Lompat ke isi

Kekuasaan (hubungan internasional)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 27 April 2023 10.11 oleh AABot (bicara | kontrib) (Hungaria)
Ruang pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

Kekuasaan dalam hubungan internasional didefinisikan dengan berbagai cara. Ilmuwan politik, sejarawan, dan para praktisi hubungan internasional (diplomat) telah menggunakan konsep kekuasaan politik berikut:

  • Kekuasaan sebagai tujuan negara atau pemimpin;
  • Kekuasaan sebagai ukuran pengaruh atau kendali atas hasil akhir, peristiwa, aktor, dan isu;
  • Kekuasaan sebagai refleksi kemenangan dalam konflik dan penjaga keamanan;
  • Kekuasaan sebagai kontrol atas sumber daya dan kemampuan;
  • Kekuasaan sebagai status yang dimiliki beberapa negara atau aktor dan tidak dimiliki yang lain.

Diskursus modern umumnya membahas kekuasaan negara dari segi ekonomi dan militer. Negara-negara yang memiliki kekuasaan besar dalam sistem internasional disebut penguasa menengah, penguasa regional, penguasa besar, penguasa super, atau penguasa hiper/hegemon, namun sejauh ini belum ada standar umum yang mendefinisikan sebuah negara kuat.

Entitas selain negara juga bisa mendapatkan dan memiliki kekuasaan dalam hubungan internasional, termasuk organisasi internasional multilateral, organisasi aliansi militer seperti NATO, perusahaan multinasional seperti Wal-Mart,[1] organisasi non-pemerintah, Gereja Katolik Roma, Al-Qaeda, atau institusi lain seperti Liga Hansa.

Kekuasaan sebagai tujuan

Kegunaan utama "kekuasaan" sebagai tujuan dalam hubungan internasional dipaparkan oleh sejumlah teoriwan politik, seperti Niccolò Machiavelli dan Hans Morgenthau. Di kalangan pemikir realisme klasik, kekuasaan adalah tujuan inheren umat manusia dan negara. Pertumbuhan ekonom, pertumbuhan militer, penyebaran budaya, dan lainnya bisa dianggap sebagai usaha menuju tujuan utama kekuasaan internasional.[butuh rujukan]

Kekuasaan sebagai pengaruh

NATO mewakili lebih dari 70% belanja militer dunia.[2] Amerika Serikat sendiri mewakili 43% belanja militer dunia.[3]

Sejumlah ilmuwan politik menggunakan kata "kekuasaan" dari segi kemampuan suatu aktor untuk membangun pengaruh terhadap aktor-aktor lain dalam sistem internasional. Pengaruh ini bisa bersifat koersif, atraktif, kooperatif, atau kompetitif. Mekanisme pengaruh bisa meliputi ancaman atau pemaksaan, interaksi atau tekanan ekonomi, diplomasi, dan pertukaran budaya.

Lingkup, blok, dan aliansi

Dalam keadaan tertentu, negara mampu membangun lingkup pengaruh atau blok dan memiliki pengaruh yang dominan di sana. Contohnya adalah pengakuan lingkup pengaruh di bawah Konser Eropa atau era Perang Dingin pasca-Konferensi Yalta. Pakta Warsawa, "Dunia Bebas", dan Gerakan Non-Blok adalah blok-blok yang muncul dari persaingan Perang Dingin. Aliansi militer semacam NATO dan Pakta Warsawa adalah forum lain yang menjadi sumber pengaruh. Meski begitu, teori realis sering menjauhi pembentukan blok/lingkup penguasa yang berujung pada pendirian hegemon atas suatu wilayah. Kebijakan luar negeri Britania Raya dari dulu selalu menentang penguasa hegemoni di benua Eropa, yaitu Jerman Nazi, Prancis Napoleon, atau Austria Habsburg.[butuh rujukan]

Kekuasaan sebagai keamanan

Kekuasaan juga dipakai untuk menjelaskan negara atau aktor yang meraih kemenangan militer atau keamanan bagi negara mereka dalam sistem internasional. Pejelasan umum ini sering ditemukan di karya tulis sejarawan atau penulis populer. Misalnya, sebuah negara yang meraih serangkaian kemenangan pertempuran dalam kampanye militer melawan negara lain bisa dianggap kuat. Aktor yang berhasil mempertahankan keamanan, kedaulatan, atau kepentingan strategisnya dari tantangan besar juga bisa dianggap kuat.[butuh rujukan]

Kekuasaan sebagai kemampuan

Penulis Amerika Serikat Charles W. Freeman, Jr. menjelaskan kekuasaan sebagai berikut:

Kekuasaan adalah kapasitas untuk mengarahkan keputusan dan tindakan pihak lain. Kekuasaan berasal dari ketahanan dan kemauan. Ketahanan berasal dari transformasi sumber daya menjadi kemampuan. Kemauan menggabungkan masalah dengan solusi. Strategi membutuhkan kemampuan dan memberinya presisi. Seni bernegara mencari strategi untuk mengumpulkan massa, relevansi, dampak, dan kekuasaan yang tidak dapat digoyahkan. Semuanya memandu jalan yang digunakan negara dan menerapkan kekuasaannya di luar negeri. Jalan-jalan ini menggunakan seni perang, spionase, dan diplomasi. Para praktisi tiga seni tersebut adalah penguasa seni bernegara.[4]

Kekuasaan juga digunakan untuk menjelaskan sumber daya dan kapabilitas (kemampuan) suatu negara. Definisi ini bersifat kuantitatif dan sering dipakai oleh para geopolitikus dan pihak militer. Kapabilitas dianggap sebagai hal tak berwujud, tetapi merupakan aset yang bisa diukur, ditimbang, dan dihitung. Thomas Hobbes menyebut kekuasaan sebagai "cara masa kini untuk memperoleh barang berwujud pada masa depan". Kekuasaan keras bisa dianggap potensial dan jarang diterapkan di ranah internasional.

Para strategis Tiongkok memiliki konsep kekuasaan nasional yang dapat diukur secara kuantitatif menggunakan indeks kekuasaan nasional komprehensif.

Kekuasaan keras dan lunak

Sejumlah ilmuwan politik membagi kekuasaan menjadi dua jenis, keras dan lunak. Kekuasaan keras bersifat koersif, sedangkan kekuasaan lunak bersifat atraktif.

Kekuasaan keras mengacu pada taktik koersif, yaitu ancaman atau pengerahan angkatan bersenjata, tekanan atau sanksi ekonomi, pembunuhan dan subterfuge, atau intimidasi dalam bentuk lain. Kekuasaan besar umumnya dikaitkan dengan negara terkuat, dilihat dari kemampuannya untuk mengubah urusan domestik negara lain melalui ancaman militer. Pihak realis dan neorealis seperti John Mearsheimer adalah pendukung kekuasaan keras demi mencapai keseimbangan sistem internasional.

Joseph Nye merupakan pengusung utama dan teoriwan kekuasaan lunak. Instrumen kekuasaan lunak mencakup pembahasan nilai-nilai budaya, dialog tentang ideologi, memberikan contoh yang baik, dan berprinsip pada nilai kemanusiaan yang diakui secara luas. Pelaksanaa kekuasaan lunak meliputi diplomasi, pengungkapan informasi, analisis, propaganda, dan pemrograman budaya untuk mencapai tujuan politik.

Kekuasaan sebagai status

Banyak makalah akademik dan tulisan populer yang berusaha menentukan negara mana yang memiliki status "kekuasaan" dan cara mengukurnya. Jika suatu negara memiliki "kekuasaan" (sebagai pengaruh) dalam lingkup militer, diplomatik, budaya, dan ekonomi, negara tersebut bisa disebut "kekuasaan" (sebagai status). Ada beberapa kategori kekuasaan dan masuknya sebuah negara ke kategori tertentu sering diragukan dan ditentang.

Definisi

Dalam tulisannya yang terkenal tahun 1987, The Rise and Fall of the Great Powers, sejarawan Britania-Amerika Paul Kennedy menyusun status relatif berbagai penguasa dunia sejak tahun 1500 sampai 2000 M. Ia tidak mengawali bukunya dengan definisi teoretis "penguasa besar", melainkan definisi kerja yang berbeda untuk era yang berbeda pula. Misalnya:

Prancis tidak cukup kuat untuk melawan Jerman dalam pertempuran satu lawan satu... Jika patokan Penguasa Besar adalah negara yang mau melawan negara lain, tandanya Prancis (seperti Austria-Hungaria) telah merosot ke posisi yang lebih rendah. Namun definisi tersebut tampak begitu abstrak pada tahun 1914 bagi suatu bangsa yang semangat berperang, militernya lebih kuat daripada sebelumnya, makmur, dan yang paling utama adalah memiliki sekutu yang kuat.[5]

Kategori

Peta yang menunjukkan kategori penguasa dalam hubungan internasional.
  Sering disebut sebagai negara penguasa super
  Sering disebut sebagai negara penguasa besar
  Sering disebut sebagai negara penguasa regional
  Sering disebut sebagai negara penguasa menengah
[6]

Dalam tatanan geopolitik modern, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut macam-macam jenis penguasa:

Jenis penguasa lain

Istilah penguasa super energi mengacu pada sebuah negara yang memiliki pengaruh besar atau kendali langsung terhadap sebagian besar suplai energi dunia. Arab Saudi dan Rusia umumnya diakui sebagai penguasa super energi dunia saat ini, karena mereka mampu memengaruhi secara global atau bahkan mengendalikan secara langsung harga suplai energi ke negara-negara tertentu. Kanada[13] dan Australia[14] adalah calon potensial penguasa super energi masa depan.

Istilah penguasa super budaya/hiburan merujuk pada negara yang memiliki pengaruh besar atau kendali langsung terhadap sebagian besar hiburan dunia atau pengaruh budaya yang sangat besar di dunia. Meski masih diperdebatkan negara mana yang masuk kriteria ini, banyak pihak sepakat bahwa Britania Raya,[15] Amerika Serikat,[butuh rujukan] dan Jepang[16][17] umumnya diakui sebagai penguasa super hiburan dan budaya, karena mereka mampu mendistribusikan inovasi hiburan dan budayanya ke seluruh dunia. Korea Selatan[18] diakui secara luas sebagai calon potensial penguasa super hiburan dan budaya.

Penguasa Eropa modern

Sejak abad ke-15 sampai awal abad ke-18, lima penguasa besar di Eropa adalah Inggris, Prancis, Portugal, Spanyol, dan Kesultanan Utsmaniyah.[rujukan?]

Pada abad ke-17 dan 18, monarki Habsburg dan Republik Belanda dimasukkan ke kelompok tersebut, sedangkan kekuasaan dan pengaruh Portugal, Spanyol, dan Utsmaniyah semakin berkurang. Pada tahun 1707, Britania Raya (dibentuk melalui penyatuan kerajaan Inggris dan Skotlandia) menggantikan Inggris dan menjadi lebih kuat pada abad ke-18. Britania Raya sejajar dengan penguasa-penguasa Eropa lainnya, terutama Prancis, dalam hal kepemilikan teritori di luar Eropa seperti Amerika Utara dan India. Pada paruh akhir abad ke-18, Rusia dan Prusia ikut naik statusnya.

Pada era modern awal, beberapa negara lain seperti Swedia, Kerajaan Dua Sisilia, Negara Gereja, Denmark–Norwegia, Persemakmuran Polandia–Lituania, dan Bayern diakui memiliki dampak penting terhadap keseimbangan kekuasaan Eropa.

Sejak akhir abad ke-18 dan sepanjang abad ke-19, ada definisi informal yang menetapkan Lima Penguasa Besar Eropa, yaitu Prancis, Britania Raya, Rusia, Austria (kelak bernama Austro-Hungaria), dan Kerajaan Prusia (kelak bernama Kekaisaran Jerman). Sejak akhir abad ke-19, Italia masuk dalam kelompok ini. Dua penguasa non-Eropa, Jepang dan Amerika Serikat, mampu mendapatkan status penguasa besar pada awal abad ke-20.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Useem, Jerry (2003-03-03). "One Nation Under Wal-Mart How retailing's superpower--and our biggest Most Admired company--is changing the rules for corporate America". CNN. Diakses tanggal 2010-05-22. 
  2. ^ "The SIPRI Military Expenditure Database". Stockholm International Peace Research Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-23. Diakses tanggal 2010-08-22. 
  3. ^ "The 15 countries with the highest military expenditure in 2009". Stockholm International Peace Research Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-03-28. Diakses tanggal 2010-08-22. 
  4. ^ Marcella, Gabriel (2004). "Chapter 17: National Security and the Interagency Process" (PDF). Dalam Bartholomees, Jr., J. Boone. U.S. Army War College Guide to National Security Policy and Strategy. United States Army War College. hlm. 239–260. 
  5. ^ Kennedy, Paul (1989) [1987]. The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and Miliatry Conflict from 1500 to 2000. London: Fontana. hlm. 290. ISBN 0006860524. 
  6. ^ Chapnick, Adam (1999). "The Middle Power" (PDF). Canadian Foreign Policy. 7 (2): 73–82. ISSN 1192-6422. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-06-09. Diakses tanggal 2013-10-21. 
  7. ^ Evans, G.; Newnham, J. (1998). Dictionary of International Relations. London: Penguin Books. hlm. 522. 
  8. ^ Ovendale, Ritchie (1988). "Reviews of Books: Power in Europe? Great Britain, France, Italy and Germany in a Postwar World, 1945-1950". The English Historical Review. Oxford University Press. 103 (406): 154. 
  9. ^ Heineman, Jr., Ben W.; Heimann, Fritz (2006). "The Long War Against Corruption". Foreign Affairs. Council on Foreign Relations. Ben W. Heineman, Jr., and Fritz Heimann speak of Italy as a major country or 'player' along with Germany, France, India, Japan, and the United Kingdom. 
  10. ^ De Leonardis, Massimo (2003). Il Mediterraneo nella politica estera italiana del secondo dopoguerra. Bologna: Il Mulino. hlm. 17. 
  11. ^ http://www.carabinieri.it/Internet/Editoria/Rassegna%2BArma/
  12. ^ Roberson, B. A. (1998). Middle East and Europe: The Power Deficit. Taylor & Francis. Diakses tanggal 2013-08-11. 
  13. ^ "Report: Canada can be energy superpower". UPI.com. 2012-07-20. Diakses tanggal 2013-04-30. 
  14. ^ "Australia to become energy superpower?". UPI.com. 2012-05-14. Diakses tanggal 2013-04-30. 
  15. ^ "United Kingdom Travel Information". Happytellus.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-21. 
  16. ^ "Japan's Empire of Cool". The Washington Post. 2003-12-16. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-16. Diakses tanggal 2009-07-17. 
  17. ^ "The other superpower". The Guardian. London. 2002-06-01. Diakses tanggal 2009-07-17. 
  18. ^ Hyena, Hank (2010-02-24). "The Next Global Superpower is… Korea?". H+ Magazine. Diakses tanggal 2013-04-30. 

Bacaan lanjutan

Pranala luar