Lompat ke isi

Farisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kata Farisi berasal dari bahasa Ibrani פרושים p'rushim, dari perush, yang berarti penjelasan.[1] Jadi kata Farisi berarti "orang yang menjelaskan" (לפרש, "lefareish - menjelaskan").[1] Terjemahan harafiahnya "memisahkan", tidak begitu akurat, karena "memisahkan" adalah להפריש "lehafrish," dari akar kata yang terkait dengan kata dalam bahasa Aram, upharsin (dan membagi) dalam tulisan di dinding dalam Kitab Daniel 5:25.[1] Kaum Farisi, tergantung dari waktunya, adalah sebuah partai politik, sebuah gerakan sosial, dan belakangan sebuah aliran pemikiran di antara orang-orang Yahudi yang berkembang pada masa Bait Suci Kedua (536 SM70 M).[1] Setelah dihancurkannya Bait Suci Kedua, sekte Farisi dibentuk kembali sebagai Yudaisme Rabinik — yang akhirnya menghasilkan Yudaisme yang tradisional dan normatif, dasar dari semua bentuk Yudaisme di masa kini, dengan pengecualian barangkali kaum Karait.[1] Hubungan antara kaum Farisi dengan Yudaisme Rabinik (yang dicontohkan oleh Talmud) adalah demikian erat sehingga banyak orang tidak membedakan keduanya.[1] Namun demikian, kedudukan sosial dan keyakinan kaum Farisi berubah-ubah dalam perjalanan waktu, bersamaan dengan perubahan dalam kondisi politik dan sosial di Yudea.[1]

Dari literatur rabinik, kaum Farisi digambarkan sebagai pengamat dan penegak hukum Taurat yang sangat teliti.[1] Dalam gulungan naskah-naskah Laut Mati, kaum Farisi dikatakan sebagai kaum yang suka mencari dan memerhatikan hal-hal yang sangat kecil.[1] Mereka menjadi pengamat pelaksanaan hukum yang sangat teliti, karena mereka memiliki kerangka berpikir bahwa Allah mencintai orang yang taat hukum dan menghukum yang tidak patuh. Keprihatinan utama kaum Farisi adalah mengenai pembaruan Israel.[1]

Latar Belakang Kaum Farisi

Kaum Farisi adalah pemimpin spiritual Yahudi yang berkembang pada masa Bait Allah ke-2, sekitar abad ke 2 SM.[2] Menurut para ahli, kaum Farisi adalah perkembangan dari kelompok Hasidim.[2] Kelompok Hasidim adalah kelompok yang menganggap diri mereka sebagai orang beragama yang saleh.[2] Kelompok Hasidim memisahkan diri dari orang biasa.[2]

Menurut Yosefus Falvius, pada masa pemerintahan Yohanes Hirkanus (135-104 SM), kaum Farisi mulai menunjukkan pengaruhnya di kalangan masyarakat.[3] Kaum Farisi juga memiliki pengaruh di bidang politik, terutama pada masa Salome Alexandra (76-67 SM).[3] Namun, setelah Roma berkuasa pada tahun 63 M, kaum Farisi kembali pada peranan asli mereka sebagai kelompok yang menjelaskan hukum secara terperinci, dan arbitrator perselisihan-perselisihan dalam komunitas tersebut.[3] Sebenarnya mereka tidak sepenuhnya lepas tangan terhadap masalah-masalah politik.[3] R. Simeon ben Gamaliel I dan beberapa pemimpin Farisi lainnya memberontak terhadap Romawi pada tahun 66-70 M dan pada tahun 132-135 M saat pemberontakan Bar Khokba.[3]


Pemikiran dasar orang Farisi berakar pada zaman Ezra dan Nehemia.[3] Ezra dan Nehemia menguraikan secara rinci dan menafsirkan hukum yang tidak tertulis itu. Ezra dan Nehemia melarang perkawinan campuran.[3] Nehemia memberlakukan peraturan bagi sabat dan memberlakukan persembahan persepuluhan.[3] Dapat dikatakan bahwa kaum Farisi mengikuti jejak-jejak Ezra dan Nehemia.[3] Ezra dan Nehemia telah menetapkan ulang kedudukan Torah pada masyarakat Yahudi keturunan Yehuda.[3]

Ajaran Kaum Farisi terhadap Hukum

Konsep dasar agama bagi kaum Farisi adalah kepercayaan.[butuh rujukan] Pembuangan ke Babel dipahami sebagai akibat dari kegagalan Israel mematuhi hukum Taurat.[butuh rujukan] Pelaksanaan Taurat adalah tugas perseorangan dan tugas nasional. [4]

Orang Farisi membedakan hukum tertulis dan hukum lisan.[butuh rujukan] Kaum Farisi menekankan ketaatan pada hukum tak tertulis (Oral Law).[3] Hukum tertulis harus dipelajari dan ditafsirkan dalam terang tradisi lisan untuk memenuhi konteks zaman yang berubah-ubah.[3] Jika Torah tidak ditafsirkan, maka hukum tersebut tidak akan kontekstual lagi.[3] Oleh karena itu, mereka juga memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menafsirkan Torah.[3] Kaum Farisi membentuk sistem hukum yang diinterpretasikan dan harus dipatuhi oleh kelompoknya dengan tujuan untuk menjaga agar mereka tidak melanggar Torah.[3] Terkadang, muncul banyak perbedaan dalam tafsiran hukum yang sering menimbulkan perdebatan di antara kaum Farisi sendiri.[3] Kepandaian kaum Farisi dalam menafsir ini diperoleh dari proses pendidikan agama secara akademis.[3] Sekolah seperti Hillel dan Shammai mulai berkembang pada abad ke-1 SM di kota Yavneh.[3]

Tipe-tipe Orang Farisi menurut Talmud

Di dalam Talmud, dituliskan tentang beberapa tipe orang Farisi.[5] Ada jenis orang Farisi yang menyombongkan kebaikan-kebaikannya.[5] Ada juga orang Farisi yang memalingkan wajahnya untuk menghindari melihat perempuan.[5] Ada orang Farisi yang sering mengangguk-anggukan kepalanya seolah-olah bijaksana.[5] Ada orang Farisi yang menghitung kebaikannya, Ada orang Farisi yang mematuhi Allah karena takut.[5] Ada orang Farisi yang mematuhi Allah karena mengasihi Allah.[5]

Gustave Doré: Pertentangan antara Yesus dan Orang Farisi

Perbedaan Kaum Farisi dengan Saduki

Kaum Farisi meyakini adanya jiwa yang kekal, kebangkitan dari kematian, adanya malaikat, kedatangan mesias yang diutus Allah pada masa yang akan datang untuk membebaskan mereka dari belenggu penjajahan Roma.[6] Akan tetapi, kaum Saduki tidak mengakui kekekalan jiwa manusia dan kuasa takdir.[4]Pada dasarnya, Saduki menganggap bahwa ibadah di bait suci adalah pusat dan tujuan utama dari hukum Taurat.[4] Farisi menekankan kewajiban seseorang dalam melakukan setiap segi hukum Taurat, ibadah di bait suci hanyalah sebagian saja dari hukum Taurat.[4]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j R. J. Zwi Werblowsky & Geofrrey Wugoder (Ed.), The Oxford Dictionary of Jewish Religion, (New York: Oxford University Press, 1997), 528.
  2. ^ a b c d George Foot More, Judaism, (USA: Hendrickson Publisher, 1960), 59.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Werblowsky, The Encyclopedia of Jewish Religion, (New York, Adama Books, 1986), 550-551.
  4. ^ a b c d Ensiklopedi Alkitab Masa Kini. Jakarta: Yayasan Bina Kasih OFM, hal 299.
  5. ^ a b c d e f Hans Kung, Judaism: The Religious Situation of Our Times, (Munich: SCM Press LTD, 1991), 327.
  6. ^ Albert Nolan, Yesus Sebelum Agama Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 23-24.

Rujukan

Pranala luar