Lompat ke isi

Letusan Krakatau 1883

Koordinat: 6°06′07″S 105°25′23″E / 6.102°S 105.423°E / -6.102; 105.423
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 11 September 2023 14.19 oleh Saniskala (bicara | kontrib) (Dampak: , menambahkan dampak iklim global beserta sumber)
Letusan Krakatau 1883
Litografi letusan (circa 1888).
Gunung apiKrakatau
Tanggal26-27 Agustus 1883
JenisUltra Plinian
LokasiKepulauan Krakatau, Hindia Belanda (sekarang Indonesia)
6°06′07″S 105°25′23″E / 6.102°S 105.423°E / -6.102; 105.423
VEI6
DampakLetusan besar terakhir terdengar hingga 3.000 mil jauhnya, menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa; 20 juta ton sulfur dilepaskan ke atmosfer; menyebabkan musim dingin vulkanik (mengurangi suhu di seluruh dunia dengan rata-rata 1.2 °C selama 5 tahun)
Peta Krakatau setelah letusan 1883, menunjukkan perubahan geografi.

Letusan Krakatau 1883 terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), yang bermula pada tanggal 26 Agustus 1883 (dengan gejala pada awal Mei) dan berpuncak dengan letusan hebat yang meruntuhkan kaldera. Pada tanggal 27 Agustus 1883, dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai, melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya. Aktivitas seismik tetap berlangsung hingga Februari 1884. Letusan ini adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah, menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa akibat letusan dan tsunami yang dihasilkannya. Dampak letusan ini juga bisa dirasakan di seluruh penjuru dunia.

Sebenarnya jauh sebelum 1883, Krakatau juga pernah meletus pada tahun 416 sebelum Masehi, diikuti beberapa letusan pada abad ke-3, 9, 10, 11, 12, 14, 16, dan 17 yang diikuti dengan tumbuhnya kerucut Rakata dan Danan.[1]

Fase awal

Sebelum letusan 1883, aktivitas seismik di sekitar Krakatau sangat tinggi, menyebabkan sejumlah gempa bumi yang dirasakan hingga ke Australia. Pada 20 Mei 1883, pelepasan uap mulai terjadi secara teratur di Perboewatan, pulau paling utara di Kepulauan Krakatau. Pelepasan abu vulkanik mencapai ketinggian hingga 6 km dan suara letusan terdengar hingga ke Batavia (sekarang Jakarta), yang berjarak 160 km dari Krakatau. Aktivitas vulkanik menurun pada akhir Mei, dan tidak ada aktivitas lebih lanjut yang tercatat hingga beberapa minggu ke depan.[2]

Letusan kembali terjadi pada 16 Juni, yang menimbulkan letusan keras dan menutupi pulau dengan awan hitam tebal selama lima hari. Pada 24 Juni, angin timur yang bertiup membersihkan awan tersebut, dan dua gulungan kabut asap terlihat membubung dari Krakatau. Letusan ini diyakini telah menyebabkan munculnya dua ventilasi baru yang terbentuk di antara Perboewatan dan Danan. Aktivitas gunung juga menyebabkan air pasang di sekitarnya menjadi sangat tinggi, dan kapal-kapal di pelabuhan harus ditambatkan dengan rantai agar tidak terseret laut. Guncangan gempa mulai terasa di Anyer, Jawa Barat, dan kapal-kapal Belanda melaporkan mengenai adanya batu apung besar yang mengambang di Samudra Hindia di sebelah barat.[butuh rujukan]

Pada tanggal 11 Agustus, pakar topografi Belanda, Kapten H. J. G. Ferzenaar, mulai menyelidiki pulau. Ia menemukan tiga gulungan abu telah melingkupi pulau, dan lepasan uap dari setidaknya sebelas ventilasi lainnya, sebagian besarnya terdapat di Danan dan Rakata. Saat mendarat, Ferzenaar mencatat adanya lapisan abu setebal 0,5 m, dan musnahnya semua vegetasi pulau, hanya menyisakan tunggul-tunggul pohon. Keesokan harinya, sebuah kapal yang lewat melaporkan mengenai adanya ventilasi baru yang berjarak "hanya beberapa meter di atas permukaan laut". Aktivitas vulkanik Krakatau terus berlanjut hingga pertengahan Agustus.[3]

Fase klimaks

Tanggal 25 Agustus, letusan semakin meningkat. Sekitar pukul 13.00 tanggal 26 Agustus, Krakatau memasuki fase paroksimal. Satu jam kemudian, para pengamat bisa melihat awan abu hitam dengan ketinggian 27 km (17 mi). Pada saat ini, letusan terjadi terus menerus dan ledakan terdengar setiap sepuluh menit sekali. Kapal-kapal yang berlayar dalam jarak 20 km (12 mi) dari Krakatau telah dihujani abu tebal, dengan potongan-potongan batu apung panas berdiameter hampir 10 cm (3,9 in) mendarat di dek kapal. Tsunami kecil menghantam pesisir Pulau Jawa dan Sumatra hampir 40 km (25 mi) jauhnya pada pukul 18.00 dan 19.00.

Pada 27 Agustus, empat letusan besar terjadi pukul 05.30, 06.44, 10.02, dan 10:41 waktu setempat. Pada pukul 5.30, letusan pertama terjadi di Perboewatan, yang memicu tsunami menuju Telukbetung. Pukul 06.44, Krakatau meletus lagi di Danan, menimbulkan tsunami di arah timur dan barat. Letusan besar pada pukul 10.02 terjadi begitu keras dan terdengar hampir 3.110 km (1.930 mi) jauhnya ke Perth, Australia Barat, dan Rodrigues di Mauritius (4.800 km (3.000 mi) jauhnya). Penduduk di sana mengira bahwa letusan tersebut adalah suara tembakan meriam dari kapal terdekat. Masing-masing letusan disertai dengan gelombang tsunami, yang tingginya diyakini mencapai 30 m di beberapa tempat. Wilayah-wilayah di Selat Sunda dan sejumlah wilayah di pesisir Sumatra turut terkena dampak aliran piroklastik gunung berapi. Energi yang dilepaskan dari ledakan diperkirakan setara dengan 200 megaton TNT,[4] kira-kira hampir empat kali lipat lebih kuat dari Tsar Bomba (senjata termonuklir paling kuat yang pernah diledakkan). Pada pukul 10.41, tanah longsor yang meruntuhkan setengah bagian Rakata memicu terjadinya letusan akhir.[5][6]:22

Letusan besar terakhir

Evolusi pulau-pulau di sekitar Krakatau

Gelombang tekanan yang dihasilkan oleh letusan kolosal keempat dan terakhir terpancar keluar dari Krakatau hingga ketinggian 1.086 km/h (675 mph).[7]:248 Letusan tersebut begitu kuat sehingga memecahkan gendang telinga para pelaut yang sedang berlayar di Selat Sunda,[7]:235 dan menyebabkan lonjakan tekanan lebih dari 2½ inci merkuri (ca 85 hPa) pada alat pengukur tekanan yang terpasang di Batavia.[note 1] Gelombang tekanan terpancar dan tercatat oleh barograf di seluruh dunia, yang tetap terjadi hingga 5 hari setelah letusan. Rekaman barografis menunjukkan bahwa gelombang kejut dari letusan terakhir bergema ke seluruh dunia sebanyak 7 kali. Ketinggian kabut asap diperkirakan mencapai 80 km (50 mi).[6]

Letusan mulai berkurang setelah itu, dan pada pagi 28 Agustus, Krakatau terdiam. Letusan kecil, sebagian besarnya mengeluarkan lumpur, tetap berlanjut hingga Oktober 1883.

Dampak

Gundukan batu karang (c. 1885) dihempaskan ke pantai Jawa setelah letusan Krakatau.

Pada tengah hari tanggal 27 Agustus 1883, hujan abu panas turun di Ketimbang (sekarang Desa Banding, Rajabasa, Lampung Selatan). Kurang lebih 1.000 orang tewas akibat hujan abu ini.[7] Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Krakatau. Tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 km (8,1 mil) dari Krakatau. Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di Ketimbang dan di pesisir Sumatra yang berjarak 40 km (25 mil) di sebelah utara Krakatau. Jumlah korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah 36.417[8] (dengan rincian : 165 kampung hancur total, 132 kampung hancur sebagian),[9] namun beberapa sumber menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000.

Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. Kota Merak, Banten luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatra hingga 40 km (25 mil) jauhnya ke daratan.[10] Akibat letusan Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan Krakatau hampir seluruhnya menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. Gunung api kerucut Rakata terpisah di sepanjang tebing vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250-meter (820 ft). Dari dua pulau di utara, hanya pulau berbatu bernama Bootsmansrots yang tersisa; Poolsche Hoed juga menghilang sepenuhnya.

Pada tahun setelah letusan, rata-rata musim panas di belahan bumi utara suhu turun sebesar 04 °C (7,2 °F).[11] Rekor curah hujan yang melanda California Selatan selama tahun air dari Juli 1883 hingga Juni 1884 – Los Angeles menerima 97.000 milimeter (3.818 in) dan San Diego 66.000 milimeter (2.597 in)[12] – telah dikaitkan dengan letusan Krakatau.[13] Tidak ada El Niño selama periode itu seperti biasa ketika hujan lebat terjadi di California Selatan,[14] tetapi banyak ilmuwan meragukan bahwa ada hubungan sebab akibat.[15][Verifikasi gagal]

Letusan itu menyuntikkan sejumlah besar gas sulfur dioksida (SO2) yang luar biasa besar ke dalam stratosfer, yang kemudian diangkut oleh angin tingkat tinggi ke seluruh planet ini. Hal ini menyebabkan peningkatan global dalam konsentrasi asam sulfat (H2SO4) di awan cirrus tingkat tinggi. Peningkatan yang dihasilkan dalam cloud reflectivity (atau albedo) memantulkan lebih banyak cahaya yang masuk dari matahari dari biasanya, dan mendinginkan seluruh planet sampai belerang jatuh ke tanah bagian dari hujan asam.[16]

Saking hebatnya, suara letusan ini sampai ke Kawasan Bandung. Dalam surat kepada keluarganya, Rudolph Eduard Kerkhoven (1848-1918) mengatakan bahwa suara Krakatau ini seperti ledakan sebuah meriam yang berada di bawah jendela rumah mereka di Gambung, dekat Ciwidey.[17]

Selain itu pula, letusan Krakatau pada tahun 1883 sebenarnya juga menjadi salah satu kejadian awal sebelum dimulainya perlawanan rakyat di Cilegon 5 tahun sesudahnya.[1] Kejadian ini juga sempat tercatat dalam Syair Lampung Karam oleh Muhammad Saleh, seorang yang kemungkinan asli Lampung dan mengungsi ke Singapura. Kitab syair itu terbit pada 1888, dan menceritakan secara dramatis soal kengerian dan keadaan kacau balau ketika Krakatau meletus. Bisa dikatakan, kitab ini menceritakan letusan Krakatau satu-satunya dari perspektif pribumi sendiri.[18]

Dampak iklim global

Letusan Krakatau pada tahun 1883 menggelapkan langit di seluruh dunia selama beberapa tahun setelahnya dan menghasilkan pemandangan matahari terbenam yang spektakuler di seluruh dunia selama beberapa bulan. Seniman Inggris, William Ascroft, membuat ribuan sketsa berwarna tentang matahari terbenam merah di sekitar setengah dunia dari Krakatau dalam beberapa tahun setelah letusan tersebut. Abu vulkanik tersebut menyebabkan "matahari terbenam merah yang begitu mencolok sehingga pemadam kebakaran dipanggil di New York, Poughkeepsie, dan New Haven untuk memadamkan api yang seolah-olah terjadi". Letusan ini juga menghasilkan Cincin Uskup di sekitar matahari pada siang hari, dan cahaya ungu vulkanik pada senja. Pada tahun 2004, seorang ahli astronomi mengusulkan ide bahwa langit merah yang terlihat dalam lukisan "The Scream" karya Edvard Munch tahun 1893 adalah gambaran yang akurat dari langit di Norwegia setelah letusan tersebut.[19]

Para pengamat cuaca pada masa itu melacak dan memetakan efeknya pada langit. Mereka memberi label fenomena ini sebagai "aliran asap ekwatorial." Ini adalah identifikasi pertama dari apa yang sekarang dikenal sebagai jet stream. Selama beberapa tahun setelah letusan, dilaporkan bahwa bulan terlihat berwarna biru dan terkadang hijau. Hal ini disebabkan karena beberapa awan abu berisi partikel dengan lebar sekitar 1 μm - ukuran yang tepat untuk menyebarkan cahaya merah dengan kuat sambil memungkinkan warna lainnya untuk lewat. Cahaya bulan putih yang bersinar melalui awan tersebut muncul berwarna biru dan terkadang hijau. Orang juga melihat matahari berwarna lavender dan, untuk pertama kalinya, mencatat awan noktilusen.[20]

Lihat juga

Catatan

  1. ^ A spike of more than 2½ inches of mercury (ca 85 hPa) is equal to approximately 180 dBSPL; to compare this impact, the human threshold for pain is 134 decibels (dBSPL); and short-term hearing effect damage can occur at 120 dBSPL;[7]:219

Referensi

  1. ^ a b Arif, Ahmad (20 Agustus 2018). "Mengingat Krakatau". Kompas. Hlm.10
  2. ^ "Sejarah Letusan Gunung Krakatau hingga Kemunculan Anak Krakatau - Nasional Katadata.co.id". katadata.co.id. 2022-02-02. Diakses tanggal 2022-05-16. 
  3. ^ Thornton, Ian W. B. (1996). Krakatau: The Destruction and Reassembly of an Island Ecosystem. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. hlm. 10–11. ISBN 0-674-50568-9. 
  4. ^ "The eruption of Krakatoa, August 27, 1883". Commonwealth of Australia 2012, Bureau of Meteorology. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-18. Diakses tanggal 5 April 2012. 
  5. ^ "How- Krakatoa Made the Biggest Bang"; The Independent, 3 May 2006. The third explosion has been reported as the loudest sound heard in historic times.
  6. ^ a b Symons, G.J. (ed) ''The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena'' (Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society). London, 1888. Books.google.com. 1888. Diakses tanggal 10 April 2012.  Internet Archive link
  7. ^ a b c d Winchester, Simon (2003). Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883. Penguin/Viking. ISBN 0-670-91430-4. 
  8. ^ Verbeek, R.D.M. 1885. Krakatau. Batavia : Imprimerie de L'etat
  9. ^ Gustaman, Budi (2019-08-30). "Binatang-Binatang di Sekitar Letusan Krakatau 1883". Jurnal Sejarah. 2 (2): 1–13. doi:10.26639/js.v2i2.227. ISSN 2581-2394. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-15. Diakses tanggal 2020-01-20. 
  10. ^ "Entrance of hot pyroclastic flows into the sea: experimental observations". Cat.inist.fr. Diakses tanggal 10 April 2012. 
  11. ^ Bradley, Raymond S. (June 1988). "The explosive volcanic eruption signal in northern hemisphere continental temperature records" (PDF). Climatic Change. 12 (3): 221–243. Bibcode:1988ClCh...12..221B. doi:10.1007/bf00139431. ISSN 0165-0009 – via Springer. 
  12. ^ "Los Angeles and San Diego rainfall" (PDF). 
  13. ^ Kuhn, Gerald G. and Shepard, Francis Parker; Sea Cliffs, Beaches, and Coastal Valleys of San Diego County: Some Amazing Histories and Some Horrifying Implications; p. 32. ISBN 9780520051188
  14. ^ Kane, R.P.; Kane (1 August 1997). "Relationship of El Niño–Southern Oscillation and Pacific Sea Surface Temperature with Rainfall in Various Regions of the Globe". Monthly Weather Review. 125 (8): 1792–1800. Bibcode:1997MWRv..125.1792K. doi:10.1175/1520-0493(1997)125<1792:roenos>2.0.co;2alt=Dapat diakses gratis. 
  15. ^ Mass, Clifford F.; Portman, David A.; Mass, Clifford F.; Portman, David A. (1 June 1989). "Major Volcanic Eruptions and Climate: A Critical Evaluation" (PDF). Journal of Climate. 2 (6): 566–593. Bibcode:1989JCli....2..566M. doi:10.1175/1520-0442(1989)002<0566:mveaca>2.0.co;2alt=Dapat diakses gratis. JSTOR 26194042. 
  16. ^ "USGS: Volcano Hazards Program". volcanoes.usgs.gov. 
  17. ^ Fauzan, Hevi (01 Maret 2022). "Letusan Krakatau 1883 dan Langit Hitam di Bandung". sejarahbandung.id. Diakses tanggal 01 Maret 2022. 
  18. ^ Yurnaldi (31 Agustus 2008). "Ditemukan Naskah Kuno Letusan Krakatau 1883". Kompas. Diakses tanggal 26 Desember 2018. 
  19. ^ Panek, Richard (2004-02-08). "ART; 'The Scream,' East of Krakatoa". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2023-09-11. 
  20. ^ "Blue Moon | Science Mission Directorate". science.nasa.gov. Diakses tanggal 2023-09-11. 

Bibliografi

  • Dickins, Rosie; "The Children's Book of Art (An introduction to famous paintings)" Usborne Publishing Ltd., Usborne House, 83–85 Saffron Hill, London ISBN 978-0-439-88981-0 (2005)
  • Furneaux, Rupert; Krakatoa (1965) London, Secker and Warburg.
  • Self, Stephen & Rampino, Michael R. (1981). "The 1883 eruption of Krakatau". Nature. 294 (5843): 699–704. Bibcode:1981Natur.294..699S. doi:10.1038/294699a0. 
  • Simkin, Tom and Richard S, Fiske (editors); Krakatau, 1883--the volcanic eruption and its effects (1983) Washington, D.C.: Smithsonian Institution Press.ISBN 0-87474-841-0
  • Verbeek, Rogier Diederik Marius (1884). "The Krakatoa eruption". Nature. 30 (757): 10–15. Bibcode:1884Natur..30...10V. doi:10.1038/030010a0. 
  • Verbeek, Rogier Diederik Marius; Krakatau. Batavia, 1885, Internet Archive link

Pranala luar