Lompat ke isi

Penyaliban dan kematian Yesus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Penyaliban, oleh Vouet, 1622, Genoa

Kematian Yesus dapat dilihat melalui dua cara pandang yang berbeda.[1] Pertama, kematian sebagai suatu peristiwa sejarah. Kedua, sebagai bagian dari rencana Allah (Luk. 19:10).[1] Di dalam Alkitab kisah penyaliban Yesus dan kematian Yesus diceritakan dalam keempat Injil, dan diawali dengan cerita Perjamuan Kudus, pengkhianatan Yudas, Yesus berdoa di taman Getsemani, penangkapan Yesus, penyangkalan Petrus terhadap Yesus sebanyak tiga kali, Yesus diadili oleh Mahkamah Agama, dan Yesus dihadapkan kepada Pilatus dan kemudian Herodes; kemudian dilanjutkan dengan kisah kebangkitan Yesus, penampakan Yesus kepada murid-muridnya dan kepada orang banyak, serta kenaikan Yesus ke surga.[2]

Sejarah

Jalan Kehidupan Yesus Jalan kehidupan Yesus adalah salah satu sejarah dalam kisah kematian-Nya.[3] Pandangan tertua mengatakan bahwa Yesus sebenarnya sudah menyadari waktunya sudah tiba bagi kematian-Nya, oleh karena itu Ia bertekad memenuhi kehendak Allah. Menurut Albert Schweitzer berpendapat bahwa Yesus sengaja “mengambil resiko” namun tidak berhasil. Yesus berharap akan campur tangan dalam sejarah secara dramatis dan dalam waktu singkat, dan kunjungan-Nya ke Yerusalem merupakan usaha untuk memaksa Allah supaya bertindak. Yesus secara simbolis berusaha mengembalikan kepada orang-orang bukan Yahudi satu-satunya pelataran baik Allah di mana mereka diperkenankan beribadah, dengan mengusir para pedagang Yahudi yang memakainya sebagai tempat usaha Markus 11:15-17. Yesus dihianati oleh salah seorang murid-Nya yaitu Yudas Iskariot dengan menerima uang yang ditawarkan para imam kepala.

Perjalanan Yesus di Pengadilan Kitab-kitab Injil seakan melaporkan dua proses pengadilan yang berbeda tentang Yesus. Disatu sisi, dihadapan para pemimpin Yahudi, ketika Yesus dituduh melakukan pelanggaran agama Yohanes 18:12-14. Lainnya, Yesus dihadapan gubernur Roma, Pontius Pilatus, di mana Ia dituduh melakukan pelanggaran politik. Menurut Iniil Yohanes, pengadilan dimulai di rumah Hanas, mertua imam agung Kayafas. Di dalam pengadilan itu Yesus banyak menolak menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan mengenai tuduhan terhadapNya. Terakhir adalah Yesus dibawa kehadapan Pilatus. Kemudian Yesus diputuskan untuk disalibkan.

Yesus disalibkan Yesus jadi dihukum mati. Sebagaimana yang ada pada zaman itu, Dia disalibkan dan sebuah papan dipancangkan pada kayu salib untuk menunjukkan kesalahanNya. Menuruh orang Yahudi, siapa yang mengaku raja maka ia mengaku juga mesias. Sedang menurut orang Romawi, Yesus patut dihukum mati karena Dia melakukan pemberontakan yang menentang kekuasaan mereka. Kematian Yesus hanya berlangsung selama enam jam lebih cepat.

Makna

Kayu salib tempat di mana Yesus mati merupakan misteri besar. Misteri kematian Yesus dan maknanya yang sebenarnya, menyampaikan dua hal yang penting tentang hubungan Allah dan hubunagnnya dengan manusia. Pertama, salah satu masalah yang paling mendesak dalam kehidupan adalah masalah kejahatan. Melalui Yesus, Anak Allah, Allah bermaksud melenyapkan penderitaan yang diakibatkan manusia. Oleh karena itu salib menunjukkan kepada kita bahwa walaupun Allah tidak melenyapkan penderitaan yang diakibatkan dosa manusia dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, Ia ikut mengambil bagian di dalamnya bersama kita. Allah bukanlah hakim yang kejam yang menjatuhkan vonis yang tidak wajar kepada Yesus yang tidak bersalah. Pada kayu salib itu, Allah sebenarnya ikut mengalami akibat yang paling buruk dari keadaan kita yang berdosa. Kedua, salib menunjukkan kepada kita harga pengampunan dari Allah, bagi kita sendiri, mengampuni orang lain sering menjadi hal yang sulit. Untuk mengampuni manusia, Allah menyerahkan AnakNya tunggal dikayu salib.

Referensi

  1. ^ a b John Drane. 1996. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm.87-88.
  2. ^ (Indonesia)T.Jacobs S.Y. 1981. Memahami Perjanjian Baru. Yogyakarta:Kanisius. Hlm.98-99.
  3. ^ (Indonesia)Karel Sosipater.2010. Etika Perjanjian Baru. Jakarta:Suara Harapan Bangsa.Hlm.66-67.