Lompat ke isi

Rabdomiolisis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 18 Mei 2024 14.14 oleh Aruna Zahra (bicara | kontrib) (Image suggestions feature: 1 image added.)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Rabdomiolisis
Urin pengidap rabdomiolisis memiliki ciri berupa warna coklat yang disebabkan oleh mioglobinuria
Informasi umum
Pelafalan
SpesialisasiKedokteran gawat darurat Sunting ini di Wikidata
Prevalensi26.000 per tahun (Amerika Serikat)[1]

Rabdomiolisis adalah suatu keadaan ketika otot rangka mengalami kerusakan dengan cepat. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran protein otot mioglobin ke urin, sehingga warnanya menjadi seperti teh. Gejala-gejala lainnya yaitu nyeri otot, rasa lemah, muntah dan pusing, serta detak jantung menjadi tidak biasa. Mioglobin sendiri dapat membahayakan ginjal dan dapat memicu gagal ginjal.

Kerusakan otot sering kali disebabkan oleh cedera remuk, olahraga yang terlalu berat, obat-obatan, atau penggunaan obat-obatan terlarang. Penyebab lainnya adalah infeksi, cedera listrik, sengatan panas, kurangnya aliran darah ke kaki, atau gigitan ular. Beberapa orang juga dilahirkan dengan kondisi otot yang lebih rentan terkena rabdomiolisis. Diagnosis biasanya dilakukan dengan strip tes urin yang positif "darah", tetapi urin tidak mengandung sel darah merah saat diperiksa dengan mikroskop. Tes darah menunjukkan kreatin kinase yang lebih besar dari 1.000 U/L, dan untuk kasus yang parah bisa mencapai 5.000 U/L.

Penyakit ini ditangani dengan menyuntikkan cairan infus dalam jumlah besar. Terapi lain yaitu dialisis atau hemofiltrasi untuk kasus yang lebih parah. Begitu hasil tes urin keluar, natrium bikarbonat dan manitol biasanya digunakan, tetapi keefektifan agen ini tidak diperkuat oleh bukti. Komplikasi yang dapat terjadi adalah kadar kalium dalam darah yang tinggi, kadar kalsium dalam darah yang rendah, persebaran bekuan darah, dan sindrom kompartemen.

Rabdomiolisis dialami oleh sekitar 26.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat. Walaupun sudah pernah dibahas sepanjang sejarah, rabdomiolisis baru dideskripsikan pertama kali pada masa modern setelah terjadinya gempa bumi pada tahun 1908. Penemuan-penemuan penting mengenai mekanisme rabdomiolisis diperoleh selama pengeboman kota London dari udara pada tahun 1941. Kondisi ini menjadi masalah besar bagi mereka yang terluka akibat gempa bumi.

Gejala dan tanda

[sunting | sunting sumber]

Gejala rabdomiolisis tergantung pada tingkat keparahan dan ada atau tidaknya gagal ginjal. Bentuk yang lebih ringan tidak menyebabkan gejala otot, dan diagnosis didasarkan pada tes darah yang ditemukan abnormal saat sedang dilakukan pemeriksaan penyakit lain. Rabdomiolisis yang lebih parah ditandai dengan nyeri otot, nyeri tekan, kelemahan dan pembengkakan pada otot yang terkena.[2] Jika pembengkakan terjadi sangat cepat, seperti yang terjadi pada cedera remuk setelah seseorang dilepaskan dari reruntuhan, pergerakan aliran darah ke otot yang rusak dapat menyebabkan tekanan darah rendah dan syok. Gejala lain bersifat tidak spesifik dan disebabkan oleh kerusakan jaringan otot atau penyakit lain yang mendasari dari kerusakan otot.[2][3][4] Pelepasan komponen jaringan otot ke dalam aliran darah menyebabkan gangguan elektrolit, yang dapat menyebabkan mual, muntah, kebingungan, koma, atau detak dan irama jantung yang tidak normal (aritmia). Urin dapat berwarna gelap, sering digambarkan sebagai "berwarna teh", karena adanya mioglobin. Kerusakan pada ginjal dapat menyebabkan penurunan produksi urin, biasanya 12 hingga 24 jam jam setelah kerusakan otot awal.[3][4]

Pembengkakan otot yang rusak kadang-kadang menyebabkan sindrom kompartemen yaitu adanya kompresi jaringan sekitar (seperti saraf dan pembuluh darah) di kompartemen fasia yang sama, menyebabkan hilangnya suplai darah dan kerusakan fungsi pada bagian tubuh yang disuplai oleh struktur ini. Gejala komplikasi ini termasuk nyeri atau berkurangnya sensasi pada anggota tubuh yang terkena.[3][5] Komplikasi kedua yang diketahui yaitu koagulasi intravaskular diseminata (DIC), yaitu gangguan pada pembekuan darah yang dapat menyebabkan perdarahan tak terkendali.[3][4][5]

Berbagai bentuk kerusakan otot dengan tingkat keparahan yang cukup dapat menyebabkan rabdomiolisis.[4] Beberapa penyebab dapat hadir secara bersamaan dalam satu individu.[2] Beberapa orang memiliki gangguan otot sebelumnya yang mendasarinya, biasanya bersifat turun-temurun, yang membuat mereka lebih rentan terhadap rabdomiolisis.[2]

Penyebab umum dan penting
Jenis Penyebab
Terkait olahraga Latihan fisik yang ekstrim (terutama ketika kurang terhidrasi), delirium tremens (penghentian alkohol), tetanus, kejang berkepanjangan atau status epileptikus
Cedera remuk Sindrom Bywaters, cedera ledakan, kecelakaan mobil, penyiksaan atau kekerasan fisik, atau kekangan dalam posisi tetap seperti setelah stroke, karena keracunan alkohol atau operasi berkepanjangan
Suplai darah Trombosis arteri (pembentukan bekuan darah secara lokal) atau emboli (penggumpalan atau kotoran lain dari tempat lain di tubuh), penjepitan arteri selama operasi
Metabolisme Keadaan hiperosmolar hiperglikemik, hiper dan hiponatremia (peningkatan atau penurunan kadar natrium darah), hipokalemia (kadar kalium rendah), hipokalsemia (kadar kalsium rendah), hipofosfatemia (kadar fosfat rendah), ketoasidosis (misalnya pada ketoasidosis diabetikum) atau hipotiroidisme (fungsi tiroid rendah)
Suhu tubuh Hipertermia (suhu tubuh tinggi) dan penyakit panas, hipotermia (suhu tubuh sangat rendah)
Obat dan toksin Banyak obat meningkatkan risiko rabdomiolisis. Obat tersebut terutama:
  • Statin dan fibrat. Statin dan rabdomiolisis dijelaskan lebih detil di bawah.
  • Obat antipsikotik dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna, yang dapat menyebabkan kekakuan otot yang parah dengan rabdomiolisis dan hiperpireksia
  • Agen penghambat neuromuskular yang digunakan dalam anestesi dapat menyebabkan hipertermia maligna, juga terkait dengan rabdomiolisis
  • Obat-obatan yang menyebabkan sindrom serotonin, seperti SSRI
  • Obat-obatan yang mengganggu kadar kalium, seperti diuretik

Toksin yang terkait dengan rabdomiolisis adalah logam berat dan racun dari serangga atau ular. Jamur seperti Russula subnigricans dan Tricholoma equestre diketahui menyebabkan rabdomiolisis. Penyakit Haff adalah rabdomiolisis setelah mengonsumsi ikan; penyebab toksik diduga tetapi belum terbukti.

Narkoba untuk rekreasi, termasuk: alkohol, amfetamin, kokain, heroin, ketamin, dan MDMA (ekstasi)

Infeksi Virus Coxsackie, virus influenza A dan virus influenza B, virus Epstein-Barr, infeksi HIV primer, Plasmodium falciparum (malaria), virus herpes, Legionella pneumophila. dan salmonella
Inflamasi Kerusakan otot autoimun: polimiositis, dermatomiositis

Statin dan rabdomiolisis

[sunting | sunting sumber]

Statin digunakan untuk penyakit kolesterol tinggi. Cerivastatin (Baycol) ditarik pada 2001 setelah banyak laporan rabdomiolisis.[6] Statin lain memiliki risiko kecil sebanyak 0,44 kasus per 10.000 orang-tahun. Penyakit ginjal kronis dan hipotiroidisme meningkatkan risiko miopati karena statin.[7] Ini juga lebih sering terjadi pada orang tua, cedera parah, dan ketika statin digunakan dalam kombinasi dengan obat lainnya, misal siklosporin.[8]

Predisposisi genetik

[sunting | sunting sumber]

Rabdomiolisis berulang dapat terjadi akibat defisiensi enzim otot yang biasanya diwariskan dan sering muncul selama masa kanak-kanak. Banyak penyakit otot struktural menunjukkan episode rabdomiolisis yang dipicu oleh olahraga, anestesi sistemik, atau salah satu penyebab rabdomiolisis lainnya yang tercantum di atas. Kombinasi gangguan otot yang diwariskan dan infeksi menyebabkan sebagian besar rabdomiolisis pada anak-anak.[9][10]

Berikut gangguan turunan dari suplai energi otot dapat menyebabkan rabdomiolisis berulang dan biasanya karena aktivitas:[11][12]

Mekanisme

[sunting | sunting sumber]
Diagram skematik mioglobin, suatu protein yang mengandung heme yang ikut serta dalam penyimpanan oksigen di otot normal, tetapi bertanggung jawab atas kerusakan ginjal pada rabdomiolisis.

Kerusakan otot rangka dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Cedera remuk dan cedera fisik lainnya menyebabkan kerusakan sel otot secara langsung atau mengganggu suplai darah, sedangkan penyebab non-fisik mengganggu metabolisme sel otot. Saat terjadi kerusakan, jaringan otot dengan cepat terisi cairan dari aliran darah, termasuk ion natrium. Pembengkakan karena terisinya cairan ini dapat menyebabkan penghancuran sel-sel otot. Namun, bagi sel-sel yang bertahan hidup akan mengalami berbagai gangguan yang menyebabkan peningkatan ion kalsium intraseluler. Akumulasi kalsium di luar retikulum sarkoplasma menyebabkan kontraksi otot terus menerus dan jumlah ATP menjadi menipis. Penurunan ATP itu sendiri dapat menyebabkan masuknya kalsium yang tidak terkontrol. Kontraksi sel otot yang terus-menerus menyebabkan pemecahan protein intraseluler dan disintegrasi sel.[5]

Komponen sel darah putih yaitu neutrofil, memasuki jaringan otot dan memicu reaksi inflamasi dan pelepasan spesi oksigen reaktif, terutama setelah cedera remuk. Sindrom crush juga dapat menyebabkan cedera reperfusi ketika terjadi pemulihan tiba-tiba dari otot yang mengalami dekompresi saat darah mengalir ke jaringan tersebut.[5]

Otot yang bengkak dan meradang dapat secara langsung menekan struktur di kompartemen fasia yang sama, menyebabkan sindrom kompartemen.[13] Pembengkakan juga dapat mengganggu suplai darah ke area tersebut. Akhirnya, sel otot yang rusak melepaskan ion kalium, ion fosfat, protein mioglobin yang mengandung heme, enzim kreatin kinase dan asam urat (produk pemecahan purin dari DNA) ke dalam darah. Aktivasi sistem koagulasi dapat memicu koagulasi intravaskular diseminata. Kadar potasium yang tinggi dapat menyebabkan gangguan irama jantung yang berpotensi mematikan. Fosfat berikatan dengan kalsium dari sirkulasi darah, menyebabkan kadar kalsium rendah dalam darah.[5]

Rabdomiolisis dapat menyebabkan gagal ginjal melalui beberapa mekanisme. Terutama yaitu melalui akumulasi mioglobin di tubulus ginjal.[2] Secara normal, protein darah haptoglobin mengikat mioglobin yang bersirkulasi dan zat lain yang mengandung heme; namun pada rabdomiolisis, jumlah mioglobin melebihi kapasitas pengikatan haptoglobin. Mioglobinuria, atau adanya mioglobin dalam urin, terjadi ketika kadarnya dalam plasma melebihi 0,5-1,5 mg/dl. Ketika kadar dalam plasma mencapai 100 mg/dl, konsentrasi mioglobin dalam urin menjadi cukup untuk mengubah warna secara kasat mata dan sesuai dengan penghancuran sekitar 200 gram otot.[14] Saat ginjal menyerap kembali air dari filtrat dalam jumlah lebih banyak, mioglobin berinteraksi dengan protein Tamm-Horsfall di nefron untuk membentuk gips (agregat padat) yang menghalangi aliran normal cairan. Kondisi ini diperburuk lebih lanjut oleh tingginya kadar asam urat dan pengasaman filtrat yang meningkatkan pembentukan cast.[5] Besi yang dilepaskan dari heme menghasilkan spesi oksigen reaktif, yang merusak sel-sel ginjal.

Selain mioglobinuria, dua mekanisme lain yang berkontribusi terhadap kerusakan ginjal yaitu tekanan darah rendah dan akumulasi asam urat. Tekanan darah rendah menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga aliran darah ke ginjal menjadi relatif berkurang. Sedangkan asam urat dapat membentuk kristal di tubulus ginjal, menyebabkan sumbatan atau obstruksi. Kedua proses tersebut menyebabkan nekrosis tubular akut atau penghancuran sel-sel tubulus. Laju filtrasi glomerulus turun dan ginjal tidak dapat melakukan fungsi ekskresi normalnya. Hal ini menyebabkan gangguan regulasi elektrolit, yang menyebabkan peningkatan kadar kalium lebih lanjut, dan mengganggu pemrosesan vitamin D, yang selanjutnya memperburuk kadar kalsium yang rendah.[5]

Diagnosis

[sunting | sunting sumber]
Colored schematic drawing of the creatine kinase enzyme
Subunit M dari kreatin kinase. Pada otot rangka, kreatin kinase berada dalam bentuk dimer yang mengandung dua subunit M, juga disebut sebagai "CK-MM".

Diagnosis rabdomiolisis dapat dicurigai pada siapa saja yang menderita trauma, cedera remuk atau diam/imobilisasi berkepanjangan. Diagnosis pada tahap lanjut dilakukan karena fungsi ginjal yang memburuk (peningkatan atau peningkatan abnormal kadar kreatinin dan urea, penurunan produksi urin), atau perubahan warna urin menjadi coklat kemerahan.[5]

Pemeriksaan umum

[sunting | sunting sumber]

Tes yang paling dapat diandalkan dalam diagnosis rabdomiolisis yaitu kadar kreatin kinase (CK) dalam darah. Enzim ini dilepaskan oleh otot yang rusak. Kadar CK di atas 1000 U/L (5 kali batas atas normal) menunjukkan adanya rabdomiolisis.[15] Kadar lebih dari 5.000 U/L menunjukkan penyakit parah tetapi tergantung pada tingkat rabdomiolisis, sedangkan konsentrasi hingga 100.000 U/L tidak biasa ditemui.[5] Konsentrasi CK meningkat terus selama 12 jam setelah cedera otot awal, dan tetap tinggi selama 1-3 hari, kemudian turun secara bertahap. Kadar CK awal dan puncak memiliki hubungan linier dengan risiko gagal ginjal akut: semakin tinggi CK, semakin besar kemungkinan terjadinya kerusakan ginjal.[16] Tidak terdapat konsentrasi pasti spesifik CK yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal, tetapi konsentrasi di bawah 20.000 U/L tidak dikaitkan dengan risiko kerusakan ginjal, kecuali ada faktor risiko lain yang berkontribusi. Kenaikan sedikit CK tanpa gangguan ginjal disebut sebagai "hiperCKemia".[17] Mioglobin memiliki waktu paruh yang pendek, sehingga kurang berguna sebagai tes diagnostik pada tahap lanjut.[4] Deteksi mioglobin dalam darah atau urin dikaitkan dengan risiko kerusakan ginjal yang lebih tinggi.[16] Meskipun demikian, penggunaan pengukuran mioglobin urin untuk diagnosis tidak didukung oleh bukti yang kuat.[18]

Pada rabdomiolisis, dapat terjadi peningkatan konsentrasi enzim laktat dehidrogenase (LDH).[16] Penanda lain dari kerusakan otot seperti aldolase, troponin, karbonat anhidrase tipe 3, dan protein pengikat asam lemak (FABP), terutama digunakan pada penyakit otot kronis.[16] Transaminase, suatu enzim yang berlimpah di hati dan jaringan otot juga biasanya meningkat, dapat mengacaukan dengan diagnosis cedera hati akut, setidaknya pada tahap awal. Insiden cedera hati akut yang sebenarnya yaitu 25% pada orang dengan rabdomiolisis non-trauma; namun mekanisme untuk hal ini tidak diketahui secara pasti.

Kadar kalium yang tinggi cenderung menjadi ciri rabdomiolisis parah.[4] Elektrokardiografi (EKG) dapat menunjukkan apakah peningkatan kadar kalium mempengaruhi sistem konduksi jantung, seperti perubahan gelombang T atau pelebaran kompleks QRS.[19] Kadar kalsium yang rendah mungkin dapat terjadi pada tahap awal karena pengikatan kalsium bebas ke sel-sel otot yang rusak.[4]

Penanganan

[sunting | sunting sumber]
Dialysis - arm

Tujuan utama penanganan yaitu untuk mengobati syok dan mempertahankan fungsi ginjal. Penangangan awal dilakukan melalui pemberian sejumlah besar cairan intravena, biasanya salin isotonik (0,9% berat per volume larutan natrium klorida). Pada korban sindrom crush, dianjurkan untuk memberikan cairan intravena bahkan sebelum korban dikeluarkan dari bangunan yang runtuh.[20] Hal ini akan memastikan volume sirkulasi yang cukup untuk mengatasi pembengkakan sel otot (yang biasanya dimulai ketika suplai darah dipulihkan), dan untuk mencegah pengendapan mioglobin di ginjal. Dianjurkan untuk pemberian cairan sejumlah 6 sampai 12 liter selama lebih dari 24 jam.[21] Kecepatan pemberian cairan dapat diubah untuk mencapai keluaran urin yang tinggi (200-300 ml/jam pada orang dewasa), kecuali ada alasan lain yang dapat menyebabkan komplikasi, seperti riwayat gagal jantung.[21]

Banyak sumber merekomendasikan pemberian agen intravena tambahan untuk mengurangi kerusakan ginjal, tetapi sebagian besar bukti yang mendukung praktik ini berasal dari penelitian pada hewan, serta tidak konsisten dan bertentangan. Manitol bekerja secara osmosis untuk meningkatkan produksi urin dan diperkirakan mencegah deposisi mioglobin di ginjal, tetapi kemanjurannya belum ditunjukkan dalam penelitian dan ada risiko perburukan fungsi ginjal.[2] Penambahan bikarbonat ke dalam cairan intravena dapat mengurangi asidosis (tingkat asam yang tinggi dalam darah) dan membuat urin lebih basa untuk mencegah pembentukan cast di ginjal; Ini menunjukkan bahwa bikarbonat memiliki keterbatasan manfaat dibanding larutan salin, dan dapat memperburuk hipokalsemia dengan meningkatkan deposisi kalsium dan fosfat dalam jaringan. Jika dilakukan alkalinisasi urin, maka pH urin dipertahankan pada 6,5 atau lebih.[21] Furosemide sering digunakan untuk memastikan produksi urin yang cukup, tetapi bukti bahwa ini mencegah gagal ginjal masih terbatas.[22]

Prognosis

[sunting | sunting sumber]

Prognosis tergantung pada penyebab yang mendasari dan apakah ada komplikasi yang terjadi. Pasien rabdomiolisis dengan penyulit gangguan ginjal akut memiliki tingkat kematian 20%.[4] Jika pasien masuk ke ICU, maka dikaitkan dengan kematian 22% jika tanpa cedera ginjal akut, dan 59% jika disertai kerusakan ginjal. Kebanyakan orang yang mengalami gangguan ginjal akibat rabdomiolisis, ginjal akan sepenuhnya pulih.[2]

Investigasi terhadap orang-orang yang cedera di gedung-gedung yang runtuh selama The Blitz London menghasilkan banyak penemuan dalam mekanisme yang mendasari kerusakan ginjal pada rabdomiolisis.

Di zaman modern, laporan awal dari gempa Messina 1908 dan Perang Dunia I tentang gagal ginjal setelah cedera diikuti oleh penelitian oleh dokter London Eric Bywaters dan Desmond Beall, yang bekerja di Royal Postgraduate Medical School dan National Institute for Medical Research, pada empat korban The Blitz pada 1941.[23][24] Mioglobin ditunjukkan dalam urin korban dengan spektroskopi, dan dicatat bahwa ginjal korban mirip dengan pasien yang memiliki hemoglobinuria (hemoglobin daripada mioglobin yang menjadi penyebab kerusakan ginjal). Pada 1944, Bywaters menunjukkan secara eksperimental bahwa gagal ginjal terutama disebabkan oleh mioglobin.[5][24] Selama perang, tim dokter melakukan perjalanan ke daerah yang dibom untuk memberikan dukungan medis, terutama dengan cairan infus, karena dialisis belum tersedia.[24] Prognosis gagal ginjal akut membaik secara tajam ketika dialisis ditambahkan ke pengobatan suportif, yang pertama kali terjadi selama Perang Korea 1950-1953.[25]

Hewan lainnya

[sunting | sunting sumber]

Rabdomiolisis dikenali terjadi pada kuda.[26] Kuda dapat mengalami sejumlah gangguan otot, banyak di antaranya berkembang menjadi rabdomiolisis. Rabdomiolisis menyebabkan serangan terisolasi (misalnya kekurangan vitamin E dan selenium, keracunan yang terkait dengan padang rumput, atau racun pertanian seperti organofosfat), sementara yang lain mempengaruhi rabdomiolisis kelelahan (misalnya penyakit herediter miopati penyimpanan polisakarida kuda). Sebanyak 5-10% kuda ras murni dan beberapa ras standar menderita rabdomiolisis kelelahan kuda. Penyebab spesifik tidak diketahui, tetapi diduga terdapat gangguan regulasi kalsium otot yang mendasarinya.[27]

Rabdomiolisis pada kuda dapat juga menjadi wabah, yang telah dilaporkan di banyak negara Eropa, Kanada, Australia, dan Amerika Serikat. Ini disebut sebagai "miopati atipikal" atau "mioglobinuria dengan etiologi yang tidak diketahui". Penyebabnya belum ditemukan, tetapi berbagai mekanisme telah diusulkan, dan teramati suatu pola musiman. Tingkat kreatin kinase terdeteksi sangat tinggi, dan membawa kematian sebesar 89%.[27]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama AFP2002
  2. ^ a b c d e f g Bosch X, Poch E, Grau JM (July 2009). "Rhabdomyolysis and acute kidney injury". The New England Journal of Medicine. 361 (1): 62–72. doi:10.1056/NEJMra0801327. PMID 19571284. 
  3. ^ a b c d Sauret JM, Marinides G, Wang GK (March 2002). "Rhabdomyolysis". American Family Physician. 65 (5): 907–12. PMID 11898964. 
  4. ^ a b c d e f g h Huerta-Alardín, Ana L; Varon, Joseph; Marik, Paul E (2005). "Bench-to-bedside review: Rhabdomyolysis – an overview for clinicians". Critical Care. 9 (2): 158–169. doi:10.1186/cc2978. ISSN 1364-8535. PMC 1175909alt=Dapat diakses gratis. PMID 15774072. 
  5. ^ a b c d e f g h i j Vanholder, Raymond; Sever, Mehmet Sükrü; Erek, Ekrem; Lameire, Norbert (2000-08). "Rhabdomyolysis". Journal of the American Society of Nephrology: JASN. 11 (8): 1553–1561. doi:10.1681/ASN.V1181553. ISSN 1046-6673. PMID 10906171. 
  6. ^ Furberg, Curt D; Pitt, Bertram (2001). "Withdrawal of cerivastatin from the world market". Current Controlled Trials in Cardiovascular Medicine. 2 (5): 205. doi:10.1186/CVM-2-5-205. PMC 59524alt=Dapat diakses gratis. PMID 11806796. 
  7. ^ Ballantyne, Christie M.; Corsini, Alberto; Davidson, Michael H.; Holdaas, Hallvard; Jacobson, Terry A.; Leitersdorf, Eran; März, Winfried; Reckless, John P. D.; Stein, Evan A. (2003-03-10). "Risk for Myopathy With Statin Therapy in High-Risk Patients". Archives of Internal Medicine (dalam bahasa Inggris). 163 (5): 553. doi:10.1001/archinte.163.5.553. ISSN 0003-9926. 
  8. ^ Tong, J; Laport, G; Lowsky, R (2005-10). "Rhabdomyolysis after concomitant use of cyclosporine and simvastatin in a patient transplanted for multiple myeloma". Bone Marrow Transplantation (dalam bahasa Inggris). 36 (8): 739–740. doi:10.1038/sj.bmt.1705128. ISSN 0268-3369. 
  9. ^ Mannix, Rebekah; Tan, Mei Lin; Wright, Robert; Baskin, Marc (2006-11-01). "Acute Pediatric Rhabdomyolysis: Causes and Rates of Renal Failure". Pediatrics (dalam bahasa Inggris). 118 (5): 2119–2125. doi:10.1542/peds.2006-1352. ISSN 0031-4005. 
  10. ^ Yao, Zhengxiong; Yuan, Ping; Hong, Siqi; Li, Mei; Jiang, Li (2020-09-04). "Clinical Features of Acute Rhabdomyolysis in 55 Pediatric Patients". Frontiers in Pediatrics. 8: 539. doi:10.3389/fped.2020.00539. ISSN 2296-2360. PMC 7500160alt=Dapat diakses gratis. 
  11. ^ Nance, Jessica R.; Mammen, Andrew L. (2015-06). "Diagnostic evaluation of rhabdomyolysis". Muscle & Nerve. 51 (6): 793–810. doi:10.1002/mus.24606. ISSN 1097-4598. PMC 4437836alt=Dapat diakses gratis. PMID 25678154. 
  12. ^ Scalco, Renata Siciliani; Gardiner, Alice R; Pitceathly, Robert DS; Zanoteli, Edmar; Becker, Jefferson; Holton, Janice L; Houlden, Henry; Jungbluth, Heinz; Quinlivan, Ros (2015-12). "Rhabdomyolysis: a genetic perspective". Orphanet Journal of Rare Diseases (dalam bahasa Inggris). 10 (1): 51. doi:10.1186/s13023-015-0264-3. ISSN 1750-1172. PMC 4522153alt=Dapat diakses gratis. PMID 25929793. 
  13. ^ "Clinical manifestations and diagnosis of rhabdomyolysis". www.uptodate.com. Diakses tanggal 2022-02-26. 
  14. ^ Giannoglou, George D.; Chatzizisis, Yiannis S.; Misirli, Gesthimani (2007-03). "The syndrome of rhabdomyolysis: Pathophysiology and diagnosis" (PDF). European Journal of Internal Medicine (dalam bahasa Inggris). 18 (2): 90–100. doi:10.1016/j.ejim.2006.09.020. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-10-06. Diakses tanggal 2022-02-26. 
  15. ^ Chavez LO, Leon M, Einav S, Varon J (June 2016). "Beyond muscle destruction: a systematic review of rhabdomyolysis for clinical practice". Critical Care. 20 (1): 135. doi:10.1186/s13054-016-1314-5. PMC 4908773alt=Dapat diakses gratis. PMID 27301374. 
  16. ^ a b c d Brancaccio, Paola; Lippi, Giuseppe; Maffulli, Nicola (2010-01-01). "Biochemical markers of muscular damage". Clinical Chemistry and Laboratory Medicine. 48 (6). doi:10.1515/CCLM.2010.179. ISSN 1437-4331. 
  17. ^ Silvestri, Nicholas; Wolfe (GIl). "HyperCKemia: Evaluation for elevated creatine kinase is a required skill for neurologists". Practical Neurology (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-26. 
  18. ^ Rodríguez-Capote, Karina; Balion, Cynthia M; Hill, Stephen A; Cleve, Richard; Yang, Lufang; El Sharif, Adell (2009-12-01). "Utility of Urine Myoglobin for the Prediction of Acute Renal Failure in Patients with Suspected Rhabdomyolysis: A Systematic Review". Clinical Chemistry (dalam bahasa Inggris). 55 (12): 2190–2197. doi:10.1373/clinchem.2009.128546. ISSN 0009-9147. 
  19. ^ Weisberg, Lawrence S. (2008-12). "Management of severe hyperkalemia:" (PDF). Critical Care Medicine (dalam bahasa Inggris). 36 (12): 3246–3251. doi:10.1097/CCM.0b013e31818f222b. ISSN 0090-3493. 
  20. ^ Sever, Mehmet Sukru; Vanholder, Raymond; Lameire, Norbert (2006-03-09). "Management of Crush-Related Injuries after Disasters". New England Journal of Medicine (dalam bahasa Inggris). 354 (10): 1052–1063. doi:10.1056/NEJMra054329. ISSN 0028-4793. 
  21. ^ a b c Greaves, I.; Porter, K.; Smith, J. (2003-12-01). "Consensus Statement On The Early Management Of Crush Injury And Prevention Of Crush Syndrome". Journal of the Royal Army Medical Corps (dalam bahasa Inggris). 149 (4): 255–259. doi:10.1136/jramc-149-04-02. ISSN 0035-8665. 
  22. ^ Ho KM, Sheridan DJ (August 2006). "Meta-analysis of frusemide to prevent or treat acute renal failure". BMJ. 333 (7565): 420–0. doi:10.1136/bmj.38902.605347.7C. PMC 1553510alt=Dapat diakses gratis. PMID 16861256. 
  23. ^ Bywaters EG, Beall D (March 1941). "Crush Injuries with Impairment of Renal Function". British Medical Journal. 1 (4185): 427–32. doi:10.1136/bmj.1.4185.427. PMC 2161734alt=Dapat diakses gratis. PMID 20783577. 
  24. ^ a b c Bywaters EG (1990). "50 years on: the crush syndrome". BMJ. 301 (6766): 1412–5. doi:10.1136/bmj.301.6766.1412. PMC 1679829alt=Dapat diakses gratis. PMID 2279155. 
  25. ^ Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A (July 2004). "Acute renal failure: definitions, diagnosis, pathogenesis, and therapy". The Journal of Clinical Investigation. 114 (1): 5–14. doi:10.1172/JCI22353. PMC 437979alt=Dapat diakses gratis. PMID 15232604. 
  26. ^ "Overview of Myopathies in Horses - Musculoskeletal System". MSD Veterinary Manual (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-25. 
  27. ^ a b Votion, Dominique-Marie (2012-11-14). "The Story of Equine Atypical Myopathy: A Review from the Beginning to a Possible End". ISRN Veterinary Science (dalam bahasa Inggris). 2012: 1–14. doi:10.5402/2012/281018. ISSN 2090-4460. PMC 3671727alt=Dapat diakses gratis. PMID 23762581.