Lompat ke isi

Habib Muda Seunagan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Habib Muda Seunagan atau Abu Peuleukung adalah seorang ulama dan pejuang yang berasal dari daerah Seunagan, Nagan Raya, Aceh. Nama lengkapnya adalah As-Sayid Al-Habib Muhammad Muhyiddin bin Habib Sayid Muhammad Yasin bin Al Qutb Wujud Habib Abdurrahim bin Sayid Abdul Qadir Al-Qaadiry Al-Jailani.[1] Ia hidup pada masa penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan Indonesia. Selain di ladang politik, ia juga seorang ulama lintas generasi yang berperan di Aceh Barat, Gayo Lues, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan bagian Aceh lainnya. Ia adalah seorang mursyid utama Tarekat Syattariah di Seunagan yang masih berkembang hingga kini. Salah satu peninggalannya yang sampai saat ini dinikmati masyarakat Nagan Raya yaitu saluran irigasi untuk sawah petani diberi nama "Lhung Abu" sepanjang 25 kilometer.[2]

Kelahiran dan nasabnya

Tidak ada yang mengetahui secara pasti mengenai kapan Habib Muda Seunagan lahir. Walaupun ada beberapa penulis yang memperkirakan beliau lahir pada tahun 1860 tapi penjelasan mengenai alasan pemilihan tahun tersebut tidak pernah disebutkan. Bahkan keluarga juga tidak mengetahui tahun pasti kelahirannya. Lokasi kelahirannya adalah di Desa Krueng Kulu, Kemukiman Blang Ara, Kecamatan Seunagan Timur. Nama lengkap dan nasab keturunannya adalah Habib Muhammad Muhyiddin (Abu Habib Muda Seunagan) bin Habib Sayid Muhammad Yasin bin Qutb Wujud Habib Abdurrahim bin Sayid Abdul Qadir Al-Qadiri Al-Jailani. Nama yang disebut terakhir diyakini memiliki hubungan hingga ke Syeikh Abdul Qadir Al Jailani bin Musa bin Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdullah bin Musa al-Jun bin Abdullah bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali - Fatimah az-Zahra binti Sayidina Mustafa Muhammad SAW.[3]

Masyarakat di Nagan Raya meyakini ketika Habib Muda Seunagan meninggal, ia berumur seratus tahun. Jika perkiraan ini benar maka berarti beliau lahir sekitar tahun 1870-an atau tiga tahun sebelum Belanda memulai agresinya ke Aceh. Salah satu penulis Belanda, Zentgraaff, mengatakan pada tahun 1917 meletus perang antara pasukan Belanda dengan pejuang di Aceh Barat yang dipimpin oleh Teungku Puteh yang tak lain adalah Habib Muda Seunagan.[3]

Istri dan anak keturunannya

Semasa hidupnya Habib Muda Seunagan memiliki tiga orang istri yaitu: Mak Bulkis, Mak Balee, dan Mak Blang Araa.[butuh rujukan] Tidak ada yang tahu nama asli mereka karena pada masa itu banyak orang dikenal dengan nama tempat lahir atau tempat tinggalnya. Berikut ini adalah nama istri dan anak keturunannya:

  1. Mak Bulkis
    • Aja Bulkis (meninggal waktu kecil).
  2. Siti Hawa (Mak Balee)
    • Sayed Tuha (meninggal waktu balita) dimakamkan di Meugat Meh.
    • Habib Quraish, dikenal juga dengan nama Abu Habib Bustamam dan meneruskan posisi sebagai mursyid. Ia wafat tahun 1995, beliau menikah dengan Wan Makdon binti Habib Hasyim tanpa meninggalkan keturunan.
    • Aja Nih Kalimah. Menikah dengan Teuku habeb Tjut Banta dan melahirkan dua orang anak yaitu Teungku Syahminan Basny dan Teungku Mustafa Kamal. Aja Nih Kalimah wafat beberapa tahun setelah Indonesia merdeka.
    • Sayyid Syazali menikah dengan Cutwan Keumalawati bin Habib Usman, Ia memiliki dua orang anak Aja Budi dan Sayyid Jamalul Ade. Ia dan anak-anaknya wafat pada usia muda.
    • Aja Aji Bernun atau sering dipanggil dengan Mak Aji. Ia memiliki tiga orang anak yaitu: H. Teungku Kamaruzzaman Yus, H. Teungku Marsyul Alam, dan Teungku Masyumi.
    • Habib Puteh atau sering dipanggil dengan Abu Padang. Ia memiliki empat orang anak yaitu: Sayyid Jailani, Hj. Wan Ajani, Sayyid Mahdi, dan Sayyid Kamalul Yakin.
    • Cut Wan Zainab atau sering dipanggil dengan Mak Rumoh Rayeuk karena ia tinggal bersama ayahnya. Ia memiliki 11 orang anak yaitu Teuku Zulkarnaini, Cut Kemala Iman, Hj. Cut Meurahwan, Hj. Cut Merdom, Hj. Cut Intan Mala, Ir. Cut Intan Sawadeh, T. Jamalul Alamuddin, T. Mizan Sya'rani, T. Pelita Alam (meninggal ketika masih kecil), T. Raja Keumangan, dan Cut Syarifah Aja Burhani.
    • Sayed Ataf (meninggal pada usia kanak-kanak) di makamkan di Puloe Ie Rambong Cut.
    • Habib Qudrat atau Abu Qudrat. Sejak tahun 1995 menjadi pemegang amanah keluarga Habib Muda Seunagan dan sekaligus menjadi mursyid. Ia menikah dengan Syarifah Rasyidah binti Sayyid Muhammad Assegaf, memiliki tujuh orang anak yaitu: Syarifah Jannatun, Hj. Syarifah Nurmala, Sayyid Zainal Abidin, Sayyid Kamaruddin, Syarifah Fauziana, Sayyid Irfan Mihrab, dan Syarifah Meliza.
  3. Mak Blang Araa (binti Habib Muhammad Amin bin Habib Abdurrahim)
    • Cutwan Peunawa atau sering dipanggil dengan Mak Nih. Ia memiliki tujuh orang anak yaitu: Teungku Mustafa, Teungku Amirin Mukminin, Hj. Teungku Cut Wan, Tgk. Hasbi Daud, Teungku Jamalul Hakim, Teungku Saiful, dan Hj. Teungku Aini

Silsilah Tarekat Syattariah Habib Seunagan

  1. Rasulullah Muhammad SAW
  2. Sayyidina Ali
  3. Imam Zainal Abidin
  4. Imam Muhammad Baqir
  5. Syaikh Imam Jakfar
  6. Syaikh Muhammad Maqhribi
  7. Syaikh Abi Yazid al-Bustami
  8. Syaikh Abi Muzafar
  9. Syaikh Abi Hasan
  10. Syaikh Khadafi
  11. Syaikh Muhammad Asyiq
  12. Syaikh Muhammad Arif
  13. Syaikh Abdullah Syatari
  14. Syaikh Qadhi
  15. Syaikh Hidayatullah
  16. Syaikh Hadhuwar
  17. Syaikh Muhammad Qusya
  18. Syaikh Wajidin
  19. Syaikh Shifatullah
  20. Syaikh Ahmad Tsanawi
  21. Syaikh Ahmad al-Qusyasyi
  22. Syaikh Muhammad Thamiri
  23. Syaikh Ibrahim
  24. Syaikh Muhammad Sa’ir
  25. Syaikh Muhammad Suud
  26. Syaikh Muhammad Ali
  27. Syaikh Muhammad Langien
  28. Qutb Wujud Habib Abdulrahim
  29. Syaikhuna Habib Sayid Muhammad Yasin
  30. Abu Habib Muda Seunagan
  31. Habib Quraish
  32. Habib Qudrat (Mursyid saat ini).[1]

Perjuangan

Masa Penjajahan Belanda

Pada masa remaja, ia mengikuti orang tuanya untuk mengungsi ke wilayah Tadu Atas tempat mereka tinggal sekaligus mengatur strategi untuk menyerang Belanda. Salah satu pertempuran yang diikuti olehnya adalah pertempuran Tuwi Pomat Tudu Atas. Pertempuran-pertempuran tersebut tentu saja memakan banyak korban jiwa, harta sehingga Habib Muda Seunagan melakukan perundingan di Mukim Bungong Taloe, Beutong dengan Letnan Schmidt yang menjadi pimpinan pasukan Belanda ketika itu. Perjanjian yang disepakati adalah kaum muslimin dapat melaksanakan ibadah mereka dan pasukan Belanda tidak akan mengganggu penduduk dan melakukan intervensi.[3]

Masa Penjajahan Jepang

Ketika Jepang mendarat di Aceh pada tahun 1942, Habib Seunagan adalah salah seorang ulama yang tidak mau bekerja sama dengan mereka. Ia bersama dengan Abuya Muda Waly dan Teungku Hasan Krueng Kalee memiliki pandangan berbeda dengan kebanyakan ulama PUSA yang bekerja sama dengan Jepang ketika itu. Akibat sikapnya tersebut, ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh.

Para tahanan kemudian diperiksa di markas militer Jepang di Mata Ie, Aceh Besar dan oleh para tahanan yang ada, Habib Muda Seunagan dipercaya untuk menjadi wakil mereka. Ketika pemeriksaan berlangsung, ada pertanyaan dari pemeriksa mengenai siapa yang dijadikan pemimpin oleh Habib Muda Seunagan dan kemudian dijawab bahwa pimpinannya adalah Tenno Heika atau Kaisar Jepang. Mendengar jawaban tersebut maka pemeriksaan langsung dihentikan dan tahanan yang menjadikan Habib Muda Seunagan sebagai perwakilan mereka dibebaskan. Pengakuan tersebut dilakukan dengan alasan untuk menyelamatkan para tahanan yang telah menjadikannya perwakilan mereka.[3]

Pascakemerdekaan

Mengibarkan Bendera Merah Putih Pertama

Ketika proklamasi dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, berita tersebut tiba di Seunagan beberapa hari kemudian. Pada saat itu, Wedana Aceh Barat, Abdullah Dariya,[3] yang pernah dipenjarakan bersama dengan Bung Karno diberitahukan agar mengibarkan bendera merah putih di daerahnya. Karena keberadaan pasukan Jepang yang masih menjaga daerahnya, ia meminta bantuan Habib Muda Seunagan agar dapat mengibarkan bendera merah putih di kawasan Seunagan dan Habib Muda Seunagan menyanggupinya dengan mengibarkan bendera tersebut di daerah Jeuram. Adapun tokoh-tokoh yang hadir ketika pengibaran bendera tersebut diantaranya adalah: Habib Muda Seunagan, Zakariya Yunus, Toke Nyaklah Hamzah, Guru Muhammad Jamin, Teungku Idris Padang, Haji Nyak Dolah Ilahm dan Mahyuddin Asyik dari kalangan pemuda. Adapun pengibaran bendera ini adalah pengibaran bendera merah putih pertama kali di seluruh Aceh.[1]

Mengatasi Pemberontakan DI/TII

Ketika pada tahun 1953 diproklamasikan berdirinya Darul Islam oleh Teungku Daud Beureueh, Habib Muda Seunagan bersama dengan Abuya Muda Waly dan Teungku Hasan Krueng Kalee mengeluarkan pernyataan tidak setuju dengan gerakan tersebut. Pernyataan tersebut dilandasi pada hukum Islam yang memandang pemberontakan kepada pemerintah yang sah adalah haram. Apalagi Teungku Daud Beureueh pernah menerima keberadaan Indonesia dan pernah bekerja untuk pemerintah Indonesia.

Bersama dengan masyarakat Peuleukung dan sekitarnya, Habib Muda Seunagan kemudian membentuk Organisasi Pagar Desa (OPD) untuk menghadapi pasukan DI/TII yang mengganggu rakyat. Organisasi ini dipimpin oleh Ceh Nanggroe, salah seorang murid Habib Seunagan.

Untuk mengatasi DI/TII, pemerintah mengirimkan tentara untuk menumpas mereka. Masalah baru kemudian muncul karena tentara tidak mengenal pengikut DI/TII sehingga banyak masyarakat menjadi korban. Untuk mengatasi hal tersebut maka Habib Muda Seunagan mengeluarkan sebuah Kartu Identitas yang menyatakan bahwa nama yang tertera pada kartu tersebut adalah murid Habib Muda Seunagan dan tidak terlibat dalam DI/TII. Karena jasa-jasanya tersebut maka pada tahun 1958 Habib Muda Seunagan diundang ke Istana Negara oleh Presiden Sukarno serta dibiayai untuk berkunjung ke beberapa tempat seperti Mesjid Demak dan kemudian diberikan sebuah mobil Land Rover untuk transportasi di Peuleukung.[1]

Mengatasi Pemberontakan PKI

Ketika PKI memberontak pada tahun 1965, Habib Muda Seunagan mengajukan permintaan kepada Kasdam Iskandar Muda, Kolonel A. Kohar Imam Khormen agar tentara hanya menangkap gembongnya saja karena rakyat sebenarnya banyak yang terjebak, hanya karena menerima bantuan peralatan pertanian sudah dituduh sebagai anggota PKI.[1]

Wafat

Habib Muda Seunagan wafat pada 14 Juni 1972 dan dimakamkan di Mesjid Peuleukung yang dibangunnya sendiri. Ia berpesan sebelum wafatnya agar makamnya dibuka sepanjang tahun dan membolehkan siapapun untuk berziarah tanpa memandang agama dan suku bangsa mereka. Karena jasa-jasa Habib Muda Seunagan maka Pemerintah RI menganugerahi Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Habib Muda Seunagan sebagai seorang pejuang kemerdekaan.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Shadiqin, Sehat Ihsan (1 April 2017). "DI BAWAH PAYUNG HABIB: SEJARAH, RITUAL, DAN POLITIK TAREKAT SYATTARIYAH DI PANTAI BARAT ACEH". Substantia. 19 (1). Diakses tanggal 21 September 2018. 
  2. ^ Agency, ANTARA News. "Kiprah Abu Habib Muda Seunangan Merebut Kemerdekaan - ANTARA News Aceh". Antara News. Diakses tanggal 2018-09-21. 
  3. ^ a b c d e 1979-, Shadiqin, Sehat Ihsan,; Ardiansyah,; Fakhrurradzie,, Gade,. Abu Habib Muda Seunagan, republiken dari Aceh : hidup, ajaran, dan perjuangan (edisi ke-Cetakan pertama). Banda Aceh. ISBN 9786021632505. OCLC 953413631.