer dan regulasi-regulasi yang berkaitan dengan itu. Dalam sejarah Amerika Serikat, Kebanyakan Presiden AS yang memulai proses perang[67][68], tetapi banyak kritikan yang bahwa telah terjadi beberapa konflik di mana presiden tidak mendapatkan deklarasi resmi, termasuk ketika Theodore Roosevelt memindahkan tentara ke Panama pada tahun 1903[67], Perang Korea[67], Perang Vietnam[67], invasi ke Grenada pada tahun 1983[69] dan Panama pada tahun 1989[70].

Jumlah detail tentara yang dipegang presiden pada waktu perang bervariasi[71]. George Washington Presiden AS pertama membentuk subordinasi militer yang mapan di bawah otoritas sipil. Pada tahun 1794 Washington menggunakan kewenangannya untuk mengumpul 12.000 milisi untuk memadamkan Pemberontakan Whiskey. Sejarawan mencatat bahwa pada masa itu pertama kalinya seorang presiden memimpin pasukan langsung dalam perang, meskipun James Madison pernah mengambil alih unit artileri dalam mempertahankan Ibukota Washington D.C. pada perang tahun 1812[72]. Abraham Lincoln juga terlibat dalam seluruh strategi dan pelaksanaan sehari-hari selama Perang Sipil Amerika (Sejarawan memberikan pujian atas insting strategi dan kemampuan Lincoln dalam memilih perwira perang seperti Ulysses S. Grant[73]). Komando operasional Angkatan Bersenjata saat ini didelegasikan kepada Departemen Pertahanan dan biasanya dilaksanakan melalui menteri pertahanan. Ketua Kepala Staf Gabungan dan Komando Tempur membantu operasi sebagaimana digariskan dalam Rencana Komando Terpadu (UCP) yang disetujui presiden[74][75][76].

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Nearly all scholars rank Lincoln among the nation's top three presidents, with many placing him first. See Historical rankings of presidents of the United States for a collection of survey results.
  2. ^ See List of United States presidential elections by popular vote margin.

Referensi

  1. ^ "How To Address The President; He Is Not Your Excellency Or Your Honor, But Mr. President". The New York Times. 1891-08-02. 
  2. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-26. Diakses tanggal 2013-06-05. 
  3. ^ "Models of Address and Salutation". Ita.doc.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-25. Diakses tanggal 2010-09-04. 
  4. ^ The White House Office of the Press Secretary (September 2, 2010). "Remarks by President Obama, President Mubarak, His Majesty King Abdullah, Prime Minister Netanyahu and President Abbas Before Working Dinner". WhiteHouse.gov. Diakses tanggal July 19, 2011. 
  5. ^ "Exchange of Letters". Permanent Observer Mission of Palestine to the United Nations. 1978. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-25. Diakses tanggal July 19, 2011. 
  6. ^ Ford, Henry Jones (1908). "The Influence of State Politics in Expanding Federal Power". Proceedings of the American Political Science Association. 5: 53–63. doi:10.2307/3038511. JSTOR 3038511. 
  7. ^ Von Drehle, David (February 2, 2017). "Is Steve Bannon the Second Most Powerful Man in the World?". Time. 
  8. ^ "Who should be the world's most powerful person?". The Guardian. London. January 3, 2008. 
  9. ^ Meacham, Jon (December 20, 2008). "Meacham: The History of Power". Newsweek. Diakses tanggal September 4, 2010. 
  10. ^ Zakaria, Fareed (December 20, 2008). "The Newsweek 50: Barack Obama". Newsweek. Diakses tanggal September 4, 2010. 
  11. ^ Pfiffner, J. P. (1988). "The President's Legislative Agenda". Annals of the American Academy of Political and Social Science. 499: 22–35. doi:10.1177/0002716288499001002. 
  12. ^ a b Milkis, Sidney M.; Nelson, Michael (2008). The American Presidency: Origins and Development (edisi ke-5th). Washington, D.C.: CQ Press. hlm. 1–25. ISBN 978-0-87289-336-8. 
  13. ^ Milkis, Sidney M.; Nelson, Michael (2008). The American Presidency: Origins and Development (edisi ke-5th). Washington, D.C.: CQ Press. hlm. 1–25. ISBN 0-87289-336-7. 
  14. ^ Kelly, Alfred H.; Harbison, Winfred A.; Belz, Herman (1991). The American Constitution: Its Origins and Development. I (edisi ke-7th). New York: W.W. Norton & Co. hlm. 76–81. ISBN 0-393-96056-0. 
  15. ^ Kelly, Alfred H.; Harbison, Winfred A.; Belz, Herman (1991). The American Constitution: Its Origins and Development. I (edisi ke-7th). New York: W.W. Norton & Co. hlm. 76–81. ISBN 978-0-393-96056-3. 
  16. ^ "Articles of Confederation, 1777–1781". Washington, D.C.: Office of the Historian, Bureau of Public Affairs, United States Department of State. Diakses tanggal January 20, 2019. [pranala nonaktif]
  17. ^ Ellis, Richard J. (1999). Founding the American Presidency. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield. hlm. 1. ISBN 0-8476-9499-2. 
  18. ^ Beeman, Richard (2009). Plain, Honest Men: The Making of the American ConstitutionPerlu mendaftar (gratis). New York: Random House. ISBN 978-0-8129-7684-7. 
  19. ^ Steven, Knott (October 4, 2016). "George Washington: Life in Brief". Miller Center (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal February 5, 2018. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  20. ^ Spalding, Matthew (February 5, 2007). "The Man Who Would Not Be King". The Heritage Foundation. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  21. ^ Feeling, John (February 15, 2016). "How the Rivalry Between Thomas Jefferson and Alexander Hamilton Changed History". Time. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  22. ^ NCC staff (November 4, 2019). "On This Day: The first bitter, contested presidential election takes place". National Constitution Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  23. ^ Walsh, Kenneth (August 20, 2008). "The Most Consequential Elections in History: Andrew Jackson and the Election of 1828". U.S. News & World Report. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  24. ^ Bomboy, Scott (December 5, 2017). "Martin Van Buren's legacy: Expert politician, mediocre president". National Constitution Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  25. ^ Freehling, William (October 4, 2016). "John Tyler: Impact and Legacy". University of Virginia, Miller Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  26. ^ Heidler, David; Heidler, Jeanne. "The Great Triumvirate". Essential Civil War Curriculum. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  27. ^ Winters, Michael Sean (August 4, 2017). "'Do not trust in princes': the limits of politics". National Catholic Reporter. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  28. ^ Weber, Jennifer (March 25, 2013). "Was Lincoln a Tyrant?". New York Times Opinionator. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  29. ^ Williams, Frank (April 1, 2011). "Lincoln's War Powers: Part Constitution, Part Trust". American Bar Association. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  30. ^ Varon, Elizabeth (October 4, 2016). "Andrew Johnson: Campaigns and Elections". University of Virginia, Miller Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  31. ^ NCC Staff (May 16, 2020). "The man whose impeachment vote saved Andrew Johnson". National Constitution Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  32. ^ Boissoneault, Lorraine (April 17, 2017). "The Debate Over Executive Orders Began With Teddy Roosevelt's Mad Passion for Conservation". Smithsonian Magazine (website). Diakses tanggal September 14, 2020. 
  33. ^ Posner, Eric (April 22, 2011). "The inevitability of the imperial presidency". The Washington Post. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  34. ^ Smith, Richard Norton; Walch, Timothy (Summer 2004). "The Ordeal of Herbert Hoover". Prologue Magazine. National Archives. 36 (2). 
  35. ^ Schlesinger, Arthur M. (Arthur Meier) (1973). The imperial Presidency. Internet Archive. Boston, Houghton Mifflin. ISBN 978-0-395-17713-6. 
  36. ^ a b c Yoo, John (2018-02-14). "Franklin Roosevelt and Presidential Power" (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. 
  37. ^ Magazine, Smithsonian; Eschner, Kat. "A Year Before His Presidential Debate, JFK Foresaw How TV Would Change Politics". Smithsonian Magazine (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-07. 
  38. ^ "See How JFK Created a Presidency for the Television Age". Time (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-07. 
  39. ^ Wallach, Philip (April 26, 2018). "When Congress won the American people's respect: Watergate". LegBranch.org. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  40. ^ Berger, Sam; Tausanovitch, Alex (July 30, 2018). "Lessons From Watergate". Center for American Progress. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  41. ^ Glass, Andrew (July 12, 2017). "Budget and Impoundment Control Act becomes law, July 12, 1974". Politico. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  42. ^ Shabecoff, Philip (March 28, 1976). "Presidency Is Found Weaker Under Ford". The New York Times. Diakses tanggal September 9, 2020. 
  43. ^ Edwards, Lee (February 5, 2018). "What Made Reagan a Truly Great Communicator". The Heritage Foundation. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  44. ^ Brands, H. W. "What Reagan Learned from FDR". History News Network. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  45. ^ Schmuhl, Robert (April 26, 1992). "Bush Enjoyed the Martin Van Buren Comparisons in '88; He Won't". Chicago Tribune. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  46. ^ Sorensen, Theodore (Fall 1992). "America's First Post-Cold War President". Foreign Affairs. 71 (4): 13–30. doi:10.2307/20045307. JSTOR 20045307. 
  47. ^ Barber, Michael; McCarty, Nolan (2013), Causes and Consequences of Polarization, American Political Science Association Task Force on Negotiating Agreement in Politics report, at 19–20, 37–38.
  48. ^ Rudalevige, Andrew (April 1, 2014). "The Letter of the Law: Administrative Discretion and Obama's Domestic Unilateralism". The Forum. 12 (1): 29–59. doi:10.1515/for-2014-0023. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  49. ^ DeSilver, Drew (October 3, 2019). "Clinton's impeachment barely dented his public support, and it turned off many Americans". Pew Research Center. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  50. ^ Olsen, Henry (January 6, 2020). "Trump's approval rating has already recovered from its impeachment slump". The Washington Post. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  51. ^ Kakutani, Michiko (July 6, 2007). "Unchecked and Unbalanced". The New York Times. Diakses tanggal November 9, 2009. the founding fathers had "scant affection for strong executives" like England's king, and ... Bush White House's claims are rooted in ideas "about the 'divine' right of kings" ... and that certainly did not find their way into our founding documents, the 1776 Declaration of Independence and the Constitution of 1787. 
  52. ^ Sirota, David (August 22, 2008). "The Conquest of Presidentialism". HuffPost. Diakses tanggal September 20, 2009. 
  53. ^ Schimke, David (September–October 2008). "Presidential Power to the People—Author Dana D. Nelson on why democracy demands that the next President be taken down a notch". Utne Reader. Diakses tanggal September 20, 2009. 
  54. ^ Linker, Ross (September 27, 2007). "Critical of Presidency, Prof. Ginsberg and Crenson unite". The Johns-Hopkins Newsletter. Diakses tanggal November 9, 2017. Presidents slowly but surely gain more and more power with both the public at large and other political institutions doing nothing to prevent it. 
  55. ^ Kakutani, Michiko (July 6, 2007). "Unchecked and Unbalanced". The New York Times. Diakses tanggal November 9, 2009. Unchecked and Unbalanced: Presidential Power in a Time of Terror By Frederick A. O. Schwarz Jr. and Aziz Z. Huq (authors) 
  56. ^ a b Nelson, Dana D. (October 11, 2008). "Opinion—The 'unitary executive' question—What do McCain and Obama think of the concept?". Los Angeles Times. Diakses tanggal September 21, 2009. 
  57. ^ Shane, Scott (September 25, 2009). "A Critic Finds Obama Policies a Perfect Target". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. There is the small, minority-owned firm with deep ties to President Obama's Chicago backers, made eligible by the Federal Reserve to handle potentially lucrative credit deals. "I want to know how these firms are picked and who picked them," Mr. Wilson, the group's president, tells his eager researchers. 
  58. ^ "Article II, Section 3, U.S. Constitution". Legal Information Institute. 2012. Diakses tanggal August 7, 2012. 
  59. ^ "Executive Branch". whitehouse.gov. April 2015. Diakses tanggal January 24, 2020 – via National Archives. 
  60. ^ NLRB v. Noel Canning, 572 U.S. __ (2014).
  61. ^ Shurtleff v. United States, 189 U.S. 311 (1903); Myers v. United States, 272 U.S. 52 (1926).
  62. ^ Humphrey's Executor v. United States, 295 U.S. 602 (1935) and Morrison v. Olson, 487 U.S. 654 (1988), respectively.
  63. ^ Gaziano, Todd (February 21, 2001). "Executive Summary: The Use and Abuse of Executive Orders and Other Presidential Directives". Washington, D.C.: The Heritage Foundation. Diakses tanggal January 23, 2018. 
  64. ^ United States v. Curtiss-Wright Export Corp., 299 U.S. 304 (1936), characterized the President as the "sole organ of the nation in its external relations," an interpretation criticized by Louis Fisher of the Library of Congress.
  65. ^ Ramsey, Michael; Vladeck, Stephen. "Common Interpretation: Commander in Chief Clause". National Constitution Center Educational Resources (some internal navigation required). National Constitution Center. Diakses tanggal May 23, 2017. 
  66. ^ Christopher, James A.; Baker, III (July 8, 2008). "The National War Powers Commission Report". The Miller Center of Public Affairs at the University of Virginia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal November 26, 2010. Diakses tanggal December 15, 2010. No clear mechanism or requirement exists today for the president and Congress to consult. The War Powers Resolution of 1973 contains only vague consultation requirements. Instead, it relies on reporting requirements that, if triggered, begin the clock running for Congress to approve the particular armed conflict. By the terms of the 1973 Resolution, however, Congress need not act to disapprove the conflict; the cessation of all hostilities is required in 60 to 90 days merely if Congress fails to act. Many have criticized this aspect of the Resolution as unwise and unconstitutional, and no president in the past 35 years has filed a report "pursuant" to these triggering provisions. 
  67. ^ a b c d "The Law: The President's War Powers". Time. June 1, 1970. Diarsipkan dari versi asli tanggal January 7, 2008. Diakses tanggal September 28, 2009. 
  68. ^ Mitchell, Alison (May 2, 1999). "The World; Only Congress Can Declare War. Really. It's True". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. Presidents have sent forces abroad more than 100 times; Congress has declared war only five times: the War of 1812, the Mexican War, the Spanish–American War, World War I and World War II. 
  69. ^ Mitchell, Alison (May 2, 1999). "The World; Only Congress Can Declare War. Really. It's True". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. President Reagan told Congress of the invasion of Grenada two hours after he had ordered the landing. He told Congressional leaders of the bombing of Libya while the aircraft were on their way. 
  70. ^ Gordon, Michael R. (December 20, 1990). "U.S. troops move in Panama in effort to seize Noriega; gunfire is heard in capital". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. It was not clear whether the White House consulted with Congressional leaders about the military action, or notified them in advance. Thomas S. Foley, the Speaker of the House, said on Tuesday night that he had not been alerted by the Administration. 
  71. ^ Andrew J. Polsky, Elusive Victories: The American Presidency at War (Oxford University Press, 2012) online review
  72. ^ "George Washington and the Evolution of the American Commander in Chief". The Colonial Williamsburg Foundation. 
  73. ^ James M. McPherson, Tried by War: Abraham Lincoln As Commander in Chief (2009)
  74. ^ "DOD Releases Unified Command Plan 2011". United States Department of Defense. April 8, 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal May 13, 2011. Diakses tanggal February 25, 2013. 
  75. ^ 10 U.S.C. § 164
  76. ^ Joint Chiefs of Staff. About the Joint Chiefs of Staff. Retrieved February 25, 2013.

Pranala luar