Bir pletok
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Swarabakti (Kontrib • Log) 80 hari 74 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Bir pletok | |
---|---|
Sajian | Minuman |
Tempat asal | Indonesia |
Daerah | Jakarta[1] |
Suhu penyajian | Panas atau dingin |
Bahan utama | air, cengkeh, daun pandan, jahe, kapulaga, kayu manis, garam, gula, pala, secang, serai[2] |
Bahan yang umum digunakan | adas, bunga lawang, cabai jawa, daun jeruk purut, jintan hitam, kayu angin, kayu mesoyi, kencur, lada hitam, temu kunci, temu lawak |
Sunting kotak info • L • B |
Bir pletok adalah minuman khas masyarakat Betawi yang terbuat dari berbagai macam rempah. Minuman ini telah diakui sebagai warisan budaya takbenda Indonesia pada tahun 2014,[1] serta menjadi salah satu dari delapan ikon kebudayaan Betawi yang ditetapkan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2017.[3]
Penamaan
Terdapat beberapa pendapat mengenai asal-usul nama bir pletok. Istilah bir sendiri tampaknya diserap dari bahasa Belanda bier 'bir',[4] walaupun minuman ini tidak mengandung alkohol[5] dan menggunakan bahan-bahan yang berbeda dari bir pada umumnya.[4] Meski begitu, ada pula anggapan etimologi rakyat bahwa bir yang dimaksud sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab biʼrun yang bermakna 'sumber air'.[6] Sementara, sebutan pletok kemungkinan merupakan tiruan bunyi, entah dari tumbukan rempah segar sebelum digodok,[7] dari campuran bahan baku saat proses pengocokan dengan ruas bambu[8][9] maupun kaleng untuk menghasilkan busa,[10] dari tekanan udara ketika sumbat botol minuman tersebut dibuka,[9][11] atau dari beradunya es batu di dalam teko yang digunakan untuk penyajian.[8]
Berdasarkan aturan penamaan produk pangan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), nama sebuah produk pangan yang ingin disertifikasi halal tidak dapat mengandung hal-hal yang berkonotasi haram atau dilarang bagi pemeluk agama Islam, termasuk kata bir yang aslinya merujuk pada sejenis minuman beralkohol.[12] Akan tetapi, bir pletok dikecualikan dari aturan ini karena telah dianggap sebagai bagian dari ʻurf atau adat-istiadat setempat, dan sudah dikenal secara turun-temurun sebagai minuman penghangat tanpa unsur yang diharamkan dari segi zat.[13][14]
Sejarah
Tidak ada catatan pasti yang menyebut kapan bir pletok pertama kali muncul,[7] walaupun tampaknya minuman ini sudah ada setidaknya sejak masa kolonial.[8] Sejarawan JJ Rizal menyebut bahwa bir pletok mulanya diciptakan oleh masyarakat Betawi sebagai tiruan sekaligus tandingan bagi bir khas Barat.[15] Pada masa kolonial, masyarakat Betawi mengamati bahwa orang-orang Belanda seringkali menyesap bir untuk menghangatkan badan.[9] Ditambah lagi, kemeriahan pesta yang diadakan oleh orang Belanda sering kali diukur dari seberapa banyak minuman beralkohol yang terhidang.[15][16] Paparan terhadap budaya Belanda ini membuat orang Betawi tidak mau kalah. Mereka ingin pula memiliki minuman serupa yang dapat disajikan untuk memeriahkan perayaan. Hanya saja, bagi masyarakat Betawi yang sebagian besarnya beragama Islam, minuman memabukkan adalah hal yang terlarang. Maka terciptalah bir pletok, sebuah minuman penghangat badan yang berwarna merah kecokelatan serupa campuran bir dan anggur, tetapi tidak mengandung alkohol sama sekali.[15][17] Dapat dikatakan bahwa minuman ini merupakan hasil perkawinan dari budaya minum bangsa Eropa dengan penggunaan bahan baku rempah khas Nusantara.[18]
Bir pletok mulai lazim dijual oleh pedagang pikulan keliling pada tahun 1900-an.[19] Dalam perkembangannya, pamor bir pletok mulai memudar akibat masuknya minuman-minuman ala Barat yang tersedia di toko ataupun restoran, terutama sejak dibukanya keran penanaman modal asing pada tahun 1970-an. Untuk mempertahankan hidangan Betawi yang semakin terpinggirkan, pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menyokong kehadiran kuliner khas Betawi dalam berbagai festival, terutama Pekan Raya Jakarta sebagai perhelatan tahunan paling akbar. Bir pletok pun mengalami banyak pengembangan lanjutan, dengan berbagai produk turunan hasil olahannya. Hanya saja, usaha-usaha pengembangan ini relatif masih belum terlalu berdampak luas. Pengrajin bir pletok pada umumnya hanya mengelenggarakan usaha dengan skala kecil, sehingga tidak memiliki kapasitas untuk produksi massal tanpa dukungan yang cukup. Hal ini diperparah dengan pupusnya ketenaran hidangan Betawi di Jakarta, karena mayoritas orang Betawi telah tergusur ke pinggiran kota.[20]
Bahan baku
Bahan baku bir pletok dapat berbeda-beda tergantung daerah dan pengrajin, tetapi jahe dan secang umumnya selalu ada.[21][22] Jahe sebagai komponen dengan porsi paling besar menyumbang rasa pedas dan hangat yang dominan.[23] Sementara, penggunaan secang sebagai pewarna menjadi pembeda utama antara bir pletok Betawi dan bir kocok khas Bogor.[24] Beberapa di antara rempah segar yang lazim digunakan dalam pembuatan bir pletok adalah daun pandan wangi, daun jeruk purut, dan serai dapur,[25][26] sementara rempah keringnya mencakup adas, bunga lawang, cabai jawa, cengkeh, jintan hitam, kapulaga, kayu angin, kayu manis, kayu mesoyi, lada hitam, hingga pala.[2][25][27] Ragam jahe yang digunakan mencakup jahe emprit, jahe gajah, jahe merah, atau kombinasi di antaranya.[23][25] Rimpang selain jahe seperti kencur, temu lawak, dan temu kunci juga dapat digunakan sebagai campuran untuk menambah sentuhan pada rasa minuman.[28]
Biarpun minuman ini dianggap khas Betawi, tidak semua orang Betawi menyukai rasa dan wangi rempahnya yang pekat.[29][30] Oleh karena itu, penggunaan bahan-bahan rempah dapat divariasikan agar mendapatkan rasa dan aroma yang diinginkan, begitu pula penambahan garam dan pemanis.[2] Misalnya, ada pengrajin yang sengaja tidak menggunakan serai, atau bahkan menambahkan kental manis ke dalam campuran.[30] Ada pula pengrajin yang membuatkan varian rasa yang lebih ringan bagi anak kecil dan orang yang kurang suka herbal.[27] Rasa manis pada bir pletok pada umumnya didapat dari gula pasir, gula merah, campuran keduanya,[31] atau bisa juga dari pengganti gula, tentunya dengan kadar yang berbeda-beda tergantung pengrajin dan permintaan konsumen.[32][33]
Perbedaan dalam bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bir pletok tidak hanya menyumbang keragaman rasa dan aroma, tetapi juga warna; mulai dari yang merah jingga, merah kecoklatan, hingga merah keunguan.[35] Bahan utama pewarna alami digunakan dalam bir pletok mencakup kayu secang dan daun pandan.[31] Secara khusus, penggunaan kayu secang dapat menghasilkan warna berbeda tergantung tingkat keasaman larutan. Jika asam maka warnanya akan kekuningan, jika netral maka warnanya merah terang, dan jika basa maka warnanya akan merah keunguan.[36]
Ragam bahan baku bir pletok mencerminkan persinggungan kemajemukan budaya yang mempengaruhi masyarakat Betawi.[37] Minuman serupa yang berbahan rebusan herbal dapat ditemui dalam berbagai kebudayaan Nusantara, seperti misalnya jamu khas Jawa serta loloh khas Bali. Sementara, unsur rempah seperti kapulaga dan kayu manis lazim digunakan dalam hidangan Arab dan hidangan India, yang turut menyumbang pengaruh dalam hidangan Betawi.[38] Bersama dengan kerak telor, JJ Rizal menyebut bir pletok sebagai "mahakarya paling orisinal" masyarakat Betawi.[39] Sebagaimana kerak telor menunjukkan kentalnya budaya agraris Betawi melalui penggunaan bahan baku hasil tani dan ternak, bir pletok mencerminkan peran ranah Betawi sebagai pusat perdagangan melalui penggunaan beragam rempah hasil niaga.[39][40]
Pengolahan
Proses pembuatan bir pletok dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu persiapan bahan baku, perebusan, dan penyaringan.[26] Sebagai persiapan, bahan baku yang tersedia disortir terlebih dahulu. Rempah segar yang dipilih adalah yang tidak busuk dan tidak kering, sementara rempah kering yang dipilih adalah yang utuh dan bersih tanpa jamur.[41][42] Ruas jahe juga dapat dibakar terlebih dahulu sebelum diolah.[43] Setelah semua bahan tersedia, rempah segar dan rempah kering dibersihkan. Khusus jahe, ada yang membersihkannya cukup dengan mencuci tanpa mengupas kulitnya, agar rasa dan aroma yang dihasilkan dari proses perebusan lebih kuat. Untuk memperoleh hasil ekstraksi yang maksimal selama proses perebusan, bahan baku yang ada dapat diiris, diparut, atau dimemarkan.[41] Jahe dan sereh dapat dipotong dan ditumbuk, sedangkan rempah seperti pala cukup diiris-iris saja.[44] Semakin kecil ukuran potongan bahan-bahan, akan semakin bagus pula hasil ekstraksinya.[41]
Langkah-langkah dalam tahap perebusan bervariasi tergantung pengrajin. Ada yang mencampurkan semua bahan rempah ke dalam air dan direbus selama 15 menit, kemudian disaring. Hasil saringan pertama ini ditambahkan daun pandan dan pemanis, direbus sekali lagi hingga mendidih, lalu disaring untuk kedua kalinya.[43] Perebusan dalam dua tahap juga ditemui dalam pengolahan produk turunan bir pletok seperti sirop dan serbuk siap seduh. Hanya saja, tahapan perebusan kedua dilakukan hingga air rebusan mengental atau memadat menjadi kristal.[45] Sementara, dalam resep lain, perebusan dilakukan sekali dengan melarutkan gula terlebih dahulu bersama rebusan jahe, sebelum kemudian ditambahkan secang, rempah-rempah, dan serai untuk dipanaskan dengan api kecil selama 1 jam.[46] Ada pula yang hanya mencampurkan secang selama 5 menit terakhir perebusan, setelah bahan-bahan lain ditiriskan, agar warna merah dari secang dapat diserap sepenuhnya oleh air rebusan. Proses penyaringan yang dilakukan di akhir merupakan tahapan penting untuk menapis unsur-unsur halus yang tak larut dan membuat minuman terlihat keruh. Jenis saringan yang dapat digunakan antara lain adalah kain saring berbahan nilon serupa yang digunakan dalam industri sablon.[41]
Bir pletok siap saji dapat dikemas dengan botol-botol kaca berjenama.[5][43] Pengolahan lebih lanjut juga dapat dilakukan untuk menghasilkan berbagai produk turunan. Selain dari sirop dan serbuk siap seduh yang telah disebutkan, bir pletok juga dapat dijadikan konsentrat, minuman bersoda, hingga gula-gula.[22][43][47] Bahan-bahan baku bir pletok pun dapat dikemas dalam bentuk kering untuk diramu secara mandiri.[27]
Penyajian
Minuman ini biasa disajikan dengan suhu hangat atau panas, dengan dominasi rasa jahe yang menyegarkan.[26] Karena itu, minuman ini awalnya lebih lazim disajikan sebagai penghangat badan di malam hari, terutama pada saat musim penghujan.[48] Namun, sejak es batu mulai marak digunakan di Jakarta pada pertengahan abad ke-20, minuman ini juga seringkali disajikan dingin sebagai penyejuk di kala gerah.[5][49] Sebelum dihidangkan, bir pletok dapat dikocok terlebih dahulu hingga berbuih. Pengocokan ini dilakukan dengan wadah tabung yang terbuat dari bambu[8][9] atau kaleng.[10]
JJ Rizal menyebut bahwa bir pletok pada mulanya lebih umum disajikan saat acara-acara besar masyarakat Betawi, tidak seperti teh dan kopi yang rutin diminum di kala pagi dan sore hari.[50] Hajatan Betawi seperti khitanan, pernikahan, dan upacara yang berkaitan dengan kematian lazim menyuguhkan bir pletok sebagai minuman.[40] Di antara ketiga jenis hajatan ini, yang paling wajib menyajikan bir pletok adalah pernikahan, sebagai perhelatan dengan gengsi paling tinggi. Melimpahnya suguhan bir pletok menjadi tolok ukur kemegahan sebuah acara pernikahan Betawi, layaknya peran anggur dalam pesta-pesta Eropa.[50] Dalam adat perkawinan Betawi, bir pletok juga amat dianjurkan untuk diminum oleh kedua pengantin,[51] khususnya bagi mempelai wanita setelah prosesi tangas atau kum (mandi uap) sebagai perawatan kecantikan sebelum acara inti.[52][53]
Selain dalam perayaan-perayaan budaya, bir pletok kini juga lazim dijajakan di tempat-tempat yang berorientasi wisata, misalnya kawasan Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan.[54] Dalam industri ramah-tamah di Indonesia, minuman ini juga disajikan sebagai suguhan penyambut di beberapa hotel dan sanggraloka, terutama yang mengedepankan warisan budaya sebagai nilai lebihnya.[55]
Kandungan gizi dan khasiat
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Rujukan
Sitiran
- ^ a b "Bir pletok". Warisan Budaya Takbenda. 2014-01-01. Diakses tanggal 2024-06-26.
- ^ a b c Giyatmi (2018), hlm. 275–276.
- ^ Wiguna, Dewa Ketut Sudiarta (2022-06-25). "Para perawat ikon Betawi". Antara News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-06-27. Diakses tanggal 2024-06-27.
- ^ a b Reijst & Pereira (2022), hlm. 86.
- ^ a b c Teviningrum dkk. (2016), hlm. 57.
- ^ Attas (2021), hlm. 589–590.
- ^ a b Christiyaningsih; Rezkisari, Indira (2017-07-11). "Berbagai versi sejarah lahirnya bir pletok". Republika Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-06-27. Diakses tanggal 2024-06-27.
- ^ a b c d Attas (2021), hlm. 589.
- ^ a b c d Yuniar, Nanien (2020-06-23). "Apa arti "pletok" dalam bir pletok?". Antara News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-06-27. Diakses tanggal 2024-06-27.
- ^ a b Habsari (2007), hlm. 47.
- ^ Silalahi, Wahyuningtyas & Kalima (2023), hlm. 335.
- ^ Pangastuti dkk. 2021, hlm. 20.
- ^ Pangastuti dkk. 2021, hlm. 21.
- ^ Ramadani, Adysha Citra; Rostanti, Qommarria (2024-05-21). "Meski pakai kata 'bir', bir pletok bisa disertifikasi halal, ini beberapa produknya". Republika Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-06-27. Diakses tanggal 2024-07-01.
- ^ a b c Afrisia, Rizky Sekar (2015-06-22). "Sejarah bir pletok Betawi, tiruan anggur Barat tanpa alkohol". CNN Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-06-27. Diakses tanggal 2024-06-27.
- ^ Attas (2021), hlm. 590.
- ^ Sultani, Anastasia & Yuliswara (2020), hlm. 144–146.
- ^ Attas (2021), hlm. 591.
- ^ Gardjito, Putri & Dewi (2017), hlm. 113–114.
- ^ Sultani, Anastasia & Yuliswara (2020), hlm. 151–154.
- ^ Ishartani, Kawiji & Khasanah (2012), hlm. 35.
- ^ a b Kholishoh dkk. (2019), hlm. 160.
- ^ a b Muliani (2017), hlm. 228.
- ^ Sudarsono, Ratih P. (2019-02-15). "Sihir rasa dari Suryakancana". Kompas.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-06-27. Diakses tanggal 2024-06-27.
- ^ a b c Dewantara & Levyta 2022, hlm. 75.
- ^ a b c Putra dkk. (2023), hlm. 84.
- ^ a b c Pirlo, Reza Antares (2020-03-16). "Disebut anti corona, bir pletok Tangsel tembus luar negeri". Tagar.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-07-03. Diakses tanggal 2024-07-03.
- ^ Kholishoh dkk. (2019), hlm. 159.
- ^ Chaer (2015), hlm. 119.
- ^ a b Sultani, Anastasia & Yuliswara (2020), hlm. 148.
- ^ a b Ishartani, Kawiji & Khasanah (2012), hlm. 32.
- ^ Muliani (2017), hlm. 231, 233.
- ^ Putra dkk. (2023), hlm. 85.
- ^ Sukaesih, Nurislaminingsih & Winoto (2022), hlm. 373–374.
- ^ Muliani (2017), hlm. 227.
- ^ Hisyam (2023), hlm. 129.
- ^ Sultani, Anastasia & Yuliswara (2020), hlm. 147, 157.
- ^ Sultani, Anastasia & Yuliswara (2020), hlm. 147–148, 152–153.
- ^ a b Birra, Fadhil Al (2017-07-08). "Ketika sejarawan bicara soal kerak telor dan bir pletok, orisinal!". Jawa Pos. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-06-29. Diakses tanggal 2024-06-29.
- ^ a b Adiakurnia, Muhammad Irzal (2017-07-09). "Bir pletok, simbol kemegahan perayaan orang Betawi". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-28. Diakses tanggal 2024-06-28.
- ^ a b c d Muliani (2017), hlm. 229.
- ^ Silalahi, Wahyuningtyas & Kalima (2023), hlm. 337.
- ^ a b c d Giyatmi (2018), hlm. 276.
- ^ Silalahi, Wahyuningtyas & Kalima (2023), hlm. 338.
- ^ Ishartani, Kawiji & Khasanah (2012), hlm. 34.
- ^ Sultani, Anastasia & Yuliswara (2020), hlm. 146.
- ^ Muliani (2017), hlm. 217, 222.
- ^ Muliani (2017), hlm. 224.
- ^ Sultani, Anastasia & Yuliswara (2020), hlm. 150–151.
- ^ a b Attas (2021), hlm. 593.
- ^ Hisyam (2023), hlm. 128.
- ^ Hisyam (2023), hlm. 112.
- ^ Putri, Citra Narada (2021-08-15). "Dilakukan oleh calon pengantin perempuan, ini perawatan kecantikan tradisional khas Betawi". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-27. Diakses tanggal 2024-06-29.
- ^ Sultani, Anastasia & Yuliswara (2020), hlm. 151.
- ^ Muliani (2017), hlm. 221.
Daftar pustaka
- Attas, Siti Gomo (2021). "Bir pletok sebagai minuman rempah dalam perspektif komunikasi lintas budaya". Dalam Novi Anoegrajekti; Sastri Sunarti; Sudartomo Macaryus; Djoko Saryono; I Nyoman Darma Putra. Sastra rempah. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 583–596. ISBN 9789792171761.
- Chaer, Abdul (2015). Betawi tempo doeloe: menelusuri sejarah kebudayaan Betawi. Depok: Masup Jakarta. ISBN 9786027200111.
- Dewantara, Yudhiet Fajar; Levyta, Farah (2022). Jelajah kuliner khas Betawi. Yogyakarta: Bintang Semesta Media. ISBN 9786235361338.
- Gardjito, Murdijati; Putri, Rhaesfaty Galih; Dewi, Swastika (2017). Profil struktur, bumbu, dan bahan dalam kuliner Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 9786023861644.
- Giyatmi (2018). "Bir pletok". Dalam Winiati P. Rahayu; Rindit Pambayun; Ardiansyah; Giyatmi; Umar Santoso. Ensiklopedia produk pangan Indonesia. 2. Bogor: IPB Press. hlm. 275–278. ISBN 9786024405304.
- Habsari, Rinto (2007). Info boga Jakarta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789792228601.
- Hisyam, Muhammad (2023). "Eksplorasi etnokimia dalam kebudayaan masyarakat suku Betawi: serangkaian tradisi adat perkawinan suku Betawi". Dalam Uji Prastya. Etnokimia dalam budaya Nusantara. 2. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 105–134. ISBN 9789792179132.
- Ishartani, Dwi; Kawiji; Khasanah, Lia Umi (2012). "Produksi bir pletok kaya antioksidan". Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. 5 (1): 32–39. doi:10.20961/jthp.v0i0.13540.
- Kholishoh, Siti Nur; Ulfiasari, Ria; Kurniawan, Niko; Muflihati, Iffah (2019). "Karakteristik minuman bir pletok berkarbonasi dengan perbedaan komposisi jenis rimpangnya". Pasundan Food Technology Journal. 6 (3): 159–166. doi:10.23969/pftj.v6i3.2120.
- Muliani, Lila (2017). "Mempromosikan bir pletok sebagai minuman khas Betawi melalui penyajian sebagai welcome drink". Majalah Ilmiah Bijak. 14 (2): 219–235. doi:10.31334/bijak.v14i2.19.
- Pangastuti, Hesti Ayuningtyas; Permana, Lasuardi; Rosiana, Nita Maria; Tiranocyda, Bara; Utami, Kurnia; Amilia, Nia (2021). "Bir 0% alkohol dan bir pletok, apakah halal?". Panganpedia: penjelasan sains dari fenomena pangan sehari-hari. Lampung Selatan: ITERA Press. hlm. 20–22. ISBN 9786239519957.
- Putra, Andre Yusuf Trisna; Defri, Ifwarisan; Saputro, Erwan Adi; Widyastuti, Retno (2023). "Potensi bir pletok sebagai minuman fungsional komersial". Agrisaintifika: Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 7 (1): 82–91. doi:10.32585/ags.v7i1.3784.
- Reijst, Mirjam van der; Pereira, Harold (2022). Boekoe kita green: 90 vegetarische Indische familierecepten en verhalen [Boekoe kita hijau: 90 resep keluarga vegetarian Hindia dan riwayatnya] (dalam bahasa Belanda). Utrecht: Veen Bosch & Keuning. ISBN 9789043924061.
- Silalahi, Marina; Wahyuningtyas, Riska Septia; Kalima, Titi (2023). "Ethnobotanical study of bir pletok as a traditional health drink for Betawi ethnic (Indonesia)". GSC Biological and Pharmaceutical Sciences. 24 (2): 335–342. doi:10.30574/gscbps.2023.24.2.0285.
- Sukaesih; Nurislaminingsih, Rizki; Winoto, Yunus (2022). "Mapping of Betawi indigenous knowledge in collections at the Setu Babakan Museum". Linguistics and Culture Review. 6 (S2): 368–382. doi:10.21744/lingcure.v6nS2.2127.
- Sultani, Zofrano Ibrahimsyah Magribi; Anastasia, Mutiara Syafira; Yuliswara, Rizki Ridha Pratama (2020). Cita rasa kuliner lokal bir pletok sebagai identitas budaya Betawi di Jakarta (1970–2000an). Prosiding Seminar Nasional Sejarah tanggal 15 Oktober 2019 di Aula Ki Hadjar Dewantara Lantai 7 I1 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. hlm. 140–161.
- Teviningrum, Shinta; Ayuningsih, Fajar; Pridia, Heni; Hadiati, Mulya Sari; Hapsari, Firta; Muliani, Lila; Savitri, Berlianti (2016). Kuliner Betawi: selaksa rasa & cerita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9786020333731.
- Wibawa, Angela Irena; Suttisansanee, Uthaiwan; Jittinandana, Sitima; Tangsuphoom, Nattapol (2019). "Antioxidative properties of essential spices in an Indonesian non-alcoholic beverage 'bir pletok'". Journal of Food Science and Agricultural Technology. 5: 200–206.